Sifat Sholat Nabi ﷺ Menurut 4 Imam Madzhab | Ibnu Hubairoh
Sifat Sholat Nabi ﷺ Menurut 4 Imam Madzhab | Ibnu Hubairoh
PENDAHULUAN
Risalah kecil ini berisi
poin-poin penting sifat sholat Nabi ﷺ dari
salam sampai takbir yang diambil dari Ikhtilaaful Aimmah pada bagian Kitabus
Sholah karya Ibnu Hubairoh.
Yang saya lakukan dalam
menerjemahkan kitab adalah mengurutkan sesuai urutan gerakan sholat apa yang pada
sebagian tempat tidak urut di kitab asal.
Ibnu Hubairoh berkata:
Mereka (Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i,
Ahmad) sepakat bahwa 7 hal ini termasuk
fardhu (rukun) sholat:
1. Niat,
2. Takbirotul ihrom,
3. Berdiri bagi yang mampu,
4. Qiroah (membaca surat) pada dua rokaat bagi imam dan munfarid
(sholat sendirian),[1]
5. Ruku,
6. Sujud,
7. Duduk akhir dengan kadar cukup untuk salam.
Lalu mereka berselisih
pada perkara selain 7 tersebut.
1. NIAT
Mereka sepakat bahwa niat
termasuk fardhu (rukun) sholat.
Akan tetapi mereka
berselisih: apakah boleh niat diawalkan dari takbir?
Abu Hanifah dan Ahmad berkata: niat boleh diawalkan
setelah masuk waktu sholat, sebelum takbir, asal tidak ada sesuatu yang
memutusnya.
Malik dan Asy-Syafi’i
berkata: niat harus berbarengan dengan takbir.
Sifat niat: niat
sholat untuk membedakan sholat dari selainnya, niat fardhu untuk
membedakan fardhu dari sunnah, niat Zhuhur atau Asar misalnya, untuk
membedakan dari selainnya.
Adapun niat ada’
(maksudnya: sekarang, lawan dari qodho: ganti), Asy-Syafi’i dan Ahmad
(1 dari 2 pendapat) tidak mensyaratkannya, tetapi menyukai disebutkan.
2. BERDIRI
Mereka sepakat bahwa
berdiri termasuk fardhu (rukun) sholat atas orang yang mampu. Kapan ia
meninggalkan berdiri padahal mampu, tidak sah sholatnya.
Mereka berselisih tentang
orang yang sholat di atas kapal laut?
Abu Hanifah berkata: boleh tidak berdiri dengan syarat saat kapal sedang berlayar.
Malik, Asy-Syafi’i,
Ahmad berkata: tidak boleh meninggalkan
berdiri (jika mampu).
3. TAKBIROTUL
IHROM
Mereka sepakat:
takbirotul ihrom termasuk fardhu (rukun) sholat.
Mereka juga sepakat:
tidak sah sholat tanpa mengucapkannya. Tidak cukup hanya niat di hati
(membatin) saja, tanpa mengucapkannya.
Mereka juga sepakat:
lafazh takbir ihrom adalah (اللهُ
أَكْبَرُ).
Lalu mereka berselisih
tentang lafazh yang sepadan: apakah bisa menggantikan posisinya?
Abu Hanifah berkata: boleh menggunakan lafazh apapun yang menunjukkan mengagungkan
Allah seperti
(العَظِيمُ) dan (الجَلِيلُ). Bahkan seandainya
ia hanya mengucapkan اللهُ dan tidak menambah, sah takbirnya.
Asy-Syafi’i berkata: sah dengan mengucapkan (اللهُ أَكْبَرُ) atau dengan al (اللهُ الأكْبَرُ).
Malik dan Ahmad berkata:
tidak boleh kecuali dengan lafazh: (اللهُ أَكْبَرُ) saja.
1) Mengangkat
Tangan
Mereka sepakat:
mengangkat dua tangan saat takbirotul ihrom adalah sunnah.
Mereka berselisih tentang
batasannya:
Abu Hanifah berkata: dua (telapak) tangan sejajar hingga jempol menyentuh daun
telinga.
Malik dan Asy-Syafi’i
berkata: dua (telapak) tangan sejajar bahu.
Ahmad memiliki 3 riwayat. Riwayat paling masyhur:
sejajar bahu. Riwayat kedua: sejajar telinga dan ini dipilih Abdul Aziz.
