Syarah Tsulatsiyat dari Shohih Al-Bukhori | Nor Kandir
بسم الله الرحمن الرحيم
Tsulatsiat adalah hadits yang dalam sanadnya hanya 3 orang,
antara Bukhori dengan Rosulullah ﷺ. Jumlahnya ada 22 dari 7.563 hadits. Sebagai perbandingan, kitab
hadits masyhur yang paling tinggi adalah Al-Muwatho Malik, hanya 2 orang,
seperti Malik dari Nafi dari Ibnu Umar dari Nabi ﷺ.
22 tsulatsiyat Bukhori ini berasal
dari 5 guru Al-Bukhori: Makki bin Ibrohim (11 hadits), Abu ‘Ashim
(6 hadits), Al-Anshori (3 hadits), Khollad bin Yahya (1 hadits),
dan ‘Ishom bin Kholid (1 hadits). Sementara jumlah Shohabat yang meriwayatkannya
ada 3, yaitu: Salamah bin Al-Akwa’ (17 hadits), Anas bin Malik (4
hadits), ‘Abdullah bin Busr (1 hadits).
Tujuan saya menulis ini, agar memudahkan
penuntut ilmu untuk menghafal hadits-hadits tsulatsiyat dari kitab
hadits tershohih, Shohih Al-Bukhori.
“Ya Allah terimalah dari kami. Engkau Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Surabaya, Dzulhijjah 1446 H/ 2025
Nor Kandir
Dari jalur Makki
bin Ibrohim (11 Hadits)
[1] Ancaman
Berdusta Atas Nama Nabi ﷺ
[1] 109 - حَدَّثَنَا مَكِّيُّ
بْنُ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبِي عُبَيْدٍ، عَنْ سَلَمَةَ،
قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ ﷺ يَقُولُ: «مَنْ يَقُلْ عَلَيَّ مَا لَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ
مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ»
1.
Imam Al-Bukhori berkata dalam Shohih-nya: Telah menceritakan kepada kami
Makki bin Ibrohim, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Yazid bin
Abi Ubaid, dari Salamah Rodhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: Aku mendengar
Nabi ﷺ
bersabda:
«مَنْ يَقُلْ عَلَيَّ
مَا لَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ»
“Siapa
mengatakan atas namaku sesuatu yang tidak aku katakan, maka hendaklah ia
mengambil tempat duduknya di Neraka.”
Makna Umum
Nabi ﷺ memperingatkan dari berdusta
atas nama beliau, karena hal itu merupakan kejahatan besar yang sangat berat.
Tidak ada kedustaan terhadap siapa pun yang sebanding dengan kedustaan atas
nama beliau ﷺ.
Sebab, hak beliau lebih agung, dan hak syari’at lebih kuat. Kedustaan atas nama
beliau menjadi jalan untuk membatalkan syari’at beliau dan merusak agama ini.
Nabi ﷺ menjelaskan hukuman bagi orang
yang berdusta atas nama beliau, yaitu bahwa ia hendaknya menyiapkan tempat
duduknya di dalam Neraka, dan bersiap-siap untuk memasukinya pada Hari Kiamat,
sebagai balasan atas apa yang telah dilakukannya berupa kedustaan atas nama
Nabi ﷺ,
dan sebagai bentuk ancaman serta peringatan agar jangan sampai nekat melakukan
dosa besar ini.
Hal ini berlaku bagi siapa saja yang sengaja
berdusta atas nama Nabi ﷺ, dengan maksud benar-benar berdusta. Kedustaan atas beliau ﷺ bisa berupa menisbatkan kepada
beliau ﷺ
sesuatu yang tidak pernah beliau katakan, lakukan, atau setujui.
---
[2] Jarak Sutroh
[2] 497 - حَدَّثَنَا المَكِّيُّ
بْنُ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبِي عُبَيْدٍ، عَنْ سَلَمَةَ،
قَالَ: «كَانَ جِدَارُ المَسْجِدِ عِنْدَ المِنْبَرِ مَا كَادَتِ الشَّاةُ تَجُوزُهَا»
2.
Telah menceritakan kepada kami Makki bin Ibrohim, ia berkata: Telah
menceritakan kepada kami Yazid bin Abi Ubaid, dari Salamah Rodhiyallahu ‘Anhu,
ia berkata: “Dinding Masjid di dekat mimbar itu nyaris tidak bisa dilewati
kambing.”
Makna Umum
Nabi ﷺ memerintahkan orang yang Sholat
sendirian agar mengambil sutroh (pembatas di depannya), terutama di
tempat-tempat yang terbuka, agar tidak ada orang yang lewat di depannya dan
memutuskan Sholatnya. Adapun dalam Sholat berjamaah, maka jika imam telah
mengambil sutroh untuk dirinya, maka itu juga menjadi sutroh bagi
para makmum.
Hadits ini menjelaskan bahwa termasuk
Sunnah adalah dekatnya orang yang Sholat kepada sutrohnya. Dalam hadits
ini, Salamah bin Al-Akwa’ Rodhiyallahu ‘Anhu meriwayatkan bahwa antara
dinding Masjid Nabi ﷺ
dan mimbar terdapat jarak yang kecil, hanya seukuran yang cukup untuk lewatnya
seekor kambing, yang merupakan jarak yang sangat pendek (kira-kira 0,5 meter).
Nabi ﷺ
berdiri menjadi imam di samping mimbar, karena Masjid beliau belum memiliki
mihrab; maka jarak antara beliau dan dinding itu sama seperti jarak antara
mimbar dan dinding. Ini menunjukkan bahwa beliau ﷺ mendekat kepada dinding yang
menjadi sutroh beliau, agar tidak ada yang lewat di depannya saat beliau
sedang Sholat, dan agar beliau bisa menghalangi siapa pun yang mencoba lewat di
hadapannya.
Telah diriwayatkan oleh Abu Dawud dari
Sahal bin Abi Hatsmah Rodhiyallahu ‘Anhu, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:
«إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ
إِلَى سُتْرَةٍ فَلْيَدْنُ مِنْهَا، لَا يَقْطَعِ الشَّيْطَانُ عَلَيْهِ صَلَاتَهُ»
“Apabila salah seorang dari
kalian Sholat menghadap sutroh, maka hendaklah ia mendekat kepadanya,
agar syaitan tidak memutus Sholatnya.” (HSR. Abu Dawud no. 698)
---
[3] Mendekat ke
Sutroh
[3] 502 - حَدَّثَنَا المَكِّيُّ
بْنُ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبِي عُبَيْدٍ، قَالَ: كُنْتُ
آتِي مَعَ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ فَيُصَلِّي عِنْدَ الأُسْطُوَانَةِ الَّتِي عِنْدَ
المُصْحَفِ، فَقُلْتُ: يَا أَبَا مُسْلِمٍ، أَرَاكَ تَتَحَرَّى الصَّلاَةَ عِنْدَ هَذِهِ
الأُسْطُوَانَةِ، قَالَ: فَإِنِّي «رَأَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ يَتَحَرَّى الصَّلاَةَ عِنْدَهَا»
3.
Telah menceritakan kepada kami Makki bin Ibrohim, ia berkata: Telah
menceritakan kepada kami Yazid bin Abi Ubaid, ia berkata: Aku biasa datang
bersama Salamah bin Al-Akwa’, lalu ia Sholat di dekat tiang yang berada di sisi
mushhaf. Maka aku berkata: “Wahai Abu Muslim, aku melihat engkau memilih
Sholat di dekat tiang ini?” Ia menjawab: “Karena aku melihat Nabi ﷺ memilih Sholat di
dekatnya.”
Makna Umum
Para Shohabat Rodhiyallahu ‘Anhum
sangat bersungguh-sungguh dan penuh semangat dalam mengikuti Sunnah Rosulullah ﷺ, petunjuk beliau, dan jejak
langkah beliau.
Dalam hadits ini, seorang Tabi’in bernama
Yazid bin Abi ‘Ubaid menceritakan bahwa ia biasa datang ke Masjid Nabi ﷺ bersama Salamah bin Al-Akwa’ Rodhiyallahu
‘Anhu, lalu Salamah biasa Sholat di dekat ustuwānah (tiang) yang
berada di dekat mushaf, yakni Mushaf ‘Utsman Rodhiyallahu ‘Anhu. Ini
menunjukkan bahwa mushaf tersebut memiliki tempat khusus.
Dikatakan bahwa tiang tersebut adalah
salah satu dari tiang-tiang Masjid lama yang disebut sebagai Ar-Roudhoh. Di
area Roudhoh itu terdapat dua tiang, masing-masing disebutkan bahwa Nabi ﷺ pernah Sholat menghadap ke
arahnya:
Tiang pertama disebut ustuwanah mukhollaqoh,
juga dikenal dengan sebutan ustuwanah muhajirin. Letaknya berada di
tengah-tengah Roudhoh.
Tiang kedua adalah ustuwanah taubah,
yaitu tiang tempat Abu Lubabah Rodhiyallahu ‘Anhu mengikat dirinya
hingga Allah menerima taubatnya.
Kemudian Yazid bin Abi ‘Ubaid bertanya
kepada Salamah bin Al-Akwa’ Rodhiyallahu ‘Anhu: “Mengapa engkau memilih Sholat
di dekat tiang ini?” Maka Salamah Rodhiyallahu ‘Anhu menjawab bahwa ia
pernah melihat Nabi ﷺ
sengaja memilih tempat itu untuk Sholat, maka ia pun mengikuti jejak Nabi ﷺ.
Dalam riwayat Ibnu Majah disebutkan secara
tegas bahwa Sholat yang dilakukan oleh Salamah di tempat itu adalah Sholat tathawwu’
(sunnah).
Hadits ini menunjukkan bahwa tidak mengapa
seseorang menetapkan tempat tertentu di Masjid untuk melaksanakan Sholat sunnah.
---
[4] Waktu
Maghrib
[4] 561 - حَدَّثَنَا المَكِّيُّ
بْنُ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبِي عُبَيْدٍ، عَنْ سَلَمَةَ،
قَالَ: «كُنَّا نُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ ﷺ المَغْرِبَ إِذَا تَوَارَتْ بِالحِجَابِ»
4.
