Istinja dan Adab Buang Hajat

Istinja dan Adab Buang Hajat

Ketika buang hajat dianjurkan:

1)  Mendahulukan kaki kiri saat masuk

Hal ini berdasarkan hadits Aisyah Rodhiyallahu ‘Anha:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ، فِي تَنَعُّلِهِ، وَتَرَجُّلِهِ، وَطُهُورِهِ، وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ»

“Rosulullah suka mendahulukan yang kanan dalam memakai sandal, bersisir, bersuci, dan dalam semua urusannya.” (HR. Bukhori no. 168 dan HR. Muslim no. 268)

Yakni dalam hal-hal yang baik dan mulia. Adapun pada yang buruk dan kotor maka mendahulukan yang kiri.

Dalam riwayat lain:

وَكَانَتْ يَدُهُ الْيُسْرَى لِخَلَائِهِ، وَمَا كَانَ مِنْ أَذًى»

“Adapun tangannya yang kiri untuk cebok dan apa saja yang kotor.” (HSR. Abu Dawud no. 33)

2)  Membaca:

«بِسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الخُبُثِ وَالخَبَائِثِ»

“Dengan menyebut nama Allah, ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari gangguan jin laki-laki dan jin perempuan.”

Dalil basmalah, berdasarkan hadits Ali Rodhiyallahu ‘Anhu, Nabi bersabda:

«سَتْرُ مَا بَيْنَ أَعْيُنِ الجِنِّ وَعَوْرَاتِ بَنِي آدَمَ إِذَا دَخَلَ أَحَدُهُمُ الخَلَاءَ، أَنْ يَقُولَ: بِسْمِ اللَّهِ»

“Penutup antara pandangan jin dengan aurot manusia ketika seorang dari mereka masuk tempat buang hajat adalah membaca bismillah.” (HSR. At-Tirmidzi no. 606)

Dalil khubutsi, berdasarkan hadits Anas Rodhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: apabila Nabi memasuki tempat buang hajat membaca:

«اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الخُبُثِ وَالخَبَائِثِ»

“Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari gangguan jin laki-laki dan jin perempuan.” (HR. Bukhori no. 142 dan Muslim no. 375)

3)  Mendahulukan kaki kanan saat keluar

Hal ini berdasarkan hadits Aisyah Rodhiyallahu ‘Anha di atas

4)  Membaca:

«غُفْرَانَكَ» «الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَذْهَبَ عَنِّي الْأَذَى وَعَافَانِي»

“Aku memohon ampunan-Mu. Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kotoran ini dariku dan memberiku kesehatan.”

Dalil meminta ampunan, berdasarkan hadits Aisyah Rodhiyallahu ‘Anha, ia berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا خَرَجَ مِنَ الغَائِطِ قَالَ: «غُفْرَانَكَ»

“Apabila Nabi keluar dari tempat buang hajat membaca: ghufroonak (aku meminta ampunan-Mu ya Allah).” (HSR. Abu Dawud no. 30)

Dalil memuji Allah atas ni’mat buang hajat, berdasarkan hadits Anas Rodhiyallahu ‘Anhu, ia berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ مِنَ الْخَلَاءِ، قَالَ: «الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَذْهَبَ عَنِّي الْأَذَى وَعَافَانِي»

 “Apabila Nabi keluar dari tempat buang hajat berdoa: ‘Segala puji bagi Allah yang telah meninghilangkan kotoran dariku dan memberiku kesehatan.” (HR. Ibnu Majah no. 301)[1]

5)  Jongkok dengan bersandar pada kaki kiri dan menegakkan kaki kanan

Hal ini berdasarkan hadits Suroqoh bin Ju’tsum Rodhiyallahu ‘Anhu, ia berkata:

«عَلَّمَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ أَحَدُنَا الْخَلَاءَ أَنْ يَعْتَمِدَ الْيسْرَى، وَيَنْصِبَ الْيُمْنَى»

“Rosulullah mengajari kami, apabila seorang dari kami memasuki tempat buang hajat, (berjongkok dengan) bersandar pada kaki kiri dan menegakkan kaki kanan.” (HR. Al-Baihaqi no. 457 dalam Al-Kubroo)

Hadits ini disepakati lemah, tetapi secara medis diakui. (Taudhihul Ahkam, 1/285)

6)  Menutup diri dengan tembok atau selainnya

Hal ini berdasarkan hadits Abu Ayyub Al-Anshori Rodhiyallahu ‘Anhu, Nabi bersabda:

«إِذَا أَتَيْتُمُ الغَائِطَ فَلاَ تَسْتَقْبِلُوا القِبْلَةَ، وَلاَ تَسْتَدْبِرُوهَا، وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا»

