Tokoh Besar Asya'iroh: Abdul Qohir Al-Baghdadi (429 H)
Abu Manshur Al-Baghdadi, ‘Abdul
Qohir bin Thohir bin Muhammad At-Tamimi (w. 429 H)
Adz-Dzahabi
(748 H) berkata: “Seorang ‘Allamah (ilmuwan besar), mahir, multitalenta, guru
besar—Abu Manshur Al-Baghdadi, yang tinggal di Khurasan, pemilik karya-karya
luar biasa, salah satu tokoh Syafi’iyyah. Di antara yang meriwayatkan darinya
adalah Abu Bakr Al-Baihaqi (458 H), Abu Al-Qosim Al-Qusyairi (465 H), dan
banyak lainnya. Ia adalah murid terbesar dari Abu Ishaq Al-Asfara’ini (418 H).
Ia mengajar dalam tujuh belas cabang ilmu, dan dijadikan perumpamaan (dalam
kemahiran).” (Siyar, 17/ 572, dengan ringkas)
Al-Kutubi
berkata: “Ia dilahirkan di Baghdad dan tumbuh di sana. Lalu ia melakukan
perjalanan bersama ayahnya ke Khurasan dan menetap di Naisabur hingga wafat.
Abu Manshur belajar fikih kepada Abu Ishaq Ibrohim bin Muhammad Al-Asfaroyini
dan membaca Ushuluddin di bawah bimbingannya. Ia mahir dalam banyak bidang,
terutama dalam ilmu hisab (matematika). Ia memiliki karya-karya bermanfaat
dalam bidang itu. Ia juga ahli dalam ilmu faro’idh (warisan), nahwu, dan
syair. Ia memiliki kekayaan, sehingga tidak mencari harta dari ilmunya. Ia
melampaui rekAn-rekannya dalam berbagai cabang ilmu, dan setelah wafatnya
gurunya, Abu Ishaq, ia duduk memberi imla’ (dikte pengajaran), dan para
imam pun mendatangi majelisnya untuk belajar darinya.” (Fawatul Wafayat, 2/
371)
As-Subki (771
H) berkata: “‘Abdul Qohir bin Thohir bin Muhammad At-Tamimi, sang Imam besar,
guru besar, Abu Manshur Al-Baghdadi. Ia adalah seorang Imam yang agung
kedudukannya, tinggi martabatnya, sangat luas ilmunya, lautan ilmu yang tak
tertandingi dalam fikih dan ushulnya, faro’idh, hisab, serta ilmu kalam.
Namanya terkenal, reputasinya tersebar luas, dan mayoritas penduduk Khurasan
meriwayatkan ilmu darinya... Syaikhul Islam Abu ‘Utsman Ash-Shobuni berkata: ‘Ia
termasuk para Imam dalam Ushuluddin dan tokoh-tokoh besar Islam menurut ijma’ ulama
dan para pencari ilmu. Ia luar biasa dalam penyusunan karya, unik dalam
karangan dan sistematika penjelasannya. Para tokoh menganggapnya sebagai
pemimpin ilmu, dan para imam menyebutnya dengan gelar Imam yang diagungkan.’”
Karya Tulis
Di antara
karya-karya ilmiahnya adalah:
1. Kitab
At-Tafsīr,
2. Kitab Fadhoo’iḥ Al-Mu’tazilah — membongkar
penyimpangan dan kesesatan kaum Mu’tazilah,
3. Kitab Al-Farq
Baina Al-Firoq — menjelaskan perbedaan kelompok-kelompok bid’ah dan menjelaskan
manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah (versi Asya’iroh),
4. Kitab At-Tahṣīl fī Uṣūl Al-Fiqh,
5. Kitab Fadhoo’iḥ Al-Karroomiyyah — membantah sekte
Karroomiyyah dalam masalah akidah dan sifat-sifat Allah,
6. Kitab Ta’wīl
Mutasyābih Al-Akhbār — berisi takwil terhadap hadits-hadits sifat sesuai
pendekatan Asy’ariyyah,
7. Kitab Al-Milal
wa An-Niḥal — ringkasan akidah-akidah kelompok Islam dan non-Islam, yang tidak
ada tandingannya dalam jenisnya,
8. Kitab Nafyu Kholqi
Al-Qur’ān — membantah keyakinan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk,
9. Kitab Ash-Shifāt
— membahas sifat-sifat Allah menurut pendekatan kalam,
10.