Telah menceritakan kepada kami Makki bin Ibrohim, ia berkata: Telah
menceritakan kepada kami Yazid bin Abi Ubaid, dari Salamah Rodhiyallahu ‘Anhu,
ia berkata: “Kami dahulu Sholat Maghrib bersama Nabi ﷺ ketika matahari telah
terbenam di balik hijab (cakrawala).”
Makna Umum
Allah menetapkan waktu tertentu untuk
pelaksanaan Sholat fardhu yang wajib ditunaikan di dalam rentang waktu
tersebut, sebagaimana firman-Nya:
﴿ إِنَّ الصَّلَاةَ
كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا ﴾
“Sesungguhnya Sholat itu adalah kewajiban
yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisā’: 103)
Dalam hadits ini terdapat penjelasan
tentang waktu Sholat Maghrib, yaitu sebagaimana dikatakan oleh Salamah bin
Al-Akwa’ Rodhiyallahu ‘Anhu: “Kami biasa Sholat Maghrib bersama Nabi ﷺ ketika matahari telah terbenam
dan tertutup tirai (cahaya senja). Cakrawala (garis khayal yang memisahkan
batas permukaan bumi dengan langit dalam pandangan mata) menjadi seperti tirai
yang memisahkan antara matahari dan orang-orang yang melihatnya.”
Waktu Sholat Maghrib berlanjut hingga
hilangnya syafaq, yaitu warna kemerahan di langit setelah matahari terbenam,
sebagaimana disebutkan dalam Shohih Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin
Al-’Ash Rodhiyallahu ‘Anhuma, bahwa Rosulullah ﷺ bersabda:
«وَوَقْتُ صَلَاةِ
الْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبِ الشَّفَقُ»
“Waktu Sholat Maghrib adalah
selama syafaq (kemerahan senja) belum hilang.” (HR. Muslim)
Dalam hadits ini terdapat beberapa
pelajaran:
Anjuran untuk segera melaksanakan Sholat
Maghrib setelah matahari terbenam.
Penjelasan tentang awal waktu Sholat
Maghrib, yaitu dimulai segera setelah matahari benar-benar tenggelam dan
menghilang dari pandangan.
---
[5] Puasa
Asyuro #1
[5] 2007 - حَدَّثَنَا المَكِّيُّ
بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبِي عُبَيْدٍ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ
الأَكْوَعِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: أَمَرَ النَّبِيُّ ﷺ رَجُلًا مِنْ أَسْلَمَ:
«أَنْ أَذِّنْ فِي النَّاسِ: أَنَّ مَنْ كَانَ أَكَلَ فَلْيَصُمْ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ،
وَمَنْ لَمْ يَكُنْ أَكَلَ فَلْيَصُمْ، فَإِنَّ اليَوْمَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ»
5.
Telah menceritakan kepada kami Makki bin Ibrohim, ia berkata: Telah
menceritakan kepada kami Yazid bin Abi Ubaid, dari Salamah bin Al-Akwa’ Rodhiyallahu
‘Anhu, ia berkata: Nabi ﷺ
memerintahkan seorang laki-laki dari Bani Aslam: “Umumkan kepada manusia: Siapa
yang telah makan, maka hendaknya ia berpuasa sisa harinya. Dan barang siapa
yang belum makan, maka hendaknya ia berpuasa. Karena hari ini adalah hari ‘Asyuro.”
Makna Umum
Hari ‘Āsyūro’ termasuk di antara hari-hari
Allah yang penuh keberkahan; pada hari itu Allah ‘Azza wa Jalla
menyelamatkan Nabi Mūsā ‘Alaihis-Salām dari Fir’aun dan bala tentaranya.
Rosulullah ﷺ
berpuasa pada hari itu, dan memerintahkan kaum Muslimin untuk berpuasa pada
hari tersebut. Itulah puasa pertama yang dilakukan oleh kaum Muslimin, sebelum
diwajibkannya puasa Romadhon.
Dalam hadits ini, Salamah bin Al-Akwa’ Rodhiyallahu
‘Anhu mengabarkan bahwa Nabi ﷺ mengutus seorang laki-laki —
yaitu Hind bin Asmā’ bin Ḥāritsah
Al-Aslamī Rodhiyallahu ‘Anhu, sebagaimana disebutkan dalam Musnad
Ahmad dan selainnya — untuk menyeru manusia pada hari ‘Āsyūro’, yaitu hari
kesepuluh dari bulan Allah, Al-Muḥarrom,
agar siapa yang telah makan maka hendaknya ia menyempurnakan (puasanya),
maksudnya: janganlah ia makan lagi pada sisa hari itu hingga waktu berbuka,
sebagai bentuk pengagungan terhadap kehormatan waktu tersebut. Dan siapa yang
belum makan, maka hendaknya tidak makan sedikit pun, dan niat untuk berpuasa
lalu berpuasa sepanjang hari itu.
Kemudian, setelah diwajibkannya puasa Romadhon,
maka puasa ‘Āsyūro’ menjadi sunnah muqayyadah: barang siapa yang mau, ia
boleh berpuasa; dan siapa yang tidak mau, ia boleh meninggalkannya.
Keutamaan puasa ‘Āsyūro’ adalah bahwa ia
menghapus dosa-dosa setahun sebelumnya, sebagaimana disebutkan dalam Shohih
Muslim dari Abu Qotādah Rodhiyallahu ‘Anhu, bahwa Rosulullah ﷺ bersabda:
«صِيَامُ يَوْمِ
عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى ٱللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ»
“Puasa hari ‘Āsyūro’, aku berharap kepada
Allah agar Dia menghapus dosa setahun sebelumnya.” (HR. Muslim no. 1162)
Terdapat beberapa riwayat yang menjelaskan
sebab Nabi ﷺ
berpuasa pada hari ‘Āsyūro’, di antaranya sebagaimana disebutkan dalam Shohih
Al-Bukhori dan Shohih Muslim dari Ibnu ‘Abbās Rodhiyallahu ‘Anhuma,
bahwa itu adalah hari di mana Allah menyelamatkan Mūsā dari Fir’aun, dan kaum
Yahudi berpuasa pada hari tersebut, maka Nabi ﷺ bersabda:
«نَحْنُ أَحَقُّ
وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ» فَصَامَهُ
“Kami lebih berhak dan lebih
utama terhadap (ajaran) Mūsā daripada kalian.” Maka beliau pun berpuasa
padanya. (HR. Al-Bukhori no. 2004 dan Muslim no. 1130)
Termasuk pula: dalam Shohih Al-Bukhori
dan Shohih Muslim dari Ibnu ‘Umar Rodhiyallahu ‘Anhuma, bahwa
Nabi ﷺ
bersabda:
«إِنَّهُ يَوْمٌ
كَانَتْ تَصُومُهُ الْجَاهِلِيَّةُ، فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ»
“Sesungguhnya itu adalah hari yang dahulu
juga dipuasakan oleh kaum Jahiliyah, maka barang siapa yang ingin, silakan ia
berpuasa, dan barang siapa yang tidak suka, silakan ia meninggalkannya.” (HR.
Al-Bukhori no. 2001 dan Muslim no. 1126)
---
[6] Tidak
Mensholati Janazah Berhutang #1
[6] 2289 - حَدَّثَنَا المَكِّيُّ
بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبِي عُبَيْدٍ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ
الأَكْوَعِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: كُنَّا جُلُوسًا عِنْدَ النَّبِيِّ ﷺ، إِذْ
أُتِيَ بِجَنَازَةٍ، فَقَالُوا: صَلِّ عَلَيْهَا، فَقَالَ: «هَلْ عَلَيْهِ دَيْنٌ؟»،
قَالُوا: لاَ، قَالَ: «فَهَلْ تَرَكَ شَيْئًا؟»، قَالُوا: لاَ، فَصَلَّى عَلَيْهِ،
ثُمَّ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ أُخْرَى، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، صَلِّ عَلَيْهَا،
قَالَ: «هَلْ عَلَيْهِ دَيْنٌ؟» قِيلَ: نَعَمْ، قَالَ: «فَهَلْ تَرَكَ شَيْئًا؟»،
قَالُوا: ثَلاَثَةَ دَنَانِيرَ، فَصَلَّى عَلَيْهَا، ثُمَّ أُتِيَ بِالثَّالِثَةِ،
فَقَالُوا: صَلِّ عَلَيْهَا، قَالَ: «هَلْ تَرَكَ شَيْئًا؟»، قَالُوا: لاَ،
قَالَ: «فَهَلْ عَلَيْهِ دَيْنٌ؟»، قَالُوا: ثَلاَثَةُ دَنَانِيرَ، قَالَ:
«صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ»، قَالَ أَبُو قَتَادَةَ صَلِّ عَلَيْهِ يَا رَسُولَ
اللَّهِ وَعَلَيَّ دَيْنُهُ، فَصَلَّى عَلَيْهِ
6.
Telah menceritakan kepada kami Makki bin Ibrohim, ia berkata: Telah
menceritakan kepada kami Yazid bin Abi Ubaid, dari Salamah bin Al-Akwa’ Rodhiyallahu
‘Anhu, ia berkata: Kami sedang duduk bersama Nabi ﷺ, lalu datang janazah.
Maka mereka berkata: “Sholatkanlah janazah ini.” Beliau bersabda: “Apakah ia punya utang?” Mereka menjawab: “Tidak.” Beliau
bersabda: “Apakah ia meninggalkan sesuatu?” Mereka menjawab: “Tidak.” Maka
beliau menyolatkannya.
Lalu datang janazah lain, dan mereka
berkata: “Wahai Rosulullah, Sholatkanlah janazah ini.” Beliau bertanya: “Apakah ia punya utang?” Mereka menjawab: “Ya.” Beliau bertanya: “Apakah ia meninggalkan
sesuatu?” Mereka menjawab: “Tiga
dinar.” Maka beliau menyolatkannya.
Kemudian
datang janazah ketiga, dan mereka berkata: “Sholatkanlah janazah ini.” Beliau
bertanya: “Apakah ia meninggalkan
sesuatu?” Mereka menjawab: “Tidak.” Beliau bertanya: “Apakah ia
memiliki utang?” Mereka menjawab: “Tiga dinar.” Beliau bersabda: “Sholatkanlah janazah
teman kalian.” Abu Qotadah berkata: “Sholatkanlah ia wahai Rosulullah, dan aku
yang akan menanggung utangnya.” Maka beliau pun menyolatkannya.
