Hukum Tiyaroh (Anggapan Sial)
Hukum Tiyaroh (Anggapan Sial)
Thiyaroh adalah menganggap sial sesuatu
dengan mendengar, melihat, tempat, waktu, atau peristiwa. Ini salah satu bentuk
syirik kecil yang dilarang agama.
Contoh thiyaroh
dengan melihat: melihat burung gagak di atas rumah lalu beranggapan sial akan
ada musibah di rumah.
Contoh thiyaroh
dengan mendengar: mendengar suara “mampus” pada dini hari lalu beranggapan sial
di hari itu.
Contoh thiyaroh
dengan tempat: melewati kuburan 3 kali berturut-turut dalam satu perjalanan
lalu beranggapan sial.
Contoh thiyaroh
dengan waktu: memasuki bulan Suro (Muharrom) lalu beranggapan sial jika
membangun rumah atau menikah.
Contoh thiyaroh
dengan peristiwa: tidak sengaja menabrak kucing lalu beranggapan hari ini akan
sial.
Ini semua
termasuk syirik kecil, dan syirik kecil adalah dosa besar.
Dari
Abdullah bin Mas’ud Rodhiyallahu ‘Anhu, Nabi ﷺ bersabda:
«الطِّيَرَةُ
شِرْكٌ، الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، الطِّيَرَةُ شِرْكٌ»
“Thiyaroh
syirik, thiyaroh syirik, thiyaroh syirik.” Ibnu Mas’ud berkata:
وَمَا مِنَّا إِلَّا، وَلَكِنَّ اللهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ
“Setiap
kita terkena thiyaroh, tetapi Allah menghilangkannya dengan tawakal.” (HSR.
Abu Dawud no. 3910)
Tingkatan thiyaroh
ada dua:
1) Menghalangi
dari agenda, ini tingkatan tertinggi.
2) Tetap
melaksanakan agenda tetapi hatinya masih ada kekhawatiran kesialan. Ini lebih
ringan dari pertama.
Kenapa Thiyaroh Diharomkan?
Karena thiyaroh
timbul dari keyakinan ada selain Allah yang bisa memberi bahaya. Thiyaroh
terjadi pada uluhiyah (keesaan Allah untuk disembah) maupun rububiyah
(keesaan Allah dalam perbuatan-Nya). Meyakini ada selain Allah yang bisa
memberi bahaya atau kesialan padahal Allah tidak menjadikannya sebagai sebab
yang menimbulkan bahaya, maka ia mencacati rububiyah. Lalu ia menaruh
harapan dan rasa takut pada sesuatu itu, maka ia mencacati uluhiyah.
Tidak ada
yang bisa menolak bahaya maupun memberi manfaat kecuali Allah, sebagaimana
firman-Nya:
﴿ قُلْ
اَفَرَءَيْتُمْ مَّا تَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ اِنْ اَرَادَنِيَ اللّٰهُ
بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كٰشِفٰتُ ضُرِّهٖٓ اَوْ اَرَادَنِيْ بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ
مُمْسِكٰتُ رَحْمَتِهٖۗ قُلْ حَسْبِيَ اللّٰهُ ۗعَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُوْنَ
﴾
“Katakanlah:
jelaskan kepadaku apa yang kalian seru selain Allah, jika Allah ingin
membahayakan diriku apakah mereka bisa menghilangkan bahaya tersebut? Atau jika
Dia ingin memberiku rohmat apakah mereka mampu menahan rohmat tersebut?
Katakanlah: cukuplah Allah bagiku. Orang-orang yang pasrah hanya bertawakal
kepada-Nya.” (QS. Az-Zumar: 38)
Melawan Thiyaroh
Thiyaroh dilawan dengan 3 hal:
1)
Optimis
Optimis
adalah lawan dari thiyaroh (pesimis). Jika orang merasa sial karena
sesuatu yang ia lihat, ia dengar, atau waktu dan tempat, maka optimis adalah
berbaik sangka kepada Allah.
