Tarjamah Wasiat Sughro Ibnu Taimiyah
Tarjamah Wasiat Sughro Ibnu Taimiyah
Pertanyaan Abul Qōsim Al-Maghribī
Fadhilatusy syaikh, imam, pemuka orang-orang terdahulu, panutan orang-orang
kemudian, orang paling berilmu yang pernah kujumpai di negeri timur dan barat,
Taqiyuddin Abul Abbās Ahmad bin Taimiyyah, aku bertanya kepadanya tentang:
(1)
Wasiat (pesan penting) yang akan memperbaiki agama dan duniaku;
(2)
Kitab apa yang akan kujadikan rujukan ilmu hadits dan ilmu-ilmu syar’i
lainnya;
(3)
Amal paling utama setelah kewajiban;
(4)
Pekerjaan yang paling utama;
Semua penjelasan itu dalam bentuk ringkas, dan semoga Allah menjaganya.
Semoga salam yang mulia, rohmat Allah, dan barokah-Nya tercurah kepadanya.
Ibnu Taimiyah menjawab:
1. Wasiat Terbaik Untuk Agama dan Dunia
Segala puji bagi Allah Pencipta seluruh alam. Adapun wasiat (pesan
penting), aku tidak mengetahui wasiat yang lebih bermanfaat melebihi wasiat
dari Allah dan Rosul-Nya bagi siapa saja yang memikirkannya dan mengikutinya.
Allah berfirman:
﴿وَلَقَدْ
وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا
اللَّهَ﴾
“Sungguh Kami telah memberi wasiat (pesan penting) kepada orang-orang yang
telah diberi Al-Kitab sebelum kalian (umat Islam) dan juga kepada kalian: ‘Bertaqwalah
kepada Allah.’” (QS. An-Nisa: 131)
Nabi ﷺ
berwasiat kepada Muadz Rodhiyallahu ‘Anhu ketika
mengutusnya ke negeri Yaman:
«يَا
مُعَاذُ، اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا،
وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ»
“Wahai Muadz! Bertaqwalah kamu kepada Allah di mana saja kamu berada;
iringi perbuatan buruk dengan perbuatan baik, maka perbuatan baik itu akan
menghapusnya; dan pergauli manusia dengan akhlak yang mulia.”[1]
Kedudukan Muadz Rodhiyallahu ‘Anhu di
sisi Nabi ﷺ amat
tinggi, karena beliau pernah bersabda kepadanya:
«يَا
مُعَاذُ، وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ»
“Wahai Muadz, demi Allah, aku benar-benar mencintaimu.”[2]
Dia juga pernah dibonceng Nabi ﷺ di belakangnya. Juga diriwayatkan bahwa ia adalah orang yang
paling mengerti halal dan harom[3]. Dia kelak dikumpulkan
lebih terdepan sejengkal dari para ulama[4]. Di antara keutamaannya,
Nabi ﷺ
mengutusnya sebagai dai, ahli fiqih, mufti, dan hakim bagi penduduk Yaman.
Dia menyerupai Ibrohim Al-Kholīl Alaihissalam, sementara Ibrohim
adalah pemimpin manusia. Ibnu Mas’ud Rodhiyallahu ‘Anhu
berkata:
«إِنَّ
مُعَاذًا كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا، وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ»
“Muadz adalah umat (pengajar manusia), qōnit (patuh) kepada Allah,
dan ia tidak termasuk orang-orang musyrik,”[5] ia menyerupakannya dengan
Ibrohim[6].
Lalu wasiat Nabi ﷺ kepada
Muadz Rodhiyallahu
‘Anhu adalah wasiat ini, maka
menjadi jelaslah bahwa wasiat ini adalah wasiat yang lengkap, dan memang
demikian bagi siapa saja yang memikirkannya. Di samping itu, wasiat taqwa ini
adalah wasiat Al-Qur’an.
Adapun penjelasan kenapa wasiat ini begitu lengkap, karena hamba memiliki
dua ketergelinciran, yaitu berkaitan dengan hak Allah dan berkaitan dengan hak manusia.
Ketergelinciran yang pasti dilakukan seseorang adakalanya berupa
meninggalkan perintah dan adakalanya berupa mengerjakan larangan, karena Nabi ﷺ bersabda: “Bertaqwalah kamu di mana saja
kamu berada.” Kalimat hadits ini begitu menyeluruh. Ungkapan “di mana saja kamu
berada” merupakan penjelasan akan butuhnya seseorang kepada taqwa saat
sendirian maupun di tengah banyak orang. Lalu sabda Nabi ﷺ: “dan iringi perbuatan buruk dengan
perbuatan baik, maka perbuatan baik itu akan menghapus perbuatan buruk
tersebut,” mengisyaratkan bahwa seorang dokter jika menjumpai pasiennya terkena
penyakit yang membahayakannya maka ia akan memerintahkannya untuk melakukan
terapi untuk penyembuhannya. Dosa bagi setiap hamba, seakan perkara yang pasti
terjadi.