Makna Umum
“Hutang adalah termasuk hak-hak sesama
manusia yang wajib ditunaikan.” Maka orang yang berhutang wajib menyucikan
tanggungan dirinya (dzimmah-nya) dengan membayar hutang yang menjadi
kewajibannya.
Karena besarnya urusan hutang dan
bahayanya jika tidak ditunaikan, maka Nabi ﷺ tidak mensholatkan janazah
seseorang yang masih memiliki hutang, dan ia tidak meninggalkan harta yang
dapat digunakan untuk membayarnya.
Dalam hadits ini, Salamah bin Al-Akwa’ Rodhiyallahu
‘Anhu meriwayatkan bahwa mereka sedang duduk bersama Nabi ﷺ, lalu dibawa kepada beliau tiga janazah
secara terpisah agar disholatkan.
Maka ketika ditanya tentang janazah yang
pertama dan diketahui bahwa ia tidak memiliki hutang, maka beliau ﷺ pun mensholatkannya.
Lalu dibawakan janazah kedua, dan ketika
beliau ﷺ
bertanya dan diberi tahu bahwa ia memiliki hutang, tetapi ia meninggalkan tiga
dinar (yang dapat digunakan untuk melunasi hutang tersebut), maka beliau ﷺ tetap mensholatkannya.
Lalu datang janazah ketiga. Beliau ﷺ kembali bertanya dan diberi tahu
bahwa ia memiliki hutang sebesar tiga dinar, namun tidak meninggalkan apapun
untuk melunasi hutang tersebut, maka beliau ﷺ tidak mau mensholatkannya, dan
berkata: “Sholatkan oleh kalian janazah sahabat kalian ini.”
Lalu Abu Qotadah Al-Anshori Rodhiyallahu
‘Anhu menanggung hutang si mayit tersebut dan berkata: “Saya yang akan
menanggung hutangnya, wahai Rosulullah.” Maka Nabi ﷺ pun mensholatkan janazah itu.
Ini menunjukkan bahwa tanggungan hutang
telah berpindah dari si mayit ke orang lain yang menjamin hutangnya, maka
gugurlah tanggungan si mayit karena sudah ada yang menanggungnya. Ini disebut
dengan hamālah (penjaminan hutang).
Pelajaran dari Hadits:
Besarnya urusan hutang dalam Islam —
sampai-sampai Nabi ﷺ
menolak mensholatkan janazah seorang Muslim karena masih memiliki hutang yang
belum ditunaikan dan tidak memiliki harta untuk membayarnya.
Orang yang mati membawa hutang akan tetap
terikat dengan tanggungan tersebut di Akhiroh, sampai ada yang melunasinya.
Sikap Nabi ﷺ yang tidak mensholatkan mayit
seperti ini adalah bentuk peringatan kepada umat, agar mereka serius dalam
melunasi hutang sebelum wafat.
Bolehnya mentransfer tanggungan hutang si
mayit kepada orang lain, sehingga bebaslah mayit dari tanggungannya.
Keutamaan Abu Qotadah Rodhiyallahu ‘Anhu,
karena kesiapannya menanggung hutang sesama Muslim, yang menyebabkan Nabi ﷺ mau mensholatkan janazah
tersebut.
Dalam konteks masyarakat saat ini, hadits
ini menjadi pengingat bagi semua Muslim agar berusaha sekuat mungkin melunasi
hutang-hutangnya semasa hidup, atau minimal meninggalkan wasiat dan harta untuk
membayarnya.
---
[7] Baiat
Salamah bin Al-Akwa’ #1
[7] 2960 - حَدَّثَنَا المَكِّيُّ
بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبِي عُبَيْدٍ، عَنْ سَلَمَةَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: بَايَعْتُ النَّبِيَّ ﷺ، ثُمَّ عَدَلْتُ إِلَى ظِلِّ الشَّجَرَةِ،
فَلَمَّا خَفَّ النَّاسُ قَالَ: «يَا ابْنَ الأَكْوَعِ أَلاَ تُبَايِعُ؟» قَالَ:
قُلْتُ: قَدْ بَايَعْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: «وَأَيْضًا» فَبَايَعْتُهُ
الثَّانِيَةَ، فَقُلْتُ لَهُ: يَا أَبَا مُسْلِمٍ عَلَى أَيِّ شَيْءٍ كُنْتُمْ تُبَايِعُونَ
يَوْمَئِذٍ؟ قَالَ: عَلَى المَوْتِ
7.
Telah menceritakan kepada kami Makki bin Ibrohim, ia berkata: Telah
menceritakan kepada kami Yazid bin Abi Ubaid, dari Salamah Rodhiyallahu ‘Anhu,
ia berkata: Aku membai’at Nabi ﷺ, lalu aku menjauh ke
bawah naungan pohon. Ketika orang-orang mulai berkurang, beliau bersabda: “Wahai anak Al-Akwa’, tidakkah engkau
membai’at (lagi)?” Aku menjawab: “Sungguh
aku telah membai’at, wahai Rosulullah.” Beliau
bersabda: “Lagi.” Maka aku pun membai’atnya yang kedua kali.
Aku (Yazid) bertanya kepada Abu Muslim:
“Atas perkara apa kalian membai’at beliau waktu itu?” Ia menjawab: “Untuk siap mati (membela Rosulullah ﷺ).”
Makna Umum
Para Shohabat Rodhiyallahu ‘Anhum
membaiat Nabi ﷺ
pada tahun Hudaibiyah, yaitu tahun ke-6 Hijriah. Mereka yang membaiat di
Hudaibiyah dikenal dengan sebutan Ash-hābusy-Syajarah (para pemilik
baiat di bawah pohon). Allah Ta’ala telah memuji mereka, meridhoi mereka, dan
Nabi ﷺ
pun bersaksi bahwa mereka akan masuk Surga, dalam firman-Nya:
﴿لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ
عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ
فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا﴾
“Allah ridho kepada orang-orang
beriman ketika mereka membaitmu (hai Nabi) di bawah sebuah pohon. Allah tahu
apa yang di qolbu mereka lalu Allah menurunkan ketenangan atas mereka dan
memberi mereka kemenangan yang nyata.” (QS. Al-Fath: 18)
Dalam Hadits ini, Salamah bin Al-Akwa’ Rodhiyallahu
‘Anhu meriwayatkan bahwa ia ikut membaiat Nabi ﷺ dalam Bai’at Ar-Ridhwan di
Hudaibiyah di bawah pohon. Kemudian ia pergi ke bawah naungan pohon tersebut.
Baiat di sini adalah suatu bentuk perjanjian dan ikatan janji, dan dinamakan “baiat”
karena menyerupai transaksi jual beli, seolah-olah masing-masing pihak “menjual”
apa yang ada padanya kepada pihak lain; dari pihak Rosulullah ﷺ, terdapat janji pahala, dan dari
pihak para Shohabat Rodhiyallahu ‘Anhum, terdapat komitmen untuk taat.
Ketika orang-orang mulai pergi, Nabi ﷺ memanggilnya: “Wahai Ibnu
Al-Akwa’, tidakkah engkau membaiat?” Ia menjawab, “Sungguh aku telah membaiat,
wahai Rosulullah, sebelumnya.” Nabi ﷺ bersabda, “Dan (baiatlah) sekali
lagi.”
Artinya, baiatlah lagi untuk kedua
kalinya. Maka ia pun membaiat kembali. Nabi ﷺ menginginkan hal itu untuk
menegaskan baiat Salamah karena beliau mengetahui keberaniannya, perjuangannya
dalam Islam, dan ketenarannya dalam hal keteguhan. Oleh karena itu, Nabi ﷺ memerintahkannya untuk
mengulangi baiat agar ia memperoleh keutamaan tambahan.
Kemudian, seorang Tabi’in bernama Yazid
bin Abi ‘Ubaid bertanya kepada Salamah bin Al-Akwa’: “Wahai Abu Muslim”—dan itu
adalah kun-yah-nya—” atas hal apa kalian membaiat saat itu?” Salamah menjawab:
“Kami membaiat untuk siap mati.”
Maksudnya, mereka membaiat agar tidak lari
dari musuh meskipun harus mati.
Terdapat riwayat lain yang menyebutkan
bahwa para Shohabat Rodhiyallahu ‘Anhum membaiat Nabi ﷺ untuk bersabar, bukan
untuk mati. Dan dalam beberapa riwayat lain disebutkan bahwa mereka membaiat
beliau untuk tidak lari dari medan perang.
Lafazh “sabar” mencakup seluruh makna
lainnya. Sebab, baiat untuk mati pada hakikatnya bermakna baiat untuk tidak
melarikan diri; karena mereka tidak akan lari meskipun hal itu menuntut nyawa
mereka. Demikian pula baiat untuk tidak lari, itu tidak akan terjadi kecuali
dengan kesabaran. Maka makna “sabar” sudah mencakup semua makna lainnya, dan
menunjukkan bahwa mereka akan bersabar dalam menghadapi musuh, tidak akan
melarikan diri sampai mereka mati atau menang.
Dalam hadits ini terkandung pelajaran
tentang:
Keteguhan dan kesabaran dalam pertempuran.
Besarnya cinta para Shohabat Rodhiyallahu
‘Anhum kepada Rosulullah ﷺ.