Riwayat ketiga: boleh memilih dari dua di atas, dan ini dipilih Al-Khiroqi.
Mereka berselisih tentang
mengangkat dua tangan saat takbir ruku dan saat bangkit darinya:
Malik, Asy-Syafi’i,
Ahmad berkata: sunnah.
Abu Hanifah: tidak perlu diangkat, karena tidak sunnah. Ini juga pendapat Malik dalam riwayat lain.
2) Bersedekap
Mereka sepakat: telah
shohih hadits tentang meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam sholat,
kecuali salah satu dari 2 riwayat dari Malik:
tidak shohih tetapi mubah (boleh). Riwayat lain dari Malik seperti pendapat jamaah (Abu Hanifah, Asy-Syafi’i,
Ahmad).
Mereka berselisih tentang
tempat meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri tersebut:
Abu Hanifah berkata: diletakkan di bawah pusar.
Malik dan Asy-Syafi’i
berkata: diletakkan di antara bawah dada dan di atas pusar.
Ahmad memiliki 3 riwayat. Riwayat yang paling masyhur
seperti pendapat Abu
Hanifah, dan ini dipilih Al-Khiroqi. Riwayat kedua seperti pendapat Malik dan Asy-Syafi’i.
Riwayat ketiga, bebas memilih dari dua pilihan tersebut, dan keduanya sama
dalam fadhilah (keutamaan).
3) Istiftah
Mereka sepakat: doa
istiftah adalah sunnah, kecuali Malik
yang berkata: tidak sunnah.
Lafazh istiftah menurut Ahmad dan Abu Hanifah adalah riwayat Abu Said
Al-Khudri dan Aisyah:
«سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ
وَبِحَمْدِكَ، وَتَبَارَكَ اسْمُكَ، وَتَعَالَى جَدُّكَ، وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ»
“Mahasuci
Engkau ya Allah disertai segala pujian untuk-Mu. Mahaberkah Diri-Mu. Mahatinggi
kemuliaan-Mu. Tidak ada yang berhak disembah selain-Mu.”
Lafazh istiftah Asy-Syafi’i adalah riwayat Ali dan juga
terdapat dalam Al-Quran:
«وَجَّهْتُ وَجْهِيَ
لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ.
إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، لَا
شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ»
“Aku menghadapkan wajahku
kepada Dzat yang menciptakan langit dan bumi dengan meng-esa-kan-Nya dan pasrah
kepada-Nya, dan aku bukan termasuk orang-orang yang menyekutukan-Nya. Sungguh
sholatku, nusuk (ibadah dan qurban) ku, hidup, dan matiku hanya untuk
Allah Rob seluruh alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Dengan kalimat itulah aku
diperintah, dan aku termasuk orang pertama yang pasrah (Muslim) kepada-Nya.”
Abu Yusuf (murid Abu Hanifah) berkata:
yang lebih utama adalah menggabungkan keduanya.
Al-Wazir Ibnu Hubairoh
(penulis buku ini) berkata: pendapat ini (Abu Yusuf) kupilih.
Mereka sepakat kecuali Malik: istiftah (membuka sholat) dengan
salah satu dari keduanya adalah boleh.
Malik berkata: dianjurkan (mustahab) dibaca sebelum
takbirotul ihrom.
4) Ta’awwudz
Mereka sepakat kecuali Malik: disunnahkan membaca ta’awwudz sebelum
qiroah (membaca Al-Fatihah). Malik
berkata: tidak perlu membaca ta’awwudz dalam sholat fardhu.
5) Basmalah
Mereka sepakat kecuali Malik tentang membaca basmalah setelah
ta’awwudz:
Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, Ahmad berkata: membacanya.
Malik berkata: tidak perlu membacanya pada sholat
fardhu, dan bebas membacanya pada sholat sunnah.
Mereka (3 madzhab)
berselisih: apakah basmalah dibaca sirr (lirih) atau jahr
(keras)?
Abu Hanifah dan Ahmad berkata: dibaca lirih.
Asy-Syafi’i berkata: dibaca keras.
Mereka (3 madzhab)
berselisih: apakah basmalah dibaca setiap rokaat dan diulang dibaca setiap awal
surat, ataukah tidak?