Dari Abu
Huroiroh Rodhiyallahu ‘Anhu, Nabi ﷺ bersabda:
«لَا طِيَرَةَ،
وَخَيْرُهَا الْفَأْلُ» قَالُوا: وَمَا الْفَأْلُ؟ قَالَ: «الْكَلِمَةُ الصَّالِحَةُ
يَسْمَعُهَا أَحَدُكُمْ»
“Tidak ada thiyaroh.
Yang terbaik adalah optimis.” Mereka bertanya: “Apa itu optimis?” Beliau
menjawab: “Kalimat baik yang didengar seorang dari kalian.” (HR. Bukhori no.
5754)
Yakni thiyaroh
tidak memiliki pengaruh sama sekali,
karena musibah yang terjadi bukan karena anggapan sial tetapi karena takdir
Allah. Maka yang lebih bermanfaat bagi hamba adalah optimis dengan berbaik
sangka kepada Allah, seperti jika mendengar ucapan “kamu hebat!” maka ia
optimis, atau mendengar ucapan “kamu gagal” ia tetap optimis karena berbaik
sangka kepada Allah dengan meyakini Allah mengabulkan doa dan harapan serta
takdir Allah selalu terbaik.
Dari Anas
bin Malik Rodhiyallahu ‘Anhu:
أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ يُعْجِبُهُ إِذَا خَرَجَ لِحَاجَتِهِ أَنْ يَسْمَعَ:
يَا رَاشِدُ، يَا نَجِيحُ
“Apabil
Nabi ﷺ
keluar untuk suatu keperluan, beliau suka mendengarkan: ‘Wahai orang yang
terbimbing, wahai orang yang berhasil.’” (HSR. Tirmidzi no. 1616)
Ibnu Abbas Rodhiyallahu
‘Anhuma berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ يَتَفَاءَلُ وَلَا يَتَطَيَّرُ، وَكَانَ يُحِبُّ الِاسْمَ
الْحَسَنَ
“Rosulullah
ﷺ
senantiasa optimis dan tidak tathoyyur. Beliau menyukai nama yang
bagus.” (HSR. Ahmad no. 2328)
2)
Berdoa
Dari
Abdullah bin Amr Rodhiyallahu ‘Anhuma, Nabi ﷺ bersabda:
«مَنْ رَدَّتْهُ
الطِّيَرَةُ مِنْ حَاجَةٍ، فَقَدْ أَشْرَكَ»، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، مَا كَفَّارَةُ
ذَلِكَ؟ قَالَ: «أَنْ يَقُولَ أَحَدُهُمْ: اللهم لَا خَيْرَ إِلَّا خَيْرُكَ، وَلَا
طَيْرَ إِلَّا طَيْرُكَ، وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ»
“Siapa
yang membatalkan agendanya karena thiyaroh maka ia telah berbuat
syirik.” Orang-orang berkata: “Wahai Rosulullah, apa tebusannya (penggugur
dosanya)?” Jawab beliau: “Mengucapkan: ‘Ya Allah tidak ada kebaikan kecuali
kebaikan dari-Mu, tidak ada thiyaroh kecuali thiyaroh dari-Mu,
tidak ada yang berhak disembah selain Engkau.’” (HSR. Ahmad no. 7045)
Dari Urwah
bin Amir , thiyaroh disinggung di sisi Nabi ﷺ maka beliau bersabda:
«أَحْسَنُهَا
الْفَأْلُ، وَلَا تَرُدُّ مُسْلِمًا، فَإِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ مَا يَكْرَهُ فَلْيَقُلِ:
اللهم لَا يَأْتِي بِالْحَسَنَاتِ إِلَّا أَنْتَ، وَلَا يَدْفَعُ السَّيِّئَاتِ
إِلَّا أَنْتَ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِكَ»
“Yang
terbaik adalah optimis (berbaik sangka). Thiyaroh tidak boleh
