33 Faidah Al-Muharrom dan Asyuro | Syaikh Dr. Sholih Al-Munajjid
33 Faidah Al-Muharrom dan Asyuro | Syaikh Dr. Sholih Al-Munajjid
Ini beberapa
faidah dan ringkasan seputar bulan Al-Muharrom dan hari Asyuro.
Aku memohon
kepada Allah agar menjadikan ini bermanfaat dan membalas kebaikan siapa saja
yang ikut serta dan membantu dalam menyiapkannya dan menyebarkannya.
Muhammad Sholih
Al-Munajjid
***
1. Bulan Al-Muharrom adalah bulan
pertama dalam setahun serta bulan terakhir dari tiga bulan harom yang
berurutan: Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Al-Muharrom, lalu Rojab. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
﴿إِنَّ
عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ
عِندَ ٱللَّهِ
ٱثۡنَا عَشَرَ
شَهۡرٗا فِي
كِتَٰبِ ٱللَّهِ
يَوۡمَ خَلَقَ
ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ
مِنۡهَآ أَرۡبَعَةٌ
حُرُمٞۚ ﴾
“Jumlah
bulan di sisi Allah ada 12 bulan di Kitab Allah pada hari diciptakan langit dan
bumi. Di antaranya ada empat bulan harom.” (QS. At-Taubah: 36)
Nabi ﷺ
bersabda:
«الزَّمَانُ قَدِ
اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ، السَّنَةُ
اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ: ذُو
القَعْدَةِ وَذُو الحِجَّةِ وَالمُحَرَّمُ، وَرَجَبُ مُضَرَ، الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى
وَشَعْبَانَ»
“Zaman (tahun)
telah berjalan sebagaimana asalnya semenjak hari Allah menciptakan langit dan
bumi.[1]
Setahun ada 12 bulan, di antaranya ada 4 bulan harom[2].
Tiga bulan berurutan: Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Al-Muharrom, sementara
Rojab Mudhor terletak di antara Jumadal Akhir dan Sya’ban.” (HR. Al-Bukhori
no. 3197)[3]
2. Termasuk keutamaan bulan ini: Nabi ﷺ
menyebutnya “bulan Allah” (HR. Muslim no. 1163).
Penyandarannya
kepada Allah merupakan penyandaran memuliakan. “Ini menunjukkan atas kemuliaan
dan keutamannya, karena Allah tidak menyandarkan sesuatu kepada-Nya kecuali
makhluk yang istimewa, seperti menyandarkan Muhammad, Ibrohim, Ishaq, Ya’qub
kepada hamba-Nya, begitu juga menyandarkan Rumah dan onta kepada-Nya.” (Lathoiful
Ma’arif, hal. 36)
3. Sebagian ulama berpendapat Al-Muharrom
bulan harom terbaik.
Hasan Al-Bashri (110
H) berkata: “Bulan harom terbaik adalah Al-Muharrom.”
Ia berkata:
“Allah membuka tahun dengan bulan harom (Al-Muharrom) dan menutupnya
dengan bulan harom juga (Dzulhijjah). Tidak ada bulan terbaik dalam
setahun setelah Romadhon yang lebih utama di sisi Allah daripada Al-Muharrom.”
(Lathoif, hal. 34)[4]
4. Yang terbaik dari Al-Muharrom adalah
10 awalnya.