---
[8] Pembelaan Salamah
bin Al-Akwa’
[8] 3041 - حَدَّثَنَا المَكِّيُّ
بْنُ إِبْرَاهِيمَ، أَخْبَرَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبِي عُبَيْدٍ، عَنْ سَلَمَةَ، أَنَّهُ
أَخْبَرَهُ قَالَ: خَرَجْتُ مِنَ المَدِينَةِ ذَاهِبًا نَحْوَ الغَابَةِ، حَتَّى إِذَا
كُنْتُ بِثَنِيَّةِ الغَابَةِ، لَقِيَنِي غُلاَمٌ لِعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ،
قُلْتُ: وَيْحَكَ مَا بِكَ؟ قَالَ: أُخِذَتْ لِقَاحُ النَّبِيِّ ﷺ، قُلْتُ: مَنْ أَخَذَهَا؟
قَالَ: غَطَفَانُ، وَفَزَارَةُ فَصَرَخْتُ ثَلاَثَ صَرَخَاتٍ أَسْمَعْتُ مَا بَيْنَ
لاَبَتَيْهَا: يَا صَبَاحَاهْ يَا صَبَاحَاهْ، ثُمَّ انْدَفَعْتُ حَتَّى أَلْقَاهُمْ،
وَقَدْ أَخَذُوهَا، فَجَعَلْتُ أَرْمِيهِمْ، وَأَقُولُ: أَنَا ابْنُ الأَكْوَعِ وَاليَوْمُ
يَوْمُ الرُّضَّعْ، فَاسْتَنْقَذْتُهَا مِنْهُمْ قَبْلَ أَنْ يَشْرَبُوا، فَأَقْبَلْتُ
بِهَا أَسُوقُهَا، فَلَقِيَنِي النَّبِيُّ ﷺ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ
القَوْمَ عِطَاشٌ، وَإِنِّي أَعْجَلْتُهُمْ أَنْ يَشْرَبُوا سِقْيَهُمْ، فَابْعَثْ
فِي إِثْرِهِمْ، فَقَالَ: «يَا ابْنَ الأَكْوَعِ: مَلَكْتَ، فَأَسْجِحْ إِنَّ القَوْمَ
يُقْرَوْنَ فِي قَوْمِهِمْ»
8.
Telah menceritakan kepada kami Makki bin Ibrohim, ia berkata: Telah
mengabarkan kepada kami Yazid bin Abi Ubaid, dari Salamah Rodhiyallahu ‘Anhu,
bahwa ia mengabarkan kepadanya: Aku
keluar dari Madinah menuju hutan (ghobah),
hingga ketika aku sampai di dataran
tinggi dari hutan, aku bertemu dengan seorang budak milik ‘Abdurrohman bin ‘Auf. Aku bertanya: “Hai, ada apa?” Ia menjawab: “Unta betina milik Nabi ﷺ telah diambil.” Aku bertanya: “Siapa yang mengambilnya?” Ia menjawab: “Kabilah Ghothofan dan Fazaroh.” Maka
aku berteriak tiga kali dengan suara keras yang terdengar sampai ke seluruh
penjuru: “Wahai pagi bencana! Wahai pagi bencana! (ungkapan ancaman).” Lalu aku menyerbu mereka dan mendapati
mereka telah mengambil unta itu. Maka aku pun memanah mereka seraya berkata: “Aku adalah anak Al-Akwa’, dan hari
ini adalah hari penyusuan!”
Akhirnya
aku berhasil mengambil kembali unta itu dari mereka sebelum mereka sempat
meminumnya. Aku pun membawanya
pulang, menggiringnya, hingga aku bertemu dengan Nabi ﷺ.
Aku berkata: “Wahai Rosulullah, kaum itu
kehausan, dan aku telah mendahului mereka hingga mereka tidak sempat
meminumnya. Maka kirimlah orang untuk mengejar mereka.”
Beliau
bersabda: “Wahai anak Al-Akwa’, engkau telah menang, maka bersikap lembutlah.
Sesungguhnya mereka adalah kaum yang sudah dijamu kaumnya.”
Makna Umum
Al-Ghobah adalah sebuah tempat di sekitar
Madinah, terletak di jalan menuju negeri Syam. Kata ghobah secara bahasa
bermakna: pepohonan yang lebat dan saling melilit. Saat itu Salamah bin Al-Akwa’
Rodhiyallahu ‘Anhu sedang berjalan menuju ghobah, lalu ia bertemu
dengan seorang budak laki-laki milik ‘Abdurrahman bin ‘Auf Rodhiyallahu ‘Anhu.
Maka ia pun berkata kepada budak itu, “Waihak!” — yaitu ungkapan belas kasihan
dan doa agar seseorang diselamatkan.
Lalu budak itu berkata, “Unta betina milik
Nabi ﷺ
telah dicuri!” Yang dimaksud liqoh adalah unta betina perah yang sedang
hamil atau menyusui. Salamah pun bertanya kepadanya, “Siapa yang mengambilnya?”
Budak itu menjawab, “Orang-orang dari kabilah Ghothofan dan Fazaroh.”
Maka Salamah pun berteriak dengan tiga
kali teriakan yang menggema hingga terdengar antara dua labah Madinah —
yaitu daerah berbatu hitam di sekitar kota, yang bermakna bahwa seluruh
penduduk Madinah mendengarnya karena kerasnya suara tersebut. Ia berteriak, “Yaa
shobahāh!” — sebuah seruan minta tolong di waktu pagi, yang maksudnya
adalah meminta pertolongan dari penduduk agar bersiap menghadapi serangan.
Kemudian ia pun segera mengejar para
pencuri sambil memanah mereka satu per satu, dan ia mengucapkan syair:
أنا ابنُ الأَكْوَعِ
واليَومُ يَومُ
الرُّضَّعِ
Artinya: “Aku adalah putra Al-Akwa’, dan
hari ini adalah harinya para perusak binasa!”
Kata rudhdho’ adalah bentuk jamak
dari rodhi’ (bayi yang menyusu). Namun, makna yang dimaksud di sini
adalah kiasan untuk menyebut orang-orang yang hina dan pengecut, seolah-olah
mereka tumbuh besar dengan menyusu kehinaan dan keburukan sejak kecil. Jadi,
maknanya: Hari ini adalah hari kebinasaan bagi para pengecut dan orang-orang
hina.
Akhirnya, Salamah berhasil mendapatkan
kembali unta Nabi ﷺ
sebelum mereka sempat meminum susunya, dan para pencuri itu pun lari tunggang
langgang. Maka ia pun membawa kembali unta tersebut kepada Nabi ﷺ, dan berkata: “Wahai Rosulullah,
mereka dalam keadaan sangat kehausan, dan aku telah membuat mereka lari sebelum
sempat meminum susu itu. Maka kirimlah seseorang untuk mengejar mereka!”
Yaitu maksudnya: mereka sedang haus, dan
aku telah menghalangi mereka dari minum, maka kirimlah pasukan untuk menghukum
mereka.
Namun Nabi ﷺ bersabda:
«مَلَكْتَ فأَسْجِحْ»
Artinya: “Engkau telah menguasai mereka,
maka bersikaplah lemah lembut.”
Yakni: Jangan keras terhadap mereka, tapi
maafkan dan berbuat baiklah kepada mereka. Lalu Nabi ﷺ bersabda lagi:
«إنَّ القومَ يُقْرَوْنَ
في قَومِهم»
Artinya: “Mereka telah tiba di
tengah-tengah kaum mereka, dan akan dijamu di sana.”
Yakni: Mereka sudah tiba di perkampungan
Ghothofan, dan tentu saja akan dijamu serta dilindungi oleh kaumnya. Maka tidak
ada manfaat untuk mengirim pasukan mengejar mereka, karena mereka telah
mendapatkan perlindungan dari kelompoknya.
---
[9] Luka
Salamah bin Al-Akwa’
[9] 4206 - حَدَّثَنَا المَكِّيُّ
بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبِي عُبَيْدٍ، قَالَ: رَأَيْتُ أَثَرَ
ضَرْبَةٍ فِي سَاقِ سَلَمَةَ، فَقُلْتُ يَا أَبَا مُسْلِمٍ، مَا هَذِهِ الضَّرْبَةُ؟
فَقَالَ: هَذِهِ ضَرْبَةٌ أَصَابَتْنِي يَوْمَ خَيْبَرَ، فَقَالَ النَّاسُ: أُصِيبَ
سَلَمَةُ، فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ «فَنَفَثَ فِيهِ ثَلاَثَ نَفَثَاتٍ، فَمَا اشْتَكَيْتُهَا
حَتَّى السَّاعَةِ»
9.
Telah menceritakan kepada kami Makki bin Ibrohim, ia berkata: Telah
menceritakan kepada kami Yazid bin Abi Ubaid, ia berkata: Aku melihat bekas tebasan pedang di betis Salamah Rodhiyallahu
‘Anhu. Maka aku bertanya: “Wahai
Abu Muslim, apakah bekas pukulan ini?”
Ia
menjawab: “Ini adalah tebasan yang aku alami pada hari Khoibar. Orang-orang mengatakan: ‘Salamah
terluka’. Maka aku mendatangi Nabi ﷺ, lalu beliau meniup luka itu sebanyak tiga
kali tiupan. Maka sejak itu aku tidak pernah mengeluhkannya sampai saat ini.”
Makna Umum
Allah-lah yang mengalirkan kebaikan dan
keberkahan melalui tangan Nabi-Nya ﷺ; maka Nabi ﷺ apabila mendoakan seseorang,
orang itu akan memperoleh seluruh kebaikan. Jika beliau ﷺ menyentuh orang sakit atau
meruqyahnya, maka ia pun sembuh dengan izin Allah. Dan jika beliau ﷺ mendoakan keberkahan pada harta
atau makanan, maka keberkahannya pun bertambah dan manfaatnya menjadi melimpah.
Dalam hadits ini, seorang Tabi’in bernama
Yazid bin Abi ‘Ubaid mengabarkan bahwa ia melihat bekas luka pada betis
Shohabat Salamah bin Al-Akwa’ Rodhiyallahu ‘Anhu. Maka ia pun berkata
kepadanya, “Wahai Abu Muslim — dan ini adalah kunyah Salamah Rodhiyallahu ‘Anhu
— apa bekas luka ini?” Maka Salamah Rodhiyallahu ‘Anhu menceritakan
bahwa luka ini ia dapatkan dalam Perang Khoibar. Lalu ia mendatangi Nabi ﷺ dan beliau pun meniup betisnya
sebanyak tiga kali tiupan (nafats). Nafats itu lebih kuat dari tiupan
biasa dan disertai ludahan ringan, bisa jadi disertai sedikit air liur atau
tanpa air liur.
Lalu betis Salamah Rodhiyallahu ‘Anhu
pun terkena berkah Nabi ﷺ hingga ia tidak pernah lagi mengeluhkan betisnya setelah ditiup
oleh Nabi ﷺ.
