Bacaan Setelah Al-Fatihah dalam Sholat

 Bacaan Setelah Al-Fatihah dalam Sholat

Oleh: Nor Kandir, ST., BA

Bacaan Setelah Al-Fatihah dalam Sholat

A) Hukum Bacaan Setelah Al-Fatihah

Disunnahkan membaca satu surat dari Al-Qur'an setelah surat Al-Fatihah pada dua rokaat pertama dari semua Sholat fardhu. Adapun rokaat ketiga dan keempat, tidak dianjurkan.

Ijma’ atas hal tersebut dinukil oleh: Ibnu Sirin, Ibnu Qudamah, An-Nawawi, dan Asy-Syaukani.

Ibnu Sīrīn (110 H) berkata:

لَا أَعْلَمُهُمْ يَخْتَلِفُونَ أَنَّهُ يَقْرَأُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ الْأُولَيَيْنِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَسُورَةٍ، وَفِي الْأُخْرَيَيْنِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ

“Aku tidak mengetahui mereka (para Shohabat) berselisih bahwa dalam dua rokaat pertama dibaca Al-Fātihah dan (tambahan) surat, sedangkan pada dua rokaat terakhir hanya dibaca Al-Fātihah.” (Fat Al-Bārī, 4/477)

Ibnu Qudāmah (620 H) berkata:

وَجُمْلَةُ ذَلِكَ، أَنَّ قِرَاءَةَ السُّورَةِ بَعْدَ الْفَاتِحَةِ مَسْنُونَةٌ فِي الرَّكْعَتَيْنِ مِنْ كُلِّ صَلَاةٍ، لَا نَعْلَمُ فِي هَذَا خِلَافًا

“Kesimpulannya, membaca surat setelah Al-Fātihah adalah Sunnah pada dua roka'at dari setiap Sholat, dan kami tidak mengetahui adanya khilaf (perbedaan pendapat) dalam hal ini.” (Al-Mughnī, 1/408)

An-Nawawī (676 H) berkata:

“Dalam hadits ini terdapat anjuran membaca surat setelah Al-Fātihah, dan hal ini disepakati (ijma’) dalam Sholat Subuh, Jum’at, dan dua roka'at pertama dari setiap Sholat. Membaca surat setelah Al-Fātihah adalah Sunnah menurut seluruh ulama. Al-Qodhi 'Iyādh رحمه الله menukil dari sebagian pengikut Mālik bahwa membaca surat itu wajib, namun pendapat ini ganjil dan tertolak.” (Al-Minhaj, 4/105)

Asy-Syaukānī (1250 H) berkata:

“Tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) mengenai anjuran membaca surat bersama Al-Fātihah dalam Sholat Subuh, Jum’at, dan dua roka'at pertama dari setiap Sholat.” (Nailul Author, 2/248)

Dari Abu Huroiroh Rodhiyallahu ‘Anhu, ia berkata:

«فِي كُلِّ صَلَاةٍ قِرَاءَةٌ، فَمَا أَسْمَعَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَسْمَعْنَاكُمْ، وَمَا أَخْفَى مِنَّا، أَخْفَيْنَاهُ مِنْكُمْ، وَمَنْ قَرَأَ بِأُمِّ الْكِتَابِ فَقَدْ أَجْزَأَتْ عَنْهُ، وَمَنْ زَادَ فَهُوَ أَفْضَلُ»

Dalam setiap Sholat terdapat bacaan. Apa yang Nabi perdengarkan kepada kami, kami perdengarkan kepada kalian. Dan apa yang beliau lirihkan dari kami, kami pun melirihkannya dari kalian. Siapa membaca Ummul Kitab (Al-Fatihah), maka itu mencukupi baginya. Siapa menambahinya, maka itu lebih utama.(HR. Muslim, no. 396)

B) Surat yang Dibaca Pada Sholat Fardhu

1) Apa yang disunnahkan untuk dibaca dalam Sholat Subuh?

Disunnahkan memanjangkan bacaan dalam Sholat Subuh, dan ini merupakan kesepakatan dari empat mazhab fikih: Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah, dan Hanabilah. Bahkan telah dinukilkan ijma' atas hal ini.

