Larangan Bagi Orang yang Berhadats Kecil dan Hadats Besar (Junub dan Haidh) Disertai Tarjih

 

Syaikh Abdurrohman As-Sa’di berkata dalam Manhajus Salikin:

Orang yang berhadats kecil dilarang 3 hal:

1.   Sholat

2.   Thowaf

3.   Menyentuh Mushaf

Orang yang berhadats besar ditambah:

4.   Membaca Al-Quran

5.   Berdiam di Masjid tanpa berwudhu

Wanita haidh dan nifas ditambah:

6.   Puasa

7.   Disenggamai

8.   Dicerai

Berikut perinciannya disertai tarjih menurut kami:

Larangan Bagi Orang yang Berhadats Kecil

Hadats kecil adalah keadaan seseorang tidak diperbolehkan Sholat sampai berwudhu atau tayammum jika tidak ada air.

Orang yang berhadats kecil dilarang 3 hal menurut kebanyakan ulama:

1. Sholat

Hal ini berdasarkan Quran, Sunnah, dan ijma.

Allah berfirman:

ﵟيَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚﵞ 

“Hal orang-orang beriman, jika kalian hendak Sholat, maka (berwudhulah dengan) membasuh wajah kalian dan tangan kalian sampai siku, usaplah kepala kalian, dan (basuhlah) kaki kalian sampai mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)

Dari Abu Huroiroh, Nabi bersabda:

«لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ»

“Allah tidak menerima Sholat seorang dari kalian jika berhadats hingga ia berwudhu.” (HR. Al-Bukhori no. 6954)

An-Nawawi (676 H) berkata: “Umat bersepakat bahwa siapa yang Sholat dalam keadaan berhadats padahal mampu berwudhu maka Sholatnya batal, wajib mengulangi berdasarkan ijma (kesepakatan ulama), baik karena sengaja, lupa, atau jahil.” (Al-Majmu, 4/160)

2. Thowaf

Thowaf (mengelilingi Ka’bah sebanyak 7x putaran) diharuskan dalam keadaan suci ataukah tidak, ulama berselisih pendapat.

Pendapat pertama, diharuskan suci karena ia syarat sah thowaf. Ini pendapat jumhur (mayoritas ulama): Malikiyah, Syafiiyah, Hanabilah.

Pendapat kedua, ia wajib dan sah tanpa bersuci dengan membayar dam (seekor kambing dalam ibadah Haji atau Umroh). Ini pendapat Hanafiyah.

Pendapat ketiga, ia sunnah. Ini pendapat Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Utsaimin.

3. Menyentuh Mushaf

Ulama berselisih pendapat, apakah menyentuh Mushaf diharuskan dalam keadaan suci?

Pendapat pertama: wajib suci. Maka orang yang berhadats kecil maupun besar (junub, haidh, nifas) harom menyentuh Mushaf sampai suci. Ini ittifaq (kesepakatan) empat imam (Abu Hanifah, Malik, Syafii, dan Ahmad) serta pendapat 4 madzhab (Hanafi, Maliki, Syafii, Hambali). Ini dipilih Ibnu Taimiyyah.

Pendapat kedua: sunnah. Orang yang berhadats kecil maupun besar (junub, haidh, nifas) boleh menyentuh Mushaf. Ini pendapat Ibnu Hazm (456 H) dan Ibnul Mundzir.

Hujjah pendapat kedua:

Ibnu Abbas berkata: Nabi keluar dari tempat buang hajat lalu diberi makanan. Orang-orang mengingatkan beliau jika belum berwudhu. Beliau bersabda:

«أُرِيدُ أَنْ أُصَلِّيَ فَأَتَوَضَّأَ؟»

“Apakah aku hendak Sholat sehingga perlu bewudhu?” (HR. Muslim no. 374)

Dalam riwayat lain:

«إِنَّمَا أُمِرْتُ بِالْوُضُوءِ إِذَا قُمْتُ إِلَى الصَّلَاةِ»

“Aku hanya diperintah berwudhu jika hendak Sholat.” (HSR. Abu Dawud no. 3760)

Hadits ini menunjukkan bersuci hanya untuk Sholat, bukan untuk thowaf dan menyentuh Mushaf dan selainnya.