Maka orang cerdas adalah orang yang senantiasa mengerjakan kebaikan untuk
menghapus dosa-dosanya. Lafazh hadits mendahulukan “perbuatan dosa” padahal ia
objek (yang semestinya diakhirkan)[7], karena fokus hadits pada
menghapus, bukan mengerjakan kebaikan. Hal ini mirip dengan hadits kecingnya
Arab baduwi:
«صُبُّوا
عَلَيْهِ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ»
“Tuangkan di atasnya (bekas kencing) beberapa ember berisi air.”[8]
Semestinya amal sholih yang dikerjakan setema dengan perbuatan dosanya,
karena hal itu lebih diharapkan bisa menghapusnya.
Dosa-dosa bisa terhapus dengan beberapa faktor berikut:
(1) Taubat.
(2) Istighfar tanpa taubat, karena Allah terkadang mengampuni seseorang
atas doanya (meminta ampun) meskipun belum bertaubat (belum menyesal dan belum
berhenti).[9] Jika taubat dan istighfar
terkumpul maka ia sempurna.
(3) Amal sholih sebagai kaffarot[10] (muqoddar maupun mutlaq).
Adapun [1] kaffarot muqoddar, seperti kaffarot muqoyyad (sudah
ditentukan amal penghapusnya) atas: orang yang senggama di (siang hari) bulan
Romadhan; orang yang menzhihar[11] isterinya; orang yang
melakukan larangan dalam ritual haji atau meninggalkan kewajiban dalam haji
atau membunuh buruan. Bentuk kaffarotnya ada 4 macam: (1) menyembelih hadyu
(unta), (2) memerdekakan budak, (3) sedekah, atau (4) puasa.
Adapun [2] kaffarot mutlaq, seperti yang dikatakan Hudzaifah kepada
Umar Rodhiyallahu
‘Anhuma:
«فِتْنَةُ
الرَّجُلِ فِي أَهْلِهِ وَمَالِهِ وَوَلَدِهِ [وَجَارِهِ]، تُكَفِّرُهَا الصَّلاَةُ،
وَالصِّيَامُ، وَالصَّدَقَةُ، وَالأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ، وَالنَّهْيُ عَنِ المُنْكَرِ»
“Dosa seseorang pada keluarganya, hartanya, anaknya, [tetangganya], dihapus
oleh sholat, puasa, sedekah, amar ma’ruf, dan nahi munkar.”[12]
Hal ini didukung oleh Al-Qur’an dan hadits-hadits shohih tentang amal-amal
yang bisa menghapus dosa: sholat lima waktu, Jum’atan, puasa, haji, dan semua
amal yang terdapat ungkapan “siapa yang mengucapkan demikian atau mengerjakan
demikian maka dosanya diampuni atau dosanya yang lalu diampuni”. Hadits-hadits
seperti ini banyak sekali dijumpai bagi siapa saja yang mencarinya di
kitab-kitab Sunan, terutama kitab yang disusun khusus tentang Keutamaan Amal.
Ketahuilah, memberi perhatian pada hal ini sangat dibutuhkan seseorang.
Ketika seseorang sudah mencapai usia baligh, khususnya di zaman kita ini maupun
zaman-zaman lainnya yang menyerupai zaman jahiliyah dalam beberapa perkara,
begitu juga seseorang yang hidup di tengah ahli ilmu dan ahli agama, terkadang
ia terpapar sebagian perbuatan jahiliyah. Lantas bagaimana lagi dengan selain
mereka?!
Dalam Shohihain dari Nabi ﷺ dalam hadits Abu Sa’id Rodhiyallahu ‘Anhu:
«لَتَتَّبِعُنَّ
سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَذْوَ الْقُذَّةِ بِالْقُذَّةِ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا
جُحْرَ ضَبٍّ لَدَخَلْتُمُوهُ» قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى؟
قَالَ: «فَمَنْ؟»
“Kalian pasti akan mengikuti jejak orang-orang sebelum kalian, selangkah
demi selangkah, hingga andai mereka masuk lubang dhob (kadal gurun)[13] tentu kalian akan ikut
memasukinya.” Mereka bertanya: “Wahai Rosulullah, apakah maksudnya Yahudi dan
Nashoro?” Jawabnya: “Siapa lagi?!”[14]
Hadits ini membenarkan firman Allah:
﴿فَاسْتَمْتَعْتُمْ
بِخَلَاقِكُمْ كَمَا اسْتَمْتَعَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ بِخَلَاقِهِمْ وَخُضْتُمْ
كَالَّذِي خَاضُوا﴾
“Maka kalian bersenang-senang dengan bagian kalian seperti orang-orang
sebelum kalian bersenang-senang dengan bagian mereka, dan kalian bersuara gaduh
seperti mereka bersuara gaduh.” (QS. At-Taubah: 69)[15]
Ayat ini juga memiliki banyak hadits shohih dan hasan yang mendukungnya.