Ibnu Qoyyim (751 H) berkata:

وَأَجْمَعَ الْفُقَهَاءُ أَنَّ السُّنَّةَ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ أَنْ يَقْرَأَ بِطِوَالِ الْمُفَصَّلِ

“Para fuqohā’ telah berijma’ (sepakat) bahwa Sunnah dalam Sholat Subuh adalah membaca bagian panjang dari surat-surat mufassol.” (Hāsyiyah Ibni Al-Qoyyim ‘alā Sunan Abī Dāwud, 3/110)

Mufassol adalah Qof (surat ke-50) sampai An-Nas (akhir Qur’an surat ke-114). Mufassol dibagi 3 bagian: thiwal mufassol (Qof sampai An-Naba), ausatul mufassol (An-Naba sampai Ad-Dhuha), qishor mufassol (Ad-Dhuha sampai An-Nas).

Dianjurkan thiwal mufassol dibaca pada Subuh, qishor mufassol dibaca pada Maghrib, ausatul mufassol pada sisanya (Isya, Zuhur, Asar).

Abu Barzah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ berkata:

«وَيَقْرَأُ فِيهَا مَا بَيْنَ السِّتِّينَ إِلَى المِائَةِ»

“Nabi biasa membaca dalam Subuh antara enam puluh hingga seratus ayat. (HR. Bukhori no. 541)

Dari Jabir bin Samurah, ia berkata: “Rosulullāh biasa melaksanakan Sholat-Sholat seperti Sholat kalian hari ini, hanya saja beliau meringankannya. Sholat beliau lebih ringan dari Sholat kalian, dan beliau biasa membaca dalam Subuh: surat Al-Waqi'ah dan surat yang semisalnya.” (HSR. Ahmad no. 21033)

Dari Jabir bin Samurah رضي الله عنه, ia berkata:

إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِي الْفَجْرِ بِ ﴿ق وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ﴾ وَكَانَ صَلَاتُهُ بَعْدُ تَخْفِيفًا

“Bahwa Nabi biasa membaca dalam Subuh surat Qof dan yang semisalnya. Lalu rokaat berikutnya menjadi lebih ringan[1].” (HR. Muslim no. 458)

Alasan Bacaan Subuh Lama

a)   Karena Subuh hanya dua rokaat, dan manusia pada waktu itu kebanyakan masih dalam keadaan tidur, maka bacaan dipanjangkan agar orang yang tertinggal sempat mengikutinya.

b)  Karena Sholat Subuh dilakukan setelah tidur dan manusia dalam keadaan segar.

c)   Ketika jumlah rokaat Sholat Subuh sedikit, maka panjang bacaan dijadikan sebagai ganti dari kekurangannya.

d)  Karena manusia belum sibuk dengan urusan dunia dan pekerjaan pada waktu itu.

e)   Karena Sholat Subuh berada pada waktu di mana pendengaran, lisan, dan hati bersatu dalam kekhusyukan—karena kosong dari kesibukan—maka ia dapat memahami dan merenungi Al-Qur'an.

2) Apa yang disunnahkan dibaca dalam Sholat Zhuhur?

Para ulama berbeda pendapat mengenai apa yang disunnahkan dibaca dalam Sholat Zhuhur, menjadi dua pendapat:

Pendapat Pertama: Disunnahkan membaca surat dari ausathul mufassol (An-Naba sampai Ad-Dhuha). Ini adalah mazhab Hanabilah, salah satu pendapat dalam Hanafiyah, dan dipilih oleh Ibnu Baz (1420 H) dan Ibnu ‘Utsaimin (1421 H).

Dalil dari Sunnah:

Dari Jabir bin Samurah رضي الله عنه:

كان النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يقرَأُ في الظُّهرِ والعصرِ بـ:﴿ وَالسَّمَاءِ وَالطَّارِقِ﴾، وَ﴿السَّمَاءِ ذَاتِ الْبُرُوجِ﴾ ونحوِها مِن السُّوَرِ

“Bahwa Nabi membaca dalam Zhuhur dan Ashar dengan: surat Ath-Thoriq, Al-Buruj, atau surat semisalnya.” (HSR. Abu Dawud no. 307)

Dari Jabir bin Samurah, ia berkata:

كان النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يقرأُ في الظُّهرِ ب﴿اللَّيلِ إذا يغشى﴾، وفي العصرِ نحو ذلك. وفي الصُّبحِ أطول من ذلك

“Bahwa Nabi membaca dalam Dzuhur: Surat Al-Lail, dan dalam Ashar semisal itu. Dan dalam Subuh lebih panjang dari itu.” (HR. Muslim no. 459)

Pendapat Kedua: Disunnahkan membaca thiwālul mufassol (Qof sampai An-Naba). Ini adalah pendapat mayoritas: Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah.