“Apabila seorang dari kalian mendatangi tempat buang hajat, maka jangan menghadap qiblat maupun membelakanginya, tetapi menghadaplah ke timur atau barat.”[2]

قَالَ أَبُو أَيُّوبَ: «فَقَدِمْنَا الشَّأْمَ فَوَجَدْنَا مَرَاحِيضَ بُنِيَتْ قِبَلَ القِبْلَةِ فَنَنْحَرِفُ، وَنَسْتَغْفِرُ اللَّهَ تَعَالَى»

Abu Ayyub berkata: “Kami tiba di Syam dan ternyata tempat buang hajat dibangun menghadap qiblat maka kami merubahnya dan memohon ampun kepada Allah.” (HR. Bukhori no. 394 dan Muslim no. 264)

Larangan ini bermakna harom. Larangan ini mencakup di dalam bangunan atau di tempat terbuka, berdasarkan keumuman hadits ini dan sikap Abu Ayyub yang ingin merubah bangunan.

Jumhur (mayoritas ulama) berpandangan tidak harom jika di tempat tertutup berdasarkan hadits Abdullah bin Umar L, ia berkata:

Orang-orang berkata: “Jika kamu jongkok untuk buang hajat, jangan menghadap qiblat maupun Baitul Maqdis.”

Abdullah bin Umar berkata:

لَقَدِ ارْتَقَيْتُ يَوْمًا عَلَى ظَهْرِ بَيْتٍ لَنَا، فَرَأَيْتُ رسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى لَبِنَتَيْنِ مُسْتَقْبِلاً بَيْتَ الْمَقْدِسِ لِحَاجَتِهِ

“Pada suatu hari aku naik di atas rumah kami. Aku melihat Rosulullah di antara dua tembok menghadap Baitul Maqdis untuk buang hajat.” (HR. Bukhori no. 149 dan Muslim no. 266)

Marwan Al-Asfar berkata: aku melihat Ibnu Umar memarkir ontanya menghadap qiblat (seperti posisi jenazah) lalu ia jongkok dan kencing menghadapnya. Aku berkata: “Wahai Abu Abdirrohman, bukankah hal ini dilarang?” Jawabnya:

«بَلَى، إِنَّمَا نُهِيَ عَنْ ذَلِكَ فِي الْفَضَاءِ، فَإِذَا كَانَ بَيْنَكَ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ شَيْءٌ يَسْتُرُكَ فَلَا بَأْسَ»

“Ya, tetapi yang dilarang jika di tempat terbuka. Jika antara dirimu dengan qiblat ada sesuatu yang menutupi maka tidak mengapa.” (HSR. Abu Dawud no. 11)

Pendapat kedua lebih tepat. Akan tetapi sebisa mungkin tidak menghadap qiblat, baik di dalam bangunan maupun di luarnya. (Fiqih Muyassar, hal. 23)

7)  Menjauhkan diri jika di tempat terbuka

Hal ini berdasarkan hadits Al-Mughiroh bin Syu’bah Rodhiyallahu ‘Anhu, ia berkata:

كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ، فَقَالَ: «يَا مُغِيرَةُ خُذِ الإِدَاوَةَ»، فَأَخَذْتُهَا، فَانْطَلَقَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى تَوَارَى عَنِّي، فَقَضَى حَاجَتَهُ

“Aku bersama Nabi dalam sebuah safar. Beliau berkata: “Hai Mughiroh, ambilkan wadah berisi air.” Aku mengambilnya lalu Rosulullah pergi hingga tidak terlihat dariku. Lalu buang hajat.” (HR. Bukhori no. 363)

8)  Tidak halal (harom) buang hajat di:

a.    Di jalan

b.   Di tempat yang biasa diduduki orang

c.    Di bawah pohon yang berbuah

d.   Di tempat yang bisa mengganggu orang.

Yakni tempat-tempat yang biasa didatangi atau dilewati manusia.

Larangan ini berdasarkan hadits Muadz bin Jabal Rodhiyallahu ‘Anhu, Nabi bersabda:

«اتَّقُوا الْمَلَاعِنَ الثَّلَاثَةَ: الْبَرَازَ فِي الْمَوَارِدِ، وَقَارِعَةِ الطَّرِيقِ، وَالظِّلِّ»

“Takutlah kalian dari tiga tempat yang melaknat, yaitu buang hajat di mawarid (tempat yang biasa didatangi orang), di tengah jalan, dan di tempat bernaung.” (HHR. Abu Dawud no. 26)

Dari Abu Huroiroh Rodhiyallahu ‘Anhu, Nabi bersabda:

«اتَّقُوا اللَّعَّانَيْنِ» قَالُوا: وَمَا اللَّعَّانَانِ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: «الَّذِي يَتَخَلَّى فِي طَرِيقِ النَّاسِ، أَوْ فِي ظِلِّهِمْ»