Abu Utsman
An-Nahdi (95 H) berkata:
«كَانُوا يُعَظِّمُونَ
ثَلَاثَ عَشَرَاتٍ: العَشْرَ الأَخِيرَ مِنْ رَمَضَانَ، وَالعَشْرَ الأُوَلَ مِن ذِي
الحِجَّةِ، وَالعَشْرَ الأُوَلَ مِن مُحَرَّمِ»
“Mereka
memuliakan tiga yang sepuluh, yaitu 10 akhir Romadhon, 10 awal Dzulhijjah, dan
10 awal Al-Muharrom.” (Lathoif, hal. 35)
5. Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang
menzolimi diri pada bulan ini (yakni bermaksiat):
فَلَا
تَظۡلِمُواْ فِيهِنَّ
أَنفُسَكُمۡۚ
“Janganlah
kamu menzolimi dirimu di empat bulan ini.” (QS. At-Taubah: 36)
Dosa pada 4 bulan
harom ini lebih besar dari selainnya, karena besarnya kemuliaannya. Qotadah
berkata: “Kezoliman di bulan-bulan harom lebih besar dosanya dari kezoliman di
bulan selainnya, meskipun kezoliman di semua bulan dosanya besar. Akan tetapi
Allah membesarkan apa yang Dia kehendaki dari urusan-Nya.” (Tafsir
Ath-Thobari, 14/238)[5]
6. Dianjurkan memperbanyak puasa pada bulan Al-Muharrom,
berdasarkan hadits:
«أَفْضَلُ الصِّيَامِ،
بَعْدَ رَمَضَانَ، شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ، وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ، بَعْدَ الْفَرِيضَةِ،
صَلَاةُ اللَّيْلِ»
“Puasa
terbaik setelah Romadhon adalah puasa di bulan Allah Al-Muharrom. Sholat
terbaik setelah sholat wajib adalah sholat malam.” (HR. Muslim no. 1163)
Ibnu Rojab (795
H) berkata: “Hadits ini tegas menjelaskan puasa sunnah terbaik setelah
Romadhon adalah puasa di bulan Allah Al-Muharrom.” (Lathoif, hal. 33)
Yakni puasa
sunnah mutlak.[6]
7. Anjuran puasa di Al-Muharrom maksudnya
memperbanyak puasa, bukan puasa sebulan penuh, karena telah shohih Rosulullah ﷺ tidak
berpuasa sebulan penuh di selain Romadhon, dan tidak berpuasa sunnah yang lebih
banyak melebihi di Sya’ban.” (HR. Al-Bukhori no. 1969 dan Muslim no. 1156)
8. Ulama memandang rumit memahami kebanyakan
puasa Nabi ﷺ
justru di bulan Sya’ban bukan Al-Muharrom, padahal dengan tegas
menyatakan puasa terbaik setelah Romadhon adalah Al-Muharrom.
Jawabannya:
Mungkin beliau
awalnya tidak tahu keutamaan Al-Muharrom kecuali di akhir hidupnya tanpa
sempat memperbanyak puasa.
Mungkin juga
beliau terkena udzur yang menghalanginya dari memperbanyak puasa di Al-Muharrom,
seperti safar, sakit, atau lainnya. (Syarah Nawawi, 8/37)
9. Asyuro (ke-10) adalah hari ke-10
dari Al-Muharrom menurut mayoritas ulama Salaf dan kholaf, sekaligus
lahiriyah hadits, sesuai bahasa, dan demikian yang dikenal oleh pakar bahasa. (Syarah
Nawawi, 8/12)
10. Asyuro adalah nama Islami yang tidak
dikenal di masa jahiliyah. (Masyariqul Anwar, 2/102, Qodhi Iyadh;
Kasy-syaaful Qona’, 2/338, Al-Buhuthi)
11. Sangat dianjurkan puasa Asyuro,
berdasarkan hadits:
«صِيَامُ يَوْمِ
عَاشُورَاءَ، أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ»
“Puasa
Asyuro, aku berharap kepada Allah ia menghapus dosa setahun yang lalu.” (HR.
Muslim no. 1162)
12. Puasa Asyuro menghapus semua dosa kecil
bukan dosa besar.
“Jika ia memiliki
dosa kecil maka Asyuro menghapusnya. Jika tidak memiliki dosa kecil maupun
besar, maka ditulis untuknya kebaikan dan diangkat derajatnya. Jika ia memiliki
dosa besar, diharapkan Asyuro meringankan dosanya.” (Syarh An-Nawawi, 3/113)
13. Hendaknya istri dan anak serta siapapun
yang ditanggung oleh seseorang untuk diperintah puasa Asyuro dan sahur.