menghalangi Muslim (dari agendanya). Jika seorang dari kalian melihat sesuatu
yang dibenci maka ucapkan: ‘Ya Allah tidak ada yang mendatangkan kebaikan
kecuali Engkau dan tidak ada yang menghilangkan keburukan kecuali Engkau, dan
tidak ada daya (untuk menolak bahaya) dan kekuatan (untuk meraih kebaikan)
kecuali dengan pertolongan-Mu.” (HHR. Abu Dawud no. 3919)
3) Tetap Melanjutkan Agenda Disertai
Tawakkal
Dari Abu
Huroiroh Rodhiyallahu ‘Anhu, Nabi ﷺ bersabda:
«إِذَا حَسَدْتُمْ
فَلَا تَبْغَوا، وَإِذَا ظَنَنْتُمْ فَلَا تُحَقِّقُوا، وَإِذَا تَطَيَّرْتُمْ فَامْضُوا،
وَعَلَى اللهِ تَوَكَّلُوا»
“Apabila
kalian sedang hasad, jangan menzolimi. Jika kalian buruk sangka, jangan
diwujudkan. Jika kalian menganggap sial, lanjutkan agenda. Bertawakallah hanya
kepada Allah.” (HR. Ibnu Adi dalam Al-Kamil dalam As-Shohihah no.
3942)
Hanya
Allah Pencipta Sebab
Dari Abu
Huroiroh Rodhiyallahu ‘Anhu, Nabi ﷺ bersabda:
«لَا عَدْوَى
وَلَا طِيَرَةَ وَلَا صَفَرَ وَلَا هَامَةَ»
“Tidak
ada penyakit menular (dengan sendirinya), tidak ada thiyaroh, tidak ada
bulan Shofar (kesialan), tidak ada burung hantu (kesialan).”
فَقَالَ أَعْرَابِيٌّ: يَا رَسُولَ اللهِ، فَمَا بَالُ الْإِبِلِ تَكُونُ فِي
الرَّمْلِ كَأَنَّهَا الظِّبَاءُ فَيُخَالِطُهَا الْبَعِيرُ الْأَجْرَبُ فَيُجْرِبُهَا؟
فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: «فَمَنْ أَعْدَى الْأَوَّلَ؟»
Seorang
Arob baduwi berkata: “Ya Rosulullah, bagaimana dengan untaku yang kuat dan
sehat seakan kijang lalu dicampuri onta berpenyakit lalu menularinya?” Nabi ﷺ
menjawab: “Siapa yang menularkan (penyakit) pada onta pertama?” (HR. Bukhori
no. 5770)
Yakni tidak
diingkari bahwa penyakit bisa menular tetapi ia tidak menular dengan
sendirinya, tetapi dengan takdir Allah. Seandainya tidak dikehendaki Allah,
tidak akan menular meskipun dua onta tersebut bergabung dalam satu kandang
selama sebulan. Onta pertama yang diciptakan Allah dan tertular penyakit, siapa
yang menularkannya jika bukan Allah?
Dengan
keyakinan ini, hamba Allah bertambah besar pengharapannya kepada Allah dan
tidak bergantung dengan sebab. Sebab hanyalah ikhtiar saja, yakni
salah satu usaha dalam rangka melaksanakan perintah Allah.
Dari Abu
Huroiroh Rodhiyallahu ‘Anhu, Nabi ﷺ bersabda:
«لَا يُورِدَنَّ
مُمْرِضٌ عَلَى مُصِحٍّ»
“Onta
yang sakit jangan sekali-kali digabungkan dengan onta yang sehat.” (HR. Bukhori
no. 5771)
Jika Memang Ada Kesialan
Dari Sa’ad
bin Malik Rodhiyallahu ‘Anhu, Nabi ﷺ bersabda:
«إِنْ تَكُنِ
الطِّيَرَةُ فِي شَيْءٍ: فَفِي الْفَرَسِ وَالْمَرْأَةِ وَالدَّارِ»
“Jika
ada thiyaroh pada sesuatu, maka itu ada pada kuda, wanita, rumah.” (HSR.