Perbuatan ini terkadang dilakukan oleh orang-orang khusus yang menisbatkan
dirinya kepada agama, seperti yang dikatakan oleh beberapa ulama Salaf seperti
Ibnu Uyainah: “Banyak perbuatan-perbuatan Yahudi yang dikerjakan oleh sebagian
ahli ilmu dari kita, dan banyak perbuatan-perbuatan Nashoro yang dikerjakan
oleh sebagian ahli ibadah dari kita.”
Begitu juga orang yang memahami agama Islam hakiki yang dibawa Muhammad ﷺ, lalu menerapkan ilmunya tersebut untuk
memahami keadaan kaum Musliminin, maka ia akan melihat kebenaran ucapan Ibnu
Uyainah di atas.
Jika perkaranya demikian, maka siapa yang Allah lapangkan dadanya menerima
Islam serta dia di atas cahaya Allah (ilmu) atau sebelumnya mati (jahil) lalu
Allah hidupkan kembali dan memberinya cahaya untuk berjalan di tengah manusia,
maka ia harus benar-benar perhatian terhadap perkara jahiliyah terutama
perilaku dua kaum: kaum yang dimurkai (Yahudi) dan kaum yang sesat (Nashoro).
Dengan demikian, ia akan mampu melihat bahwa terkadang dirinya terjatuh pada
perkara jahiliyah tersebut.
Perkara yang sangat bermanfaat bagi orang khusus dan orang awam adalah
ilmu, yang akan membebaskan jiwanya dari kotoran-kotoran jahiliyah, dan ilmu
itu tidak lain adalah mengiringi dosa-dosa dengan amal sholih.
Amal sholih adalah apa saja yang diperintahkan Allah lewat lisan Nabi-Nya
berupa amal kebaikan dan akhlak.
Di antara perkara yang menggugurkan dosa adalah [3] kaffarot musibah
yaitu segala hal yang menyakitkan: kekhawatiran; kesedihan; gangguan pada
harta, kehormatan, jasad, atau selainnya. Akan tetapi perkara-perkara ini bukan
termasuk perbuatan hamba (tetapi murni takdir).
Setelah ia menunaikan dua kalimat tersebut (bertaqwalah kepada Allah di
mana saja kamu berada dan ikuti dosa dengan amal sholih maka amal sholih
tersebut akan menghapusnya) yaitu hak Allah berupa amal sholih dan
memperbaiki apa yang telah rusak, maka Nabi ﷺ melanjutkan: “dan pergauli manusia dengan akhlak yang mulia.”
Secara umum, akhlak mulia kepada manusia berupa kamu menyambung orang yang
memutusmu dengan mengucapkan salam, memuliakannya, mendoakannya, beristighfar
untuknya, memujinya, mengunjunginya; dan kamu memberi orang yang pelit kepadamu
berupa memberi ilmu, manfaat, harta; juga kamu memaafkan orang yang menzolimimu
baik dalam darah, harta, atau kehormatan. Sebagian perbuatan ini wajib
dilakukan dan sebagian lainnya hanya anjuran.
Adapun akhlak mulia yang merupakan sifat Muhammad ﷺ adalah agama itu sendiri yang mencakup
segala yang diperintahkan Allah. Demikian pendapat Mujahid dan selainnya.
Akhlak mulia ini adalah tafsir Al-Qur’an, seperti yang dikatakan Aisyah Rodhiyallahu ‘Anha: “Akhlak beliau adalah Al-Qur’an.”[16]
Hakikat akhlak mulia adalah bersegera mengerjakan apa saja yang dicintai
Allah dengan jiwa lapang dan gembira.
Adapun penjelasan bahwa ini semua wasiat Allah, karena lafazh “taqwa kepada
Allah” menghimpun apa saja yang Allah perintahkan baik wajib maupun sunnah, dan
apa saja yang Allah larang baik harom maupun makruh. Ini menghimpun hak Allah
dan hak manusia.
Namun, terkadang taqwa berupa takut siksa yang mendorong seseorang menahan
diri dari perkara harom. Ini tafsir dari hadits Muadz tadi, dan begitu juga
tafsir dari hadits Abu Huroiroh Rodhiyallahu ‘Anhu yang
diriwayatkan At-Tirmidzi dan ia menilainya shohih, bahwa ada yang bertanya:
“Wahai Rosulullah, apa yang paling banyak memasukkan ke Surga?” Beliau
menjawab: “Taqwa kepada Allah dan akhlak yang mulia.” Ia bertanya lagi: “Apa
yang paling banyak memasukkan ke Neraka?” Jawab beliau: “Dua rongga, yaitu mulut
dan kemaluan.”[17]
Dalam hadits shohih yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar Rodhiyallahu ‘Anhuma bahwa Rosulullah ﷺ bersabda:
«أَكْمَلُ
الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا»
“Orang beriman yang paling sempurna imannya adalah yang paling mulia
akhlaknya.”[18]
Nabi ﷺ
menjadikan sempurnanya iman pada sempurnanya akhlak mulia.
