Tokoh Besar Asya'iroh: Ibnu Furok (406 H)
Muhammad bin Al-Hasan bin Furok
Al-Ashbahani (w. 406 H)
Adz-Dzahabi (748 H) berkata: “Abu Bakr Al-Ashbahani, seorang
faqih mutakallim. Ia mendengar Musnad Ath-Thoyalisi dari ‘Abdullah bin Ja’far
Al-Ashbahani. Ia diundang ke Naisabur karena masyarakat sangat membutuhkan
ilmunya, lalu ia menetap di sana. Sejumlah kelompok belajar darinya dalam
bidang ushul dan kalam. Ia memiliki banyak karya tulis. Ia adalah orang yang
sholih. Di antara yang meriwayatkan darinya adalah Abu Bakr Al-Baihaqi (w. 458
H) dan Abu Al-Qosim Al-Qusyairi (w. 465 H).”
Lanjut Adz-Dzahabi: Ibnu Khollikan (w. 681 H) berkata: “Al-Ustadz
Abu Bakr, seorang mutakallim, ahli ushul, sastrawan, ahli nahwu, dan penceramah
dari Ashbahan. Ia menuntut ilmu di Irak dalam waktu lama, kemudian menuju ke Roy. Di sana, para ahli bid’ah
membuat fitnah terhadapnya. Maka penduduk Naisabur mengirimkan surat dan
memintanya datang. Lalu ia pun datang, dan mereka membangun untuknya madrasah
dan rumah. Keberkahannya tampak nyata pada para penuntut ilmu. Karya-karyanya
mencapai hampir seratus kitab. Ia sangat keras dalam membantah aliran Karromiyah. Kemudian, saat
kembali ke Naisabur, ia diracun di jalan dan wafat di dekat Busti.” Aku (Adz-Dzahabi) berkata: “Ia mengambil manhaj Asy’ari
dari Abu Al-Hasan Al-Bahili dan lainnya. Walau ia adalah seorang yang
religius, ia juga merupakan penganut bid’ah. Semoga Allah merohmatinya
(mengampuninya).” (Tarikh Islam, 9/ 109-110, dengan ringkas)
Al-Hakim An-Naisaburi (w. 405 H) —pemilik Al-Mustadrok,
berkata —sebagaimana dinukil oleh Ibnu ‘Asakir (w. 571 H): “Muhammad bin
Al-Hasan bin Furok, seorang sastrawan, mutakallim, ahli ushul,
penceramah, dan ahli nahwu. Abu Bakr Al-Ashbahani (Ibnu Furok), ia pertama tinggal
di Irak hingga belajar di sana menganut
mazhab Asy’ari. Ketika datang ke Roy, ia difitnah oleh para ahli bid’ah. Maka kami (ulama Naisabur)
menghadap Amir Nashir Ad-Daulah dan memintanya mengutus Ibnu Furok ke
Naisabur. Permintaan kami dikabulkan. Ibnu Furok pun datang, dan
dibangun untuknya rumah dan madrasah. Allah menghidupkan berbagai cabang ilmu
di negeri kami melalui dirinya saat ia menetap di sini. Keberkahannya tampak
pada banyak ahli fiqih. Ia belajar dari ‘Abdullah bin Ja’far Al-Ashbahani.
Ia juga banyak mendengar hadits di Bashroh dan Baghdad, dan meriwayatkan hadits
di Naisabur.” (Tabyin
Kadzib Muftari, hal. 232, dengan ringkas)
As-Subki (w. 771 H) berkata: “Al-Ustadz Abu Bakr Al-Anshori Al-Ashbahani, seorang
imam agung dan ulama besar yang tidak tertandingi dalam fiqih, ushul, kalam,
khutbah, dan nahwu. Ia memiliki wibawa, kemuliaan, dan tingkat waro’ yang tinggi. Ia telah
meninggalkan dunia dan tekun
beribadah kepada Allah, baik secara tersembunyi maupun terang-terangan.
Ia pertama belajar di Irak menurut mazhab Asy’ari dari Abu Al-Hasan Al-Bahili.”
