Biografi Imam An-Nasa'i

Biografi Imam An-Nasa'i

1. Nasab Imam An-Nasai

Nama lengkapnya adalah Abu Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Sinan bin Bahr Al-Khurosani An-Nasa’i pemilik kitab Sunan An-Nasa’i.

Di adalah seorang imam, hafizh, tsabat (kokoh), syaikhul Islam, dan penyeleksi hadits.[1]

Dia dilahirkan pada tahun 215 H dan wafat tahun 303 H.

Nasa’i adalah nisbat kepada tempat kelahirannya Nasa’, di Khurosan atau Iran sekarang.

Dia mulai menuntut ilmu di masa muda dan rihlah (safar jauh untuk menuntut ilmu) untuk bermukim di Baghlan selama setahun dua bulan, menghadiri majlis Qutaibah bin Sa’id pada tahun 230 H saat usianya 15 tahun.

Dia laki-laki yang berwibawa, murah senyum, berkulit kemerahan, dan ubahnya indah.

Dia berwajah tampan, banyak diam dan mendengar, memiliki empat istri yang digilir, disamping juga memiliki budak-budak perempuan, gemar makan ayam. Ia menyuruh untuk membelinya, lalu digemukkan, lalu disembelih.

Di antara muridnya ada yang berkata: “Aku kira Abu Abdirrahman mengkonsumsi kismis (anggur kering) untuk mencerahkan wajahnya.”

2. Guru dan Muridnya

Gurunya ada banyak, dan di antara yang terkenal adalah Ishaq bin Rohawaih, Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Al-Bazzar, Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Hannad As-Sirri.

Dia bagaikan lautan ilmu disertai hafalan yang kokoh dan pemahaman yang mendalam, serta ketelitian mengoreksi hadits, dan keindahan karya tulisnya.

Ia menuntut ilmu di tempat kelahirannya di Khurosan (sekarang Iran), lalu berpindah ke Iraq (Kufah, Baghdad, Wasith, dan Bashroh), Hijaz (Makkah dan Madinah), Mesir, dan Syam (sekarang Palestina, Suriah, Lebanon, dan Yordania). Lalu ia menetap di Mesir dan membuka majlis di sana sehingga para penuntut ilmu berdatangan ke sana.

Di antara muridnya yang terkenal adalah Abu Ja’far Ath-Thahawi penyusun kitab Aqidah Thahawiyah yang terkenal, dan Abul Abbas Ath-Thobroni penyusun kitab tiga Mu’jam.

Hakim Mesir Abul Qosim As-Sa’di berkata: Ahmad bin Syu’aib An-Nasa’i menceritakan kepada kami: Ishaq bin Rohawai mengabarkan kepada kami: Muhammad bin A’yan menceritakan kepada kami, ia berkata: Aku bertanya kepada Ibnul Mubarok: Si fulan berkata bahwa siapa yang meyakini bahwa firman Allah:

إِنَّنِي أَنَا اللهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدْنِي

“Sesungguhnya Aku adalah Allah yang tidak ada yang berhak disembah selain Aku, maka sembahlah Aku,” adalah makhluk maka ia kafir.

Ibnul Mubarok menjawab: Dia benar. An-Nasa’i berkata: Aku berpendapat dengan ini.

Ma’mun Al-Mishri seorang muhaddits berkata: Kami keluar menuju Thorsus bersama An-Nasa’i pada tahun Tebusan. Lalu berkumpul sekelompok imam, yaitu Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Muhammad bin Ibrohim Murobba’, Abul Adzan, dan Kilajah untuk bermusyawaroh siapakah di antara mereka yang dipilih untuk menjelaskan status para perawi? Lalu pilihan mereka jatuh kepada Abu Abdirrahman An-Nasa’i. Mereka pun menulis penjelasannya.

Ibnu Atsir berkata dalam Jami’ul Ushul: “Dia seorang penganut Syafi’i yang memiliki kitab Al-Manasik di atas madzhab Syafi’i. Dia seorang yang wara[2] dan pilihan.”

3. Sunan An-Nasa’i

Ibnu Atsir berkata: Penguasa bertanya kepada Abu Abdirrahman tentang kitabnya As-Sunan: Apakah berisi hadits shahih semua? Dijawab: Tidak. Dia berkata: “Tulislah yang shahih saja dari kitab tersebut.” Akhirnya dipilihlah menjadi kitab Al-Mujtaba (Pilihan).