Abu Hanifah memiliki dua riwayat. Riwayat pertama: dibaca pada rokaat pertama saja.
Riwayat kedua: dibaca setiap rokaat tetapi tidak boleh dibaca ulang pada setiap
surat.
Asy-Syafi’i dan Ahmad
berkata: dibaca setiap rokaat dan dibaca ulang setiap awal surat.
Mereka berselisih: apakah
basmalah termasuk ayat dari Al-Fatihah?
Abu Hanifah, Malik
berkata: tidak termasuk ayat dari Al-Fatihah. Bahkan tidak pula termasuk ayat
dari surat manapun kecuali surat An-Naml.
Asy-Syafi’i dan Ahmad
(1 dari 2 riwayat) berkata: termasuk ayat dari Al-Fatihah. Riwayat kedua: ia
tidak termasuk ayat darinya tetapi ayat tersendiri (independen).
Al-Wazir Ibnu Hubairoh menjelaskan:
yakni ia termasuk Kalamullah yang memisahkan antar surat.
Mereka berselisih: apakah
dianjurkan mengeraskan dalam membaca basmalah?
Abu Hanifah dan Ahmad berkata: tidak dianjurkan.
Malik: tidak disunnahkan dan tidak pula dianjurkan
membacanya. Jika membacanya, maka tidak dikeraskan (alias lirih).
Asy-Syafi’i: dianjurkan dikeraskan.
4. QIROAAH
Mereka sepakat: termasuk
fardhu sholat adalah qiroaah, baik sebagai imam maupun munfarid (sholat
sendirian), pada 2 rokaat dari sholat 5 waktu.
Lalu mereka berselisih
pada perinciannya:
Asy-Syafi’i dan Ahmad
berkata: qiroah adalah wajib atas imam dan munfarid dalam setiap rokaat dari
sholat lima waktu.
Abu Hanifah berkata: imam dan munfarid tidak wajib qiroah kecuali pada dua rokaat saja
tanpa ditentukan rokaat keberapa. Sama saja dua qiroah tersebut pada dua rokaat
pertama atau dua rokaat terakhir, tetapi yang utama adalah pada dua rokaat
pertama. Adapun dua rokaat Subuh, wajib qiroah.
Adapun Malik, maka Ibnul Mundzir dalam Al-Isyrooq
menyebutkan dua riwayat. Riwayat pertama: seperti pendapat Asy-Syafi’i dan Ahmad.
Pendapat kedua: jika ia meninggalkan salah satu qiroah maka ia sujud sahwi dan
sholatnya sah kecuali Subuh. Karena jika ia meninggalkan qiroah pada salah satu
dari 2 rokaat maka batal sholatnya.
Mereka berselisih tentang
qiroah yang dimaksud?
Malik, Asy-Syafi’i,
Ahmad (1 dari 2 riwayat yang masyhur):
maksudnya Al-Fatihah.
Abu Hanifah dan Ahmad pada riwayat kedua: sah
dengan apapun yang mudah dari Al-Quran.
Mereka berselisih tentang
orang yang tidak mampu membaca Al-Fatihah maupun surat lainnya:
Abu Hanifah dan Malik berkata: berdiri
seukuran durasi qiroah.
Asy-Syafi’i dan Ahmad:
membaca tasbih seukuran durasi membaca qiroah.
Mereka berselisih: apakah
qiroah wajib atas makmum?
Abu Hanifah berkata: makmum tidak boleh qiroah dan tidak pula dianjurkan, baik imam
mengeraskan bacaan atau tidak.
Malik dan Ahmad:
makmum tidak wajib qiroah dalam keadaan apapun. Malik
menambahkan: jika imam mengeraskan qiroah, makruh bagi makmum ikut qiroah, baik
makmum mendengarkan qiroah imam atau tidak mendengarnya.
Ahmad menambahkan: jika makmum mendengar qiroah imam
maka makruh baginya ikut qiroah. Jika ia tidak mendengar qiroah imam, maka
tidak makruh. Disunnahkan bagi makmum membaca qiroah pada rokaat yang imam
membaca lirih.
Asy-Syafi’i berkata: wajib bagi makmum membaca qiroah
saat imam sholat dengan lirih. Jika imam membaca jahr (keras), ada dua
riwayat. Pendapat qodim (lama) seperti pendapat Ahmad. Pendapat jadid (baru): wajib baginya
membaca qiroah.