Catatan:

Ulama sepakat orang yang hadats kecil boleh membaca Al-Quran dari hafalannya atau menyentuh Mushaf dengan kain.

An-Nawawi (676 H) berkata: “Muslimin sepakat bahwa orang yang berhadats (hadats kecil) boleh membaca Al-Quran, tetapi yang utama bersuci (berwudhu). Imam Al-Haromain dan Al-Ghozali dalam Al-Basith berkata: ‘Kami tidak berpendapat makruh bagi orang yang berhadats (kecil) membaca. Telah shohih Nabi membaca saat hadats.” (Al-Majmu, 2/82)

Aisyah berkata:

«كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يَذْكُرُ اللهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ»

 “Nabi berdzikir kepada Allah dalam semua keadaan.” (HR. Muslim no. 373)

Berdzikir mencakup tilawah Al-Quran, bahkan ia dzikir terbaik. Al-Quran dinamai dzikir dalam ayat:

﴿إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

“Sesungguhnya Kami yang menurunkan dzikir (Al-Quran) dan Kami yang menjaganya.” (QS. Al-Hijr: 7)

 

Larangan Bagi Hadats Besar

Orang yang berhadats besar dilarang 5 hal:

1.   Sholat (ijma)

2.   Thowaf (yang rojih tidak dilarang)

3.   Menyentuh Mushaf (yang rojih tidak dilarang)

4.   Membaca Al-Quran (yang rojih tidak dilarang)

5.   Berdiam di Masjid tanpa berwudhu (yang rojih tidak dilarang baik berwudhu atau tidak)

Dari sini, ternyata yang dilarang bagi orang yang berhadats kecil maupun junub adalah Sholat. Adapun empat larangan sisanya diperselisihkan ulama. Yang rojih (kuat) menurut penulis adalah tidak dilarang karena tidak shohih dalil yang melarangnya.

Orang Junub Tidak Najis

Orang junub tidak najis. Ini menjadi kaidah asal dan dijadikan dalil bagi kelompok yang berpandangan tidak disyaratkan bersuci selain Sholat.

Dasar tidak najisnya orang junub dan haidh adalah:

Hadits Abu Huroiroh: Rosulullah menjumpaiku saat aku junub di salah satu jalan di Madinah lalu memegang tanganku dan berjalan bersama hingga duduk. Lalu aku pergi ke rumah untuk mandi. Aku datang kembali dan beliau duduk. Beliau berkata: “Ke mana saja kamu tadi wahai Abu Hir?” Aku ceritakan kepada beliau dan beliau berkata:

«سُبْحَانَ اللَّهِ يَا أَبَا هِرٍّ إِنَّ المُؤْمِنَ لاَ يَنْجُسُ»

“Subhanallah, hai Abu Hir, sungguh orang beriman tidak najis.” (HR. Bukhori no. 285 dan Muslim no. 371)

Yakni kulitnya, kukunya, rambutnya, bulunya, keringatnya, adalah suci, tidak najis.

Hadits Aisyah: Abu Huroiroh berkata: Nabi di Masjid dan berkata: “Hai Aisyah, ambillkan bajuku.” Ia berkata: “Aku sedang haidh.” Beliau bersabda:

«إِنَّ حَيْضَتَكِ لَيْسَتْ فِي يَدِكِ»

 “Haidhmu bukan di tanganmu.” Lalu ia mengambilkannya. (HR. Muslim no. 299)

Yakni seluruh badanmu suci tidak najis. Yang najis adalah kemaluan tempat keluarnya darah haidh yang najis.

Dua hadits ini menunjukkan fisik orang beriman –bahkan orang kafir juga menurut pendapat yang rojih– adalah suci, tidak najis.

Namun, suci dari najis tidak sama dengan suci dari hadats, sehingga dua hadits ini masih muhtamal.

Untuk penjelasan membaca Qur’an maupun larangan bagi wanita haidh dan nifas akan dijelaskan pada waktu lain, in syaa Alloh.

Allahu a’lam.

Nor Kandir

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url