Telah diketahui bersama bahwa iman secara keseluruhan adalah taqwa kepada
Allah, sementara rincian pokok-pokok taqwa dan cabang-cabangnya tidak bisa
kujelaskan di sini, karena dia pada hakikatnya adalah agama itu sendiri.
Akan tetapi sumber segala kebaikan dan dasarnya adalah ikhlas kepada Allah,
baik dalam ibadah maupun meminta pertolongan, seperti dalam firman-Nya: “Kami
hanya menyembah-Mu dan kami hanya meminta pertolongan kepada-Mu.” (QS. Al-Fatihah:
4) Juga firman-Nya:
﴿فَاعْبُدْهُ
وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ﴾
“Maka sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya.” (QS. Hud: 123)
Juga firman-Nya:
﴿عَلَيْهِ
تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ﴾
“Aku hanya bertawakal kepada-Nya dan aku hanya kembali (bertaubat)
kepada-Nya.” (QS. Hud: 88) Juga firman-Nya:
﴿فَابْتَغُوا
عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ وَاشْكُرُوا لَهُ﴾
“Maka carilah rizki di sisi Allah, sembahlah Dia, dan bersyukurlah
kepada-Nya.” (QS. Al-Ankabut: 17)
Ayat-ayat ini menjadikan hamba memutus ketergantungan hatinya kepada manusia,
baik dengan berharap manfaat maupun beramal karena mereka. Ayat-ayat ini juga
menjadikan hamba hanya berharap kepada Robnya, dan hal itu bisa diraih dengan
membiasakan diri berdoa kepada-Nya dalam semua permintaannya, baik kemiskinan,
hajat, ketakutan, maupun selainnya. Ayat-ayat ini juga menjadikan hamba
mengerjakan untuk Allah apa saja yang dicintai-Nya.
Siapa yang menerapkan ini, maka ia tidak akan sempat mengerjakan
kebalikannya.
2. Amal Terbaik Setelah Fardhu
Adapun pertanyaanmu tentang amal terbaik setelah amal fardhu, ia
berbeda-beda sesuai perbedaan orangnya: sesuai kemampuannya dan sesuai
waktunya, sehingga jawabannya tidak menyeluruh untuk semua orang, tidak berlaku
untuk setiap orang.
Akan tetapi, seakan kesepakan para ulama bahwa senantiasa berdzikir
adalah amal terbaik yang seseorang menyibukkan diri dengannya. Yang menunjukan
hal itu adalah hadits Abu Huroiroh Rodhiyallahu ‘Anhu yang
diriwayatkan Muslim:
«سَبَقَ
الْمُفَرِّدُونَ» قَالُوا: وَمَا الْمُفَرِّدُونَ، يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: «الذَّاكِرُونَ
اللهَ كَثِيرًا، وَالذَّاكِرَاتُ»
“Orang-orang yang menyendiri menang.” Orang-orang bertanya: “Siapa
orang-orang yang menyendiri itu wahai Rosulullah?” Jawab beliau: “Orang-orang
yang banyak berdzikir kepada Allah, baik laki maupun perempuan.”[19]
Begitu juga hadits Abu Dawud dari Abu Darda Rodhiyallahu ‘Anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda:
«أَلَا
أُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرِ أَعْمَالِكُمْ، وَأَزْكَاهَا عِنْدَ مَلِيكِكُمْ، وَأَرْفَعِهَا
فِي دَرَجَاتِكُمْ، وَخَيْرٌ لَكُمْ مِنْ إِنْفَاقِ الذَّهَبِ وَالوَرِقِ، وَخَيْرٌ
لَكُمْ مِنْ أَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ فَتَضْرِبُوا أَعْنَاقَهُمْ وَيَضْرِبُوا أَعْنَاقَكُمْ»؟
قَالُوا: بَلَى. قَالَ: «ذِكْرُ اللَّهِ تَعَالَى»
“Maukah kalian kuberitahu amal terbaik kalian, amal tersuci di sisi Raja
kalian, amal tertinggi dalam derajat kalian, serta lebih baik bagi kalian
daripada bersedekah emas dan perak, dan lebih baik bagi kalian dari bertemu
musuh yang kalian tebas lehernya dan mereka menebas leher kalian?” Mereka
menjawab: “Mau.” Sabda beliau: “Berdzikir kepada Allah.”[20]
Dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang hal itu sangat banyak. Paling
tidak seseorang merutinkan dzikir shohih dari Nabi ﷺ, seperti dzikir-dzikir mu’aqqot
(yang sudah ditentukan waktunya): dzikir pagi dan sore, ketika hendak tidur,
ketika bangun tidur, dan dzikir bakda sholat fardhu.[21]
Begitu pula merutinkan dzikir-dzikir muqoyyad (terikat dengan
aktifitas) seperti dzikir/doa ketika hendak makan, minum, berpakaian, jima
(senggama); masuk rumah, Masjid, toilet, dan keluar darinya; ketika hujan dan
guntur, dan lain-lain. Banyak kitab yang disusun tentangnya dengan nama Amalul
Yaum wal Lailah (amal sehari semalam).
