33 Faidah Al-Muharrom dan Asyuro | Syaikh Dr. Sholih Al-Munajjid

33 Faidah Al-Muharrom dan Asyuro | Syaikh Dr. Sholih Al-Munajjid

Segala puji milik Allah. Sholawat dan salam atas Rosulullah .

Ini beberapa faidah dan ringkasan seputar bulan Al-Muharrom dan hari Asyuro.

Aku memohon kepada Allah agar menjadikan ini bermanfaat dan membalas kebaikan siapa saja yang ikut serta dan membantu dalam menyiapkannya dan menyebarkannya.

Muhammad Sholih Al-Munajjid

***


1. Bulan Al-Muharrom adalah bulan pertama dalam setahun serta bulan terakhir dari tiga bulan harom yang berurutan: Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Al-Muharrom, lalu Rojab. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

﴿إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثۡنَا عَشَرَ شَهۡرٗا فِي كِتَٰبِ ٱللَّهِ يَوۡمَ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ مِنۡهَآ أَرۡبَعَةٌ حُرُمٞۚ

“Jumlah bulan di sisi Allah ada 12 bulan di Kitab Allah pada hari diciptakan langit dan bumi. Di antaranya ada empat bulan harom.” (QS. At-Taubah: 36)

Nabi bersabda:

«الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ: ذُو القَعْدَةِ وَذُو الحِجَّةِ وَالمُحَرَّمُ، وَرَجَبُ مُضَرَ، الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ»

“Zaman (tahun) telah berjalan sebagaimana asalnya semenjak hari Allah menciptakan langit dan bumi.[1] Setahun ada 12 bulan, di antaranya ada 4 bulan harom[2]. Tiga bulan berurutan: Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Al-Muharrom, sementara Rojab Mudhor terletak di antara Jumadal Akhir dan Sya’ban.” (HR. Al-Bukhori no. 3197)[3]

2. Termasuk keutamaan bulan ini: Nabi menyebutnya “bulan Allah” (HR. Muslim no. 1163).

Penyandarannya kepada Allah merupakan penyandaran memuliakan. “Ini menunjukkan atas kemuliaan dan keutamannya, karena Allah tidak menyandarkan sesuatu kepada-Nya kecuali makhluk yang istimewa, seperti menyandarkan Muhammad, Ibrohim, Ishaq, Ya’qub kepada hamba-Nya, begitu juga menyandarkan Rumah dan onta kepada-Nya.” (Lathoiful Ma’arif, hal. 36)

3. Sebagian ulama berpendapat Al-Muharrom bulan harom terbaik.

Hasan Al-Bashri (110 H) berkata: “Bulan harom terbaik adalah Al-Muharrom.”

Ia berkata: “Allah membuka tahun dengan bulan harom (Al-Muharrom) dan menutupnya dengan bulan harom juga (Dzulhijjah). Tidak ada bulan terbaik dalam setahun setelah Romadhon yang lebih utama di sisi Allah daripada Al-Muharrom.” (Lathoif, hal. 34)[4]

4. Yang terbaik dari Al-Muharrom adalah 10 awalnya.

Abu Utsman An-Nahdi (95 H) berkata:

«كَانُوا يُعَظِّمُونَ ثَلَاثَ عَشَرَاتٍ: العَشْرَ الأَخِيرَ مِنْ رَمَضَانَ، وَالعَشْرَ الأُوَلَ مِن ذِي الحِجَّةِ، وَالعَشْرَ الأُوَلَ مِن مُحَرَّمِ»

“Mereka memuliakan tiga yang sepuluh, yaitu 10 akhir Romadhon, 10 awal Dzulhijjah, dan 10 awal Al-Muharrom.” (Lathoif, hal. 35)

5. Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang menzolimi diri pada bulan ini (yakni bermaksiat):

فَلَا تَظۡلِمُواْ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمۡۚ 

“Janganlah kamu menzolimi dirimu di empat bulan ini.” (QS. At-Taubah: 36)

Dosa pada 4 bulan harom ini lebih besar dari selainnya, karena besarnya kemuliaannya. Qotadah berkata: “Kezoliman di bulan-bulan harom lebih besar dosanya dari kezoliman di bulan selainnya, meskipun kezoliman di semua bulan dosanya besar. Akan tetapi Allah membesarkan apa yang Dia kehendaki dari urusan-Nya.” (Tafsir Ath-Thobari, 14/238)[5]