Dan kitab Al-Īmān wa Uṣūluhu — membahas hakikat iman dan
prinsip-prinsipnya. (Thobaqoh Syafiiyah Kubro, 5/ 136 – 140)
Abdurrohman
Al-Mahmud berkata: “Al-Baghdadi adalah salah satu tokoh besar kalangan Asy’ariyyah
pada akhir abad ke-4 dan awal abad ke-5 H. Ia mewakili periode peralihan antara
masa Al-Baqillani dan Ibnu Furok. Al-Baghdadi sempat menjumpai
murid langsung Abu Al-Hasan Al-Asy’ari, yaitu Ibnu Mujahid.
Dalam
karya-karyanya, ia meriwayatkan pendapat-pendapat golongan Kullabiyyah dan Asy’ariyyah,
serta menyebutkan perbedaan antara keduanya jika memang ada. Ia juga memiliki
ijtihad tersendiri yang dianggap sebagai titik penting dalam perkembangan
mazhab Asy’ariyyah.
Al-Baghdadi
tidak menyelisihi para pendahulunya dari kalangan Asy’ariyyah dalam mayoritas
masalah akidah dan ilmu kalam. Ia menolak sifat-sifat ikhtiyariyyah bagi
Allah — seperti cinta, rahmat, murka, gembira, dan tertawa — dan
menakwilkannya. Ia juga berpendapat bahwa kalam Allah adalah azali (telah
ada tanpa permulaan, tidak diciptakan).” (Mauqifu Ibni Taimiyah minal
Asya’iroh, 2/ 572 – 574)
Sumbangsih Pada Asya’iroh
Adapun
bentuk pengembangan mazhab Asy’ariyyah yang dilakukan oleh Abu Manshur Al-Baghdadi
adalah sebagai berikut:
Menyelisihi
sebagian pendapat Abu Al-Hasan Al-Asy’ari sendiri.
Mengadopsi
sebagian argumentasi Mu’tazilah, seperti dalil huduts Al-ajsām (dalil
kejadiannya jasad).
Menakwil
sifat istiwa’ Allah, padahal dia sendiri membantah Mu’tazilah yang
menakwil istiwa’ sebagai istaulā’ (menguasai). Ia menampilkan pendapat
para tokoh Asy’ariyyah, lalu menguatkan takwilan bahwa ‘Arsy bermakna Al-mulk
(kerajaan), seolah-olah ia hendak mengatakan bahwa kekuasaan tidak layak bagi
siapa pun selain Allah. Ia menafsirkan ayat istiwa’ sebagai: Allah beristiwa’
di atas kekuasaAn-Nya, yakni: kekuasaan itu telah mantap bagi Allah semata. Ia
pun menolak sifat ‘uluw (ketinggian) bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Al-Baghdadi
juga menakwil sifat-sifat khobariyyah seperti Wajah, ‘Ain (mata), dan
Yadayn (dua tangan), yang mana sifat-sifat tersebut sebelumnya telah ditetapkan
oleh Abu Al-Hasan Al-Asy’ari dan Ibnu Al-Baqillani.