Begitu juga merutinkan dzikir-dzikir mutlaq (tanpa terikat waktu), dan
dzikir paling utama adalah لا إله إلا الله. Pada kondisi tertentu lebih utama membaca:
سُبْحَانَ اللَّهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، وَاَللَّهُ أَكْبَرُ،
وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إلَّا بِاَللَّهِ
“Mahasuci Allah. Segala puji bagi Allah. Allah Mahabesar. Tidak ada daya
dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah.”[22]
Lalu perlu diketahui bahwa segala ucapan lisan dan keyakinan hati yang
mendekatkan kepada Allah berupa belajar ilmu syar’i, mengajarkannya, amar
ma’ruf dan nahi munkar, termasuk berdzikir kepada Allah.
Oleh karena itu, orang yang menyibukkan dirinya dengan menuntut ilmu yang
bermanfaat setelah menunaikan kewajiban-kewajiban, atau duduk bermajlis fiqih
dan mengajarkan fiqih yang dinamakan Allah dan Rosul-Nya fiqih, maka ini juga
termasuk dzikir terbaik kepada Allah.
Atas dasar di atas, jika kamu merenungkan maka kamu tidak akan mendapati
banyak perselisihan dari para ulama terdahulu tentang amal terbaik (selain
dzikir).
Jika seseorang memiliki masalah yang rumit, hendaknya ia melakukan istikhoroh,
karena orang yang melakukan istikhoroh tidak akan menyesal. Maka perbanyaklah
melakukannya dan berdoa, karena doa adalah kunci segala kebaikan, dan jangan
tergesa-gesa mengucapkan: “Aku sudah berdoa tetapi belum dikabulkan.” Hendaknya
seseorang memilih waktu utama dalam berdoa, seperti akhir malam, bakda sholat
fardhu, saat adzan, saat hujan turun, dan semisalnya.
3. Pekerjaan Paling Utama
Adapun pekerjaan paling utama adalah tawakal kepada Allah, yakin Allah
mencukupi, dan berbaik sangka kepada-Nya. Selayaknya orang yang mengais
rezeki untuk menuju Allah dan berdoa kepadanya, seperti yang yang disabdakan
Nabi-Nya (dalam hadits qudsi):
«يَا
عِبَادِي كُلُّكُمْ جَائِعٌ، إِلَّا مَنْ أَطْعَمْتُهُ، فَاسْتَطْعِمُونِي أُطْعِمْكُمْ،
يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ عَارٍ، إِلَّا مَنْ كَسَوْتُهُ، فَاسْتَكْسُونِي أَكْسُكُمْ»
“Wahai hamba-Ku, setiap kalian lapar kecuali yang Kuberi makan maka
mintalah makan kepada-Ku pasti Kuberi makan. Wahai hamba-Ku, setiap kalian
telanjang kecuali siapa yang kuberi pakaian maka mintalah pakaian kepada-Ku pasti
Kuberi pakaian.”[23]
Begitu pula hadits yang diriwayatkan At-Tirmidzi dari Anas Rodhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: Rosulullah ﷺ bersabda:
«لِيَسْأَلْ
أَحَدُكُمْ رَبَّهُ حَاجَتَهُ كُلَّهَا حَتَّى شِسْعَ نَعْلِهِ إذَا انْقَطَعَ، فَإِنَّهُ
إنْ لَمْ يُيَسِّرْهُ لَمْ يَتَيَسَّرْ»
“Hendaknya seorang dari kalian meminta Allah segala kebutuhannya sampai
tali sandalnya yang terputus, karena jika tidak Allah mudahkan, tidak akan
terlaksana.”[24]
Allah berfirman dalam Kitab-Nya:
﴿وَاسْأَلُوا
اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ﴾
“Mintalah kepada Allah sebagian karunia-Nya.” (QS. An-Nisa: 32)
Allah berfirman:
﴿فَإِذَا
قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ﴾
“Apabila sholat Jum’at sudah ditunaikan, silahkan beterbaran di muka bumi
mencari karunia Allah.” (QS. Al-Jumu’ah: 10) Meskipun ayat ini berkaitan
dengan sholat Jum’at, tetapi maknanya berlaku juga pada semua sholat. Oleh
karena itu —Allahu a’lam—, Nabi ﷺ memerintahkan orang yang masuk Masjid membaca:
«اللَّهُمَّ
افْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِك»
“Ya Allah, bukalah untuku pintu-pintu rohmat-Mu.” Dan jika keluar Masjid
membaca:
«اللَّهُمَّ
إنِّي أَسْأَلُك مِنْ فَضْلِك»
“Ya Allah, aku meminta sebagian dari karunia-Mu.”[25]
Al-Kholil Ibrohim ﷺ
berkata: “Carilah rizki di sisi Allah, sembahlah Dia, dan bersyukurlah
kepada-Nya.” (QS. Al-Ankabut: 17) Ayat ini berupa perintah, dan asal
perintah adalah wajib. Maka meminta tolong kepada Allah dan bersandar
kepada-Nya dalam masalah rizki dan selainnya adalah perkara yang sangat penting.