Dalil dari Sunnah:

Dari Abu Sa'id Al-Khudri رضي الله عنه, ia berkata:

حزَرْنا قيامَ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم في الظُّهرِ والعصرِ، فحزَرْنا قيامَه في الرَّكعتينِ الأُوليَيْنِ مِن الظُّهرِ قدرَ ثلاثينَ آيةً؛ قدرَ ﴿الم تَنْزِيلُ السَّجدةِ﴾، وحزَرْنا قيامَه في الأخيرتينِ على النِّصفِ مِن ذلك، وحزَرْنا قيامَه في الأُوليَيْنِ مِن العصرِ على قدرِ الأخيرتينِ مِن الظُّهرِ، وحزَرْنا قيامَه في الأخيرتينِ مِن العصرِ على النِّصفِ مِن ذلك

“Kami perkirakan lama berdirinya Rosulullāh dalam Sholat Zhuhur dan Ashar. Kami perkirakan bacaan beliau dalam dua rokaat pertama Sholat Zhuhur sepanjang tiga puluh ayat, seukuran الم تَنزِيلُ السَّجْدَةِ, dan kami perkirakan rokaat terakhir separuh dari itu. Dan kami perkirakan dua rokaat pertama Sholat Ashar seukuran rokaat terakhir dari Zhuhur, dan dua rokaat terakhir dari Ashar setengah dari itu.(HR. Muslim no. 452)

3) Apa yang disunnahkan dibaca dalam Sholat Ashar?

Disunnahkan membaca ausathul mufassol (An-Naba sampai Ad-Dhuha), dan ini adalah mazhab mayoritas: Hanafiyah, Syafi'iyah, dan Hanabilah.

Dalil dari Sunnah:

Dari Jabir bin Samurah رضي الله عنه:

كان النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يقرَأُ في الظُّهرِ والعصرِ بـ:﴿ وَالسَّمَاءِ وَالطَّارِقِ﴾، وَ﴿السَّمَاءِ ذَاتِ الْبُرُوجِ﴾ ونحوِها مِن السُّوَرِ

“Bahwa Nabi membaca dalam Zhuhur dan Ashar dengan: surat Ath-Thoriq, Al-Buruj, atau surat semisalnya.” (HSR. Abu Dawud no. 307)

Dari Jabir bin Samurah, ia berkata:

كان النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يقرأُ في الظُّهرِ ب﴿اللَّيلِ إذا يغشى﴾، وفي العصرِ نحو ذلك. وفي الصُّبحِ أطول من ذلك

“Bahwa Nabi membaca dalam Zhuhur: surat Al-Lail, dan dalam Ashar semisal itu. Dan dalam Subuh lebih panjang dari itu.” (HR. Muslim no. 459)

4) Apa yang disunnahkan dibaca dalam Sholat Maghrib?

Disunnahkan membaca qisorul mufassol (Ad-Dhuha sampai An-Nas), dan ini merupakan kesepakatan empat mazhab: Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah.

Dalil-dalil:

Pertama: Dari Sunnah

Dari Sulaiman bin Yasar, dari Abu Huroiroh رضي الله عنه, ia berkata:

«مَا صَلَّيْتُ وَرَاءَ أَحَدٍ أَشْبَهَ صَلَاةً بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ فُلَانٍ - قَالَ سُلَيْمَانَ - كَانَ يُطِيلُ الرَّكْعَتَيْنِ الْأُولَيَيْنِ مِنَ الظُّهْرِ، وَيُخَفِّفُ الْأُخْرَيَيْنِ، وَيُخَفِّفُ الْعَصْرَ، وَيَقْرَأُ فِي الْمَغْرِبِ بِقِصَارِ الْمُفَصَّلِ، وَيَقْرَأُ فِي الْعِشَاء بِوَسَطِ الْمُفَصَّلِ، وَيَقْرَأُ فِي الصُّبْحِ بِطُوَلِ الْمُفَصَّلِ»

“Aku tidak pernah Sholat di belakang seseorang yang lebih mirip Sholatnya dengan Rosulullāh daripada si fulan. Sulaiman berkata: 'Dia memanjangkan dua rokaat pertama Zhuhur, meringankan dua rokaat terakhir, meringankan Ashar, membaca dalam Maghrib surat-surat pendek dari mufassol, membaca dalam Isya’ surat-surat pertengahan dari mufassol, dan membaca dalam Subuh surat-surat panjang dari mufassol.'“ (HSR. An-Nasa’i no. 982)