Adapun Khoibar adalah sebuah perkampungan
yang dahulu dihuni oleh kaum Yahudi. Ia memiliki banyak benteng dan ladang
pertanian, terletak sekitar 173 km dari Madinah ke arah Syam. Nabi ﷺ melakukan penyerangan
terhadapnya dan Allah menaklukkannya bagi kaum Muslimin pada tahun ketujuh
Hijriah.
Dalam hadits ini terdapat mukjizat yang
nyata dari Nabi ﷺ.
---
[10] Haromnya
Daging Keledai Peliharaan #1
[10] 5497 - حَدَّثَنَا
المَكِّيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ أَبِي عُبَيْدٍ،
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ، قَالَ: لَمَّا أَمْسَوْا يَوْمَ فَتَحُوا خَيْبَرَ،
أَوْقَدُوا النِّيرَانَ، قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «عَلاَمَ أَوْقَدْتُمْ هَذِهِ النِّيرَانَ؟»
قَالُوا: لُحُومِ الحُمُرِ الإِنْسِيَّةِ، قَالَ: «أَهْرِيقُوا مَا فِيهَا، وَاكْسِرُوا
قُدُورَهَا» فَقَامَ رَجُلٌ مِنَ القَوْمِ، فَقَالَ: نُهَرِيقُ مَا فِيهَا وَنَغْسِلُهَا،
فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «أَوْ ذَاكَ»
10. Telah menceritakan
kepada kami Al-Makki bin Ibrohim, ia berkata: Telah menceritakan
kepadaku Yazid bin Abi ‘Ubaid, dari Salamah bin Al-Akwa’ Rodhiyallahu ‘Anhu,
ia berkata: Ketika malam tiba pada hari mereka menaklukkan Khoibar, mereka menyalakan api. Nabi ﷺ bersabda: “Untuk apa
kalian menyalakan api ini?” Mereka menjawab: “Untuk memasak daging keledai peliharaan (jinak).” Beliau bersabda: “Tumpahkan isinya dan
pecahkan periuk-periuknya!” Seorang laki-laki dari kaum itu berdiri dan
berkata: “Apakah kami boleh menumpahkan isinya lalu mencucinya?” Nabi ﷺ bersabda: “Baiklah.”
Makna Umum
Hadits ini jika digabung dengan hadits
setelahnya maka menjadi jalinan kisah menarik berikut:
Kami keluar bersama Nabi ﷺ menuju Khoibar. Kami berjalan
pada malam hari. Lalu seseorang dari rombongan berkata kepada ‘Amir: “Wahai ‘Amir,
tidakkah engkau memperdengarkan kepada kami bait-bait puisimu yang biasa itu?”
Dan ‘Amir adalah seorang laki-laki penyair. Maka ia pun turun dan mulai
menggubah syair untuk mengiringi perjalanan kaum Muslimin:
اللَّهُمَّ لَوْلَا
أَنْتَ مَا اهْتَدَيْنَا
وَلَا تَصَدَّقْنَا
وَلَا صَلَّيْنَا
فَاغْفِرْ فِدَاءً
لَكَ مَا أَبْقَيْنَا
وَثَبِّتِ الْأَقْدَامَ
إِنْ لَاقَيْنَا
وَأَلْقِيَنْ سَكِينَةً
عَلَيْنَا
إِنَّا إِذَا صِيحَ
بِنَا أَبَيْنَا
وَبِالصِّيَاحِ
عَوَّلُوا عَلَيْنَا
“Ya Allah, kalau bukan karena
Engkau, kami tidak akan mendapat petunjuk,
dan tidak akan bersedekah dan tidak pula Sholat.
Maka ampunilah (dosa kami) sebagai bentuk
pengorbanan untuk-Mu selama Engkau membiarkan kami hidup.
Kokohkanlah langkah kaki kami bila kami
bertemu musuh.
Dan turunkanlah ketenangan kepada kami.
Sesungguhnya jika mereka berteriak
memanggil kami (untuk perang), kami tidak akan mundur.
Dan dengan teriakan itu mereka bersandar
kepada kami.”
Lalu Rosulullah ﷺ bersabda: “Siapa yang memimpin
iringan perjalanan ini (dengan syair)?” Mereka menjawab: “'Amir bin Al-Akwa’.”
Maka beliau ﷺ
bersabda: “Semoga Allah merohmatinya.” Maka salah seorang dari rombongan
berkata, “Sungguh (doa itu) sudah pasti dikabulkan, wahai Nabi Allah! Kenapa
engkau tidak membiarkan kami lebih lama bersamanya (karena itu artinya dia akan
wafat)?”
Kemudian kami pun tiba di Khoibar dan
mengepung mereka (kaum Yahudi) hingga kami merasakan lapar yang sangat. Lalu
Allah ‘Azza wa Jalla menaklukkan mereka bagi kami.
Tatkala malam tiba di hari pembebasan itu,
orang-orang menyalakan banyak api. Maka Nabi ﷺ bersabda: “Api apa ini? Untuk
apa kalian menyalakannya?” Mereka menjawab: “Untuk memasak daging.” Beliau
bertanya: “Daging apa?” Mereka menjawab: “Daging keledai peliharaan.” Maka Nabi
ﷺ
bersabda: “Tumpahkanlah (daging itu) dan pecahkanlah periuknya!”
Seseorang pun berkata: “Wahai Rosulullah,
bagaimana jika kami tumpahkan dagingnya dan kami cuci periuknya saja?” Beliau
menjawab: “Boleh juga seperti itu.”
Lalu ketika kaum Muslimin berhadapan
dengan musuh, pedang milik ‘Amir ternyata pendek. Maka ia pun mengayunkannya ke
arah betis salah seorang Yahudi untuk menebasnya. Namun ujung pedangnya
terpental dan kembali mengenai sendiri lutut ‘Amir hingga menusuk sendi
lututnya, lalu ia pun meninggal dunia karenanya.
Ketika pasukan kembali (ke Madinah),
Salamah (bin Al-Akwa’) berkata: “Rosulullah ﷺ melihatku sedang menggandeng
tanganku, lalu beliau bertanya: ‘Ada apa denganmu?’ Aku menjawab, ‘Ayah dan
ibuku sebagai tebusan bagimu, mereka (orang-orang) mengira bahwa ‘Amir amalnya
sia-sia!’” Maka Nabi ﷺ
bersabda: “Telah berdusta orang yang mengatakan demikian! Sesungguhnya untuknya
ada dua pahala.” — Beliau ﷺ mengisyaratkan dengan dua jarinya — “Sungguh dia adalah seorang
yang berjihad dan sungguh-sungguh berjihad. Jarang ada orang ‘Arab yang
berjalan di bumi seperti dia.” Dalam riwayat lain: “Dia tumbuh besar dengan
cara seperti itu.”
---
[11] Syair Amir
[11] 6891 - حَدَّثَنَا
المَكِّيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبِي عُبَيْدٍ، عَنْ
سَلَمَةَ، قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ ﷺ إِلَى خَيْبَرَ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنْهُمْ:
أَسْمِعْنَا يَا عَامِرُ مِنْ هُنَيْهَاتِكَ، فَحَدَا بِهِمْ، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ:
«مَنِ السَّائِقُ» قَالُوا: عَامِرٌ، فَقَالَ: «رَحِمَهُ اللَّهُ» فَقَالُوا:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَلَّا أَمْتَعْتَنَا بِهِ، فَأُصِيبَ صَبِيحَةَ لَيْلَتِهِ،
فَقَالَ القَوْمُ: حَبِطَ: عَمَلُهُ، قَتَلَ نَفْسَهُ، فَلَمَّا رَجَعْتُ وَهُمْ يَتَحَدَّثُونَ
أَنَّ عَامِرًا حَبِطَ عَمَلُهُ، فَجِئْتُ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ فَقُلْتُ: يَا نَبِيَّ
اللَّهِ، فَدَاكَ أَبِي وَأُمِّي، زَعَمُوا أَنَّ عَامِرًا حَبِطَ عَمَلُهُ، فَقَالَ:
«كَذَبَ مَنْ قَالَهَا، إِنَّ لَهُ لَأَجْرَيْنِ اثْنَيْنِ، إِنَّهُ لَجَاهِدٌ مُجَاهِدٌ،
وَأَيُّ قَتْلٍ يَزِيدُهُ عَلَيْهِ»
11.
Telah menceritakan kepada kami Al-Makki bin Ibrohim, telah menceritakan
kepada kami Yazid bin Abi ‘Ubaid, dari Salamah Rodhiyallahu ‘Anhu, ia
berkata: Kami keluar bersama Nabi ﷺ menuju Khoibar. Seorang laki-laki dari mereka berkata: “Wahai ‘Amir,
perdengarkanlah kepada kami syair-syairmu!” Lalu ia melantunkan syair untuk
mereka. Nabi ﷺ
bertanya: “Siapa yang melantunkan syair?” Mereka menjawab: “‘Amir.” Beliau
bersabda: “Semoga Allah merohmatinya.”
Mereka berkata: “Wahai Rosulullah, mengapa engkau tidak memanjangkan umurnya
untuk kami?” Ternyata ia terbunuh pada pagi harinya. Kaum Muslimin berkata: “Amalnya
sia-sia, ia bunuh diri.” Ketika aku kembali dan mereka sedang membicarakan
bahwa amal ‘Amir sia-sia, aku mendatangi Nabi ﷺ dan berkata: “Wahai
Nabi Allah, ayah dan ibuku sebagai tebusanmu, mereka mengira amal ‘Amir
sia-sia.” Beliau bersabda: “Dusta orang yang mengatakannya! Sesungguhnya ia
mendapat dua pahala -beliau menggabungkan dua jarinya- ia adalah seorang
mujahid yang berjihad sungguh-sungguh. Kematian macam apa lagi yang lebih utama
darinya?”
Makna Umum
Lihat kisah di atas.
---
Dari Jalur Abu ‘Ashim (6 Hadits)
[12] Puasa
Asyuro #2
[12] 1924 - حَدَّثَنَا
أَبُو عَاصِمٍ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي عُبَيْدٍ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ بَعَثَ رَجُلًا يُنَادِي فِي النَّاسِ يَوْمَ
عَاشُورَاءَ «إِنَّ مَنْ أَكَلَ فَلْيُتِمَّ أَوْ فَلْيَصُمْ، وَمَنْ لَمْ يَأْكُلْ
فَلاَ يَأْكُلْ»
12.
Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Ashim, dari Yazid bin Abi ‘Ubaid,
dari Salamah bin Al-Akwa’ Rodhiyallahu ‘Anhu: Bahwa Nabi ﷺ mengutus seorang
laki-laki untuk menyeru kepada orang-orang pada hari ‘Asyuro: “Siapa yang telah
makan hendaknya menyempurnakan (puasanya), atau berpuasa. Dan siapa yang belum
makan, janganlah makan.”
---
[13] Tidak
Mensholati Janazah Berhutang #2
[13] 2295 - حَدَّثَنَا
أَبُو عَاصِمٍ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي عُبَيْدٍ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ لِيُصَلِّيَ عَلَيْهَا،
فَقَالَ: «هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ؟»، قَالُوا: لاَ، فَصَلَّى عَلَيْهِ، ثُمَّ
أُتِيَ بِجَنَازَةٍ أُخْرَى، فَقَالَ: «هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ؟»، قَالُوا:
نَعَمْ، قَالَ: «صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ»، قَالَ: أَبُو قَتَادَةَ عَلَيَّ
دَيْنُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَصَلَّى عَلَيْهِ
13.
Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Ashim, dari Yazid bin Abi ‘Ubaid,
dari Salamah bin Al-Akwa’ Rodhiyallahu ‘Anhu: Bahwa Nabi ﷺ didatangkan janazah
untuk diSholatkan. Beliau bertanya: “Apakah ia memiliki hutang?” Mereka
menjawab: “Tidak.” Maka beliau mensholatkannya. Kemudian didatangkan janazah
lain, beliau bertanya: “Apakah ia memiliki hutang?” Mereka menjawab: “Ya.”
Beliau bersabda: “Sholatkanlah sahabat kalian!” Abu Qatadah berkata: “Aku yang
menanggung hutangnya, wahai Rosulullah.” Maka beliau mensholatkannya.
---
[14] Haromnya
Daging Keledai Peliharaan #2
[14] 2477 - حَدَّثَنَا
أَبُو عَاصِمٍ الضَّحَّاكُ بْنُ مَخْلَدٍ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي عُبَيْدٍ،
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ رَأَى نِيرَانًا
تُوقَدُ يَوْمَ خَيْبَرَ، قَالَ: «عَلَى مَا تُوقَدُ هَذِهِ النِّيرَانُ؟»،
قَالُوا عَلَى الحُمُرِ الإِنْسِيَّةِ، قَالَ: «اكْسِرُوهَا، وَأَهْرِقُوهَا»،
قَالُوا: أَلاَ نُهَرِيقُهَا، وَنَغْسِلُهَا، قَالَ: «اغْسِلُوا»، قَالَ أَبُو
عَبْدِ اللَّهِ: كَانَ ابْنُ أَبِي أُوَيْسٍ يَقُولُ: الحُمُرِ الأَنْسِيَّةِ بِنَصْبِ
الأَلِفِ وَالنُّونِ
14.
Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Ashim Adh-Dhahhak bin Makhlad,
dari Yazid bin Abi ‘Ubaid, dari Salamah bin Al-Akwa’ Rodhiyallahu ‘Anhu:
Bahwa Nabi ﷺ
melihat api dinyalakan pada hari Khoibar.
Beliau bertanya: “Untuk apa api ini dinyalakan?” Mereka menjawab: “Untuk
memasak keledai peliharaan/jinak (الإِنْسِيَّةِ).” Beliau bersabda: “Pecahkan
dan tumpahkan!” Mereka berkata: “Apakah tidak boleh kami menumpahkan lalu
mencucinya?” Beliau bersabda: “Cucilah.” Abu Abdillah (Al-Bukhori)
berkata: Ibnu Abi Uwais membacanya
dengan fathah (الأَنْسِيَّةِ).
---
[15] Ghozwah
Salamah bin Al-Akwa’
[15] 4272 - حَدَّثَنَا
أَبُو عَاصِمٍ الضَّحَّاكُ بْنُ مَخْلَدٍ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبِي عُبَيْدٍ،
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: «غَزَوْتُ مَعَ النَّبِيِّ
ﷺ سَبْعَ غَزَوَاتٍ، وَغَزَوْتُ مَعَ ابْنِ حَارِثَةَ اسْتَعْمَلَهُ عَلَيْنَا»
15.
Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Ashim Adh-Dhahhak bin Makhlad,
telah menceritakan kepada kami Yazid bin Abi ‘Ubaid, dari Salamah bin Al-Akwa’ Rodhiyallahu
‘Anhu, ia berkata: “Aku berperang bersama Nabi ﷺ sebanyak tujuh kali
peperangan, dan aku berperang bersama Ibnu Haritsah yang diangkat sebagai
pemimpin kami.”
Makna Umum
Ghozwah (غَزْوَة) adalah pasukan yang keluar
bersama Nabi ﷺ
secara langsung, sedangkan ba’ts (بَعث) adalah pasukan yang dikirim
oleh Nabi ﷺ
namun beliau tidak ikut keluar bersamanya.
Dalam hadits ini, Salamah bin Al-Akwa’ Rodhiyallahu
‘Anhu mengabarkan bahwa beliau telah ikut berperang bersama Nabi ﷺ dalam tujuh ghozwah.
Dikatakan bahwa ketujuh ghozwah tersebut adalah:
1.
Hudaibiyah,
2.
Khoibar,
3.
Hunain,
4.
Qord,
5.
Fath Makkah,
6.
Tho’if,
7.
Tabuk.
Ia pun pernah ikut dalam 9 ba’ts,
yaitu dari pasukan-pasukan yang diutus oleh Nabi ﷺ namun beliau tidak ikut serta di
dalamnya. Di antara ba’ts tersebut ada yang dipimpin oleh Abu Bakr
Ash-Shiddiq Rodhiyallahu ‘Anhu, seperti Sariyah Abu Bakr Ash-Shiddiq ke
Bani Fazaroh dan Sariyah beliau ke Bani Kilab, yang terjadi pada bulan Sya’ban
tahun ke-7 Hijriyah. Sariyah tersebut bergerak menuju wilayah Najd, yaitu
daerah yang di sekitarnya tinggal kabilah Bani Kilab atau Bani Fazaroh.
Dan ada juga yang dipimpin oleh Usamah bin
Zaid Rodhiyallahu ‘Anhuma, seperti Sariyah Usamah ke Ubna, yaitu salah
satu daerah di kawasan Al-Balqo’, yang kini termasuk wilayah Yordania. Sariyah
ini bertujuan untuk membalas serangan Romawi yang telah membunuh kaum Muslimin
dalam Perang Mu’tah pada bulan Shofar tahun 11 Hijriyah.
Faidah Hadits:
Keutamaan Shohabat Salamah bin Al-Akwa’ Rodhiyallahu
‘Anhu.
Dianjurkannya seorang Muslim menceritakan
amal sholih yang ia lakukan, selama tidak diniatkan untuk riya’ atau mencari
ketenaran, agar bisa dijadikan teladan bagi orang lain.
---
[16] Menyimpang
Daging Qurban Lebih dari 3 Hari
[16] 5569 - حَدَّثَنَا
أَبُو عَاصِمٍ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي عُبَيْدٍ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ،
قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «مَنْ ضَحَّى مِنْكُمْ فَلاَ يُصْبِحَنَّ بَعْدَ ثَالِثَةٍ
وَبَقِيَ فِي بَيْتِهِ مِنْهُ شَيْءٌ» فَلَمَّا كَانَ العَامُ المُقْبِلُ، قَالُوا:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، نَفْعَلُ كَمَا فَعَلْنَا عَامَ المَاضِي؟ قَالَ: «كُلُوا
وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا، فَإِنَّ ذَلِكَ العَامَ كَانَ بِالنَّاسِ جَهْدٌ، فَأَرَدْتُ
أَنْ تُعِينُوا فِيهَا»
16.
Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Ashim, dari Yazid bin Abi ‘Ubaid,
dari Salamah bin Al-Akwa’ Rodhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: Nabi ﷺ bersabda: “Siapa di
antara kalian yang berkurban, jangan sampai setelah hari ketiga masih tersisa
sesuatu di rumahnya.” Ketika tahun berikutnya tiba, mereka berkata: “Wahai Rosulullah,
apakah kami melakukan seperti tahun lalu?” Beliau bersabda: “Makanlah, beri
makanlah, dan simpanlah, karena tahun itu orang-orang sedang kesulitan, aku
ingin kalian membantu dalam hal itu.”
Makna Umum
Syari’at Islam benar-benar memperhatikan
realitas masyarakat dan kebutuhan mereka. Islam membangun masyarakat Muslim
yang saling terikat erat laksana satu tubuh, yang apabila salah satu dari
mereka tertimpa musibah, maka seluruh elemen masyarakat akan bergotong royong
untuk meringankannya.
Dalam hadits ini, Salamah bin Al-Akwa’ Rodhiyallahu
‘Anhu mengabarkan bahwa Nabi ﷺ pernah memerintahkan kaum
Muslimin pada salah satu tahun di Hari ‘Idul Adh-ha, agar siapa pun yang
berkurban, tidak menyimpan daging qurban lebih dari tiga hari. Tujuannya adalah
untuk mendorong mereka agar bersedekah dengan kelebihan daging yang tidak
mereka butuhkan, dan memberikannya kepada orang-orang yang membutuhkan, karena
pada waktu itu kondisi ekonomi sedang sulit.
Awal dari tiga hari tersebut adalah hari
Nahr (10 Dzulhijjah). Maka, siapa yang berkurban pada hari Nahr, maka masa tiga
harinya adalah hari Nahr dan dua hari setelahnya. Sedangkan siapa yang
berkurban setelah hari Nahr, maka masa tiga hari dihitung dari hari ia
berkurban. Ada pula yang berpendapat bahwa awal tiga hari itu adalah hari
ketika seseorang menyembelih qurbannya. Maka, jika seseorang menyembelih pada
hari terakhir hari-hari Nahr (13 Dzulhijjah), ia boleh menyimpan daging
qurbannya selama tiga hari setelah itu.