Al-Buwaithi (murid Asy-Syafi’i) meriwayatkan bahwa ia (Asy-Syafi’i) memandang wajib membaca di
belakang imam yang sholat sirr maupun jahr.
1) Amin
Mereka berselisih tentang
(آمِين) setelah membaca Al-Fatihah:
Abu Hanifah berkata dalam riwayat yang masyhur: orang yang sholat tidak mengeraskan
amin, baik sebagai imam maupun makmum. Riwayat kedua: imam membacanya lirih.
Malik berkata: makmum mengeraskan amin, sementara imam
ada 2 riwayat (keras dan lirih).
Asy-Syafi’i: imam mengeraskan amin (hanya 1 pendapat). Makmum
ada 2 pendapat (keras dan lirih).
Ahmad berkata: imam dan makmum mengeraskan amin.
2) Membaca Surat
Mereka sepakat: membaca
surat setelah Al-Fatihah pada 2 rokaat pertama adalah sunnah (dianjurkan).
Al-Wazir berkata: siapa
yang tidak membaca satu surat secara sempurna setelah Al-Fatihah, dianjurkan ia
membaca surat minimal yang paling pendek dari Al-Quran yaitu 3 ayat.
Mereka berselisih: apakah
disunnahkan membaca surat setelah Al-Fatihah pada 2 rokaat akhir dari sholat rubai
(Zuhur, Ashar, Isya) atau 1 rokaat akhir dari sholat tsulatsi (Maghrib)?
Abu Hanifah, Malik, Ahmad, Asy-Syafi’i
(1 dari 2 pendapat): tidak disunnahkan. Pendapat kedua: disunnahkan.
3) Mengeraskan
Bacaan
Mereka sepakat:
mengeraskan bacaan pada bagian yang perlu dikeraskan dan melirihkan bacaan pada
bagian yang perlu dilirihkan adalah sunnah. Jika melirihkan bacaan pada bagian
yang semestinya dikeraskan, tidak batal sholatnya, hanya saja ia meninggalkan
sunnah.
Tholaitholi meriwayatkan
dari salah satu murid Malik bahwa
kapan sengaja melakukan itu (melirihkan bagian yang semestinya dikeraskan) maka
sholatnya rusak. Tetapi pendapat yang masyhur dari Malik
adalah sholatnya sah.
Mereka berselisih: apakah
munfarid (sholat sendirian) dianjurkan mengeraskan bacaan pada bagian yang
seharusnya dikeraskan?
Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i berkata: dianjurkan mengeraskan
bacaan.
Ahmad memiliki dua riwayat. Riwayat pertama seperti
jamaah (Abu Hanifah,
Malik, Asy-Syafi’i).
Riwayat kedua: tidak dianjurkan mengeraskan dan ini pendapatnya yang
masyhur.
5. RUKU
Mereka sepakat: ruku dan
sujud termasuk fardhu (rukun) sholat.
Mereka juga sepakat:
merunduk hingga dua telapak tangannya menyentuh dua lututnya dianggap ruku.
Thuma’ninah dalam ruku adalah diam sesaat dengan kadar
minimal membaca tasbih di dalamnya. Sementara thuma’ninah dalam sujud adalah
diam sesaat hingga anggota sujud diam sempurna dengan kadar minimal membaca
tasbih di dalamnya.
Mereka berselisih tentang
thuma’ninah dalam ruku dan sujud:
Abu Hanifah berkata: keduanya tidak wajib, tetapi sunnah.
Malik, Asy-Syafi’i,
Ahmad berkata: keduanya fardhu seperti
ruku dan sujud.
Mereka sepakat: termasuk
sunnah adalah meletakkan tangan di lutut dan tidak menghimpitnya di antara dua
lutut.
Mereka sepakat:
dianjurkan meluruskan punggung saat ruku dan meletakkan dua tangan di atas dua
lutut serta meluruskan leher.
Mereka sepakat: dzikir
pada ruku adalah:
«سُبْحَانَ رَبِّـيَ
الْعَظِيمِ»
Dzikir pada sujud adalah:
«سُبْحَانَ رَبِّـيَ
الْأَعْلَى»
Dzikir tasmi adalah:
«سَمِعَ اللهُ لِمَنْ
حَمِدَهُ»
Dzikir tahmid adalah:
«رَبَّنَا وَلَكَ
الْحَمْدُ»
Mereka sepakat: memohon
ampunan pada duduk di antara dua sujud adalah disyariatkan (sunnah/wajib).
Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i berkata: semua itu adalah sunnah.
Ahmad memiliki dua riwayat. Riwayat yang masyhur: semua
itu hukumnya wajib jika ingat (gugur jika lupa). Yang wajib hanya dibaca satu
kali.
Riwayat kedua: sunnah,
mirip jamaah (Abu Hanifah,
Malik, Asy-Syafi’i)
Mereka sepakat: minimal
dianggap sempurna dalam membaca tasbih dalam ruku dan sujud bagi imam adalah
satu kali saja.
Mereka sepakat: semua
takbir termasuk sholat, kecuali Abu Hanifah —sebagaimana yang dinyatakan Al-Khiroqi— bahwa
takbirotul ihrom (pembuka sholat) bukan termasuk sholat.
Bangkit dari
Ruku
Mereka berselisih tentang
wajibnya bangkit dari ruku, juga wajibnya i’tidal (berdiri
tegak):
Abu Hanifah berkata: keduanya tidak wajib. Tetapi langsung sujud dari ruku adalah
makruh, dan sah sholatnya.
Malik berkata: bangkit dari ruku adalah wajib.
Abdul Wahhab berkata:
diriwayatkan dari sebagian murid Malik
bahwa bangkit adalah tidak wajib, tetapi ini riwayat lemah. Yang nampak dari
pendapat Malik adalah jika tidak
bangkit dari ruku dan langsung sujud maka sholatnya tidak sah.
Adapun i’tidal, ulama Malikiyah berselisih riwayat dari Malik tentang kewajibannya menjadi dua
pendapat. Yang paling shohih dari keduanya adalah tidak wajib dan tidak pula
sunnah(?)[2].
Di antara mereka juga ada
yang meriwayatkan atas wajibnya i’tidal, sebagaimana bangkit. Tetapi pendapat
yang masyhur dari Malik adalah
pendapat pertama.
Asy-Syafi’i dan Ahmad
berkata: keduanya fardhu.
Mereka berselisih: apakah
imam dan munfarid menggabungkan antara tasbih dan tahmid atau tidak?
Abu Hanifah dan Malik berkata: orang yang
sholat tidak
boleh menggabungkan tasbih (سَمِعَ اللَّهُ
لِمَنْ حَمِدَهُ) dan tahmid (رَبَّنَا وَلَكَ
الْحَمْدُ). Akan tetapi imam
membaca tasmi dan makmum membaca tahmid.
Abu Hanifah memilih tanpa wawu: (رَبَّنَا لَكَ
الْحَمْدُ).
Malik memiliki dua riwayat dalam menetapkan wawu ini.
Asy-Syafi’i berkata: imam, makmum, munfarid, semuanya membaca
tasmi dan tahmid.
Asy-Syafi’i memilih tanpa wawu: (رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ).
Ahmad berkata: imam dan munfarid masing-masing
menggabungkan keduanya. Adapun makmum, tidak menambah atas tahmid.
Ahmad memilih dengan wawu: (رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ).
6. SUJUD
Mereka sepakat: termasuk
sunnah adalah mendahulukan dua lutut dalam sujud dari dua tangan, kecuali Malik yang berkata: mendahulukan dua tangan
sebelum dua lutut.
Mereka sepakat: sujud di
atas 7 anggota badan adalah disyariatkan (sunnah/wajib), yaitu: dahi, dua
tangan, dua lutut, dan jari-jari kaki.
Mereka berselisih mana
yang fardhu dari 7 tersebut:
Abu Hanifah berkata: yang fardhu dari 7 tersebut adalah dahi atau hidung.
Asy-Syafi’i mewajibkan dahi (1 pendapat), dan anggota lainnya
ada 2 pendapat (wajib dan sunnah).
Ahmad memiliki 2 riwayat. Riwayat pertama: yang wajib
hanya dahi. Riwayat kedua: yang wajib dahi dan hidung, ini riwayat yang
masyhur.
Adapun Malik, banyak ragam riwayat tentangnya.
