Duduk Istirahat dalam Sholat Menurut 4 Madzhab
Duduk Istirahat dalam
Sholat Menurut 4 Madzhab
Terjadi
perbedaan pendapat di kalangan ahli ‘ilmu mengenai hukum jalsah istirohah
(duduk istirahat) setelah sujud kedua dan sebelum bangkit ke rokaat
kedua dan keempat. Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pendapat Jumhur: Tidak
Dianjurkan
Pendapat
Pertama: duduk
istirahat tidak disunnahkan jika tidak ada kebutuhan.
Ini adalah
mazhab mayoritas Ulama: Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah, dan salah satu
pendapat dalam mazhab Syafi’iyah. Ini pula yang dikuatkan oleh Ibnul Qoyyim (751
H) dan dipilih oleh Ibnu ‘Utsaimin (1421 H).
Dalil dari Sunnah
Dari
Mu’awiyah Rodhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
«لا تُبادِروني
في الرُّكوعِ والسُّجودِ؛ فإنِّي قد بدَّنْتُ»
“Jangan
kalian mendahuluiku dalam ruku’ dan sujud, karena sesungguhnya tubuhku telah
bertambah berat.” (HSR. Abu Dawud no. 619)
Hadits ini
mengisyaratkan bahwa beliau ﷺ melakukan duduk istirahat karena sebab tersebut (berat
badannya), maka tidak disyariatkan kecuali bagi orang yang mengalami hal
serupa. (Fathul Bari, Ibnu Hajar, 2/302)
Sebagian
besar hadits yang menjelaskan sifat Sholat Nabi ﷺ tidak menyebutkan adanya duduk
istirahat. Seandainya itu adalah Sunnah, tentu setiap orang yang
meriwayatkan sifat Sholat beliau akan menyebutkannya. Ini menguatkan bahwa
beliau melakukannya karena kebutuhan tertentu. (Fathul Bari, Ibnu Rojab, 5/142)
Jika duduk
istirahat dimaksudkan sebagai bagian dari ibadah, tentu akan ada dzikir
khusus untuknya. Karena tidak ada dzikir khusus yang disyariatkan untuk duduk
ini, maka itu menunjukkan bahwa duduk tersebut bukan bagian ibadah yang
dituntut secara khusus.
Ibnu Qoyyim
(751 H) Rohimahullah berkata:
“Jalsah istirohah
(duduk istirahat), tidak diragukan lagi bahwa Nabi ﷺ melakukannya. Namun, apakah beliau melakukannya
sebagai bagian dari Sunnah dan tata cara Sholat seperti tajafi
(merenggangkan anggota tubuh) dan lainnya? Ataukah beliau melakukannya karena
kebutuhan, disebabkan usia beliau yang lanjut dan tubuh beliau yang telah
berisi daging (berisi/berat)? Pendapat yang kedua (yakni karena kebutuhan)
lebih tampak (lebih kuat), karena dua alasan:
Pertama: Karena dengan itu bisa
dikompromikan antara hadits Wail bin Hujr dan Abu Huroirah bahwa beliau ﷺ bangkit (dari sujud) dengan
bertumpu pada ujung telapak kakinya.
Kedua: Karena para Shohabat, yang mereka
adalah orang-orang yang paling bersemangat untuk menyaksikan perbuatan dan tata
cara Sholat beliau ﷺ,
mereka bangkit dari sujud dengan bertumpu pada ujung telapak kaki mereka (tanpa
duduk istirahat).” (Ash-Sholah wa Ahkam Tarikiha, hlm. 167)
Ibnu
‘Utsaimin (1421 H) Rohimahullah berkata:
“Pendapat
ini (yaitu bahwa duduk istirahat dilakukan karena kebutuhan, bukan
sunnah tetap) adalah pendapat yang aku condong kepadanya belakangan ini. Karena
Malik bin Al-Huwairits datang kepada Nabi ﷺ saat beliau sedang bersiap
untuk Perang Tabuk, dan pada saat itu Nabi ﷺ sudah mulai tua dan
tanda-tanda kelemahan telah tampak pada beliau.