Lalu ketika datang tahun berikutnya, para
Shohabat bertanya kepada Rosulullah ﷺ: “Apakah kami tetap melaksanakan
sebagaimana tahun lalu, yakni tidak menyimpan daging qurban lebih dari tiga
hari?” Maka beliau ﷺ
menjawab:
«كُلُوا وَأَطْعِمُوا
وَادَّخِرُوا»
“Makanlah, berikanlah kepada
orang lain, dan simpanlah.”
Artinya: Siapa ingin menyimpan maka
silakan simpan, dan siapa yang ingin makan dan memberi makan kepada orang lain
maka lakukanlah.
Beliau ﷺ kemudian menjelaskan sebab
larangan menyimpan daging qurban di tahun sebelumnya: Karena saat itu kaum
Muslimin sedang dalam kesulitan, kelelahan, dan kondisi ekonomi yang sempit,
maka Nabi ﷺ
ingin agar orang-orang yang berkurban membantu kaum fakir miskin di masa sulit
itu.
Namun ketika sebab kebutuhan dan kefakiran
telah hilang, maka Nabi ﷺ memperbolehkan mereka memakan daging qurban kapan pun mereka
mau dan menyimpannya.
Faidah Hadits:
Islam sangat menjaga nilai solidaritas
sosial, dengan memerintahkan orang kaya untuk membantu saudaranya yang
membutuhkan. Jika hal ini diterapkan, maka akan terwujud kedamaian sosial.
Hadits ini menunjukkan luasnya syari’at
Islam dan kemudahan yang diberikannya, serta bagaimana syari’at memperhatikan
kondisi manusia dan memberikan keringanan kepada mereka.
Hadits ini juga menunjukkan bahwa terjadi nasakh
(penghapusan hukum) dalam As-Sunnah.
---
[17] Baiat
Salamah bin Al-Akwa’ #2
[17] 7208 - حَدَّثَنَا
أَبُو عَاصِمٍ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي عُبَيْدٍ، عَنْ سَلَمَةَ، قَالَ: بَايَعْنَا
النَّبِيَّ ﷺ تَحْتَ الشَّجَرَةِ، فَقَالَ لِي: «يَا سَلَمَةُ أَلاَ تُبَايِعُ؟»،
قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَدْ بَايَعْتُ فِي الأَوَّلِ، قَالَ: «وَفِي الثَّانِي»
17.
Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Ashim, dari Yazid bin Abi ‘Ubaid,
dari Salamah Rodhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: Kami membaiat Nabi ﷺ di bawah pohon.
Beliau berkata kepadaku: “Wahai Salamah, tidakkah engkau berbaiat?” Aku
menjawab: “Wahai Rosulullah, aku telah berbaiat pertama kali.” Beliau bersabda:
“Dan (baiat) yang kedua.”
---
Dari Jalur Al-Anshori (3 Hadits)
[18] Qishosh
Pada Gigi #1
[18] 2703 - حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الأَنْصَارِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنِي حُمَيْدٌ، أَنَّ
أَنَسًا، حَدَّثَهُمْ: أَنَّ الرُّبَيِّعَ وَهِيَ ابْنَةُ النَّضْرِ كَسَرَتْ ثَنِيَّةَ
جَارِيَةٍ، فَطَلَبُوا الأَرْشَ، وَطَلَبُوا العَفْوَ، فَأَبَوْا، فَأَتَوُا النَّبِيَّ
ﷺ، فَأَمَرَهُمْ بِالقِصَاصِ، فَقَالَ أَنَسُ بْنُ النَّضْرِ: أَتُكْسَرُ ثَنِيَّةُ
الرُّبَيِّعِ يَا رَسُولَ اللَّهِ، لاَ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالحَقِّ، لاَ تُكْسَرُ
ثَنِيَّتُهَا، فَقَالَ: «يَا أَنَسُ كِتَابُ اللَّهِ القِصَاصُ»، فَرَضِيَ القَوْمُ
وَعَفَوْا، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ مَنْ لَوْ أَقْسَمَ
عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ» زَادَ الفَزَارِيُّ، عَنْ حُمَيْدٍ، عَنْ أَنَسٍ: فَرَضِيَ
القَوْمُ وَقَبِلُوا الأَرْشَ
18.
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah Al-Anshori, ia
berkata: Telah menceritakan kepadaku Humaid, bahwa Anas Rodhiyallahu ‘Anhu
menceritakan kepada mereka: Bahwa Ar-Rubayyi’ -anak perempuan An-Nadhr-
mematahkan gigi seorang budak perempuan. Mereka menuntut ganti rugi dan meminta
maaf, namun keluarga budak itu menolak. Mereka mendatangi Nabi ﷺ, lalu beliau
memerintahkan qishosh. Anas bin An-Nadhr berkata: “Apakah gigi
Ar-Rubayyi’ harus dipatahkan, wahai Rosulullah? Tidak, demi Yang mengutusmu
dengan kebenaran, giginya tidak boleh dipatahkan!” Beliau bersabda: “Wahai
Anas, ketentuan Allah adalah qishosh.” Akhirnya mereka rela dan
memaafkan. Nabi ﷺ
bersabda: “Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah ada yang jika ia bersumpah
atas nama Allah, niscaya Allah akan mengabulkannya.” Al-Fazari menambahkan dari
Humaid, dari Anas: “Maka mereka rela dan menerima ganti rugi.”
Makna Umum
Syari’at telah menetapkan hukuman-hukuman
yang wajib dalam perkara luka fisik, dan memberikan kepada pemilik hak pilihan
antara menuntut qishosh (pembalasan yang setimpal) sebagaimana luka atau
gangguan yang ia alami, atau memaafkan dan mengampuni orang yang telah
menyakitinya.
Dalam Hadits ini, Anas bin Malik Rodhiyallahu
‘Anhu meriwayatkan bahwa Ar-Rubayyi’ bintu An-Nadhr telah mematahkan “tsaniyyah”
seorang gadis – dan yang dimaksud tsaniyyah adalah gigi bagian depan.
Maka, kaum dari Ar-Rubayyi’ meminta kepada kaum si gadis agar mereka menerima
pembayaran arsy (diyat pengganti), yaitu kompensasi yang biasa diambil
oleh pembeli dari penjual ketika menemukan cacat pada barang dagangan. Dalam
konteks jinayat (pelanggaran fisik), arsy adalah kompensasi atas
kerusakan yang terjadi. Mereka juga meminta agar Ar-Rubayyi’ dimaafkan. Namun,
kaum gadis itu enggan dan tidak mau menerima arsy serta tidak mau memaafkan.
Lalu mereka datang kepada Rosulullah ﷺ dan saling berselisih di hadapan
beliau. Maka beliau ﷺ
memerintahkan agar dilakukan qishosh, yaitu prinsip menghukum secara setimpal.
Saudara Ar-Rubayyi’, yaitu Anas bin An-Nadhr Rodhiyallahu ‘Anhu pun
berkata, “Apakah akan dipatahkan gigi depan Ar-Rubayyi’, wahai Rosulullah?!
Tidak, demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, tidak akan dipatahkan gigi
depannya!”
Lalu Rosulullah ﷺ bersabda, “Wahai Anas,
Kitabullah menetapkan qishosh,” yaitu agar dipatahkan gigi dengan pembalasan
yang sepadan yang memungkinkan untuk dilakukan kesetaraan dalam hukuman. Ini
bukan bentuk penentangan terhadap hukum syari’at, melainkan semacam bentuk
permohonan syafaat dari Rosulullah ﷺ kepada mereka, atau karena Anas
belum mengetahui bahwa Kitabullah menetapkan qishosh secara pasti dan mengira
bahwa dalam kasus seperti ini terdapat pilihan antara qishosh atau menerima
diyat.
Akhirnya, kaum gadis itu menerima dan
memaafkan Ar-Rubayyi’, sehingga mereka tidak menuntut qishosh dan
menerima arsy sebagai gantinya. Maka Rosulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya di
antara hamba-hamba Allah ada yang jika ia bersumpah – maksudnya: bersumpah
dengan penuh pengharapan terhadap kemuliaan Allah Ta’ālā – maka Allah
pasti akan mengabulkan sumpahnya,” yakni Allah akan membenarkannya dan
mewujudkan harapannya karena Allah mengetahui kejujuran dan keikhlasannya,
serta menjadikannya dari golongan orang-orang yang ikhlas dan para wali Allah
yang taat.
Al-birr (pengabulan) dalam sumpah ini adalah lawan dari al-hinth
(pelanggaran sumpah).
Faidah Hadits:
Disyariatkannya pemaafan dalam perkara qishosh
dan boleh menerima kompensasi (arsy) yang sah menurut syari’at.
Keutamaan dan keistimewaan Anas bin
An-Nadhr Rodhiyallahu ‘Anhu.
---
[19] Qishosh Pada
Gigi #2
[19] 4499 - حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الأَنْصَارِيُّ، حَدَّثَنَا حُمَيْدٌ، أَنَّ
أَنَسًا، حَدَّثَهُمْ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ، قَالَ: «كِتَابُ اللَّهِ القِصَاصُ»
19.
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah Al-Anshori, telah
menceritakan kepada kami Humaid, bahwa Anas Rodhiyallahu ‘Anhu
menceritakan kepada mereka dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: “Ketentuan Allah adalah qishosh.”
---
[20] Qishosh
Pada Gigi #3
[20]
6894 - حَدَّثَنَا الأَنْصَارِيُّ، حَدَّثَنَا حُمَيْدٌ، عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ «أَنَّ ابْنَةَ النَّضْرِ لَطَمَتْ جَارِيَةً فَكَسَرَتْ ثَنِيَّتَهَا،
فَأَتَوُا النَّبِيَّ ﷺ فَأَمَرَ بِالقِصَاصِ»
20.
Telah menceritakan kepada kami Al-Anshori, telah menceritakan kepada
kami Humaid, dari Anas Rodhiyallahu ‘Anhu: “Putri An-Nadhr menampar budak perempuan
hingga mematahkan giginya. Mereka mendatangi Nabi ﷺ lalu beliau
memerintahkan qishosh.”
