Ringkasan Hukum Qurban Menurut 4 Madzhab Fikih: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali

 الحمد لله رب العالمين، وصلى الله تعالى على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين.

Segala puji bagi Allah, Robb semesta alam. Sholawat semoga terlimpah kepada Nabi kita Muhammad , juga kepada keluarga dan para Shohabat beliau seluruhnya.

1) Definisi Udh-hiyyah (Hewan Qurban)

Secara bahasa, udh-hiyyah (أضحية) adalah nama bagi sesuatu yang disembelih, dan namanya diambil dari kata adh-dhuā (waktu dhuha), yaitu saat matahari mulai meninggi, karena sembelihan biasa dilakukan pada waktu tersebut.

Secara istilah dalam fiqih, udh-hiyyah adalah nama bagi hewan tertentu (unta, sapi, kambing/domba) dengan usia tertentu, yang disembelih dengan niat mendekatkan diri (kepada Allah) pada hari tertentu (yaitu pada hari-hari Idul Adha), dengan memenuhi syarat-syarat dan sebab-sebabnya.

Pensyari’atan Udh-hiyyah

Ibadah Udh-hiyyah disyariatkan pada tahun kedua Hijriah, sebagaimana Zakat dan Sholat dua hari raya. Pensyariatannya telah ditetapkan oleh:

Al-Kitab (Al-Qur’an): firman Allah Ta’ala:

وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُم مِّن شَعَائِرِ اللَّهِ

“Dan unta-unta itu Kami jadikan untuk kalian sebagai bagian dari syiar-syiar Allah.” (QS. Al-ajj: 36)

As-Sunnah: sabda Rosulullah :

ما عمل ابن آدم يوم النحر عملاً أحب إلى الله تعالى من إراقة الدم ، إنها لتأتي يوم القيامة بقرونها وأظلافها وأشعارها ، وإن الدم ليقع من الله عز وجل بمكان قبل أن يقع على الأرض ، فطيبوا بها نفساً

“Tidak ada amal anak Adam pada hari Nahr (Idul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah daripada menumpahkan darah (sembelihan). Sesungguhnya ia akan datang pada Hari Kiamat dengan tanduk-tanduknya, kukunya, dan bulu-bulunya. Dan sesungguhnya darah itu akan sampai kepada Allah sebelum menetes ke bumi. Maka relakanlah ibadah itu dengan hati yang lapang.” (HR. Al-akim, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi. Ia berkata: “Hadits ini hasan ghorib.”)

Kaum Muslimin telah berijma’ (sepakat) atas disyariatkannya Udh-hiyyah.

2) Hukum Udh-hiyyah

Para fuqoha berbeda pendapat tentang hukum Udh-hiyyah: apakah ia wajib atau sunnah muakkadah. Ada dua pendapat utama:

Pendapat pertama: Udh-hiyyah adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan), dan makruh meninggalkannya bagi yang mampu.

Ini adalah pendapat jumhur fuqoha (mayoritas Ulama). Di antara dalil mereka:

Diriwayatkan bahwa Abu Bakar dan Umar Rodhiyallahu ‘Anhuma pernah tidak berudh-hiyyah selama satu atau dua tahun, karena khawatir dianggap wajib oleh umat.

Pendapat kedua: Udh-hiyyah adalah wajib satu kali setiap tahun.

Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, salah satu riwayat dari Imam Malik, dan Ulama lainnya. Dalil mereka:

Firman Allah Ta’ala:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Maka Sholatlah untuk Robb-mu dan sembelihlah (hewan qurban).” (QS. Al-Kautsar: 2)

Ia diartikan sebagai: “Lakukan Sholat Id dan sembelihlah unta.” Perintah dalam ayat ini menunjukkan kewajiban.

Sabda Nabi :

من وجد سَعة ، فلم يضح ، فلا يقربن مصلانا

“Siapa memiliki kelapangan rezeki namun tidak berudh-hiyyah, maka janganlah ia mendekati tempat Sholat kami.” (HR. Ibnu Majah; dishohihkan oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi)

Mereka mengatakan: ancaman seperti ini tidak mungkin ditujukan kepada amalan yang tidak wajib.

3) Syarat Utama Udh-hiyyah

Syarat paling penting agar Udh-hiyyah menjadi wajib adalah kecukupan harta (ghina'), yaitu orang yang mampu secara finansial.

Dalilnya adalah hadits:

من وجد سَعة ، فلم يضح ، فلا يقربن مصلانا

“Siapa memiliki kelapangan (سَعَة) namun tidak berudh-hiyyah, maka janganlah ia mendekati tempat Sholat kami.”

Makna sā‘ah adalah kaya, dan rincian Ulama mazhab berbeda:

Hanafiyah: Orang dikatakan kaya jika memiliki 200 dirham atau 20 dinar (nishob Zakat), atau harta senilai itu di luar dari biaya rumah, kebutuhan pokok, dan utangnya.