Kitab hadits yang kita kenal Sunan An-Nasa’i adalah nama lain untuk Al-Mujtaba di atas. Adapun induknya bernama Sunan Al-Kubro, dan Al-Mujtaba ini awalnya bernama Sunan Ash-Shughro. Adz-Dzahabi dan Ibnu Nashiruddin Ad-Dimasqi berpendapat bahwa Al-Mujtaba ini bukan diringkas oleh penulisnya, tetapi oleh Al-Hafizh Ibnu Sunni, muridnya. Adz-Dzahabi berdalil dengan riwayat yang sampai kepadanya akan hal ini. Namun, sejumlah ulama berpandangan ia murni diringkas sendiri oleh An-Nasa’i. Yang berpendapat ini adalah Ibnu Katsir, Ibnu Atsir, Al-Iroqi, dan As-Sakhowi, dan lain-lain.

Al-Hakim berkata: “Banyak sekali pendapat An-Nasa’i atas fiqih hadits. Siapa yang memperhatikan kitabnya As-Sunan maka ia akan dibuat takjub atas keindahan pendapatnya.”

Kitab Sunan An-Nasa’i menempati urutan ke-3 setelah Shahihain dalam keshahihan, mengungguli Sunan Abu Dawud, Sunan Tirmidzi, dan Sunan Ibnu Majah. Dalam Sunan An-Nasa’i tidak ditemukan sama sekali hadits palsu. Abu Ali An-Naisaburi mengatakan bahwa Al-Mujtaba (Sunan An-Nasa’i) semua haditsnya shahih.

Selain Abu Ali, ulama lain yang menamakan kitab tersebut dengan As-Shahih adalah Ibnu Adi, Ibnu Mandah, Ad-Daruquthi, dan Al-Khatib Al-Baghdadi yang semua merupakan pakar hadits. Hal ini disebabkan karena ketatnya kriteria perawi yang diterapkan An-Nasa’i di dalam kitabnya.

Pendapat ini tidak disepakati oleh Ibnu Katsir dan Ibnul Jauzi, karena di dalamnya ada beberapa hadits lemah. Al-Albani menelitinya dan mengumpulkan hadits lemah dalam kitab tersebut mencapai 500 an dari 5.704 hadits. Jumlah ini tentu sangat sedikit dibanding dengan tiga kitab Sunan lainnya.

Namun, melemahkan perawi adalah perkara ijtihad di mana satu ulama dengan lainnya kadang berbeda. Yang nampak, An-Nasa’i memandang 500 hadits yang dipermasalahkan Al-Albani status perawinya adalah maqbul atau hasan. An-Nasai bependapat jika seorang perawi tidak disepakati dilemahkan (yakni sebagian melemahkan dan sebagian menguatkan) maka perawi tersebut tidak ditinggalkan.

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Sunan An-Nasa’i adalah kitab yang paling sedikit hadits lemahnya dan perawi yang dilemahkan, setelah Shahihain.”[3]

4. Ketatnya dalam Menilai Perawi

Sebagian ulama mengatakan: ahli hadits dibagi tiga dalam menyikapi perawi:

1.      Mutasyaddid (ketat), seperti Abu Zur’ah dan An-Nasa’i.

2.      Mutawasith (pertengahan), seperti Al-Bukhari dan Muslim.

3.      Mutasahil (longgar), seperti At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Al-Hakim.

An-Nasa’i memiliki kriteria perawi shahih yang ketat sehingga banyak perawi yang dinilai hasan oleh ulama tetapi dilemahkan An-Nasa’i, bahkan perawi shahih Al-Bukhari dan Muslim ada yang dilemahkan olehnya.

Al-Hafizh Ibnu Thohir berkata: Aku bertanya kepada Sa’ad bin Ali Az-Zinjani tentang seorang perawi lalu ia menilainya kuat. Lalu aku katakan bahwa An-Nasa’i menilainya lemah. Lalu ia berkata: “Wahai anakku! Abu Abdirrahman memiliki kriteria perawi yang lebih ketat dari kriteria Al-Bukhari dan Muslim.”

Adz-Dzahabi berkata: “Dia benar. An-Nasa’i memang melemahkan beberapa perawi yang terdapat di kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim.”

Adz-Dzahabi juga berkata:

لَمْ يَكُنْ أَحَدٌ فِي رَأْسِ الثَّلاَثِ مائَةٍ أَحْفَظ مِنَ النَّسَائِيِّ، هُوَ أَحْذَقُ بِالحَدِيْثِ وَعِلَلِهِ وَرِجَالِهِ مِنْ مُسْلِمٍ، وَمِنْ أَبِي دَاوُدَ، وَمِنْ أَبِي عِيْسَى، وَهُوَ جَارٍ فِي مِضْمَارِ البُخَارِيِّ، وَأَبِي زُرْعَةَ

“Di awal abad ketiga hijriyah, tidak ada orang yang lebih alim dan hafal melebihi An-Nasa’i. Dia lebih pakar hadits, cacatnya, dan para perawinya melebihi Muslim, Abu Dawud, Abu Isa At-Tirmidzi, dan dia selevel Al-Bukhari dan Abu Zur’ah.”