Kedua: Dari atsar

Dari Abdullah Ash-Shunabihi, bahwa ia Sholat Maghrib di belakang Abu Bakr Ash-Shiddiq رضي الله عنه, dan beliau membaca dalam dua rokaat pertama: Ummul Qur’an dan satu surat dari mufassol. Kemudian beliau bangkit pada rokaat ketiga, lalu aku mendekat hingga bajuku hampir menyentuh bajunya, maka aku mendengarnya membaca Ummul Qur’an dan ayat ini:

﴿رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً ۚ إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

(Wahai Rob kami, janganlah Engkau condongkan hati kami setelah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu. Sungguh, Engkau-lah Maha Pemberi karunia) (QS. Ali ‘Imron: 8) (HSR. Malik no. 259)

Waktu Maghrib sempit, maka cocok dibacakan surat-surat pendek.

5) Apa yang disunnahkan dibaca dalam Sholat Isya’?

Disunnahkan membaca ausathul mufassol (An-Naba sampai Ad-Dhuha), dan ini disepakati oleh empat mazhab: Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah.

Dari Sulaiman bin Yasar, dari Abu Huroiroh رضي الله عنه, ia berkata:

«مَا صَلَّيْتُ وَرَاءَ أَحَدٍ أَشْبَهَ صَلَاةً بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ فُلَانٍ - قَالَ سُلَيْمَانَ - كَانَ يُطِيلُ الرَّكْعَتَيْنِ الْأُولَيَيْنِ مِنَ الظُّهْرِ، وَيُخَفِّفُ الْأُخْرَيَيْنِ، وَيُخَفِّفُ الْعَصْرَ، وَيَقْرَأُ فِي الْمَغْرِبِ بِقِصَارِ الْمُفَصَّلِ، وَيَقْرَأُ فِي الْعِشَاء بِوَسَطِ الْمُفَصَّلِ، وَيَقْرَأُ فِي الصُّبْحِ بِطُوَلِ الْمُفَصَّلِ»

“Aku tidak pernah Sholat di belakang seseorang yang lebih mirip Sholatnya dengan Rosulullāh daripada si fulan. Sulaiman berkata: 'Dia memanjangkan dua rokaat pertama Zhuhur, meringankan dua rokaat terakhir, meringankan Ashar, membaca dalam Maghrib surat-surat pendek dari mufassol, membaca dalam Isya’ surat-surat pertengahan dari mufassol, dan membaca dalam Subuh surat-surat panjang dari mufassol.'“ (HSR. Nasai no. 982)

C) Hukum Qunut dalam Sholat Subuh

Ulama berselisih pendapat menjadi dua pendapat.

Qunut Subuh Tidak Dianjurkan

Pendapat pertama: Qunut tidak disyariatkan dalam Sholat Subuh. Ini adalah mazhab Hanafiyah, Hanabilah, dan pendapat sekelompok Salaf. Dipilih oleh Ibnu Taimiyah (728 H), Ibnu Qoyyim (751 H), Asy-Syaukani (1250 H), Ibnu Baz (1420 H), dan Ibnu ‘Utsaimin (1421 H), serta difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Daimah (MUI Arob Saudi).

Ibnu Qudāmah (620 H) berkata:

لَا يُسَنُّ الْقُنُوتُ فِي الصُّبْحِ، وَلَا غَيْرِهَا مِنَ الصَّلَوَاتِ، سِوَى الْوِتْرِ، وَبِهَذَا قَالَ الثَّوْرِيُّ، وَأَبُو حَنِيفَةَ، وَرُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، وَابْنِ عُمَرَ، وَابْنِ مَسْعُودٍ، وَأَبِي الدَّرْدَاءِ

“Tidak disunnahkan Qunut pada Sholat Subuh, dan tidak pula pada Sholat lainnya selain Witir. Pendapat ini juga dikatakan oleh Ats-Tsauri, Abu Hanifah, dan diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas‘ūd, dan Abu Dardā’.” (Al-Mughnī, 2/114)

Dari Abu Huroiroh رضي الله عنه:

أنَّ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم كان لا يقنُتُ في الفجرِ إلَّا إذا دعَا لقومٍ أو دعَا عليهم

“Bahwa Nabi tidaklah melakukan Qunut dalam Subuh kecuali bila beliau mendoakan suatu kaum atau mendoakan keburukan atas mereka.” (HR. Ibnu Jarir dalam Musnad Ibnu Abbas dan ia menshohihkannya, 1/329)

Seandainya Qunut adalah Sunnah tetap yang beliau lakukan setiap Subuh dan beliau mengeraskan (doanya) dan makmum mengaminkannya, maka sudah semestinya hal ini diriwayatkan sebagaimana riwayat mengenai kerasnya bacaan, pelan bacaan, dan jumlah rokaat. Maka mustahil hal itu dilakukan oleh Nabi tapi tidak ada satu pun yang meriwayatkannya.