Malikiyah: Orang dianggap mampu jika tidak membutuhkan uang untuk kebutuhan pokoknya. Bahkan jika perlu berutang, maka disunnahkan untuk berutang.

Syafi’iyah: Seseorang dianggap mampu bila memiliki harga hewan qurban melebihi kebutuhan dirinya dan tanggungannya pada hari Idul Adha dan hari-hari tasyrik.

Hanabilah: Mampu adalah orang yang bisa membeli hewan qurban, meskipun harus berutang, asalkan bisa melunasinya.

4) Syarat Udh-hiyyah pada Hewan itu Sendiri

Harus berasal dari hewan ternak: unta, sapi (termasuk kerbau), kambing/domba (baik jantan maupun betina).

Usia minimal hewan qurban:

1.   Kambing/domba: genap 1 tahun (masuk tahun ke-2). Hanafiyah dan Hanabilah memperbolehkan usia 6 bulan, jika sudah gemuk dan cukup.

2.   Sapi: minimal 2 tahun.

3.   Unta: minimal 5 tahun.

Bebas dari cacat besar (yang mengurangi dagingnya atau sangat tampak), di antaranya:

1.   Buta total atau jelas butanya.

2.   Terpotong lidah atau sebagian besar lidahnya hilang.

3.   Terpotong kedua telinga atau sebagian besar salah satunya.

4.   Pincang berat, yaitu tidak mampu berjalan dengan salah satu kaki.

5.   Terpotong tangan/kaki, atau lahir tanpa salah satunya.

6.   Terpotong puting susu atau kering total.

7.   Terpotong ekor atau lahir tanpa ekor, atau sebagian besar ekornya hilang.

8.   Terpotong pantat (ekor besar) atau sebagian besar hilang.

9.   Sangat kurus, tidak ada sumsum tulang.

10.          Hewan yang hanya makan najis (jallalah), seperti kotoran manusia/hewan.

Ulama sepakat cacat salah satu dari 4 ini menjadikan tidak sah qurbannya: buta, sakit, pincang, kurus. Sebabnya karena berbahaya dimakan atau kurang dagingnya. Adapun cacat lainnya, ulama khilaf pendapat. Kebanyakan mereka berpendapat sah tetapi antara harom atau makruh.

5) Waktu Penyembelihan Udh-hiyyah

Para Ulama berbeda pendapat mengenai awal dan akhir waktu penyembelihan, namun mereka sepakat bahwa waktu paling utama adalah hari pertama (10 Dzulhijjah) setelah matahari tergelincir (zawal), karena itu yang sesuai Sunnah.

Dan mereka juga sepakat bahwa: Penyembelihan sebelum Sholat Id atau malam hari raya tidak sah, berdasarkan hadits Al-Baro’ bin ‘Azib Rodhiyallahu ‘Anhu, dari Nabi :

إن أول مانبدأ به يومنا هذا : أن نصلي، ثم نرجع ، فننحر ، فمن فعل ذلك ، فقد أصاب سنتنا ، ومن ذبح قبل ذلك ، فإنما هو لحم قدمه لأهله ، ليس من النُسُك في شيء

“Yang pertama kali kita lakukan hari ini adalah Sholat (Id), lalu kita kembali dan menyembelih. Siapa yang melakukannya sesuai urutan ini, maka ia telah mengikuti Sunnah kami. Dan siapa yang menyembelih sebelum itu, maka ia hanyalah menyajikan daging untuk keluarganya, dan tidak tergolong ibadah Udh-hiyyah sedikit pun.” (HR. Al-Bukhori dan Muslim)

Permulaan waktu penyembelihan:

Hanafiyah: Masuk sejak terbit fajar pada hari Nahr (10 Dzulhijjah), tapi disyaratkan penyembelihan dilakukan setelah Sholat Id, meski sebelum khutbah. Yang paling utama setelah khutbah. Jika Sholat Id tidak dilaksanakan (seperti saat pandemi), maka tunggu sampai waktu Sholat Id berlalu (matahari tergelincir), lalu sembelih.

Malikiyah: Tidak sah menyembelih sebelum Sholat Id dan sebelum imam menyembelih.

Syafi’iyah dan salah satu riwayat Hanabilah: Masuk setelah matahari naik setinggi dua rakoat ringan dan dua khutbah ringan, cukup memenuhi syarat minimal Sholat dan khutbah.

Akhir waktu penyembelihan:

Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah: Penyembelihan sah selama tiga hari: hari Idul Adha dan dua hari tasyrik (11–12 Dzulhijjah). Berakhir saat matahari terbenam di hari ke-12 Dzulhijjah.

Hanafiyah: makruh melakukan sembelihan di malam hari.

Malikiyah: wajib siang hari; kalau menyembelih malam hari, tidak sah dan harus ulang.

Hanabilah: boleh malam dan siang.

Syafi’iyah: Waktu penyembelihan adalah empat hari: 10–13 Dzulhijjah, berakhir saat matahari terbenam tanggal 13 Dzulhijjah.[]

Sumber: diterjemahkan dari makalah Dr. Hayyat

 

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url