Dari Ar-Rubayyi
bin Mu’awwidz Rodhiyallahu ‘Anha, ia berkata tentang puasa Asyuro yang
diwajibkan sebelum Romadhon:
«فَكُنَّا نَصُومُهُ
بَعْدُ، وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا، وَنَجْعَلُ لَهُمُ اللُّعْبَةَ مِنَ العِهْنِ، فَإِذَا
بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهُ ذَاكَ حَتَّى يَكُونَ عِنْدَ الإِفْطَارِ»
“Kami
pun berpuasa setelah itu dan menyuruh anak-anak kami berpuasa. Kami menyediakan
mereka mainan tanah liat. Jika seorang dari mereka menangis minta makan, kami
berikan mainan itu hingga datang waktu berbuka puasa.” (HR. Al-Bukhori no. 1960
dan Muslim no. 1136)
14. Disukai puasa tanggal 9 dan 10, untuk
menyelisihi Yahudi dan Nashoro.
Ibnu Abbas Rodhiyallahu
‘Anhuma berkata:
حِينَ صَامَ رَسُولُ
اللهِ ﷺ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ
يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: «فَإِذَا كَانَ
الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ» قَالَ: فَلَمْ
يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ، حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ ﷺ
Rosulullah ﷺ puasa
Asyuro dan menyuruh berpuasa. Orang-orang berkata: “Wahai Rosulullah, ia hari
yang dimuliakan Yahudi dan Nashoro.” Beliau bersabda: “Jika datang tahun depan,
kita puasa tanggal 9, in syaa Allah.” Belum datang tahun depan, Nabi ﷺ wafat. (HR.
Muslim no. 1134)
وَفِي
رِوَايَةٍ: «لَئِنْ بَقِيتُ إِلَى قَابِلٍ لَأَصُومَنَّ التَّاسِعَ»
Dalam riwayat
lain: “Jika aku masih hidup tahun depan, aku benar-benar akan puasa tanggal 9.”
Yakni Al-Muharrom. (HR. Muslim no. 1134)
15. Siapa yang terluput dari puasa tanggal 9,
dianjurkan puasa tanggal 10 beserta 11, untuk menyelisihi Yahudi.
16. Tidak dilarang berhati-hati karena khawatir
keliru awal bulan atau terjadi keraguan kapan masuknya Al-Muharrom atau
khawatir terjadi kesalahan (penetapan awal bulan), yang menyebabkan
tanggal 9 semestinya tanggal 10, sehingga untuk hati-hati puasa Asyuro disertai
sehari sebelumnya dan sehari setelahnya.
17. Menurut sebagian ulama, puasa Asyuro
memiliki 3 tingkatan:
(1) Puasa tiga hari: tanggal 9, 10, 11. Ini
berdasarkan hadits lemah dan dilakukan oleh Salaf untuk hati-hati. (Lathoif,
hal. 52)
Yaitu hadits:
«صُومُوا يَوْمَ
عَاشُورَاءَ، وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ، صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا، أَوْ بَعْدَهُ
يَوْمًا»
“Puasalah
hari Asyuro, berbedalah dengan Yahudi, puasalah sehari sebelumnya dan/ sehari
setelahnya.” (HR. Ahmad no. 2154, Al-Baihaqi Al-Kubro 4/287. Ia dilemahkan
Al-Albani dan Al-Arnauth tetapi dihasankan Ahmad Syakir)
(2) Puasa tanggal 9 dan 10. Demikian
berdasarkan kebanyakan hadits yang ada.
(3) Hanya puasa Asyuro saja. Ini boleh tanpa
makruh. (Zadul Ma’ad, 2/72; Fathul Bari, 4/246)
18. Jika Asyuro bertepatan hari Jumat atau
Sabtu, tidak dilarang hanya puasa Asyuro dan tidak makruh, karena ia puasa yang
dianjurkan, bukan karena adanya Jumat atau Sabtu. (Fathul Bari, 4/234;
Fatawa Bin Baz, 15/414; Fatawa Ibni Utsaimin, 20/58)
19. Siapa yang memiliki tanggungan qodho
Romadhon, tidak dilarang puasa Asyuro dengan niat sunnah. Lalu qodhonya
dilakukan setelahnya. Puasa sunnah dibolehkan sebelum qodho Romadhon menurut
pendapat yang lebih tepat, karena ia puasa khusus yang tidak berlaku di selain
waktunya, sementara qodho waktunya longgar.