Mereka berselisih tentang
orang yang sujud di atas kain sorbannya jika kain tersebut terhampar di antara
dahi dan tempat sujudnya:
Abu Hanifah, Malik, Ahmad (1 dari 2 riwayat): sah sujudnya.
Asy-Syafi’i dan Ahmad
dalam riwayat lain: tidak sah sujudnya, sampai dahi menempel langsung dengan
tempat sujud.
Mereka berselisih tentang
keharusan terbukanya tangan saat sujud:
Abu Hanifah dan Ahmad berkata: tidak wajib.
Malik berkata: wajib.
Asy-Syafi’i memiliki dua pendapat. Yang paling shohih dari
keduanya adalah wajib.
1) Duduk di
Antara Dua Sujud
Mereka berselisih tentang
wajibnya duduk di antara dua sujud:
Malik berkata: tidak wajib tetapi sunnah.
Asy-Syafi’i dan Ahmad:
wajib.
2) Duduk
Tasyahhud Awwal
Mereka berselisih tentang
sujud untuk tasyahhud awwal:
Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i (1 dari 2 riwayat) berkata:
sunnah.
Ahmad dalam riwayat kedua: wajib.
Sebagian murid Abu Hanifah sepakat
dengan Ahmad atas wajibnya.
3) Bacaan
Tasyahhud Awwal
Ahmad memiliki dua riwayat. Riwayat yang masyhur
darinya: wajib jika ingat dan gugur jika lupa. Ini dipilih Al-Khiroqi, Ibnu
Syaqila, Abu Bakar bin Abdul Aziz. Riwayat kedua: sunnah, dan ini pendapat Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i.
Mereka sepakat: tasyahhud
awal tidak ditambah melebihi:
«وَأَشْهَدُ أَنَّ
مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ»
Kecuali Asy-Syafi’i dalam pendapat baru (qoul jadid),
satu dari 2 pendapat, disunnahkan menambah bersholawat kepada Nabi ﷺ.
Al-Wazir berkata: ini
yang lebih utama menurutku.
7. DUDUK
TASYAHHUD AKHIR
Mereka sepakat: duduk
(akhir) dalam sholat termasuk fardhu sholat. Lalu mereka berselisih
tentang kadar lamanya:
Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, Ahmad berkata: duduk dengan kadar membaca
tasyahhud adalah fardhu.
Yang shohih dari Malik: duduk dengan kadar mengucapkan salam
adalah fardhu, selebihnya sunnah.
1) Bacaan
Tasyahhud Akhir
Mereka berselisih: apakah
tasyahhud akhir fardhu (rukun) atau sunnah?
Abu Hanifah dan Ahmad (1 dari 2 pendapat)
berkata: duduknya rukun dan bacaannya sunnah.
Asy-Syafi’i dan Ahmad
dalam pendapat yang masyhur darinya: duduk dan bacaannya adalah rukun.
Malik berkata: bacaan tasyahhud awal dan akhir adalah
sunnah.
Mereka sepakat: bacaan
tasyahhud adalah salah satu dari tiga bacaan Sohabat, yaitu: Umar bin
Al-Khoth-thob, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas.
Mereka berselisih: mana
yang paling utama?
Abu Hanifah dan Ahmad memilih tasyahhud Ibnu
Mas’ud:
«التَّحِيَّاتُ للهِ،
وَالصَّلَوَاتُ، وَالطَّيِّبَاتُ. السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ
اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ. السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحينَ.
أَشْهَدُ أَن لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهِ، وَأشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ»
Malik memilih tasyahhud Umar bin Al-Khoth-thob:
«التَّحِيَّات للهِ،
الزَّاكِيَاتُ للهِ، الطَّيِّبَاتُ الصَّلَوَاتُ للهِ. السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا
النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ. السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عبَادِ
اللَّهِ الصَّالِحين. أَشْهَدُ أَن لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ
لَهُ وَأشْهَدُ أَن مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ»
Asy-Syafi’i memilih tasyahhud Ibnu Abbas:
«التَّحِيَّاتُ المُبَارَكَاتُ
الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ للهِ. السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ
اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ. السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحينَ.
أَشْهَدُ أَن لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَشْهَدُ أَن مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ.
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ»
2) Sholawat
Mereka berselisih: apakah
sholawat kepada Nabi ﷺ pada tasyahhud akhir adalah
fardhu?