Lalu, hendaknya ia mengambil harta dengan hati yang qonaah (ridho atas
pemberian Allah) agar diberkahi, dan jangan mengambilnya dengan tamak. Bahkan,
hendaknya ia menjadikan harta di sisinya bagaikan toilet yang didatangi sewaktu-waktu
saja jika dibutuhkan, tanpa menempati hatinya; dan bekerja mencari rezeki
bagaikan memperbaiki toilet (ala kadarnya).
Dalam hadits marfu yang diriwayatkan At-Tirmidzi dan selainnya:
«مَنْ
أَصْبَحَ وَالدُّنْيَا أَكْبَرُ هَمِّهِ شَتَّتَ اللَّهُ عَلَيْهِ شَمْلَهُ وَفَرَّقَ
عَلَيْهِ ضَيْعَتَهُ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنْ الدُّنْيَا إلَّا مَا كُتِبَ لَهُ. وَمَنْ
أَصْبَحَ وَالْآخِرَةُ أَكْبَرُ هَمِّهِ جَمَعَ اللَّهُ عَلَيْهِ شَمْلَهُ وَجَعَلَ
غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ»
“Siapa yang memasuki pagi sementara dunia menjadi keinginan terbesarnya,
maka Allah akan mencerai beraikan urusannya dan dunia tidak mendatanginya
kecuali sebatas apa yang telah ditentukan untuknya. Siapa yang memasuki pagi
sementara Akhirat menjadi keinginan terbesarnya, maka Allah akan menghimpun
urusannya dan menjadikan kekayaan di hatinya dan dunia mendatanginya dalam
keadaan tunduk.”[26]
Sebagian Salaf berkata: “Kamu memang membutuhkan dunia, tetapi kamu jauh
lebih butuh simpanan Akhirat. Jika kamu fokus Akhirat maka duniamu akan terlewat
darimu. Oleh karena itu aturlah waktumu dengan baik.” Allah berfirman:
﴿وَمَا
خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ﴾
“Aku menciptakan jin dan manusia agar mereka hanya menyembah-Ku. Aku tidak
meminta rizki kepada mereka dan tidak pula Aku ingin diberi makan oleh mereka.
Sungguh hanya Allah yang Maha Pemberi rizki, dan Mahakuat.” (QS.
Adz-Dzariyat: 56-58)
Adapun menentukan jenis pekerjaan seperti tukang kayu, pedagang, kuli
bangunan, tukang ladang, atau selainnya, maka ini tidak sama bagi setiap orang,
dan aku tidak mengetahui jenis pekerjaan yang menyeluruh. Akan tetapi jika
seseorang berkeinginan menentukan jenis pekerjaan, hendaknya ia melakukan
istikhoroh kepada Allah yang diambil dari hadits shohih, karena di dalamnya ada
keberkahan yang tidak bisa diprediksi. Lalu pekerjaan yang mudah baginya,
jangan dibebankan kepada orang lain (untuk mengikutinya) kecuali jika pekerjaan
itu memang dilarang secara syariat.
4. Kitab Rujukan dalam Semua Disiplin Ilmu Syar’i
Adapun kitab-kitab dari ilmu syar’i yang ingin kamu jadikan rujukan, maka
ini pembahasan yang luas. Hal ini juga berbeda sesuai dengan tempat di mana ia
hidup. Terkadang seseorang mudah dalam mendapatkan sebuah ilmu atau madzhab di
sebuah negeri, yang tidak mudah didapatkan di negeri lain.
Akan tetapi secara umum dari kebaikan adalah seseorang meminta tolong
kepada Allah dalam menuntut ilmu warisan Nabi ﷺ. Warisan Nabi ﷺ itulah
ilmu sesungguhnya, dan selain itu adakalanya disebut ilmu tetapi tidak
bermanfaat, dan adakalanya bukan ilmu meski disebut ilmu. Maka disebut ilmu
bermanfaat jika ia berasal dari warisan Muhammad ﷺ.
Hendaknya keinginan utamanya adalah memahami maksud sabda Nabi[27]
ﷺ baik
dalam perintahnya maupun larangan dan seluruh sabdanya. Jika hatinya merasa
tenang bahwa ini adalah maksud sabda Rosul ﷺ, maka ia tidak boleh menoleh kepada yang lain.
