Tokoh Besar Asya'iroh: Imam Al-Baihaqi (458 H)

 

Ahmad bin Al-Husain Al-Baihaqi (wafat 458 H)

Imam Adz-Dzahabi (wafat 748 H) berkata: “Imam Abu Bakr Al-Baihaqi, penulis kitab As-Sunan Al-Kabir, As-Sunan Ash-Shoghir, As-Sunan wa Al-Atsar, Dala’il An-Nubuwwah, Syu’ab Al-Iman, Al-Asma’ wa Ash-Shifat, dan lainnya. Ia adalah tokoh terkemuka di zamannya, ahli hadits terbaik di masanya, dan termasuk murid senior Abu Abdullah Al-Hakim (wafat 405). Ia mempelajari mazhab Syafi’i dari Abu Al-Fath Nashir bin Muhammad Al-’Umari Al-Marwazi (ulama Syafi’iyyah) dan lainnya, menguasai mazhab dengan brilian, dan memiliki lebih dari seratus guru[1]. Ia diberkahi dalam periwayatan hadits dan mahir dalam mengelolanya berkat kedalaman ilmunya tentang bab-bab fikih dan ilmu rijal (rowi). Karyanya tersebar luas, dan dikatakan bahwa ia menulis seribu jilid kitab yang didengar (dipelajari) oleh dua ahli hadits: Ibn ‘Asakir (wafat 571 H) dan As-Sam’ani (wafat 562 H), dari murid-muridnya. Ia tinggal di Baihaq untuk menulis kitab-kitabnya, kemudian diminta pindah ke Naisabur untuk menyebarkan ilmu pada tahun 441 H. Para ulama berkumpul menghadiri majelisnya untuk mendengar pembacaan karyanya. Ia mengumpulkan pendapat-pendapat Asy-Syafi’i (wafat 204 H) dan membelanya dengan dalil Al-Qur’an dan Sunnah.”

Lanjut Dzahabi: Abdul Ghofir (sejarawan) berkata: ‘Ia hidup seperti para ulama, zuhud, qona’ah, dan waro’.

Imam Al-Haromain (wafat 478 H) berkata: ‘Setiap Syafi’iyah berhutang budi pada Asy-Syafi’i, kecuali Al-Baihaqi, justru Asy-Syafi’i yang berhutang budi padanya karena karyanya membela mazhab ini.’” (Tarikh Islam, 10/ 95)

As-Subki (wafat 771 H) berkata: “Imam Al-Baihaqi adalah salah satu imam kaum Muslimin, pembimbing orang beriman, dan penyeru kepada agama Allah. Ia faqih besar, hafizh hadits, ahli ushul brilian, zuhud, waro’, tekun beribadah, dan pembela mazhab Syafi’i baik dalam ushul maupun furu’. Gunung ilmu yang tiada tanding.

Ia mempelajari ilmu kalam berdasarkan mazhab Al-Asy’ari (wafat 324 H), lalu fokus menulis kitab setelah menjadi tokoh terdepan di masanya, ahli hadits tercepat pemahamannya, dan paling cerdas. Karyanya mencapai seribu jilid—prestasi yang tak tertandingi.” (Thobaqoh Syafiiyah Kubro, 4/ 8 - 11)

Berhaluan Asy’ari

Al-Baihaqi sejalan dengan mazhab Asy’ariyah dalam banyak masalah akidah: ia menakwilkan sebagian sifat Allah, menyerahkan makna sebagian lainnya (tafwidh), dan meyakini bahwa tafwidh adalah metode Salaf. Ia sepakat dengan Asy’ariyah bahwa Kalam Allah bukan suara atau huruf, tetapi menetapkan sifat Wajah, Tangan, dan Mata bagi Allah tanpa takwil—sebagaimana pendapat Asy’ariyah generasi awal. (Lihat Asma was Sifat, 2/ 29)

Ibnu Taimiyah (wafat 728 H) berkata: “Hafizh Abu Bakr Al-Baihaqi (458 H) dan ulama semisalnya lebih dekat kepada Sunnah di tengah Asy’ariyah generasi akhir yang menyimpang ke Mu’tazilah, Jahmiyah, atau filsafat.” (Syarhul Aqidah Asfahaniyah, hal. 127)

Kitab Al-Asma’ wa Ash-Shifat oleh Al-Baihaqi

Kitab Al-Asma’ wa Ash-Shifat (Nama-nama dan Sifat-sifat Alloh) karya Al-Baihaqi dalam banyak masalahnya sesuai dengan metode Salafus Sholih (generasi awal umat Islam yang sholih) dan orang-orang setelahnya dari Ahli Sunah. Namun, dalam beberapa masalah, ia sesuai dengan pandangan kaum Asya’iroh.