Abu Dawud no. 3921)
Yakni kesialan
tidak ada sama sekali. Namun ada orang bisa sedih atas takdir Allah yang
terjadi pada kuda, wanita, rumah.
Malik bin
Anas ditanya tentang hadits di atas dan menjawab: “Alangkah banyak rumah yang
dihuni orang dan mereka binasa lalu dihuni orang lain dan binasa. Ini tafsirnya
menurutku. Allahu a’lam.”
Umar
berkata:
حَصِيرٌ فِي الْبَيْتِ خَيْرٌ مِنِ امْرَأَةٍ لَا تَلِدُ
“Terpenjara
di rumah lebih baik dari wanita mandul.” (Sunan Abu Dawud no. 3922)
Sebab Sial dan Musibah
Thiyaroh tidaklah ada. Namun sial dan
musibah yang terjadi bukan karena anggapan terhadap apa yang dilihat dan
didengar, tetapi terjadi dengan takdir Allah semata lewat sebab. Allah tidak
menjadikan thiyaroh sebagai sebab. Lantas apa sebab terjadi musibah?
Jawabannya: dosa. Fungsi dari musibah tersebut adalah untuk menggugurkan
dosanya. Jika ia tidak memiliki dosa, maka musibah itu untuk mengangkat
derajatnya di Surga.
Dalil bahwa
musibah terjadi karena dosa, hadits Abu
Huroiroh Rodhiyallahu ‘Anhu, Nabi ﷺ bersabda:
«مَا يُصِيبُ
الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حَزَنٍ وَلَا أَذًى وَلَا
غَمٍّ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ»
“Tidaklah
seorang Muslim tertimpa nashob (keletihan), washob (penyakit), ham
(ketakutan dan kekhawatiran hari esok), hazan (sedih masa lalu),
gangguan (dari manusia, jin, binatang), ghom (kesempitan hati), hingga
duri yang menusuknya, melainkan dengan itu Allah menghapus dosa-dosanya.” (HR.
Bukhori no. 5318)
Dalil
musibah mengangkat derajat, hadits Nabi ﷺ:
«إِنَّ الْعَبْدَ
إِذَا سَبَقَتْ لَهُ مِنَ اللَّهِ مَنْزِلَةٌ، لَمْ يَبْلُغْهَا بِعَمَلِهِ؛ ابْتَلَاهُ
اللَّهُ فِي جَسَدِهِ، أَوْ فِي مَالِهِ، أَوْ فِي وَلَدِهِ، ثُمَّ صَبَّرَهُ عَلَى
ذَلِكَ حَتَّى يُبْلِغَهُ الْمَنْزِلَةَ الَّتِي سَبَقَتْ لَهُ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى»
“Jika hamba memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah yang sudah
ditentukan sebelumnya tetapi tidak dicapai dengan amalnya, Allah menimpakan
ujian pada badannya (seperti penyakit, cacat, buruk rupa) atau pada hartanya
(bangkrut atau kekurangan), anaknya (wafatnya orang yang dicintai atau mandul)
lalu Allah membantunya bersabar. Hingga Allah menyampaikan ia ke kedudukan
tinggi tersebut di sisi Allah yang sudah ditentukan sebelumnya.” (HSR. Abu
Dawud no. 3090)
Maka
semakin tinggi kualitas agamanya, musibahnya semaki tinggi pula, berdasarkan
hadits Sa’ad bin Abi Waqqosh Rodhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: “Wahai
Rosulullah, siapakah orang yang paling berat musibahnya?” Beliau menjawab:
«الْأَنْبِيَاءُ،
ثُمَّ الصَّالِحُونَ، ثُمَّ الْأَمْثَلُ، فَالْأَمْثَلُ مِنَ النَّاسِ، يُبْتَلَى الرَّجُلُ
عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ صَلابَةٌ زِيدَ فِي بَلائِهِ، وَإِنْ
كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ خُفِّفَ عَنْهُ، وَمَا يَزَالُ الْبَلاءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى
يَمْشِيَ عَلَى ظَهْرِ الْأَرْضِ لَيْسَ عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ»
“Para
Nabi, lalu orang-orang sholih, lalu orang-orang yang seperti mereka dan
seterusnya. Seseorang akan diberi musibah sesuai kadar agamanya. Jika agamanya
kuat, musibahnya ditambah. Jika agamanya ringan, musibahnya diringankan. Ada
seorang hamba yang selalu terkena musibah hingga ia berjalan di muka bumi tanpa
memiliki dosa.” (HSR. Ahmad no. 1481)
Thiyaroh Pada Kalender Jawa
Kalender
Jawa adalah perpaduan dari Kalender Hindu dan Islam. Orang Kejawen meyakini
kesialan pada sebagian bulan ini. Dua belas bulan Kalender Jawa adalah Suro,
Sapar, Mulud, Bakdo Mulud, Jumadal Awal, Jumadal Akhir, Rejeb, Ruwah, Poso,
Sawal, Zulkaidah, Besar. Sementara perputaran hari dalam sepekan hanya lima
hari, yaitu Wage, Kliwon, Legi, Pahing, Pon. Mereka menyakini pada sebagian
bulan dan hari ini ada kesialan sehingga mereka tidak menikah, membangun rumah,
merintis usaha, bahkan ada yang tidak keluar rumah.
Thiyaroh dalam waktu merupakan kesyirikan
yang ditolak syariat. Dari Abu Huroiroh Rodhiyallahu ‘Anhu, Nabi ﷺ
bersabda, Allah Ta’ala berfirman:
«يُؤْذِينِي ابْنُ
آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ، بِيَدِي الأَمْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ
وَالنَّهَارَ»
“Anak
Adam menyakiti Aku, ia memaki waktu padahal Aku yang menciptakan waktu. Hanya
di Tanganku segala urusan. Aku menggonta-ganti malam dan siang.” (HR. Bukhori
no. 4826 dan Muslim no. 2246)
Thiyaroh Firaun
Fir’aun
menuduh Musa dan pengikutnya yang menjadi sebab Mesir terkena berbagai
kesialan: kemarau, krisis pangan, penyakit, dan lain-lain.
Al-Quran
mengabarkan:
﴿ فَاِذَا جَاۤءَتْهُمُ
الْحَسَنَةُ قَالُوْا لَنَا هٰذِهٖ ۚوَاِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَّطَّيَّرُوْا بِمُوْسٰى
وَمَنْ مَّعَهٗۗ اَلَآ اِنَّمَا طٰۤىِٕرُهُمْ عِنْدَ اللّٰهِ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَهُمْ
لَا يَعْلَمُوْنَ ﴾
“Apabila
kebaikan mendatangi mereka, mereka berkata: ‘Kebaikan ini karena hasil usaha
kami.’ Akan tetapi jika mereka tertimpa keburukan, mereka menganggap kesialan
karena Musa dan pengikutnya. Perhatikan! Kesialan mereka sudah Allah tetapkan,
tetapi kebanyakan mereka tidak tahu.” (QS. Al-A’rof: 131)
Kesialan
mereka bukanlah karena Musa dan pengikutnya, karena tidak ada kaitannya, bahkan
Musa menjadi sebab keberkahan. Akan tetapi kesialan mereka akibat kedurhakaan
mereka sendiri yang berakibat musibah demi musibah yang sudah Allah tetapkan
dalam takdir-Nya.
Allahu a’lam.
Semoga yang sedikit ini bermanfaat.
اللهم صل وسلم على محمد.
Komentar
Posting Komentar