6. Dianjurkan memperbanyak puasa pada bulan Al-Muharrom, berdasarkan hadits:

«أَفْضَلُ الصِّيَامِ، بَعْدَ رَمَضَانَ، شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ، وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ، بَعْدَ الْفَرِيضَةِ، صَلَاةُ اللَّيْلِ»

“Puasa terbaik setelah Romadhon adalah puasa di bulan Allah Al-Muharrom. Sholat terbaik setelah sholat wajib adalah sholat malam.” (HR. Muslim no. 1163)

Ibnu Rojab (795 H) berkata: “Hadits ini tegas menjelaskan puasa sunnah terbaik setelah Romadhon adalah puasa di bulan Allah Al-Muharrom.” (Lathoif, hal. 33)

Yakni puasa sunnah mutlak.[6]

7. Anjuran puasa di Al-Muharrom maksudnya memperbanyak puasa, bukan puasa sebulan penuh, karena telah shohih Rosulullah tidak berpuasa sebulan penuh di selain Romadhon, dan tidak berpuasa sunnah yang lebih banyak melebihi di Sya’ban.” (HR. Al-Bukhori no. 1969 dan Muslim no. 1156)

8. Ulama memandang rumit memahami kebanyakan puasa Nabi justru di bulan Sya’ban bukan Al-Muharrom, padahal dengan tegas menyatakan puasa terbaik setelah Romadhon adalah Al-Muharrom.

Jawabannya:

Mungkin beliau awalnya tidak tahu keutamaan Al-Muharrom kecuali di akhir hidupnya tanpa sempat memperbanyak puasa.

Mungkin juga beliau terkena udzur yang menghalanginya dari memperbanyak puasa di Al-Muharrom, seperti safar, sakit, atau lainnya. (Syarah Nawawi, 8/37)

9. Asyuro (ke-10) adalah hari ke-10 dari Al-Muharrom menurut mayoritas ulama Salaf dan kholaf, sekaligus lahiriyah hadits, sesuai bahasa, dan demikian yang dikenal oleh pakar bahasa. (Syarah Nawawi, 8/12)

10. Asyuro adalah nama Islami yang tidak dikenal di masa jahiliyah. (Masyariqul Anwar, 2/102, Qodhi Iyadh; Kasy-syaaful Qona’, 2/338, Al-Buhuthi)

11. Sangat dianjurkan puasa Asyuro, berdasarkan hadits:

«صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ، أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ»

“Puasa Asyuro, aku berharap kepada Allah ia menghapus dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim no. 1162)

12. Puasa Asyuro menghapus semua dosa kecil bukan dosa besar.

“Jika ia memiliki dosa kecil maka Asyuro menghapusnya. Jika tidak memiliki dosa kecil maupun besar, maka ditulis untuknya kebaikan dan diangkat derajatnya. Jika ia memiliki dosa besar, diharapkan Asyuro meringankan dosanya.” (Syarh An-Nawawi, 3/113)

13. Hendaknya istri dan anak serta siapapun yang ditanggung oleh seseorang untuk diperintah puasa Asyuro dan sahur.

Dari Ar-Rubayyi bin Mu’awwidz Rodhiyallahu ‘Anha, ia berkata tentang puasa Asyuro yang diwajibkan sebelum Romadhon:

«فَكُنَّا نَصُومُهُ بَعْدُ، وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا، وَنَجْعَلُ لَهُمُ اللُّعْبَةَ مِنَ العِهْنِ، فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهُ ذَاكَ حَتَّى يَكُونَ عِنْدَ الإِفْطَارِ»

“Kami pun berpuasa setelah itu dan menyuruh anak-anak kami berpuasa. Kami menyediakan mereka mainan tanah liat. Jika seorang dari mereka menangis minta makan, kami berikan mainan itu hingga datang waktu berbuka puasa.” (HR. Al-Bukhori no. 1960 dan Muslim no. 1136)

14. Disukai puasa tanggal 9 dan 10, untuk menyelisihi Yahudi dan Nashoro.

Ibnu Abbas Rodhiyallahu ‘Anhuma berkata:

حِينَ صَامَ رَسُولُ اللهِ ﷺ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: «فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ» قَالَ: فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ، حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ ﷺ

Rosulullah puasa Asyuro dan menyuruh berpuasa. Orang-orang berkata: “Wahai Rosulullah, ia hari yang dimuliakan Yahudi dan Nashoro.” Beliau bersabda: “Jika datang tahun depan, kita puasa tanggal 9, in syaa Allah.” Belum datang tahun depan, Nabi wafat. (HR. Muslim no. 1134)