“Takutlah kalian dari dua orang yang dilaknat.” Mereka bertanya: “Siapa dua orang yang dilaknat wahai Rosulullah?” Beliau menjawab: “Yaitu orang yang buang hajat di jalan manusia maupun di tempat bernaung mereka.” (HR. Muslim no. 269)

9)  Tidak menghadap qiblat maupun membelakanginya  saat buang hajat

Adab lain yang belum disebut: tidak membuka aurot kecuali sudah di tempat buang hajat. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar L, ia berkata:

«أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَرَادَ حَاجَةً لَا يَرْفَعُ ثَوْبَهُ حَتَّى يَدْنُوَ مِنَ الْأَرْضِ»

“Apabila Nabi ingin buang hajat, beliau tidak mengangkat bajunya kecuali sudah dekat dari tempatnya (buat hajat).” (HSR. Abu Dawud no. 14)

Cara Istinja

Apabila telah selesai buang hajat:

Melakukan istijmar dengan tiga batu atau semisalnya yang bisa menghilangkan najis dari tempatnya.

Hal ini berdasarkan hadits Aisyah Rodhiyallahu ‘Anha, Nabi bersabda:

«إِذَا ذَهَبَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْغَائِطِ، فَلْيَذْهَبْ مَعَهُ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ يَسْتَطِيبُ بِهِنَّ، فَإِنَّهَا تُجْزِئُ عَنْهُ»

“Apabila seorang dari kalian buang hajat, bawalah tiga batu untuk istijmar (cebok) karena hal itu mencukupi (sah).” (HHR. Abu Dawud no. 40)

Istijmar boleh dengan batu atau sesuatu yang seperti batu (bisa mengangkat kotoran, kering, suci, dll) seperti tisu, kayu, dan lain-lain.

Istijmar minimal tiga batu, dan jika belum hilang najisnya maka ditambah lagi sampai hilang najisnya. Hal ini berdasarkan hadits Salman Rodhiyallahu ‘Anhu, ia berkata:

«لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ، أَوْ بَوْلٍ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِينِ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ»

“Nabi melarang kami buang air besar maupun buang air kecil menghadap qiblat, juga istinja dengan tangan kanan, atau istinja dengan kurang dari tiga batu, atau istinja dengan kotoran atau tulang.” (HR. Muslim no. 262)

Lalu istinja dengan air. Boleh juga memilih salah satu dari kedua (hanya istijmar atau hanya istinja).

Anas Rodhiyallahu ‘Anhu, ia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْخُلُ الْخَلاَءَ فَأَحْمِلُ أَنَا وَغُلاَمٌ إِدَاوَةً مِنْ مَاءٍ وَعَنَزَةً؛ يَسْتَنْجِي بِالْمَاءِ

Rosulullah memasuki tempat buang hajat, sementara aku dan bocah (seusiaku) membawakan sewadah air dan tombak. Beliau istinja dengan air. (HR. Bukhori no. 152 dan Muslim no. 271)

Dari Abu Huroiroh Rodhiyallahu ‘Anhu, Nabi bersabda:

«نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ فِي أَهْلِ قُبَاءٍ: {فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا} [التوبة: 108]» قَالَ: «كَانُوا يَسْتَنْجُونَ بِالْمَاءِ، فَنَزَلَتْ فِيهِمْ هَذِهِ الْآيَةُ»

“Ayat ini turun kepada penduduk Quba: ‘Di dalam Masjid Quba ada orang-orang yang gemar bersuci (istinja dengan air). Allah mencintai orang-orang yang bersuci.’ (QS. At-Taubah: 108) Mereka dahulu istinja dengan air sehingga turun ayat ini.” (HSR. Abu Dawud no. 44)

Tidak boleh istijmar dengan kotoran (yang sudah kering) maupun tulang, seperti yang dilarang Nabi .

Begitu pula istijmar dengan setiap yang dimuliakan, seperti makanan atau kertas bertuliskan ilmu dan lain-lain.



[1] Hadits ini dilemahkan oleh banyak ulama. Hadits lemah diamalkan oleh jumhur (mayoritas ulama) seperti Ibnul Mubarok, Ats-Tsauri, Al-Laits, Malik, Syafii, Ahmad, Ishaq, At-Tirmidzi, dan lain-lain, terutama dalam bab doa. Kaidah ini termasuk madzhab Hanbali dan diikuti oleh As-Sa’di.

[2] Yakni bagi penduduk Madinah, karena qiblat (Makkah) di sebelah selatan Madinah. Adapun bagi penduduk Indonesia, jangan menghadap barat (qiblat) dan timur, tetapi menghadaplah ke utara atau selatan.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url