As-Subki juga membantah klaim Ibnu Hazm (w. 456 H) bahwa
Ibnu Furok pernah berkata, “Nabi Muhammad ﷺ adalah Nabi semasa hidupnya, dan setelah
wafat tidak lagi Nabi,”
lalu karena ucapan itu, Sultan Mahmud bin Subuktikin memerintahkan agar ia
dibunuh dengan racun. As-Subki menjelaskan bahwa Ibnu Furok tidak pernah
berkata demikian, dan menunjukkan kesalahan Ibnu Hazm dalam menisbatkan
keyakinan tersebut kepada Asy’ariyah. (Thobaqot Asy-Syafi’iyyah Al-Kubro, As-Subki,
4/ 127 – 133)
Menolak Allah di Atas
Ibnu Rojab (w. 795 H) dalam biografi ‘Ali bin Al-Husain
Al-’Ukbari menyebutkan kisah yang ia dengar dari Al-Hafizh Abu Mas’ud Ahmad bin
Muhammad Al-Bajali: “Ibnu Furok masuk ke majelis Sultan Mahmud, lalu
terjadi perdebatan antara keduanya. Ibnu Furok berkata kepada Mahmud:
‘Tidak boleh engkau menetapkan sifat fauqiyyah (Allah di atas) bagi
Allah, karena konsekuensinya adalah engkau juga harus menetapkan sifat tahtiyyah
(di bawah) bagi-Nya. Sebab, siapa yang menetapkan ada atas, berarti
memungkinkan juga adanya bawah.’ Maka Mahmud menjawab: ‘Bukan aku yang
menetapkan sifat fauqiyyah,
tapi Allah sendiri yang menetapkannya untuk diri-Nya!’ Maka Ibnu Furok
pun terdiam.” (Dzail
Thobaqot Al-Hanabilah, Ibnu Rojab, 1/ 21)
Menguasai Madzhab Asy’ari
Ibnu ‘Asakir juga menyebutkan bahwa Ibnu Furok adalah
salah satu orang yang paling tahu tentang Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari (w.
324 H) dan nama-nama kitab karangannya. (Tabyin Kadzibil Muftari, hal.
135-137)
Ibnu Furok sezaman dengan Al-Baqillani (w. 403
H), dan keduanya berguru kepada Abu Al-Hasan Al-Bahili, murid dari Abu
Al-Hasan Al-Asy’ari, serta keduanya memainkan peran penting dalam pengembangan
mazhab Asy’ariyah.
Keutamaan Ibnu Furok Atas Al-Baqillani
Ibnu Farok
memiliki keistimewaan dibandingkan Al-Baqillani, yaitu:
Penggunaan Sunnah dalam masalah-masalah mendalam tentang
Asma’ dan Sifat, meskipun ia berpandangan bahwa hadits ahad tidak memberikan
keyakinan dan ilmu yang pasti. Namun, ia membolehkan penyebutan hadits ahad
karena dapat memberi dominasi dugaan (gholabatuzh-zhonn), sehingga
termasuk dalam kategori yang boleh dan mungkin terjadi. (Musykilul Hadits wa
Bayanuh, hal. 44)
Siapa yang menelaah kitab Musykilul Hadits karya Ibnu
Furok, akan menemukan dua hal yang aneh:
Pertama: Ia membahas berbagai sisi ta’wil
(penafsiran) terhadap setiap hadits yang berkaitan dengan Sifat, bahkan dengan takalluf
(pemaksaan). Ia meyakini bahwa ini adalah tugas sekelompok Ahlul Hadits. Ia
membagi Ahlul Hadits menjadi dua kelompok:
1.
Kelompok yang ahli dalam
periwayatan.
2.
Kelompok yang lebih
menonjol dalam menguatkan metode rasional dan qiyas, serta mampu
menjelaskan keterkaitan antara cabang hukum dengan pokoknya.
Ibnu Furok
menganggap bahwa tujuan kitabnya adalah sesuai dengan kelompok kedua ini. Oleh
karena itu, ia menuliskan ta’wil atas hadits-hadits yang menurutnya
termasuk kategori mushkil (sulit dipahami), dan yang mengesankan tasybih
(penyerupaan kepada makhluk). (Musykilul Hadits, hal. 37)
Kedua: Ia mencampuradukkan antara hadits-hadits yang
shohih, dho’if, bahkan maudhu’ (palsu).
Ia melakukan ta’wil terhadap sifat istiwa’ dan
‘uluww (ketinggian Allah), berbeda dengan Al-Baqillani yang telah
disebutkan dalam biografinya bahwa ia menetapkan kedua sifat tersebut
sebagaimana dilakukan oleh Abu Al-Hasan Al-Asy’ari.[1]
Mengembangkan Madzhab Asy’ari
Ibnu Furok (atau Faurok) telah mengembangkan
madzhab Asy’ari melalui:
Perhatian terhadap hadits dan kesungguhannya dalam ilmu
hadits, meskipun tetap berada di atas manhaj kalam (teologi rasional) dan ta’wilat-nya.