وَفِي رِوَايَةٍ: «لَئِنْ بَقِيتُ إِلَى قَابِلٍ لَأَصُومَنَّ التَّاسِعَ»

Dalam riwayat lain: “Jika aku masih hidup tahun depan, aku benar-benar akan puasa tanggal 9.” Yakni Al-Muharrom. (HR. Muslim no. 1134)

15. Siapa yang terluput dari puasa tanggal 9, dianjurkan puasa tanggal 10 beserta 11, untuk menyelisihi Yahudi.

16. Tidak dilarang berhati-hati karena khawatir keliru awal bulan atau terjadi keraguan kapan masuknya Al-Muharrom atau khawatir terjadi kesalahan (penetapan awal bulan), yang menyebabkan tanggal 9 semestinya tanggal 10, sehingga untuk hati-hati puasa Asyuro disertai sehari sebelumnya dan sehari setelahnya.

17. Menurut sebagian ulama, puasa Asyuro memiliki 3 tingkatan:

(1) Puasa tiga hari: tanggal 9, 10, 11. Ini berdasarkan hadits lemah dan dilakukan oleh Salaf untuk hati-hati. (Lathoif, hal. 52)

Yaitu hadits:

«صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ، وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ، صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا، أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا»

“Puasalah hari Asyuro, berbedalah dengan Yahudi, puasalah sehari sebelumnya dan/ sehari setelahnya.” (HR. Ahmad no. 2154, Al-Baihaqi Al-Kubro 4/287. Ia dilemahkan Al-Albani dan Al-Arnauth tetapi dihasankan Ahmad Syakir)

(2) Puasa tanggal 9 dan 10. Demikian berdasarkan kebanyakan hadits yang ada.

(3) Hanya puasa Asyuro saja. Ini boleh tanpa makruh. (Zadul Ma’ad, 2/72; Fathul Bari, 4/246)

18. Jika Asyuro bertepatan hari Jumat atau Sabtu, tidak dilarang hanya puasa Asyuro dan tidak makruh, karena ia puasa yang dianjurkan, bukan karena adanya Jumat atau Sabtu. (Fathul Bari, 4/234; Fatawa Bin Baz, 15/414; Fatawa Ibni Utsaimin, 20/58)

19. Siapa yang memiliki tanggungan qodho Romadhon, tidak dilarang puasa Asyuro dengan niat sunnah. Lalu qodhonya dilakukan setelahnya. Puasa sunnah dibolehkan sebelum qodho Romadhon menurut pendapat yang lebih tepat, karena ia puasa khusus yang tidak berlaku di selain waktunya, sementara qodho waktunya longgar.

20. Siapa yang memiliki qodho Romadhon lalu puasa Asyuro dengan niat qodho Romadhon, sah puasanya, dan diharapkan ia mendapatkan pula pahala Asyuro —menurut pendapat sebagian ulama, sehingga ia mendapatkan pahala qodho sekaligus Asyuro. Ini pendapat Ibnu Utsaimin Rohimahullah. (Fatawa Ibnu Utsaimin, 20/48)

Akan tetapi yang paling utama adalah qodho Romadhon di hari lain selain Asyuro, sementara saat Asyuro diniatkan puasa sunnah agar ia mendapatkan dua keutamaan: qodho dan puasa Asyuro.

21. Boleh meniatkan puasa tanggal 9 dan 11 sebagai qodho Romadhon, sementara Asyuro dengan niat puasa sunnah, hingga ia mendapatkan pahala qodho dan Asyuro.

22. Siapa yang safar, tidak mengapa tetap puasa Asyuro jika memang tidak memberatkannya.

23. Tidak disyariatkan (tidak sah atau tidak berpahala) wanita haid dan nifas qodho puasa Asyuro setelah terlewat, karena ia puasa yang sudah ditentukan waktunya dan tidak berlaku jika telah berlalu waktunya. (Fatawa Ibnu Utsaimin, 20/43)

24. Siapa yang terkena udzur dari puasa Asyuro seperti sakit, haid, menyusui, dan ia biasa berpuasa Asyuro tiap tahun, maka ia mendapatkan pahala dengan niatnya, berdasarkan hadits:

«إِذَا مَرِضَ العَبْدُ، أَوْ سَافَرَ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا»

“Apabila seseorang sakit atau safar maka ia mendapatkan pahala seperti yang biasa ia lakukan ketika muqim dan sehat.” (HR. Al-Bukhori no. 2996)