20. Siapa yang memiliki qodho Romadhon lalu
puasa Asyuro dengan niat qodho Romadhon, sah puasanya, dan diharapkan ia
mendapatkan pula pahala Asyuro —menurut pendapat sebagian ulama, sehingga ia
mendapatkan pahala qodho sekaligus Asyuro. Ini pendapat Ibnu Utsaimin Rohimahullah.
(Fatawa Ibnu Utsaimin, 20/48)
Akan tetapi yang
paling utama adalah qodho Romadhon di hari lain selain Asyuro, sementara saat
Asyuro diniatkan puasa sunnah agar ia mendapatkan dua keutamaan: qodho dan
puasa Asyuro.
21. Boleh meniatkan puasa tanggal 9 dan 11
sebagai qodho Romadhon, sementara Asyuro dengan niat puasa sunnah, hingga ia
mendapatkan pahala qodho dan Asyuro.
22. Siapa yang safar, tidak mengapa tetap
puasa Asyuro jika memang tidak memberatkannya.
23. Tidak disyariatkan (tidak sah atau
tidak berpahala) wanita haid dan nifas qodho puasa Asyuro setelah terlewat,
karena ia puasa yang sudah ditentukan waktunya dan tidak berlaku jika telah
berlalu waktunya. (Fatawa Ibnu Utsaimin, 20/43)
24. Siapa yang terkena udzur dari puasa
Asyuro seperti sakit, haid, menyusui, dan ia biasa berpuasa Asyuro tiap tahun,
maka ia mendapatkan pahala dengan niatnya, berdasarkan hadits:
«إِذَا مَرِضَ العَبْدُ،
أَوْ سَافَرَ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا»
“Apabila
seseorang sakit atau safar maka ia mendapatkan pahala seperti yang biasa ia
lakukan ketika muqim dan sehat.” (HR. Al-Bukhori no. 2996)
25. Puasa Asyuro awalnya diwajibkan sebelum
Romadhon lalu dihapus hukumnya menjadi sunnah.
Dari Ummul
Mu’minin Aisyah Rodhiyallahu ‘Anha, ia berkata: “Rosulullah ﷺ
menyuruh puasa Asyuro sebelum diwajibkan Romadhon. Ketika Romadhon diwajibkan,
maka dipersilahkan puasa Asyuro atau tidak.” (HR. Al-Bukhori no. 1592 dan
Muslim no. 1125)
Dalam hadits
lain:
«هَذَا يَوْمُ عَاشُورَاءَ
وَلَمْ يَكْتُبِ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ، وَأَنَا صَائِمٌ، فَمَنْ شَاءَ، فَلْيَصُمْ
وَمَنْ شَاءَ، فَلْيُفْطِرْ»
“Ini
hari Asyuro dan Allah tidak mewajibkan puasa atas kalian. Aku berpuasa. Siapa
yang berpuasa silahkan dan siapa yang tidak juga silahkan.” (HR. Al-Bukhori
no. 2003 dan Muslim no. 1129)
26. Puasa Arofah lebih utama dari puasa
Asyuro, karena ia menghapus dosa dua tahun.
Ada yang
menyebutkan hikmahnya: hari Asyuro disandarkan kepada Musa sementara hari Arofah disandarkan kepada
Nabi ﷺ,
dan ia termasuk kekhususan syariat kita. Oleh karena itu ia lebih utama dan
dilipatkan berkat Al-Mushthofa ﷺ.