Abu Hanifah dan Malik berkata: sunnah. Malik menambahkan: bersholawat kepada Nabi ﷺ wajib secara umum dan sunnah di dalam
sholat.
Beberapa murid Malik berpendapat ia wajib dalam sholat.
Asy-Syafi’i berkata: ia wajib dalam sholat.
Ahmad memiliki dua riwayat. Riwayat yang masyhur
darinya adalah wajib dan sholat batal jika meninggalkannya, baik sengaja maupun
lupa. Ini yang dipilih Al-Khiroqi. Hanabilah yang lain berpendapat wajib tetapi
gugur jika lupa.
Mereka berselisih tentang
lafazh sholawat dan kadar sahnya:
Asy-Syafi’i dan Ahmad
(1 dari 2 riwayat) memilih lafazh:
«اللَّهُمَّ صَلِّ
عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى
آلِ إِبْرَاهِيمَ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ
عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ فِي الْعَالَمِينَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ»
Hanya saja lafazh Asy-Syafi’i dalam kalimat barokah tanpa:
وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ
Riwayat kedua dari Ahmad adalah:
«اللَّهُمَّ صَلِّ
عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ
حَمِيدٌ مَجِيدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ
عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمْيدٌ مَجِيدٌ»
Ini dipilih oleh
Al-Khiroqi.
Adapun pendapat Abu Hanifah dalam
memilih lafazh sholawat, saya tidak mendapatinya kecuali apa yang disebutkan
Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani (murid Abu Hanifah) dalam kitabnya Al-Haj, yaitu:
«اللَّهُمَّ صَلِّ
عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى
آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ
مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ فِي الْعَالَمِينَ
إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ»
Muhammad bin Hasan
berkata: Malik bin Anas menceritakan
kepada kami lafazh seperti itu, tetapi tanpa lafazh:
كَمَا صَلَّيْتَ
عَلَى إِبْرَاهِيمَ فِي الْعَالَمِينَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
Adapun lafazh minimal
sholawat menurut Asy-Syafi’i adalah:
«اللَّهُمَّ صَلِّ
عَلَى مُحَمَّدٍ»
Murid-murid Asy-Syafi’i berselisih tentang hukum sholawat
pada tasyahhud awwal, menjadi 2 pendapat. Salah satunya: tidak wajib
bersholawat dan ini pendapat kebanyakan muridnya. Pendapat kedua: wajib.
Yang nampak dari pendapat
Ahmad, yang wajib adalah bersholawat
kepada Nabi ﷺ, tetapi ia suka jika ditambah bersholawat
kepada keluarga beliau, kepada keluarga Ibrohim, serta menyertakan barokah
kepada Muhammad dan keluarganya serta kepada keluarga Ibrohim.
3) Salam
Mereka sepakat:
mengucapkan salam adalah disyariatkan (sunnah/wajib).
Mereka berselisih tentang
jumlahnya?
Abu Hanifah dan Ahmad: dua salam.
Malik berkata: satu salam.
Asy-Syafi’i memiliki dua pendapat. Pendapat yang terdapat di
Mukhtashor Al-Muzani dan Al-Um adalah seperti pendapat Abu Hanifah dan Ahmad. Pendapat lama: jika jamaah sedikit dan
mereka diam, maka salam sekali.
Mereka berselisih: apakah
salam termasuk sholat atau tidak?
Malik, Asy-Syafi’i,
Ahmad berkata: termasuk sholat.
Abu Hanifah berkata: tidak termasuk sholat.
Mereka berselisih: apa
yang wajib dari salam?
Abu Hanifah berkata: sama sekali tidak wajib.
Maka Hanafiyah (ulama
madzhab Hanafi) berselisih, dengan cara apa keluar dari sholat, apakah cara
tersebut merupakan wajib atau tidak?
Ada yang berpendapat:
wajib keluar sholat dengan apapun yang membatalkan sholat yang dilakukan dengan
sengaja oleh orang yang sholat, dan ia bukan bagian sholat. Di antara yang
berpendapat demikian adalah Abu Said Al-Barda’i.
Ada pula yang berpendapat:
sama sekali tidak wajib. Di antara yang berpendapat demikian adalah Abul Hasan
Al-Karkhi.
Tidak dinukil nas
(ucapan asli) Abu Hanifah
dalam masalah ini yang mu’tamad (resmi darinya).