Dari Abu Mijlaz, ia berkata:

صليتُ مع ابنِ عُمَرَ صلاةَ الصُّبحِ، فلم يقنُتْ، فقُلتُ له: لا أراك تقنُتُ، فقال: «لا أحفَظُه عن أحدٍ مِن أصحابِنا»

“Aku Sholat Subuh bersama Ibnu Umar, namun ia tidak Qunut. Maka aku katakan padanya: 'Aku tidak melihatmu Qunut.' Ia menjawab: 'Aku tidak menghafalnya dari seorang pun di antara Shohabat-Shohabat kami.'“ (HSR. Ibnu Abi Syaibah no. 6991)[2]

Dari Abu Malik Al-Asyja’i, ia berkata:

قلتُ لأبي: يا أبتِ، إنَّك قد صلَّيتَ خلفَ رسولِ الله صلَّى اللهُ عليه وسلَّم وأبي بكرٍ، وعُمَرَ، وعثمانَ، وعليٍّ ها هنا بالكوفةِ نحوًا مِن خَمسِ سنينَ، أكانوا يقنُتونَ؟ قال: أيْ بُنيَّ، مُحدَثٌ

“Aku berkata kepada ayahku: 'Wahai ayahku, engkau pernah Sholat di belakang Rosulullāh , Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali di Kufah ini sekitar lima tahun. Apakah mereka Qunut?' Ayahku menjawab: 'Wahai anakku, itu adalah perkara baru (muhdats).'“ (HSR. Tirmidzi no. 402)[3]

Karena Qunut adalah doa khusus, di tempat khusus, dalam ibadah khusus. Tiga kekhususan ini tidak disyariatkan kecuali dengan dalil.

Ibnu Taimiyah (728 H) berkata:

“Siapa yang memperhatikan hadits-hadits akan mengetahui dengan ilmu yang meyakinkan bahwa Nabi tidak terus-menerus melakukan Qunut pada satu pun dari Sholat-Sholat, tidak pada Subuh dan tidak pula yang lainnya. Oleh karena itu, tidak ada seorang pun dari para Shohabat yang meriwayatkan hal tersebut, bahkan mereka mengingkarinya. Tidak ada satu huruf pun yang diriwayatkan dari Nabi tentang doa yang diperkirakan sebagai Qunut yang tetap. Yang diriwayatkan darinya hanyalah doa yang dibaca pada keadaan tertentu (insidental), seperti mendoakan kebaikan untuk suatu kaum atau keburukan atas suatu kaum.

Adapun doa yang dibaca oleh orang yang menganjurkan Qunut Subuh secara terus-menerus seperti ucapan: “Allāhumma ihdinā fīman hadayt” (اللَّهُمَّ اهْدِنَا فِيمَنْ هَدَيْتَ), maka ini hanyalah ada dalam kitab-kitab Sunan tentang Nabi yang mengajarkan doa itu kepada Al-Hasan untuk dibaca dalam Qunut Witir. Anehnya, mereka tidak menganjurkan untuk terus-menerus membaca doa itu dalam Witir – padahal itu jelas berasal dari hadits – tapi malah membacanya terus-menerus dalam Sholat Subuh, padahal tidak ada satu pun riwayat dari Nabi bahwa beliau membacanya dalam Subuh.

Sudah maklum secara yakin dan pasti bahwa kalau Qunut itu sesuatu yang Nabi terus-menerus lakukan, tentu hal ini tidak akan diabaikan. Para Shohabat dan Tabi'in pasti akan semangat meriwayatkannya, karena mereka tidak pernah mengabaikan sedikit pun dari perkara Sholat yang Nabi lakukan secara konsisten. Bahkan, mereka meriwayatkan apa yang tidak beliau lakukan secara rutin, seperti doa Qunut untuk kebaikan orang tertentu atau keburukan atas orang tertentu, dan hal-hal lain semacam itu.” (Majmū‘ Al-Fatāwā, 21/153–154)

Ibnul Qoyyim (751 H) berkata:

“Telah diketahui secara pasti bahwa seandainya Rosulullah selalu melakukan Qunut setiap pagi dan membaca doa ini, lalu para Shohabat mengaminkannya, maka sudah pasti seluruh umat ini akan meriwayatkannya sebagaimana mereka meriwayatkan bacaan jahr (keras) beliau dalam Sholat Subuh, jumlah rokaatnya, dan waktunya. Jika masih mungkin bagi mereka untuk melalaikan urusan Qunut ini, maka sama halnya mereka boleh saja melalaikan perkara-perkara tersebut — padahal tidak ada perbedaan antara keduanya.