5. Pujian Ulama

Al-Hafizh Abu Ali An-Naisaburi berkata: Telah mengabarkan kepada kami Imam hadits tanpa ada yang menyangkal, yaitu Abu Abdirrahman An-Nasa’i.

Abu Thalib Ahmad bin Nashr Al-Hafizh berkata: Siapakah yang memiliki kesabaran seperti An-Nasa’i? Dia memiliki banyak hadits dari Ibnu Lahi’ah dari jalur “Qutaibah bin Sa’ad, dari Ibnu Lahi’ah” tetapi ia tidak meriwayatkannya.

Yakni, ia berpandangan tidak boleh meriwayatkan dari perawi yang lemah, meski sanadnya ‘ali (tinggi) dari gurunya (Qutaibah).

Ibnu Lahi’ah adalah perawi yang shalih dan kredibel yang mengandalkan periwayatan dari kitabnya. Ketika kitabnya terbakar maka ia banyak melakukan kesalahan dalam periwayatan sehingga ia dilemahkan oleh An-Nasa’i dan sejumlah ulama.

Abul Hasan Ad-Daruquthni berkata: “Abu Abdirrahman diunggulkan dalam bidang hadits ini di zamannya.”

Muhammad bin Muzhaffar Al-Hafizh berkata: Kami mendengar guru-guru kami di Mesir menjelaskan sifat An-Nasa’i dalam kesungguhannya beribadah di malam dan siang hari. Ia pernah ke Fida bersama penguasa Mesir, dan nampak keistiqomahannya menerapkan Sunnah dan kewibawaannya bersama penguasa yang keluar bersamanya, tenang di tempat jamuan. Demikian itu menjadi kepribadiannya hingga mati syahid di Damaskus karena ulah orang-orang Khowarij.

Ad-Daruquthni berkata: Abu Bakar Ibnul Haddad Asy-Syafi’i banyak haditsnya, dan dia tidak meriwayatkan hadits kecuali lewat An-Nasa’i, dan ia berkata: “Aku ridho menjadikannya sebagai hujjah antaraku dengan Allah.”

Ath-Thobroni menyebut An-Nasa’i sebagai Qodhi Mesir saat meriwayatkan hadits darinya dalam kitabnya Al-Mu’jam, begitu pula Abu Awanah menyebut sebagai Qodhi Hims dalam kitabnya As-Shahih.

6. Karya Tulis

Di antara karya tulisnya adalah Musnad Ali, Khoshois Ali, Sunan Al-Kubro, Amalul Yaum wa Lailah, At-Tafsir, Ad-Dhu’afa, dan lain-lain.

Al-Hafizh Ibnu Mandah berkata:

الَّذِيْنَ أَخْرَجُوا الصَّحِيْحَ وَمَيَّزُوا الثَّابِتَ مِنَ المَعْلُوْلِ، وَالخَطَأَ مِنَ الصَّوَابِ أَرْبَعَةٌ: البُخَارِيُّ، وَمُسْلِمٌ، وَأَبُو دَاوُدَ، وَأَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ النَّسَائِيُّ

“Orang-orang yang mengeluarkan hadits-hadits shahih dan memilah yang kokoh dari yang cacat, serta memilah yang benar dari yang salah ada empat orang: Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Abu Abdirrahman An-Nasa’i.”

7. Kisah Wafatnya

Muhammad bin Musa Al-Makmuni berkata: Orang-orang mengingkari Abu Abdirrahman menyusun Al-Khosois (Kitab khusus keutamaan Ali bin Abi Thalib) dan meninggalkan menyusun keutamaan Syaikhoin (Abu Bakar dan Umar), lalu kusampaikan hal itu kepadanya lalu ia menjawab: “Aku masuk ke Damaskus lalu kudapati di sana banyak orang-orang yang menyimpang dari Ali (banyak mencelanya, yakni kaum Khowarij dan pendukung Mu’awiyah) sehingga aku menyusun kitab Al-Khosois tersebut dengan harapan semoga Allah memberi mereka hidayah.” Kemudian setelah itu, ia menyusun kitab Fadhoil Shohabah lalu ditanyakan kepadanya dan aku mendengarnya: Kenapa Anda tidak memasukkan hadits keutamaan Mu’awiyah di sana? Jawabnya: “Hadits apa lagi yang perlu dicantumkan? Hadits: ‘Ya Allah, janganlah Engkau kenyangkan dia,’ maka diamlah sang penanya.