Hendaknya ia bersungguh-sungguh berpegang pada setiap bab ilmu yang berasal
dari Nabi ﷺ. Jika
ada yang terasa tersamar baginya karena diperselisihkan manusia, maka berdoalah
seperti doa yang diriwayatkan Muslim dalam Shohihnya dari Aisyah Rodhiyallahu ‘Anha bahwa Rosulullah ﷺ beliau biasa membaca (iftitah) dalam sholat malam:
«اللهُمَّ
رَبَّ جَبْرَائِيلَ، وَمِيكَائِيلَ، وَإِسْرَافِيلَ، فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ،
عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا
فِيهِ يَخْتَلِفُونَ، اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ، إِنَّكَ
تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ»
“Ya Allah, Pencipta Jibril, Mikail, Isrofil, Pencipta langit dan bumi, Maha
mengetahui alam ghoib dan alam nyata, Engkau memutuskan perkara yang
diperselisihkan hamba-hamba-Mu. Bimbinglah aku kepada kebenaran yang diperselisihkan
mereka dengan seizin-Mu. Sungguh Engkau membimbing siapa yang Engkau kehendaki
kepada jalan yang lurus.”[28]
Allah berfirman dalam hadits qudsi yang diriwayatkan Rosul-Nya:
«يَا
عِبَادِي كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلَّا مَنْ هَدَيْتُهُ، فَاسْتَهْدُونِي أَهْدِكُمْ»
“Wahai hamba-hamba-Ku, kalian sesat kecuali siapa yang Kubimbing, maka
mintalah bimbingan kepada-Ku pasti Kubimbing kalian.”[29]
Adapun nama-nama kitab dan penyusun, sudah kusinggung apa yang dimudahkan
Allah di tengah-tengah ceramahku.
Tidak ada kitab yang disusun per bab yang lebih bermanfaat dari Shohih
Al-Bukhori, tetapi ia belum mencukupi dasar-dasar ilmu, dan belum mewakili
semua bab ilmu. Maka perlu mengkaji hadits-hadits lain.
Siapa yang hatinya diterangi cahaya oleh Allah, akan meraih ilmu tersebut.
Siapa yang dibutakan hatinya, maka banyaknya kitab tidak akan menambah dirinya
kecuali kebingunan dan kesesatan, sebagaimana yang disabdakan Nabi ﷺ kepada Abi Labid[30] Al-Anshori Rodhiyallahu ‘Anhu:
«أَوَلَيْسَتْ
التَّوْرَاةُ وَالْإِنْجِيلُ عِنْدَ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى؟ فَمَاذَا تُغْنِي عَنْهُمْ؟»
“Bukankah Taurot dan Injil di sisi Yahudi dan Nashoro? Apa gunanya itu bagi
mereka?”[31]
Penutup
Kita memohon kepada Allah yang Mahaagung agar memberi kita petunjuk dan
kelurusan, mengilhami kita petunjuk, menjaga kita dari akibat buruk dosa kita,
tidak menyimpangkan hati kita setelah diberi petunjuk, dan memberi kita rohmat
dari sisi-Nya. Sungguh Dia Maha Pemberi.
Segala puji bagi Allah Pencipta seluruh alam. Sholawat dan salam semoga
tercurah atas Rosul paling mulia.
/
[1] HR. At-Tirmidzi no. 1987
dengan sanad hasan.
[2] HR. Abu Dawud no. 1522
dengan sanad shohih.
[3] HR. At-Tirmidzi no. 3790
dengan sanad shohih:
«وَأَعْلَمُهُمْ بِالحَلَالِ وَالحَرَامِ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ»
“Umatku yang paling
mengerti halal dan harom adalah Muadz bin Jabal.”
[4] HR. Ath-Thobaroni no. 556
dalam Ash-Shoghīr dengan sanad shohih mursal:
«مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ يَجِيءُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَمَامَ الْعُلَمَاءِ
بِرَتْوَةٍ»
“Kelak Muadz bin Jabal
datang pada hari Kiamat sejengkal lebih terdepan dari para ulama.”
[5] HR. Ath-Thobaroni no. 47 dengan sanad shohih dari Ibnu Mas’ud Rodhiyallahu ‘Anhu ia berkata: “Muadz adalah pengajar manusia, patuh
kepada Allah, dan ia tidak termasuk orang-orang musyrik.” Murid-muridnya
berkata: “Ibrohim.” Ibnu Mas’ud menjawab: “Aku tidak lupa. Apakah kalian tahu
apa itu umat?” Jawab mereka: “Tidak.” Ia berkata: “Yaitu orang yang mengajari
manusia kebaikan. Apakah kalian tahu apa itu qōnit?” Jawab mereka:
“Tidak.” Ia berkata: “Yaitu orang yang patuh kepada Allah.”
[6] Yakni ayat:
﴿إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا
وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ﴾
“Ibrohim adalah
pengajar manusia, patuh kepada Allah, dan ia tidak termasuk orang-orang
musyrik.” (QS. An-Nahl: 120)
[7] Perbuatan dosa (السيئة) semestinya diakhirkan jika melihat asli kalimatnya تمح الحسنة
السيئة. Yang mengerti kaidah Nahwu akan mudah memahami ini.