Al-Baghdadi
dalam dua kitabnya, yaitu Al-Farq bayna Al-Firoq dan Al-Milal wa An-Nihal,
menampilkan mazhab Asy’ariyyah sebagai mazhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Ia
memaparkan berbagai pandangan firqoh dengan metode yang jelas dan sistematis,
berlandaskan Hadits tentang perpecahan umat. Ia menyebutkan sebagian riwayatnya
beserta sanadnya, kemudian menegaskan bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh
sejumlah Shohabat. Ia pun membatasi jumlah firqoh agar sesuai dengan isi
hadits, dengan menyebutkan 72 firqoh yang sesat dan satu firqoh ke-73 yang
merupakan firqoh najiyah (yang selamat) sebagaimana disebut dalam hadits, dan
menjadikannya sebagai firqoh Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Selanjutnya,
Al-Baghdadi menyebutkan bahwa seluruh golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah
mengikuti mazhab Abu Al-Hasan Al-Asy’ari. Ia mencantumkan kelompok mutakallimīn
(ahli ilmu kalam) yang berlepas diri dari tasybih (penyerupaan Allah
dengan makhluk) dan ta’thil (peniadaan sifat Allah), juga para imam
fikih dari kedua kubu: Ahlur Ra’yi dan Ahlul Hadits. Ia memasukkan pula para
pengikut madzhab empat dan zhohiriyah serta lainnya. Ia menyebutkan pula para
ahli sastra, nahwu, tashrif, dan bahasa, lalu menyebut para pakar qiro’ah dan
tafsir, serta para ahli zuhud, sufi, penjaga perbatasan (murobithin) di Tsughur,
dan penduduk umum di berbagai negeri yang di dalamnya dominan semboyan Ahlus
Sunnah.
Dengan
menisbatkan semua kelompok ini kepada mazhab Asy’ariyyah, maka Al-Baghdadi
telah mengklaim bahwa luasnya penyebaran mazhab Asy’ariyyah di kalangan mereka
merupakan bukti bahwa mazhab inilah yang benar. Bahkan, Al-Baghdadi memasukkan
sejumlah tokoh Shohabat dan generasi Salaf ke dalam barisan mutakallimīn.
Ia menyebut di antaranya:
1. ‘Ali bin Abi
Tholib Rodhiyallahu ‘Anhu — karena pernah berdialog dengan Khawarij,
2. ‘Abdullah bin
‘Umar Rodhiyallahu ‘Anhuma — karena berlepas diri dari Qodariyyah,
3. ‘Umar bin
‘Abdil ‘Aziz,
4. Zaid bin ‘Ali
bin Al-Husain,
5. Al-Hasan Al-Bashri,
6. Az-Zuhri,
7. Asy-Sya’bi,
8. Ja’far Ash-Shodiq.
Ia juga
memasukkan tokoh-tokoh seperti Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, Abu Yusuf Al-Qodhi
sebagai bagian dari mutakallimīn. Kemudian ia juga menyebutkan
tokoh-tokoh Kullabiyyah dan Asy’ariyyah yang mendahuluinya atau sezaman
dengannya.
Dengan
metode seperti ini — yang belum dikenal dalam karya-karya ilmiah pada masa itu
— serta gaya penyampaian yang bagus, terstruktur, dan sistematis, Al-Baghdadi
berhasil menyebarluaskan di tengah umat bahwa mazhab Asy’ariyyah adalah mazhab
yang benar. Bahwa ia merupakan mazhab yang dipegang oleh para tokoh Islam mulai
dari Shohabat, Tabi’in, dan para Imam agama dari kalangan ahli fikih, ahli qiro’ah,
ahli tafsir, dan selain mereka. Ia menetapkan bahwa Asy’ariyyah bukanlah salah
satu firqoh dari sekian banyak firqoh dalam Islam, melainkan akidah mereka
adalah akidah mayoritas kaum Muslimin dari kalangan Ahlus Sunnah.” (Mauqif,
2/ 574 – 580; Al-Farq bainal Firoq, hal. 4 – 354)
Dengan
demikian, jelaslah bahwa penyebaran mazhab Asy’ari berlangsung melalui para
tokohnya yang merupakan para Imam ilmu, ahli fasih dan balaghah, serta memiliki
bantahan besar terhadap banyak kelompok Ahlul Bid’ah seperti Mu’tazilah dan
Rofidhoh. Mereka bersungguh-sungguh dalam mengajak manusia kepada mazhab Asy’ari
sebagai mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah. Namun, sebagian mereka terjatuh dalam
kesalahan dan kekeliruan dalam karya-karya mereka, yang mereka sangka sebagai
bagian dari agama, sehingga fitnah menjadi besar karena mereka—sebagaimana
dikatakan: Tergelincirnya seorang ‘alim adalah tergelincirnya suatu alam
(banyak orang).