Dari Jalur Khollad bin
Yahya (1 Hadits)
[21] Pernikahan
Zainab binti Jahsy
[21] 7421 - حَدَّثَنَا
خَلَّادُ بْنُ يَحْيَى، حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ طَهْمَانَ، قَالَ: سَمِعْتُ
أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: نَزَلَتْ آيَةُ الحِجَابِ فِي
زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ، وَأَطْعَمَ عَلَيْهَا يَوْمَئِذٍ خُبْزًا وَلَحْمًا، وَكَانَتْ
تَفْخَرُ عَلَى نِسَاءِ النَّبِيِّ ﷺ، وَكَانَتْ تَقُولُ: إِنَّ اللَّهَ أَنْكَحَنِي
فِي السَّمَاءِ
21.
Telah menceritakan kepada kami Khollad bin Yahya, telah menceritakan kepada kami Isa bin Thohman, ia berkata: Aku mendengar
Anas bin Malik Rodhiyallahu ‘Anhu berkata: “Ayat hijab turun berkenaan
dengan Zainab binti Jahsy, dan Nabi ﷺ mengadakan walimah pada hari itu dengan
menyajikan roti dan daging. Zainab sering membanggakan dirinya di atas
istri-istri Nabi ﷺ
lainnya, dan ia berkata: ‘Sesungguhnya Allah telah menikahkan aku di langit.’”
Makna Umum
Pernikahan Nabi ﷺ dengan Zainab binti Jahsy Rodhiyallahu
‘Anha adalah atas perintah langsung dari Allah Ta’ālā. Dalam
peristiwa pernikahan ini terdapat berbagai sunnah dan adab yang diriwayatkan
oleh para Shohabat mulia agar kita bisa mengambil pelajaran darinya.
Dalam hadits ini, Anas bin Malik Rodhiyallahu
‘Anhu—khodim Nabi ﷺ—meriwayatkan
bahwa turunnya perintah tentang hijab (penutup) berkaitan dengan kisah
pernikahan Zainab Rodhiyallahu ‘Anha. Allah Ta’ālā berfirman (QS.
Al-Ahzab: 53):
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلَّا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَعَامٍ
غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ
فَانْتَشِرُوا وَلَا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ
فَيَسْتَحْيِي مِنْكُمْ وَاللَّهُ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ ۚ وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ
مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ۚ ذَٰلِكُمْ أَطْهَرُ
لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ﴾
Maknanya: Jangan ada seorang pun yang
masuk ke rumah-rumah Nabi ﷺ kecuali setelah mendapatkan izin terlebih dahulu darinya.
Jangan pula menunggu-nunggu makanan jika sedang dimasak, lalu ketika hampir
matang, kalian masuk tanpa izin lebih dahulu. Setelah makan, hendaklah kalian
berpencar dan keluar dari rumahnya, dan jangan menunggu-nunggu untuk
berbincang-bincang. Hal itu menyempitkan ruang bagi Nabi dan keluarganya. Nabi ﷺ malu untuk menyuruh kalian
keluar, tetapi Allah tidak malu menyampaikan kebenaran, dan Dia menjelaskan
adab-adab dalam agama kalian.
Firman-Nya: “فَاسْأَلُوهُنَّ
مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ”
artinya: Mintalah sesuatu kepada mereka (istri Nabi ﷺ) dari balik hijab, yakni dari
balik tirai yang memisahkan antara kalian dengan mereka. Jangan pula kalian
masuk ke rumah-rumah mereka.
Adapun kisah Zainab Rodhiyallahu ‘Anha
disebut dalam firman Allah Ta’ālā:
﴿وَإِذْ تَقُولُ
لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ
وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ
وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ ۖ فَلَمَّا قَضَىٰ زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَرًا
زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ
إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا ۚ وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا • مَّا كَانَ عَلَى
النَّبِيِّ مِنْ حَرَجٍ فِيمَا فَرَضَ اللَّهُ لَهُ ۚ سُنَّةَ اللَّهِ
فِي الَّذِينَ خَلَوْا مِن قَبْلُ ۚ وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ قَدَرًا مَّقْدُورًا﴾
“Dan (ingatlah) ketika engkau (wahai Nabi ﷺ) berkata kepada orang yang telah
Allah beri nikmat dan engkau pun telah berbuat baik kepadanya, “Pertahankanlah
istrimu dan bertaqwalah kepada Allah,” sedangkan engkau menyembunyikan dalam
hatimu sesuatu yang akan Allah nyatakan, dan engkau takut kepada manusia;
padahal Allah-lah yang lebih berhak untuk engkau takuti. Maka tatkala Zaid
telah selesai dari (hubungan dengan) istrinya, Kami nikahkan engkau dengannya
agar tidak menjadi kesempitan bagi orang-orang beriman untuk menikahi
istri-istri anak angkat mereka apabila mereka telah selesai dari (hubungan pernikahan
dengan) mereka. Dan ketentuan Allah pasti terlaksana.
Tidak ada kesempitan bagi Nabi dalam
(melaksanakan) apa yang telah Allah tetapkan untuknya (dalam perkara menikahi
mantan istri dari anak angkatnya). Demikianlah sunnah (ketetapan) Allah
terhadap orang-orang yang telah berlalu sebelumnya. Dan perintah Allah itu
adalah takdir yang sudah ditentukan.” (QS. Al-Ahzab: 37–38)
Disebutkan dalam riwayat Shohih Muslim
bahwa ketika ayat-ayat ini turun, dan Zaid bin Haritsah telah menceraikannya
serta masa ‘iddah-nya telah selesai, maka Nabi ﷺ datang kepadanya dan langsung
masuk ke rumahnya tanpa meminta izin, karena dia telah menjadi istrinya dengan
pernikahan yang ditetapkan oleh Allah.
Nabi ﷺ menjamu tamu dalam walimahnya
pada hari itu dengan menyuguhkan roti dan daging. Dalam berbagai
riwayat—seperti dalam Shohih Al-Bukhori dan Shohih Muslim—disebutkan
bahwa beliau ﷺ
mengundang para Shohabat untuk makan. Mereka makan, namun sebagian orang masih
tetap duduk di rumah Nabi ﷺ setelah selesai makan dan tidak segera keluar. Hal itu membuat
Nabi ﷺ
merasa tidak enak. Maka beliau keluar dan berkeliling mengunjungi
istri-istrinya, lalu kembali lagi, namun para tamu masih ada. Maka beliau tidak
masuk. Setelah mereka keluar, Anas mengabarkan kepada Nabi ﷺ bahwa mereka telah pergi. Lalu
Nabi ﷺ
masuk, dan beliau pun menurunkan hijab (tirai) yang menjadi pembatas antara
beliau dan istrinya, serta mencegah Anas untuk ikut masuk. Maka turunlah ayat
tentang hijab dan perintah meminta izin sebelum masuk ke rumah-rumah Nabi ﷺ.
Zainab Rodhiyallahu ‘Anha pun
membanggakan hal ini di antara para istri Nabi ﷺ dan menyebutkan keutamaannya. Ia
biasa berkata: “Sesungguhnya Allah menikahkanku di langit,” yakni, Allah
Sendiri yang menikahkanku dengan Nabi ﷺ. Dalam riwayat lain dari Shohih
Al-Bukhori, ia berkata: “(Menikahkanku) dari atas tujuh langit.”
Hal itu sebagaimana yang disebutkan dalam
ayat-ayat yang turun tentangnya.
Dalam hadits ini terdapat keutamaan (manqibah)
bagi Zainab binti Jahsy Rodhiyallahu ‘Anha.
Dan juga terdapat penjelasan tentang
adanya kebanggaan dan persaingan di antara para istri (dan madunya),
sebagaimana biasanya terjadi.
---
Dari Jalur ‘Ishom
bin Kholid (1 Hadits)
[22] Uban di
Jenggot Nabi ﷺ
[22] 3546 - حَدَّثَنَا
عِصَامُ بْنُ خَالِدٍ، حَدَّثَنَا حَرِيزُ بْنُ عُثْمَانَ، أَنَّهُ سَأَلَ عَبْدَ
اللَّهِ بْنَ بُسْرٍ صَاحِبَ النَّبِيِّ ﷺ، قَالَ: أَرَأَيْتَ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ شَيْخًا؟
قَالَ: «كَانَ فِي عَنْفَقَتِهِ شَعَرَاتٌ بِيضٌ»
22.
Telah menceritakan kepada kami ‘Ishom bin Kholid,
telah menceritakan kepada kami Hariz bin Utsman, bahwa ia pernah bertanya
kepada Abdullah bin Busr—sahabat Nabi ﷺ—: “Apakah
engkau melihat Nabi ﷺ
sudah beruban?” Ia menjawab: “Di jenggot beliau terdapat beberapa helai uban.”
Makna Umum
Para Shohabat yang mulia Rodhiyallahu ‘Anhum
sangat mencintai Nabi ﷺ
dengan kecintaan yang luar biasa, hingga mereka menceritakan dan menyampaikan
kepada generasi setelah mereka tentang sifat-sifat Nabi ﷺ, baik sifat jasmani maupun
maknawi beliau.
Dalam hadits ini, seorang Tabi'in bernama
Hariz bin ‘Utsman mengabarkan bahwa ia pernah bertanya kepada seorang Shohabat,
yaitu ‘Abdullah bin Busr Rodhiyallahu ‘Anhu. Ia berkata kepadanya, “Apakah
engkau pernah melihat Nabi ﷺ, apakah beliau sudah tua?”, maksudnya: apakah beliau sudah
ditumbuhi uban seperti yang biasa dialami orang yang telah lanjut usia dan
memasuki masa tua.
Maka ‘Abdullah bin Busr Rodhiyallahu ‘Anhu
menjawab, “Di ‘anfaqah-nya terdapat beberapa helai rambut putih,”
maksudnya: tidaklah beliau ﷺ beruban kecuali hanya beberapa helai rambut saja. Adapun ‘anfaqah
adalah rambut jenggot yang tumbuh di bagian bawah bibir bawah.
---
Referensi
Rujukan utama dalam menyusun ini adalah Shohih
Bukhori dan Mausuah Haditsiyah dari Lembaga Duror Tsaniyah.
aad
BalasHapussda
BalasHapus💯
BalasHapus