Hadits itu berisi keutamaan Muawiyah bukan celaan baginya, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

«اللهُمَّ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ، فَأَيُّ الْمُسْلِمِينَ لَعَنْتُهُ، أَوْ سَبَبْتُهُ؛ فَاجْعَلْهُ لَهُ زَكَاةً وَأَجْرًا»

“Ya Allah, aku manusia biasa (yang kadang marah). Maka setiap orang Muslim yang aku laknat atau aku maki maka jadikanlah itu sebagai pembersih dosanya dan pahala untuknya.”[4]

Juga, Mu’awiyah selama 20 tahun menjadi gubernur dan selama 20 tahun pula menjadi khalifah, sehingga rasa laparnya justru adalah nikmat hingga bisa mencicipi banyak makanan di istananya. Imam Muslim mencantumkan hadits di atas pada Bab Keutamaan Mu’awiyah.

Abu Abdillah Ibnu Mandah meriwayatkan dari Hamzah Al-Aqbi Al-Mishri dan lainnya bahwa An-Nasa’i keluar dari Mesir di akhir usianya menuju Damaskus. Di sana ia ditanya tentang Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan keutamaannya lalu dijawab: “Tidak[5], dia ridho kepala dengan kepala[6], apakah aku perlu menyebut keutamaannya?” Mereka senantiasa membela keutamaan Mu’awiyah hingga An-Nasa’i (dipukuli lalu) dikeluarkan dari masjid, kemudian dibawa ke Makkah dan meninggal di sana.

Adz-Dzahabi berpendapat bahwa yang benar di Romlah, Palestina.

Ad-Daruquthni berkata: Awalnya ia hendak haji lalu saat lewat Damaskus ia diuji dan menemui mati syahid, dan berkata: “Bawa aku ke Makkah.” Dia dibawa ke sana dan dikubur di antara Shafa dan Marwa. Wafatnya pada bulan Sya’ban tahun 303 H. Dia adalah syaikh yang paling faqih di masanya dan orang yang paling berilmu tentang hadits dan perawi.

Abu Said bin Yunus berkata dalam Tarikhnya: “Abu Abdirrahman An-Nasa’i adalah seorang imam, hafizh, dan tsabat (kokoh). Dia keluar dari Mesir pada bulan Dzulqo’dah tahun 302 H dan wafat di Palestina hari Senin 13 Safar tahun 303 H.”

Dan ini yang lebih tepat, karena Ibnu Yunus adalah seorang hafizh yang jeli dan pernah berguru kepada An-Nasa’i sehingga ia lebih tahu tentangnya.

Dia meninggal di tahun wafatnya pentolan Muktazilah, Abu Ali Al-Jubai.

Semoga Allah merahmatinya, mengampuniya, dan memasukkan kita semua ke SurgaNya.[7][]

 

 



[1] Disebut hafizh jika hafalan haditsnya minimal 100.000 baik riwayat dan diroyah (maknanya). Jika mencapai 300.000 disebut imam. Jika ia menjadi orang terbaik di zamannya atau di tempatnya dalam ilmu dan menjadi rujukan maka ia mencapai tingkat syaikhul Islam. Adapun tsabat adalah kokoh dan akurat hafalannya. An-Nasa’i dijuluki tsabat karena ia lebih kokoh daripada Imam Muslim. Adapun Nasa’i dijuluki Naqidhul Hadits (penyeleksi hadits) karena ia memiliki syarat (kriteria) perawi shahih yang amat ketat, melebihi standar ahli hadits, bahkan ia selevel dengan Al-Bukhari dan Abu Zur’ah.

[2] Wara adalah meninggalkan perkara harom dan syubhat. Jika yang ditinggalkan juga perkara mubah yang tidak bermanfaat di Akhirat maka itu adalah Zuhud. Ia lebih tinggi dari wara.

[3] An-Nukat ‘ala Kitab Ibni Sholah, 1/484.

[4] HR. Muslim no. 2600.

[5] Di dalam Tadzkiratul Huffazh dengan lafazh Ketahuilah sebagai ganti Tidak.

[6] Yakni perang Siffin melawan Ali bin Abi Thalib hingga terbunuh sejumlah orang, di antaranya Ammar bin Yasir.

[7] Biografi ini diringkas dan ditata dari Siyar A’lamin Nubala, 14/125-135, oleh Adz-Dzahabi, dengan penambahan dari referensi lain.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url