Dengan cara inilah kita mengetahui bahwa bukan merupakan petunjuk beliau untuk menjahrkan bacaan basmalah setiap hari dan malam sebanyak lima kali secara terus-menerus, lalu mayoritas umat ini melalaikannya dan tidak mengetahuinya. Ini termasuk hal yang sangat mustahil.

Bahkan, seandainya itu memang benar-benar dilakukan, maka pasti akan diriwayatkan sebagaimana jumlah Sholat, jumlah rokaat, jahr dan sirr, jumlah sujud, posisi dan urutan rukun-rukunnya diriwayatkan.

Allah-lah yang memberi taufik. Keadilan yang diakui oleh para ulama yang adil adalah bahwa beliau terkadang menjahrkan dan terkadang mensirrkan, terkadang melakukan Qunut dan terkadang tidak. Adapun bacaan secara sirr beliau lebih sering daripada jahr, dan meninggalkan Qunut lebih banyak daripada melakukannya.

Karena sesungguhnya beliau hanya melakukan Qunut ketika terjadi musibah (nazilah), baik mendoakan suatu kaum atau mendoakan kehancuran suatu kaum. Kemudian beliau meninggalkannya setelah kaum yang didoakan datang, dibebaskan dari tawanan, dan mereka yang dulu didoakan agar binasa justru masuk Islam dan datang dalam keadaan bertaubat. Maka Qunut beliau itu adalah karena suatu sebab insidental. Ketika sebab itu hilang, beliau pun meninggalkannya. Dan Qunut tersebut tidak khusus di Sholat Subuh saja, tapi juga di Sholat Maghrib.” (Zādul Maʿād, 1/272)

Asy-Syaukani (1250 H) berkata: “Jika hal ini telah jelas bagimu, maka kamu akan mengetahui bahwa kebenaran adalah pendapat yang menyatakan bahwa Qunut itu khusus dilakukan ketika terjadi nawāzil (musibah besar yang menimpa kaum Muslimin).” (Nailul Author, 2/401)

Qunut Subuh Dianjurkan

Ini pendapat Malikiyah dan Syafiiyah. Ini didukung An-Nawawi yang merujuk kepada Imam Malik dan Imam Asy-Syafii.

An-Nawawi menjelaskan semua hadits-haditsnya dalam Al-Majmu’ dan menshohihkan banyak hadits tentangnya.

Allahu a’lam.[]

Dirangkum dari www.dorar.net dengan tambahan dan penataan, 



[1] Yakni rokaat berikutnya lebih ringan atau Sholat lainnya lebih pendek suratnya.

[2] Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah (6991) secara ringkas, oleh At-Thohawi dalam Syarh Ma'ani al-Atsar (1467), dan oleh Al-Baihaqi (2/213) (3282). Hadits ini dishohihkan oleh Az-Dzahabi dalam Al-Muhadzdzab (2/653), dan perawi-perawinya dikuatkan oleh Al-Haitsami dalam Majma' Al-Zawa'id (2/140), sementara Al-‘Aini dalam Nakhb Al-Afkar (4/337) mengatakan: "Sanadnya sahih dalam kualitas yang sangat tinggi."

[3] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (402), An-Nasa'i (2/204), dan Ibnu Majah (1241). At-Tirmidzi berkata: "Hasan shohih." Hadits ini dishohihkan oleh Ibnu Hajar dalam Nata'ij Al-Afkar (2/142), Ibnu Baz dalam Fatawa Nur 'Ala Al-Darb (10/255), Al-Albani dalam Shohih Sunan Ibnu Majah (1033), Al-Wad'i sesuai dengan syarat Muslim dalam Al-Shohih Al-Musnad (510), dan sanadnya juga dishohihkan oleh Al-‘Aini dalam Nakhb Al-Afkar (4/361).

Komentar

Artikel Terpopuler

Al-Quran Obat Rohani dan Jasmani

Doa Naik Kendaraan dan Safar

Hukum Tiyaroh (Anggapan Sial)

Duduk Istirahat dalam Sholat Menurut 4 Madzhab