Al-Baihaqi berkata, menjelaskan sebab penulisan kitab ini: ‘Telah menulis kepadaku Ustadz Abu Manshur Muhammad bin Al-Husain bin Abi Ayyub Al-Ushuli Rohimahulloh (Semoga Alloh merohmatinya), yang senantiasa mendorongku untuk menyusun kitab ini karena hadits-hadits yang dikeluarkan di dalamnya dapat membantu dalam menegakkan Sunah dan membasmi bid’ah.’

Abu Manshur Al-Asy’ari dan Pengaruhnya

Abu Manshur ini, yang mendorong Al-Baihaqi untuk menulis kitab Al-Asma’ wa Ash-Shifat, adalah seorang Asy’ari yang terkenal. Ia adalah murid dari Abu Bakar bin Furok dan menantunya.

Takwil Sifat Alloh menurut Al-Baihaqi

Di antara tafsiran sifat-sifat yang disebutkan oleh Al-Baihaqi adalah perkataannya: “(Sifat) Ar-Ridho (ridho) menurut Abu Al-Hasan Al-Asy’ari Rodiyallohu ‘Anhu (Semoga Alloh meridhoinya) kembali kepada Al-Irodah (kehendak), yaitu kehendak untuk memuliakan orang-orang Mukmin. Demikian pula Ar-Rohmah (kasih sayang) kembali kepada Al-Irodah, yaitu kehendak untuk memberi nikmat dan memuliakan.” (Asma was Sifat, 1/ 478)

Sifat Istiwa’ (Ketinggian) Alloh di atas Arsy

Setelah Al-Baihaqi menyebutkan beberapa dalil dari Al-Qur’an dan Sunah tentang sifat Al-Istiwa’, ia berkata: “Orang-orang terdahulu dari sahabat-sahabat kami Rodiyallohu ‘Anhum (Semoga Alloh meridhoi mereka) tidak menafsirkannya dan tidak membicarakannya, seperti metode mereka dalam hal-hal serupa itu...

Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Abdullah Al-Hafidz berkata: Ini adalah naskah kitab yang didiktekan oleh Syekh Abu Bakar Ahmad bin Ishaq bin Ayyub dalam mazhab Ahli Sunah mengenai apa yang terjadi antara Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah dan sahabat-sahabatnya. Ia menyebutkannya dan di dalamnya menyebutkan:

﴿الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى﴾

“Ar-Rohman (Yang Maha Pengasih) di atas Arsy.” (Surat Thoha: 5)

Ayat ini dipahami tanpa kaif (membicarakan hakikatnya). Dan atsar (perkataan/perbuatan sahabat/tabi’in) dari Salaf dalam hal seperti ini sangat banyak. Dan jalan ini menunjukkan mazhab Asy-Syafi’i Rodiyallohu ‘Anhu (Semoga Alloh meridhoinya), dan ini diikuti Ahmad bin Hanbal, dan Al-Husain bin Al-Fadhl Al-Bajali, dan dari kalangan muta’akhirin (orang-orang yang datang kemudian), Abu Sulaiman Al-Khotthobi.

Abu Al-Hasan Ali bin Isma’il Al-Asy’ari berpendapat bahwa Alloh Ta’ala Jalla Tsana’uhu (Yang Maha Tinggi pujian-Nya) melakukan suatu perbuatan di atas Arsy yang Dia namakan Al-Istiwa’ (tinggi), sebagaimana Dia melakukan di selainnya suatu perbuatan yang Dia namakan Ar-Rizq (rezeki) atau An-Ni’mah (nikmat) atau perbuatan-Nya yang lain. Kemudian ia tidak mengkaifkan Al-Istiwa’, kecuali bahwa ia menjadikannya dari sifat-sifat perbuatan, karena firmAn-Nya:

﴿الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى﴾

“Ar-Rohman (Yang Maha Pengasih) bersemayam di atas Arsy.” (Surat Thoha: 5)

...Dan kemudian (tsumma) untuk tarokhi (urutan waktu), dan tarokhi itu hanya ada pada perbuatan-perbuatan. Dan perbuatan-perbuatan Alloh Ta’ala (Maha Tinggi) ada tanpa campur tangan-Nya dan tanpa gerakan.

Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad bin Mahdi At-Thobari dan yang lainnya dari Ahli An-Nazhor (ahli pemikiran/rasional) berpendapat bahwa Alloh Ta’ala (Maha Tinggi) berada di langit di atas segala sesuatu, Mustawin (bersemayam) di atas Arsy-Nya, dalam arti bahwa Dia tinggi di atasnya. Dan makna Al-Istiwa’ adalah Al-I’tila’ (menguasai/meninggikan), sebagaimana dikatakan: Saya istawaitu (bersemayam) di atas punggung hewan, dan Saya istawaitu di atas permukaan, dalam arti saya menaikinya. Dan Matahari istawat (berada) di atas kepalaku, dan burung istawa di puncak kepalaku, dalam arti ia naik di udara, lalu berada di atasku. Dan Yang Qodim (Alloh) Subhanah (Maha Suci) tinggi di atas Arsy-Nya, tidak dalam keadaan duduk, tidak dalam keadaan berdiri, tidak bersentuhan, dan tidak terpisah dari Arsy. Yang dimaksud dengan terpisah adalah terpisahnya dzat yang berarti menjauh atau menjauhkan diri, karena bersentuhan dan terpisah yang merupakan kebalikannya, serta berdiri dan duduk adalah sifat-sifat benda. Dan Alloh ‘Azza wa Jalla (Maha Perkasa dan Maha Agung) adalah Al-Ahad (Maha Esa), Ash-Shomad (tempat bergantung), tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya. Maka tidak boleh berlaku atas-Nya apa yang berlaku atas benda-benda, Maha Suci dan Maha Tinggi Dia.

Ustadz Abu Bakar bin Furok meriwayatkan metode ini dari sebagian sahabat kami bahwa ia berkata: Al-Istiwa’ berarti: ‘Ala (tinggi). Kemudian ia berkata: Dan ia tidak bermaksud dengan itu ketinggian dengan jarak dan keberadaan di suatu tempat dengan menetap di dalamnya, tetapi yang ia maksud adalah makna firman Alloh ‘Azza wa Jalla:

﴿أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ﴾

“Apakah kamu merasa aman terhadap Yang di langit?” (Surat Al-Mulk: 16)

...yaitu: Yang di atasnya, dalam arti menafikan batas dari-Nya, dan bahwa Dia bukanlah sesuatu yang dapat diliputi oleh lapisan atau dibatasi oleh sudut. Dan sifat Alloh Subhanah wa Ta’ala (Maha Suci dan Maha Tinggi) dengan itu adalah dengan cara khobar (berita), maka kita tidak melampaui apa yang telah datang dengannya khobar.

Saya berkata: berdasarkan metode ini, ia termasuk sifat Adz-Dzat (Dzat), dan kata tsumma (kemudian) berkaitan dengan yang di-istiwa-i (yang diduduki/ditempati), bukan dengan Al-Istiwa’-nya. Dan ini seperti firmAn-Nya:

﴿ثُمَّ اللَّهُ شَهِيدٌ عَلَى مَا يَفْعَلُونَ﴾

“Kemudian Alloh adalah saksi atas apa yang mereka lakukan.” (Surat Yunus: 46)

...yaitu: Kemudian pekerjaan mereka akan ada, lalu Dia menyaksikannya.

Dan Abu Al-Hasan Ali bin Isma’il telah mengisyaratkan metode ini sebagai riwayat, lalu ia berkata: Dan sebagian sahabat kami berkata: Sesungguhnya ia (Al-Istiwa’) adalah sifat Dzat, dan tidak dikatakan: Dia senantiasa mustawiyan (bersemayam) di atas Arsy-Nya, sebagaimana pengetahuan bahwa sesuatu itu telah terjadi adalah sifat Dzat, dan tidak dikatakan: Dia senantiasa mengetahui bahwa sesuatu itu telah terjadi, padahal ia belum terjadi.

Ia berkata: Dan jawaban saya adalah yang pertama, yaitu bahwa Alloh Mustawin di atas Arsy-Nya, dan bahwa Dia di atas segala sesuatu, terpisah dari mereka, dalam arti bahwa mereka tidak melarutkan-Nya dan Dia tidak melarutkan mereka, dan Dia tidak menyentuh mereka dan tidak menyerupai mereka. Dan perpisahan itu bukanlah dengan pengasingan. Maha Tinggi Alloh Tuhan kita dari hulul (menempati) dan mumasasah (bersentuhan) dengan ketinggian yang agung.