Dengan demikian, penghalang antara Ahlus Sunnah dari kalangan Ahlul Hadits (yang
menetapkan makna nash secara zhohir) dan ahlul kalam (yang sebelumnya jauh dari
perhatian terhadap ilmu hadits baik secara riwayah maupun diroyah) menjadi
semakin tipis.[2]
Ia melampaui
batas dan berlebihan dalam ta’wil ayat dan hadits-hadits sifat, sampai-sampai
ta’wil menjadi asas dan penetapan (secara zohir), kecuali
sedikit sekali yang tidak.
Ia melakukan ta’wil terhadap sifat istiwa’ dan ‘uluww,
dan ini merupakan perkembangan yang sangat besar dan berbahaya dalam mazhab
Asy’ari, meskipun diriwayatkan darinya bahwa ia melarang ta’wil sifat tersebut.[]
[1]
Ibnu Taimiyah (wafat 728 H) menukil dari Ibnu Furok (wafat 406 H) dalam kitabnya tentang ushuluddin (aqidah) sebuah pendapat lain
yang sejalan dengan Abu Al-Hasan
Al-Asy’ari (wafat 324
H) dan Al-Baqillani
(wafat 403 H) dalam menetapkan sifat uluw (ketinggian) bagi Allah. Kemudian Ibnu Taimiyah berkata: “Nampaknya – wallahu a’lam –
bahwa ijtihad Ibnu Furok
dalam masalah ini berganti sebagaimana
perbedaan ijtihad ulama lainnya. Misalnya:
~Abu Al-Ma’ali (Al-Juwaini, wafat 478 H) awalnya
membolehkan ta’wil lalu mengharomkannya, bahkan mengklaim ijma’ Salaf
atas larangannya.
~Ibnu
‘Aqil (wafat 513 H) memiliki berbagai pendapat yang berbeda.
~Demikian
pula Abu Hamid Al-Ghozali (wafat 505 H), Fakhr Ar-Rozi (wafat 606 H), dan lainnya.
Salah satu bukti perbedaan pendapat Ibnu Furok adalah
pernyataannya dalam kitab lain: ‘Jika ada yang bertanya: ‘Di mana Allah?’
jawablah: ‘Dia tidak memiliki kaifiyyah (bentuk/sifat fisik) sehingga
bisa dijelaskan lokasi-Nya.’’ (Majmu’ Al-Fatawa, 16/89)
Perbedaan Pendapat di Kalangan Asy’ariyah:
Ibnu Furok terkadang sejalan dengan Al-Asy’ari dan Al-Baqillani
dalam menetapkan sifat ketinggian (uluw). Namun, di tempat lain, ia
menolak pertanyaan “di mana Allah” karena menganggapnya mengandung unsur
tasybih (penyerupaan dengan makhluk).
Dinamika Ijtihad Ulama Asy’ariyah:
Sebagian ulama Asy’ariyah (seperti Al-Juwaini) berubah
pendapat dari membolehkan takwil menjadi melarangnya. Tokoh seperti Al-Ghozali dan Fakhruddin Ar-Rozi juga dikenal memiliki pendapat yang beragam dalam masalah
sifat Allah.
Sikap Ibnu Taimiyah:
Beliau mengakui bahwa perbedaan pendapat semacam ini
wajar terjadi karena faktor ijtihad. Namun,
beliau lebih memilih metode Salaf yang menetapkan sifat tanpa ta’wil atau tahrif.
Konteks Teologis:
Pertanyaan “Di Mana Allah?” adalah ujian klasik
antara: Ahlus Sunnah Salafiyyah
yang menjawab: “Allah di atas langit” berdasarkan dalil. Asy’ariyah Mutakallimin yang cenderung menolak jawaban untuk
menghindari tasybih. Ibnu
Furok dalam hal ini
mencoba mengkompromikan antara penetapan sifat ketinggian dan penolakan
terhadap kaifiyyah.
Nukilan ini menunjukkan fleksibilitas metodologis dalam mazhab Asy’ariyah sekaligus ‘kritik halus’ Ibnu Taimiyah terhadap inkonsistensi sebagian pendapat mereka.
[2]
Ibnu Furak (wafat 406 H)
berkata dalam pengantar kitabnya Muskil Al-Hadits: "Ini adalah
kitab yang kami susun untuk membahas hadis-hadis masyhur yang diriwayatkan dari
Rasulullah ﷺ yang zhahirnya berpotensi
menimbulkan kesan tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk).” (Muskil Al-Hadits
wa Bayanuhu, hal. 37)
Ibnu
'Asakir (wafat 571 H) juga menyebutkan bahwa Ibnu Furok memiliki kitab berjudul
Thobaqat Al-Mutakallimin (tingkatan-tingkatan ahli kalam). (Lihat:
Tabyin Kadzib Al-Muftari, hal. 125)
Komentar
Posting Komentar