[8] HR. Syaikhon dan ini
lafazhnya Abu Dawud no. 380.
[9] Istighfar adalah ucapan أَسْتَغْفِرُ
اللهَ (aku meminta ampunan) atau اللَّهُمَّ
اغْفِرْ لِي (ya Allah ampuni aku). Ampunan di sini mengandung dua
makna: menutupinya dari manusia dan mengabaikannya hingga tidak menyiksanya.
Sehingga orang yang beristighfar seakan berkata: “Ya Allah tutupi dosaku dari
pandangan manusia dan jangan siksa aku atas dosaku tersebut.” Adapun taubat di
sini bermakna kembali kepada Allah dari maksiat dengan: (1) menyesali
dosanya, (2) berhenti, dan (3) bertekad tidak mengulanginya. Dari sini, menjadi
jelas perbedaan taubat dan istighfar.
[10] Secara bahasa artinya penghapus,
yakni amal-amal sholih yang menghapus dosa-dosa, meski yang bersangkutan belum
bertaubat.
[11] Yakni suami yang mengharomkan dirinya menyetubuhi istrinya, mungkin karena
sedang marah, dan biasanya diserupakan dengan ibunya: “Punggungmu seperti punggung
ibuku” Yakni sebagaimana harom menyetubuhi ibuku begitu juga dirimu. Hal ini
dianggap cerai sejak zaman jahiliyyah, lalu Islam datang menghapusnya. Si suami
diberi tempo sampai 40 hari: antara kembali atau menceraikannya. Jika ia
memilih kembali maka membayar kaffarot, dan jika ia memilih cerai maka
diperbolehkan. Jika suami ingin memudhorotkan istrinya, tanpa mau
menceraikannya, maka hakim berhak menceraikan keduaya.
[12] HR. Al-Bukhori no. 7096
dan Muslim no. 144. Dosa kepada keluarganya seperti memukul wajahnya; pada
hartanya seperti menggunakannya untuk maksiat; pada anaknya seperti tidak
mengajarinya sholat; pada tetangganya seperti membicarakan aibnya.
[13] Arti dhob bukan
biawak. Biawak binatang liar dan memangsa dengan kuku dan taringnya dan ia
harom dimakan, sementara makanan dhob adalah rumput dan ia halal dimakan.
[14] HR. Al-Bukhori no. 3456
dan Muslim no. 2669 dengan perbedaan lafazh.
[15] Ayat ini tentang
orang-orang yang munafik yang gemar bersenang-senang bersamaan dengan malasnya
ibadah. Mereka juga suka berbuat gaduh di tengah kaum Muslimin. Lalu kalian
(para Sahabat) melakukannya juga. Poin ayat ini, generasi terbaik ini, mereka
tanpa sengaja melakukan perbuatan orang-orang munafik (di awal-awal Islam),
lantas bagaimana lagi dengan orang-orang selain mereka?
[16] HR. Muslim no. 746.
[17] HR. At-Tirmidzi no. 2004
dengan sanad shohih.
[18] HR. Abu Dawud no. 4682
dengan sanad hasan shohih.
[19] HR. Muslim no. 2676. Ahli
dzikir disebut orang yang menyendiri, karena asal berdzikir bukan jamaah,
tetapi sendiri-sendiri dan disembunyikan antara dirinya dengan Allah.
[20] Yang benar diriwayatkan
At-Tirmidzi no. 3377 dan Ibnu Majah no. 3790 dengan sanad shohih.
[21] Buku yang bagus untuk doa dan dzikir adalah Hisnul Muslim karya
Syaikh Dr. Sa’id Al-Qohthoni dan Doa dan Dzikir karya Ustadz Yazid Abdul
Qodir Jawas.
[22] Empat kalimat ini
ditambah La ilāha illa Allah merupakan kalimat yang paling Allah cintai
dan tidak masalah dibolak balik urutannya, sebagaimana dalam hadits Muslim no. 2137.
[23] HR. Muslim no. 2577.
[24] HR. At-Tirmidzi 5/583 dan
Abu Ya’la no. 3403 dengan sanad shohih sesuai syarat Muslim. Lafazh (فَإِنَّهُ...) adalah
tambahan dari ucapan Aisyah Rodhiyallahu ‘Anha yang
shohih dalam Musnad Abu Ya’la.
[25] HR. Muslim no. 713.
[26] HR. At-Tirmidzi no. 2465 dengan perbedaan lafazh, sanadnya shohih.
[27] Cara memahaminya dengan mengajukan dua pertanyaan: (1) apa yang diinginkan
Nabi ﷺ saat mengucapkannya pada waktu itu dan (2) apa yang
dipahami oleh Sahabat saat mendengarnya.
[28] HR. Muslim no. 770.
[29] HR. Muslim no. 2577.
[30] Yang benar Ziyad bin
Labid.
[31] HR. At-Tirmidzi no. 2653
dengan perbedaan lafazh, sanadnya shohih.
Komentar
Posting Komentar