Dalam Shohih
Muslim, dari ‘Aisyah Rodhiyallahu ‘Anha, beliau berkata:
لَمَّا بدَّن
رسولُ اللهِ ﷺ وثقُل كان أكثرُ صلاتِهِ جالسًا
‘Ketika
tubuh Rosulullah ﷺ
menjadi berat dan beliau melemah, maka kebanyakan Sholat beliau dilakukan
sambil duduk.’
Dan
Abdullah bin Syaqiq bertanya kepadanya: ‘Apakah Nabi ﷺ Sholat dalam keadaan duduk?’
Maka ‘Aisyah menjawab:
نعم، بعدما حَطَمَه
الناس
‘Ya,
setelah tubuh beliau melemah karena manusia (beban dakwah).’
Hafshoh Rodhiyallahu
‘Anha juga berkata:
ما رأيت النبيَّ
ﷺ يصلِّي في سبحته قاعدًا حتى كان قبل وفاته بعام، فكان يصلِّي
في سبحته قاعدًا
‘Aku tidak
pernah melihat Nabi ﷺ
Sholat sunnah dalam keadaan duduk sampai setahun sebelum beliau wafat, saat itu
beliau Sholat sunnah dalam keadaan duduk.”
Dalam
riwayat lain disebutkan:
بعام واحد أو
اثنين
‘Satu
atau dua tahun sebelumnya.’
Seluruh
riwayat ini terdapat dalam Shohih Muslim. Dan yang menguatkan hal ini,
bahwa dalam hadits Malik bin Al-Huwairits terdapat penyebutan bahwa beliau
(Nabi ﷺ)
bertumpu pada tanah, dan bertumpu pada sesuatu biasanya dilakukan saat ada
kebutuhan terhadapnya.” (Majmu’ Fatawa wa Rosail, Ibnu ‘Utsaimin, 13/218)
Pendapat Sebagian Ulama: Sunnah
Pendapat
Kedua: duduk
istirahat disunnahkan.
Yaitu,
siapa bangkit ke rokaat kedua atau ke rokaat keempat, maka ia tidak berdiri
langsung, tetapi duduk dahulu hingga ia benar-benar tenang dalam posisi duduk.
Ini adalah
mazhab Syafi’iyah, salah satu riwayat dari Imam Ahmad (241 H), dan pendapat
sebagian Ahlul Hadits. Ini pula adalah pendapat Dawud Azh-Zhohiri, dan dipilih
oleh Asy-Syaukani, Ibnu Baz (1420 H), dan Al-Albani (1420 H).
Dalil dari Sunnah
Dari Malik
bin Al-Huwairits:
أنَّه رأى النبيَّ
ﷺ يُصلِّي، فإذا كان في وِتْرٍ مِن صلاتِه لم ينهَضْ حتَّى
يستويَ قاعدًا
“Bahwa ia
melihat Nabi ﷺ
Sholat, dan apabila berada pada rokaat witir (ganjil) dari Sholatnya, beliau
tidak bangkit hingga tegak dalam keadaan duduk.” (HR. Bukhori no. 823)
Dalam
riwayat lain:
جاءنا مالكُ
بنُ الحُوَيرثِ في مسجدِنا هذا فقال: إنِّي لَأُصلِّي بكم وما أُريدُ الصَّلاةَ، أُصلِّي
كيف رأَيْتُ النبيَّ ﷺ يُصلِّي، فقلتُ لأبي قِلابةَ: كيف كان يُصلِّي؟ قال: مِثْلَ
شيخِنا هذا، قال: وكان شيخًا، يجلِسُ إذا رفَعَ رأسَه مِن السُّجودِ قبْلَ أنْ ينهَضَ
في الرَّكعةِ الأولى
Malik bin
Al-Huwairits datang kepada kami di Masjid ini dan berkata: “Sesungguhnya aku
Sholat bersama kalian bukan karena ingin Sholat, tapi aku hanya Sholat seperti
yang aku lihat Nabi ﷺ
Sholat.” Maka aku (perowi) berkata kepada Abu Qilabah: “Bagaimana beliau
Sholat?” Ia berkata: “Seperti Syaikh kami ini (yakni Malik bin Al-Huwairits).”
