Tokoh Besar Asya'iroh: Abu Ishaq Al-Asfaroyini (418 H)

 

Abu Ishaq Al-Asfaroyini, Ibrohim bin Muhammad (wafat 418 H)

As-Sarifini berkata: “Ibrohim bin Muhammad bin Ibrohim bin Mahran, guru besar, Imam Abu Ishaq Al-Asfaroyini, adalah salah satu dari orang-orang yang telah mencapai derajat ijtihad karena kedalaman ilmunya dan terpenuhinya syarat-syarat kepemimpinan ilmiah dari sisi bahasa Arab, fiqih, ilmu kalam, ushul, serta pengetahuannya terhadap Al-Kitab dan Sunnah. Ia melakukan perjalanan ke Irak untuk mencari ilmu dan meraih apa yang tak bisa diraih oleh selainnya. Ia kemudian mengajar, menulis, dan memberi manfaat. Ia adalah sosok yang menguasai berbagai cabang ilmu sampai mencapai derajat imamah dalam setiap bidang. Ia merupakan permata di kawasan Timur, bahkan lebih utama dari Naisabur dan sekitarnya — tempat asalnya. Ia juga termasuk mujtahid dalam ibadah, sangat wara’ dan bersungguh-sungguh dalam bertahap mendalami ilmuIa adalah orang yang tsiqoh (terpercaya) dan tsabt (kokoh) dalam hadits.(Al-Muntakhob min Kitabis Siyaq, hal. 127)

Tiga Tokoh Asy’ariyah

Ibnu ‘Asakir berkata:Seseorang yang aku percaya berkata kepadaku bahwa Ash-Shohib bin ‘Abbad — ketika menyebut Al-Baqillani (403 H), Ibnu Furok (406 H), dan Al-Asfaroyini (418 H), yang ketiganya hidup semasa sebagai pengikut Asy’ari — ia berkata kepada para sahabatnya: ‘Ibnu Al-Baqillani adalah laut yang menenggelamkan, Ibnu Furok adalah ular yang menyelinap, dan Al-Asfaroyini adalah api yang membakar.’ Seakan-akan Jibril meniupkan kebenaran dalam dirinya ketika ia menggambarkan ketiga tokoh ini sesuai hakikat keadaan mereka. Faedah dan keutamaan serta hadits dan karya Al-Asfaroyini terlalu banyak dan terlalu masyhur untuk dapat dirangkum dalam beberapa jilid, apalagi dalam tumpukan kertas.” (Tabyin Kadzibil Muftari, hal. 244)

Ibnu ‘Asakir juga meriwayatkan dengan sanadnya dari Al-’Uraimani: Aku mendengar guru besar Abu Ishaq Ibrohim bin Muhammad Al-Asfaroyini, seorang faqih dan ahli ushul, berkata: “Aku di sisi Syaikh Abu Al-Hasan Al-Bahili seperti setetes air dalam lautan. Dan aku mendengar Abu Al-Hasan Al-Bahili berkata: Aku di sisi Syaikh Al-Asy’ari seperti setetes air di lautan.(Tabyin, hal. 125)

Ahli Debat dan Menetapkan Takdir

As-Subki (771 H) berkata tentangnya:Ia adalah salah satu imam agama dalam ilmu kalam, ushul, dan fiqih. Ia menguasai berbagai cabang ilmu. Para imam sepakat memuliakannya, menghormatinya, dan mengakui bahwa ia telah mengumpulkan seluruh syarat imamah. Ia dijuluki ‘ruknud din’ (Pilar Agama). Contoh munazhoroh (debat) antara Abu Ishaq Al-Asfaroyini dan Qodhi Abdul Jabbar Al-Mu’tazili:

Abdul Jabbar membuka majelisnya dengan berkata: Subhan man tanazzaha ‘anil fahsya’ (Maha Suci Allah yang bersih dari perbuatan keji!). Yakni ia mengingkari takdir buruk.

Maka Abu Ishaq menjawab: Subhan man laa yaqa’u fi mulkihi illa maa yasha’! (Maha Suci Allah yang tidak terjadi dalam kerajaAn-Nya kecuali apa yang Dia kehendaki!).

Abdul Jabbar menimpali: Apakah Robb kita menghendaki maksiat?

Abu Ishaq menjawab: Apakah Robb kita dimaksiati secara paksa?

Abdul Jabbar berkata: Jika Dia menghalangiku dari petunjuk dan memutuskan kebinasaan atasku, apakah itu baik atau buruk?

Abu Ishaq menjawab: Jika Dia menghalangimu dari sesuatu yang milikmu, maka itu buruk. Tapi jika Dia menghalangimu dari sesuatu yang milik-Nya, maka Dia bebas memberikan rahmat-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Maka Abdul Jabbar pun terdiam, tak mampu menjawab!(Thobaqoh Syafiiyah Kubro, 4/ 256 – 262)

Pujian Ibnu Katsir

Ibnu Katsir (774 H) berkata dalam biografinya:Seorang mutakallim, ahli ushul, faqih madzhab Syafi’i, guru besar penduduk Khurasan. Dikatakan bahwa ia telah mencapai derajat ijtihad. Ia memiliki banyak karya besar, di antaranya Jami’ul Huliy dalam ushuluddin. Al-Hakim Abu Abdillah An-Naisaburi telah meriwayatkan darinya sebanyak sepuluh jilid dan menyebutnya dalam sejarahnya karena kemuliaannya — meskipun Al-Hakim wafat lebih dulu darinya. Al-Hakim berkata: Abu Ishaq Al-Asfaroyini adalah seorang faqih, ushuliyyun, mutakallim, dan tokoh utama dalam ilmu-ilmu ini. Ketika kembali dari Irak, para Ulama telah mengakui keutamaannya. Telah dibangunkan untuknya sebuah madrasah di Naisabur yang tidak ada tandingannya. Ia mengajar di sana. Syaikh Abu Ishaq menyebut dalam Thobaqat bahwa Syaikh kami, Abu Ath-Thayyib Ath-Thobari, belajar darinya. Melalui dia, para masyayikh Naisabur mengambil ilmu kalam dan ushul.(Thobaqoh Syafi’iyyin, hal. 367, dengan ringkas)[]

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url