Ada pula yang
menyebutkan: hari Arofah terdapat di bulan harom (Dzulhijjah), yang
diapit dengan bulan harom sebelumnya (Dzulqo’dah) dan bulan harom
setelahnya (Al-Muharrom), berbeda dengan Asyuro. (Bada’i Fawaid,
4/211; Fathul Bari, 4/249)
Ada pula yang
menyebutkan: pada hari Asyuro Allah menyempurnakan ni’mat kepada Musa berupa
diselamatkan dari musuhnya, sementara pada hari Arofah Allah menyempurnakan
ni’mat kepada Nabi Muhammad ﷺ berupa kesempurnaan risalahnya. Ni’mat agama lebih besar dari
ni’mat badan. Perbedaan keutamaan sesuai jenis ni’matnya: yang satu ni’mat
agama dan yang lain ni’mat badan.
27. Hari Asyuro adalah hari besar dari
hari-hari Allah, sebagaimana dalam hadits:
«إِنَّ عَاشُورَاءَ
يَوْمٌ مِنْ أَيَّامِ اللهِ»
“Asyuro
adalah hari dari hari-hari Allah.” (HR. Muslim no. 1126)
Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
﴿وَذَكِّرۡهُم
بِأَيَّىٰمِ ٱللَّهِۚ﴾
“Ingatkan
mereka akan hari-hari Allah.” (QS. Ibrohim: 5)
Allah
menyelamatkan Musa dan kaumnya pada hari itu dan menenggelamkan Firaun dan
pasukannya, maka Musa berpuasa sebagai wujud syukur kepada Allah atas ni’mat
tersebut. Lalu Rosulullah ﷺ berpuasa dan menyuruh manusia berpuasa dengan anjuran, untuk
mengikuti Nabi Musa, “dalam rangka mensyukuri ni’mat pada hari
terjadinya peristiwa.” (Lathoif, hal. 96)
Dari Ibnu Abbas Rodhiyallahu
‘Anhuma, Rosulullah ﷺ tiba di Madinah dan mendapati Yahudi berpuasa Asyuro. Beliau
berkata: “Hari apa ini yang kalian berpuasa?” Mereka menjawab: “Ini hari besar,
Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya serta menenggelamkan Firaun dan kaumnya
—dalam riwayat lain: ini hari Allah memenangkan Musa dan Bani Isroil atas Firaun—
lalu Musa berpuasa sebagai syukur dan kami ikut berpuasa.” Rosulullah ﷺ
bersabda: “Kami lebih berhak atas Musa dari kalian.” Maka beliau berpuasa dan
memerintahkan manusia berpuasa. (HR. Al-Bukhori no. 3943 dan Muslim no.
1130)
28. Asyuro mengingatkan kita akan hubungan
erat antara sesama Muslim, meskipun berbeda waktu dan tempat, sebagai wujud
persaudaraan iman di antara sesama Muslim dan sebagai wujud loyalitas kepada
Allah, Rosul-Nya, dan orang beriman. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
﴿وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ
وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ بَعۡضُهُمۡ
أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٖۚ﴾
“Orang-orang
beriman satu sama lain menjadi wali (saling mencintai dan membantu).” (QS.
At-Taubah: 71)
29. Asyuro adalah hari bersyukur dan
kemenangan dari Allah. Dikatakan kepada Musa:
﴿إِنَّا
لَمُدۡرَكُونَ﴾
“Kita
akan tersusul.” Musa menjawab:
﴿كَلَّآۖ
إِنَّ مَعِيَ
رَبِّي سَيَهۡدِينِ﴾
“Tidak.
Allah bersamaku akan memberiku petunjuk.” (QS. Asy-Syuaro: 62)
30. Orang jahiliyyah sudah terkenal
memuliakan Asyuro. Mereka memuliakannya dengan berpuasa, mengganti kiswah
Ka’bah, seperti yang dikatakan Ummul Mu’minin Aisyah Rodhiyallahu ‘Anha.
(HR. Al-Bukhori no. 1893 dan Muslim no. 1125)
31. Memuliakan Asyuro adalah dengan berpuasa
sebagai bentuk syukur kepada Allah atas ni’mat selamat dari musuh. Padanya kita
mengingat kuasa Allah atas musuh-Nya dan musuh Nabi-Nya.