Ia (perowi) berkata: “Dan beliau adalah orang tua, ia duduk setelah mengangkat
kepalanya dari sujud sebelum bangkit dari rokaat pertama.” (HR. Bukhori no. 823)
Dari Abu
Humaid Rodhiyallahu ‘Anhu, bahwa ia menjelaskan Sholat Nabi ﷺ:
ثم هوَى ساجدًا،
ثم ثنَى رِجْلَه وقعَد حتَّى رجَعَ كلُّ عَظْمٍ موضِعَه، ثم نهَض.... فقالوا: صدَقْتَ
Kemudian
beliau turun untuk sujud, lalu melipat kakinya dan duduk hingga seluruh
tulangnya kembali ke tempatnya, lalu beliau bangkit.... Maka mereka berkata: “Engkau
benar.” (HSR. Abu Dawud no. 730)
Segala yang
terjadi dalam Sholat, pada dasarnya merupakan bagian dari bentuk (kaifiyah)
Sholat. Terlebih lagi, perbuatan tambahan dalam Sholat pada asalnya dilarang,
maka perbuatan duduk ini jika dilakukan oleh Nabi ﷺ menunjukkan bahwa itu bagian
dari tata cara Sholat. (Ihkamul Ahkam, Ibnu Daqiqil Id, hal. 160)
Asy-Syaukani
Rohimahullah berkata:
“Hadits ini
menunjukkan disyariatkannya jalsah istirohah (duduk istirahat),
yaitu setelah selesai dari sujud kedua dan sebelum bangkit menuju rako’at kedua
atau keempat. Pendapat ini dianut oleh Imam Asy-Syafi’i (204 H) dalam pendapat
yang masyhur darinya, juga oleh sekelompok Ahlul Hadits. Dari Imam Ahmad
terdapat dua riwayat (tentang masalah ini).” (Nailul Author, 2/312)
Ibnu Baz
(1420 H) Rohimahullah berkata:
“Yang lebih
utama bagi orang yang Sholat adalah duduk sebentar setelah sujud kedua.
Sebagian fuqoha menamainya dengan jalsah istirohah. Ia duduk di
atas kaki kirinya yang dibentangkan dan menegakkan kaki kanannya, seperti
posisi duduk antara dua sujud. Namun duduk ini ringan (sebentar), tidak ada
dzikir dan doa di dalamnya. Inilah yang lebih utama. Dan jika dia berdiri tanpa
duduk, maka tidak mengapa. Tetapi yang lebih utama adalah ia duduk sebagaimana
yang dilakukan oleh Nabi ﷺ.
Sebagian
Ulama berkata bahwa ini dilakukan ketika sudah tua atau sakit. Akan tetapi,
pendapat yang benar adalah bahwa duduk ini termasuk salah satu Sunnah Sholat
secara mutlak—baik bagi imam, makmum, maupun orang yang Sholat
sendirian—berdasarkan sabda Nabi ﷺ:
«صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي»
‘Sholatlah
kalian sebagaimana kalian melihat aku Sholat.’ (HR. Al-Bukhori)
Meskipun
orang yang Sholat itu masih muda dan sehat, maka duduk ini tetap disunnahkan
menurut pendapat yang benar. Namun, duduk ini tidak wajib. Karena diriwayatkan
bahwa Nabi ﷺ
terkadang meninggalkannya, dan sebagian Shohabat juga tidak menyebutkannya
dalam deskripsi Sholat Nabi ﷺ. Maka hal ini menunjukkan bahwa duduk istirahat tidaklah
wajib.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 11/38–39)
Kesimpulan
Duduk
istirahat termasuk masalah khilafiyah. Keduanya sepakat —tidak berdosa,
apalagi batal— orang yang meninggalkannya. Mereka hanya berselisih apakah
disunnahkan atauka tidak, tanpa hajat? Pendapat mayoritas fuqoha adalah tidak dianjurkan
tanpa hajat.
Komentar
Posting Komentar