Ia berkata: Dan sebagian sahabat kami berkata: Sesungguhnya Al-Istiwa’ adalah sifat Alloh Ta’ala yang menafikan kebengkokan dari-Nya. Dan dalam apa yang dituliskan kepadaku oleh Ustadz Abu Manshur bin Abi Ayyub bahwa banyak dari muta’akhirin (orang-orang yang datang kemudian) dari sahabat-sahabat kami berpendapat bahwa Al-Istiwa’ adalah Al-Qohru (kekuasaan) dan Al-Gholabah (penguasaan). Dan maknanya: bahwa Ar-Rohman menguasai Arsy dan menundukkannya. Dan faedahnya adalah memberitakan tentang penguasaan-Nya atas semua makhluk-Nya, dan bahwa mereka tidak menguasai-Nya. Dan Arsy dikhususkan penyebutannya karena ia adalah makhluk yang paling agung, maka dengan menyebut yang paling tinggi, ia mengingatkan pada yang lebih rendah.

Ia berkata: Dan Al-Istiwa’ dengan makna Al-Qohru dan Al-Gholabah tersebar luas dalam bahasa... Ia berkata: Dan itu bukanlah dalam ayat dengan makna Al-Istiyla’ (menguasai secara paksa), karena Al-Istiyla’ adalah penguasaan dengan kemungkinan kelemahan.

Ia berkata: Dan di antara yang menguatkan apa yang kami katakan adalah firman-Nya ‘Azza wa Jalla:

﴿ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ﴾

“Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan kabut.” (Surat Fushshilat: 11)

...Dan Al-Istiwa’ kepada langit adalah maksud untuk menciptakan langit. Maka ketika sah bahwa maksud kepada langit adalah Al-Istiwa’, maka sah pula bahwa kekuatan atas Arsy adalah Al-Istiwa’... Dan disebutkan dari Abu Al-Aliyah mengenai ayat ini bahwa ia berkata: Istawiy berarti: irtifa’ (naik). Dan yang dimaksud dengan itu -Wallohu A’lam (Dan Alloh lebih mengetahui)- adalah naiknya perintah-Nya, yaitu uap air yang darinya terjadi penciptaan langit.”

Tahapan Perkembangan Mazhab Asy’ari dan Peran Tokoh-tokohnya

Abdul Rohman Al-Mahmud berkata: “Jika Al-Baqilani, Ibnu Furok, dan Al-Baghdadi mewakili fase waktu tertentu bagi mazhab Asy’ari – dan telah dijelaskan peran masing-masing dari mereka dalam perkembangannya – maka Al-Baihaqi yang wafat pada tahun 458 H, Al-Qusyairi yang wafat pada tahun 465 H, dan Al-Juwaini yang wafat pada tahun 478 H, mewakili fase berikutnya. Dan perkembangan dalam fase ini mengambil dimensi lain:

Al-Baihaqi: Pembaharu mazhab Syafi’i dalam fikih, dan salah satu ulama besar Ahli Hadits. Ia berperan dalam menghubungkan mazhab Asy’ari dengan fikih Syafi’i. Kemudian, dalam mendukung kaum Asya’iroh melalui ketekunannya pada hadits dan periwayatannya, serta untuk menjelaskan bahwa hal itu tidak bertentangan dengan metode kalam (teologi rasional) kaum Asya’iroh.

Al-Qusyairi: Memasukkan tasawuf ke dalam metode dan akidah kaum Asya’iroh.

Al-Juwaini: Mengambil langkah-langkah dalam mazhab menuju paham Muktzilah.’” (Mauqif, 2/ 580)

 

 



[1] Di antara guru-guru beliau yang paling terkenal: 

1. Abu Abdullah Al-Hakim, 

2. Ibnu Furak, 

3. Abdul Qahir Al-Baghdadi, 

4. Abu Abdurrahman As-Sulami, 

5. Abu Dzar Al-Harowi. 

(Lihat: As-Salsabil An-Naqi fi Tarojim Syuyukh Al-Baihaqi karya Al-Manshuri, hlm. 419, 379, 550, 564)

Komentar

Artikel Terpopuler

Al-Quran Obat Rohani dan Jasmani

Bacaan Setelah Al-Fatihah dalam Sholat

Doa Naik Kendaraan dan Safar

Hukum Tiyaroh (Anggapan Sial)

Duduk Istirahat dalam Sholat Menurut 4 Madzhab