32. Sebagian manusia banyak mengadakan ritual
bid’ah pada Asyuro. Di antaranya: mengadakan acara berkumpul memperingati
kematian Al-Husain Rodhiyallahu ‘Anhu, hari kesedihan, hari niyahah
(ratapan), merobek kerah baju, menampar pipi, dan melukainya. Ini sama
sekali bukan agama Allah, akan tetapi perbuatan jahiliyah.
Disebutkan dalam
hadits:
«لَيْسَ مِنَّا مَنْ
لَطَمَ الخُدُودَ، وَشَقَّ الجُيُوبَ، وَدَعَا بِدَعْوَى الجَاهِلِيَّةِ»
“Bukan
termasuk golongan kami orang yang menampar pipi, merobek kerah baju, dan
berteriak ala jahiliyah (ketika terkena musibah sebagai wujud marah).” (HR.
Al-Bukhori no. 1294 dan Muslim no. 103)
Orang beriman ketika
tertimpa musibah bersabar dan mengharap pahala serta ridho atas ketentuan
Allah.
33. Banyak akal manusia pada hari Asyuro
dipermainkan setan dan menjauhkan mereka dari jalan orang beriman. Di antara
mereka ada yang mengadakan ritual berkumpul makan-makan, ada pula yang
menjadikannya perayaan disertai nyayian, ada pula yang mengadakan perayaan
disertai manisan dan makanan tertentu. Ini menyerupai Yahudi dan Nashoro dalam
memuliakan hari ini. Masing-masing dari perkara ini adalah bid’ah dan perkara
baru dalam agama.
Kita memohon
kepada Allah agar memberi kita kemampuan kepada apa yang Dia cintai dan ridhoi.
Segala puji milik Allah Pencipta seluruh alam.[]
[1]
Orang Arob menggeser Al-Muharrom dan
menggawalkan Shofar agar melegalkan berperang lalu dibatalkan Islam dan
Al-Muharrom dikembalikan sebagai bulan pertama dari penanggalan setahun. Note:
semua footnote dari penerjemah.
[2]
Disebut harom karena lebih
dimuliakan dari bulan-bulan lainnya dan diantaranya diharomkan berperang.
[3]
Dzulqo’dah (pemilik duduk): karena mereka duduk tidak berperang. Dzulhijjah (pemilik Haji):
karena dilaksanakan manasik Haji tanggal 8-13 Dzulhijjah. Al-Muharrom (diharomkan):
karena mereka diharomkan berperang di dalamnya. Rojab (memuliakan):
karena mereka memuliakan bulan ini bersama 3 bulan harom lainnya. Disandarkan
Rojab kepada Mudhor, karena suku Mudhor lebih memuliakan Rojab dari orang Arob
lainnya. Sebagian orang Arob menggeser Rojab untuk melegalkan berperang,
sementara Mudhor tetap bertahan dan memuliakannya tanpa perang.
[4]
Tidak bisa dipastikan bahwa ini
ucapan Hasan Al-Bashri karena Ibnu Rojab tidak menyebut sanadnya. Seandainya
shohih dari Hasan, maka ucapannya bukan hujjah. Pendapat lain: bulan harom
terbaik adalah Dzulhijjah karena ia bulan Haji dan keutamaan 10 awal darinya. Maka
dikatakan Al-Muharrom bulan terbaik setelah Romadhon dan Dzulhijjah. Allahu
a’lam.
[5]
Dosa selamanya tidak dilipatkan
tetapi hanya dibesarkan. Adapun dibesarkan dan dilipatkan adalah untuk amal
sholih. Demikian dalil-dalil jika digabungkan. Ini pendapat Ibnu Utsaimin Rohimahullah.
[6] Adapun puasa yang muqoyyad (terikat
sesuatu) maka ia lebih utama, seperti puasa Dawud, puasa Ayyamul Bidh,
puasa Senin Kamis, sholat Rowatib, dan seterusnya.