25. Puasa Asyuro awalnya diwajibkan sebelum Romadhon lalu dihapus hukumnya menjadi sunnah.

Dari Ummul Mu’minin Aisyah Rodhiyallahu ‘Anha, ia berkata: “Rosulullah menyuruh puasa Asyuro sebelum diwajibkan Romadhon. Ketika Romadhon diwajibkan, maka dipersilahkan puasa Asyuro atau tidak.” (HR. Al-Bukhori no. 1592 dan Muslim no. 1125)

Dalam hadits lain:

«هَذَا يَوْمُ عَاشُورَاءَ وَلَمْ يَكْتُبِ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ، وَأَنَا صَائِمٌ، فَمَنْ شَاءَ، فَلْيَصُمْ وَمَنْ شَاءَ، فَلْيُفْطِرْ»

“Ini hari Asyuro dan Allah tidak mewajibkan puasa atas kalian. Aku berpuasa. Siapa yang berpuasa silahkan dan siapa yang tidak juga silahkan.” (HR. Al-Bukhori no. 2003 dan Muslim no. 1129)

26. Puasa Arofah lebih utama dari puasa Asyuro, karena ia menghapus dosa dua tahun.

Ada yang menyebutkan hikmahnya: hari Asyuro disandarkan kepada Musa sementara hari Arofah disandarkan kepada Nabi , dan ia termasuk kekhususan syariat kita. Oleh karena itu ia lebih utama dan dilipatkan berkat Al-Mushthofa .

Ada pula yang menyebutkan: hari Arofah terdapat di bulan harom (Dzulhijjah), yang diapit dengan bulan harom sebelumnya (Dzulqo’dah) dan bulan harom setelahnya (Al-Muharrom), berbeda dengan Asyuro. (Bada’i Fawaid, 4/211; Fathul Bari, 4/249)

Ada pula yang menyebutkan: pada hari Asyuro Allah menyempurnakan ni’mat kepada Musa berupa diselamatkan dari musuhnya, sementara pada hari Arofah Allah menyempurnakan ni’mat kepada Nabi Muhammad berupa kesempurnaan risalahnya. Ni’mat agama lebih besar dari ni’mat badan. Perbedaan keutamaan sesuai jenis ni’matnya: yang satu ni’mat agama dan yang lain ni’mat badan.

27. Hari Asyuro adalah hari besar dari hari-hari Allah, sebagaimana dalam hadits:

«إِنَّ عَاشُورَاءَ يَوْمٌ مِنْ أَيَّامِ اللهِ»

“Asyuro adalah hari dari hari-hari Allah.” (HR. Muslim no. 1126)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

﴿وَذَكِّرۡهُم بِأَيَّىٰمِ ٱللَّهِۚ 

“Ingatkan mereka akan hari-hari Allah.” (QS. Ibrohim: 5)

Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya pada hari itu dan menenggelamkan Firaun dan pasukannya, maka Musa berpuasa sebagai wujud syukur kepada Allah atas ni’mat tersebut. Lalu Rosulullah berpuasa dan menyuruh manusia berpuasa dengan anjuran, untuk mengikuti Nabi Musa, “dalam rangka mensyukuri ni’mat pada hari terjadinya peristiwa.” (Lathoif, hal. 96)

Dari Ibnu Abbas Rodhiyallahu ‘Anhuma, Rosulullah tiba di Madinah dan mendapati Yahudi berpuasa Asyuro. Beliau berkata: “Hari apa ini yang kalian berpuasa?” Mereka menjawab: “Ini hari besar, Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya serta menenggelamkan Firaun dan kaumnya —dalam riwayat lain: ini hari Allah memenangkan Musa dan Bani Isroil atas Firaun— lalu Musa berpuasa sebagai syukur dan kami ikut berpuasa.” Rosulullah bersabda: “Kami lebih berhak atas Musa dari kalian.” Maka beliau berpuasa dan memerintahkan manusia berpuasa. (HR. Al-Bukhori no. 3943 dan Muslim no. 1130)

28. Asyuro mengingatkan kita akan hubungan erat antara sesama Muslim, meskipun berbeda waktu dan tempat, sebagai wujud persaudaraan iman di antara sesama Muslim dan sebagai wujud loyalitas kepada Allah, Rosul-Nya, dan orang beriman. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

﴿وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٖۚ 

“Orang-orang beriman satu sama lain menjadi wali (saling mencintai dan membantu).” (QS. At-Taubah: 71)

29. Asyuro adalah hari bersyukur dan kemenangan dari Allah. Dikatakan kepada Musa:

﴿إِنَّا لَمُدۡرَكُونَ

“Kita akan tersusul.” Musa menjawab:

﴿كَلَّآۖ إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهۡدِينِ

“Tidak. Allah bersamaku akan memberiku petunjuk.” (QS. Asy-Syuaro: 62)

30. Orang jahiliyyah sudah terkenal memuliakan Asyuro. Mereka memuliakannya dengan berpuasa, mengganti kiswah Ka’bah, seperti yang dikatakan Ummul Mu’minin Aisyah Rodhiyallahu ‘Anha. (HR. Al-Bukhori no. 1893 dan Muslim no. 1125)

31. Memuliakan Asyuro adalah dengan berpuasa sebagai bentuk syukur kepada Allah atas ni’mat selamat dari musuh. Padanya kita mengingat kuasa Allah atas musuh-Nya dan musuh Nabi-Nya.

32. Sebagian manusia banyak mengadakan ritual bid’ah pada Asyuro. Di antaranya: mengadakan acara berkumpul memperingati kematian Al-Husain Rodhiyallahu ‘Anhu, hari kesedihan, hari niyahah (ratapan), merobek kerah baju, menampar pipi, dan melukainya. Ini sama sekali bukan agama Allah, akan tetapi perbuatan jahiliyah.

Disebutkan dalam hadits:

«لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الخُدُودَ، وَشَقَّ الجُيُوبَ، وَدَعَا بِدَعْوَى الجَاهِلِيَّةِ»

“Bukan termasuk golongan kami orang yang menampar pipi, merobek kerah baju, dan berteriak ala jahiliyah (ketika terkena musibah sebagai wujud marah).” (HR. Al-Bukhori no. 1294 dan Muslim no. 103)

Orang beriman ketika tertimpa musibah bersabar dan mengharap pahala serta ridho atas ketentuan Allah.

33. Banyak akal manusia pada hari Asyuro dipermainkan setan dan menjauhkan mereka dari jalan orang beriman. Di antara mereka ada yang mengadakan ritual berkumpul makan-makan, ada pula yang menjadikannya perayaan disertai nyayian, ada pula yang mengadakan perayaan disertai manisan dan makanan tertentu. Ini menyerupai Yahudi dan Nashoro dalam memuliakan hari ini. Masing-masing dari perkara ini adalah bid’ah dan perkara baru dalam agama.

Kita memohon kepada Allah agar memberi kita kemampuan kepada apa yang Dia cintai dan ridhoi. Segala puji milik Allah Pencipta seluruh alam.[]



[1] Orang Arob menggeser Al-Muharrom dan menggawalkan Shofar agar melegalkan berperang lalu dibatalkan Islam dan Al-Muharrom dikembalikan sebagai bulan pertama dari penanggalan setahun. Note: semua footnote dari penerjemah.

[2] Disebut harom karena lebih dimuliakan dari bulan-bulan lainnya dan diantaranya diharomkan berperang.

[3] Dzulqo’dah (pemilik duduk): karena mereka duduk tidak berperang. Dzulhijjah (pemilik Haji): karena dilaksanakan manasik Haji tanggal 8-13 Dzulhijjah. Al-Muharrom (diharomkan): karena mereka diharomkan berperang di dalamnya. Rojab (memuliakan): karena mereka memuliakan bulan ini bersama 3 bulan harom lainnya. Disandarkan Rojab kepada Mudhor, karena suku Mudhor lebih memuliakan Rojab dari orang Arob lainnya. Sebagian orang Arob menggeser Rojab untuk melegalkan berperang, sementara Mudhor tetap bertahan dan memuliakannya tanpa perang.

[4] Tidak bisa dipastikan bahwa ini ucapan Hasan Al-Bashri karena Ibnu Rojab tidak menyebut sanadnya. Seandainya shohih dari Hasan, maka ucapannya bukan hujjah. Pendapat lain: bulan harom terbaik adalah Dzulhijjah karena ia bulan Haji dan keutamaan 10 awal darinya. Maka dikatakan Al-Muharrom bulan terbaik setelah Romadhon dan Dzulhijjah. Allahu a’lam.

[5] Dosa selamanya tidak dilipatkan tetapi hanya dibesarkan. Adapun dibesarkan dan dilipatkan adalah untuk amal sholih. Demikian dalil-dalil jika digabungkan. Ini pendapat Ibnu Utsaimin Rohimahullah.

[6] Adapun puasa yang muqoyyad (terikat sesuatu) maka ia lebih utama, seperti puasa Dawud, puasa Ayyamul Bidh, puasa Senin Kamis, sholat Rowatib, dan seterusnya.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url