Dari Yazid
bin ‘Umairoh, ia berkata: Mu’adz bin Jabal Rodhiyallahu ‘Anhu berkata:
»إِنَّ مِنْ
وَرَائِكُمْ فِتَنًا، يَكْثُرُ فِيهَا الْمَالُ، وَيُفْتَحُ فِيهَا الْقُرْآنُ
حَتَّى يَأْخُذَهُ الْمُؤْمِنُ وَالْمُنَافِقُ، وَالرَّجُلُ وَالْمَرْأَةُ،
وَالصَّغِيرُ وَالْكَبِيرُ، وَالْعَبْدُ وَالْحُرُّ، فَيُوشِكُ قَائِلٌ أَنْ
يَقُولَ: مَا لِلنَّاسِ لَا يَتَّبِعُونِي وَقَدْ قَرَأْتُ الْقُرْآنَ؟! مَا هُمْ
بِمُتَّبِعِيَّ حَتَّى أَبْتَدِعَ لَهُمْ غَيْرَهُ؛ فَإِيَّاكُمْ وَمَا ابْتُدِعَ،
فَإِنَّ مَا ابْتُدِعَ ضَلَالَةٌ، وَأُحَذِّرُكُمْ زَيْغَةَ الْحَكِيمِ، فَإِنَّ
الشَّيْطَانَ قَدْ يَقُولُ كَلِمَةَ الضَّلَالَةِ عَلَى لِسَانِ الْحَكِيمِ،
وَقَدْ يَقُولُ الْمُنَافِقُ كَلِمَةَ الْحَقِّ. قَالَ: قُلْتُ لِمُعَاذٍ: مَا
يُدْرِينِي رَحِمَكَ اللهُ أَنَّ الْحَكِيمَ قَدْ يَقُولُ كَلِمَةَ الضَّلَالَةِ،
وَأَنَّ الْمُنَافِقَ قَدْ يَقُولُ كَلِمَةَ الْحَقِّ؟! قَالَ: بَلَى، اجْتَنِبْ
مِنْ كَلَامِ الْحَكِيمِ الْمُشْتَهِرَاتِ الَّتِي يُقَالُ لَهَا: مَا هَذِهِ؟!
وَلَا يَثْنِيَنَّكَ ذَلِكَ عَنْهُ؛ فَإِنَّهُ لَعَلَّهُ أَنْ يُرَاجِعَ،
وَتَلَقَّ الْحَقَّ إِذَا سَمِعْتَهُ؛ فَإِنَّ عَلَى الْحَقِّ نُورًا«
“Sesungguhnya
di hadapan kalian akan ada berbagai fitnah, di mana harta melimpah dan Al-Qur’an
terbuka lebar (dibaca oleh semua orang), hingga dibaca oleh orang mukmin dan
munafik, laki-laki dan perempuan, anak kecil dan orang tua, budak dan orang
merdeka. Hampir saja ada orang yang berkata: ‘Mengapa orang-orang tidak
mengikuti aku, padahal aku telah membaca Al-Qur’an?! Mereka tidak mau
mengikutiku kecuali aku mengada-adakan sesuatu yang baru untuk mereka!’ Maka
hati-hatilah kalian terhadap segala yang diada-adakan, karena apa yang
diada-adakan itu adalah kesesatan. Dan aku memperingatkan kalian terhadap
tergelincirnya seorang hakim (‘alim), karena setan kadang berkata dengan
kalimat kesesatan di atas lisan seorang ‘alim, dan orang munafik kadang berkata
dengan kalimat yang benar.”
Aku berkata kepada Mu’adz: “Bagaimana aku bisa
tahu bahwa si ‘alim itu berkata dengan kalimat kesesatan, dan bahwa orang munafik
itu berkata dengan kalimat kebenaran?”
Mu’adz menjawab: “Iya, jauhilah dari perkataan
‘alim itu kalimat-kalimat yang mengherankan yang orang-orang berkata
tentangnya: ‘Apa ini?!’ Namun janganlah itu membuatmu berpaling darinya, karena
bisa jadi ia akan merujuk kembali (kepada kebenaran). Dan terimalah kebenaran
jika kamu mendengarnya, karena kebenaran itu memiliki cahaya.” (HSR. Abu
Dawud no. 4611)
***