Malik dan Asy-Syafi’i
berkata: salam pertama wajib atas imam dan munfarid (sholat sendirian). Asy-Syafi’i menambahkan: wajib juga atas
makmum.
Ahmad memiliki dua riwayat. Yang masyhur adalah
wajibnya dua salam. Riwayat lain: salam pertama wajib dan salam kedua sunnah.
Mereka berselisih tentang
salam kedua:
Abu Hanifah, Asy-Syafi’i (1 dari 2
pendapat), Ahmad (1 dari 2 pendapat):
sunnah.
Malik berkata: imam dan munfarid tidak disunnahkan
salam kedua. Adapun makmum disunnahkan salam tiga kali: sekali ke kanan, sekali
ke kiri, sekali ke depan untuk membalas salam imam.
Mereka berselisih tentang
wajibnya keluar sholat:
Malik, Asy-Syafi’i
(berdasarkan ucapannya dari riwayat Al-Buwaithi), Ahmad:
wajib.
Pendapat Abu Hanifah sudah
berlalu, yakni tidak wajib. Inti pendapat ini: orang yang sholat wajib
melakukan sesuatu yang menafikan sholat sehingga ia keluar darinya.
Mereka berselisih tentang
niat pada salam:
Abu Hanifah berkata: ia niat mengucapkan dua salam untuk semua arah: Malaikat Hafazhoh
(penjaga) di sisi kanan, manusia di sisi kiri. Makmum juga mengucapkan salam
dan niat salam seperti imam. Jika imam di sebelah kanannya, maka ia meniatkan
salam pertama untuk imam. Jika imam di sebelah kirinya, ia meniatkan salam kedua
untuk imam.
Malik berkata: imam mengucapkan salam sekali ke sebelah
kanannya dengan niat untuk siapa saja yang di depan dengan sedikit menggerakkan
kepada ke kanan. Begitu pula munfarid melakukan seperti itu. Adapun makmum
salam tiga kali.
Ada pula riwayat lain
dari Malik: dua salam. Salam pertama
dengan niat keluar sholat, dan salam kedua dengan niat menjawab imam. Jika di
sebelah kirinya ada orang yang mengucapkan salam, maka ia meniatkan juga untuk
membalas salamnya.
8. TERTIB
Mereka sepakat: tertib dalam
sholat adalah fardhu.
9. TAMBAHAN
1) Membaca dari
Mushaf
Mereka berselisih: apakah
boleh membaca lewat Mushaf dalam sholat?
Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, Ahmad (1 dari 2 riwayat): boleh.
Malik dan Ahmad
dalam riwayat lain: boleh dalam sholat sunnah, bukan sholat fardhu.
2) Witir
Mereka berselisih tentang
hukum witir:
Abu Hanifah: ia wajib. Ia berjumlah 3 rokaat dengan satu salam seperti Maghrib, hanya
saja membaca surat pada semua rokaat dengan dikeraskan jika ia imam.
Malik, Asy-Syafi’i,
Ahmad berkata: ia sunnah muakkadah
(sangat ditekankan).
Malik berkata: ia satu rokaat terpisah, hanya saja
wajib didahului rokaat genap minimal 2 rokaat.
Asy-Syafi’i dan Ahmad
berkata: minimal 1 rokaat dan maksimal 11 rokaat.
3) Qunut Subuh
Mereka berselisih tentang
qunut Subuh:
Abu
Hanifah dan Ahmad:
bid’ah. Ini dibela Ibnu Qudamah.
Malik dan Asy-Syafi’i:
sunnah. Asy-Syafi’i menambahkan: jika lupa maka sujud sahwi. Ini
dibela An-Nawawi.
Jika bermakmum ke imam
yang qunut Subuh, apakah mengaminkan?
Abu Hanifah: tidak.
Ahmad: aminkan.[]
[1] Qiroah, menunjukkan yang disepakati adalah membaca
(qiroah), karena membaca Al-Fatihah diperselisihkan. Dua rokaat,
menunjukkan dua rokaat pertama atau terakhir adalah diperselisihkan. Bagi
imam dan munfarid, menunjukkan makmum diperselisihkan.
[2] Saya ragu dalam
menerjemahkan ini. Silahkan Anda merujuk langsung ke kitab aslinya.