I'tidal: Hukum, Bacaan, Gerakan Menurut 4 Madzhab
Pertama: Hukum I’tidal
I’tidal adalah rukun Sholat, dan ini merupakan
madzhab Jumhur (kebanyakan) Ulama: Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, satu
riwayat dari Abu Hanifah, dan pendapat Abu Yusuf dari kalangan Hanafiyyah.
Lupa rukun
menyebabkan batal Sholatnya, jika ingatnya setelah salam. Jika ingatnya di
dalam Sholat dan sudah berpindah gerakan, maka rokaat itu gugur dan harus
menambah satu rokaat lagi.
Kedua: Hukum Tasmi’ dan
Tahmid
Tasmi’ adalah mengucapkan “Sami’allahu
liman hamidah” dan Tahmid adalah mengucapkan “Robbana
wa lakal-hamd”.
Para Ulama berselisih tentang hukum Tasmi’ dan Tahmid ketika bangkit dari
Rukuk, menjadi dua pendapat:
Pendapat pertama: hukumnya wajib, dan ini
adalah madzhab Hanabilah, serta pendapat Ishaq bin Rahuyah (238 H), Dawud
Azh-Zhohiri (270 H), dan dipilih oleh Ibnu Baz (1420 H), Al-Albani (1420 H),
dan Ibnu ‘Utsaimin (1421 H).
Pendapat kedua: sunnah, dan ini merupakan
madzhab Jumhur Ulama: Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Syafi’iyyah.
Ketiga: Hukum Tasmi’ dan
Tahmid Bagi Munfarid
Jika seseorang Sholat sendirian (munfarid), maka dia
menggabungkan keduanya (Sami’allahu liman hamidah dan Robbana lakal-hamd).
Telah dinukil ijma’ (kesepakatan) atas hal ini oleh Ath-Thohawi (321 H), Ibnu
‘Abdil Barr (463 H), dan Ibnu Rusyd (595 H).
Keempat: Hukum Tasmi’ dan
Tahmid Bagi Imam
Imam menggabungkan keduanya, dan ini adalah madzhab
Syafi’iyyah dan Hanabilah, serta satu riwayat dari Abu Hanifah, dan pendapat
Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani dan Abu Yusuf dari kalangan Hanafiyyah, juga
pendapat Dawud Azh-Zhohiri (270 H). Hal ini juga dikatakan oleh sebagian Salaf,
dan dipilih oleh Ibnu Baz (1420 H) dan Ibnu ‘Utsaimin (1421 H).
Kelima: Hukum Tasmi’ dan
Tahmid Bagi Makmum
Makmum cukup dengan tahmid saja (Robbana lakal-hamd),
dan ini adalah madzhab Jumhur Ulama: Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah.
Keenam: Ragam Lafazh
Tahmid
Mereka
sepakat membaca salah satu dari keempat ini mencukupi, karena shohih semua.
1.
Robbana lakal-hamd (رَبَّنَا لَكَ
الحَمْدُ).
2. Robbana wa lakal-hamd (رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ).
3. Allahumma Robbana lakal-hamd (اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الحَمْدُ).
4. Allahumma Robbana wa lakal-hamd (اللَّهُمَّ رَبَّنَا
وَلَكَ الحَمْدُ).
Lalu mereka
berselisih, mana yang lebih utama dari itu? Abu Hanifah (150 H) dan Syafii (204
H) memilih tahmid tanpa wawu. Ahmad (241 H) memilih dengan
wawu. Malik (179 H) memiliki dua riwayat: wawu dan tidak.
Ketujuh: Tambahan pada Tahmid
Disunnahkan bagi orang yang Sholat untuk menambahkan dengan
mengatakan:
ربَّنا ولك الحمدُ
حمدًا كثيرًا طيِّبًا مُبارَكًا فيه
Robbana wa lakal-hamdu hamdan katsiran thayyiban
mubaarokan fiih.
Disunnahkan pula untuk mengatakan:
اللهمَّ ربَّنا لك الحمدُ، مِلْءَ السَّمواتِ ومِلْءَ الأرضِ، ومِلْءَ ما شِئْتَ
مِن شيءٍ بعدُ.
Allahumma Robbana lakal-hamdu mil’as-samaawaati wa
mil’al-ardhi wa mil’a maa syi’ta min syai’in ba’du.
Atau mengatakan:
ربَّنا لك الحمدُ
مِلْءَ السَّمواتِ والأرضِ، ومِلْءَ ما شِئتَ مِن شيءٍ بعدُ، أهلَ الثَّناءِ والمجدِ،
أحقُّ ما قال العبد،ُ وكلُّنا لك عبدٌ، اللهمَّ لا مانعَ لِما أعطَيتَ، ولا مُعطيَ
لِمَا منَعتَ، ولا ينفَعُ ذا الجَدِّ منك الجَدُّ.
Robbana lakal-hamdu mil’as-samaawaati wal-ardhi wa mil’a
maa syi’ta min syai’in ba’d, ahla ats-tsanaa’i wal-majdi, ahaqqu maa
qaalal-‘abdu, wa kullunaa laka ‘abd. Allahumma laa maani’a limaa a’thaita, wa
laa mu’thiya limaa mana’ta, wa laa yanfa’u dzal-jaddi minka al-jaddu.
Kedelapan: Hukum sedekap
saat itidal
Mereka sepakat
sedekap (qobth) maupun terjulur (irsal) bukan rukun maupun wajib
Sholat. Sehingga dengan pilihan manapun dari keduanya, tidak mempengaruhi
keabsahan Sholat.
Para Ulama berselisih tentang hukum sedekap (meletakkan tangan kanan di atas
tangan kiri) saat itidal
(setelah bangkit dari rukuk) menjadi tiga pendapat:
Pendapat pertama: sunnah. Ini adalah pendapat sebagian
Hanafiyyah, juga Al-Haitami (974 H) dari kalangan Syafi’iyyah, dan dipilih oleh
Ibnu Hazm (456 H), Ibnu Baz (1420 H), dan Ibnu ‘Utsaimin (1421 H).
Pendapat kedua: tidak disunnahkan. Ini merupakan madzhab Jumhur: Hanafiyyah,
Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan salah satu pendapat dalam madzhab Hanabilah.
Pendapat ketiga: terserah, keduanya sama. Jika mau maka boleh
meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri setelah rukuk, dan jika tidak, juga tidak
apa-apa. Ini adalah pendapat dalam madzhab Hanabilah.[]