Pokok-Pokok Aqidah Menurut Ahli Hadits

 

Abul Hasan Al-Asy’ari berkata:

هذه حكاية جملة قول أصحاب الحديث وأهل السنة (أصول الاعتقاد عند أهل الحديث)

Ini adalah paparan ringkas tentang pandangan para Ahli Hadits dan Ahli Sunnah (Pokok aqidah Ahli Hadits).

* جملة ما عليه أهل الحديث والسنة: الإقرار بالله وملائكته وكتبه ورسله

Secara garis besar, keyakinan yang dipegang oleh Ahli Hadits dan As-Sunnah adalah: Mengakui (beriman kepada) Alloh, para Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, dan Rosul-Rosul-Nya.

Bahasa:

(جملة): ringkasan atau kumpulan.

(الإقرار): pengakuan dan pembenaran.

Penjelasan:

Mereka disebut Ahli Hadits karena mereka mengikuti kebenaran berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mereka juga tekun menelusuri hadits-hadits Rosululloh untuk diamalkan dan didahulukan di atas semua pendapat lain. Merekalah golongan yang selalu ditolong (ath-thoifah al-manshuroh) dan kelompok yang selamat (al-firqoh an-najiyah), yang teguh di atas ajaran Rosululloh dan para Shohabatnya. Bagaimana tidak, sementara mereka mendekatkan diri kepada Alloh Ta’ala dengan mengikuti Sunnah Rosululloh dan mencari jejak-jejak ajarannya.

‘Ali bin Al-Madini, dalam menafsirkan hadits Rosululloh :

«لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق ولا يضرهم من خالفهم»

“Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku yang tegak di atas kebenaran, dan tidak akan membahayakan mereka orang yang menyelisihi mereka,” berkata:

هم أهل الحديث والذين يتعاهدون مذاهب الرسول ويذُبُّون عن العلم

“Mereka adalah Ahli Hadits dan orang-orang yang menjaga madz-hab-madz-hab Rosul serta membela ilmu (agama).” (Syarof Ashabil Hadits hlm. 10)

Imam Ahmad ditanya mengenai makna hadits ini, lalu beliau menjawab:

إن لم تكن هذه الطائفة المنصورة أصحاب الحديث فلا أدري من هم

“Jika golongan yang ditolong ini bukanlah para Ahli Hadits, maka aku tidak tahu lagi siapa mereka.” (Ma’rifah ‘Ulumil Hadits hlm. 2)

Al-Hakim berkata: “Sungguh tepat jawaban Ahmad bin Hanbal dalam menafsirkan kabar ini, bahwa golongan yang ditolong, yang dijauhkan dari kehinaan hingga hari Kiamat, adalah para Ahli Hadits. Siapakah yang lebih berhak dengan penafsiran ini selain kaum yang menapaki jalan orang-orang sholih, mengikuti jejak para Salaf terdahulu, dan membentengi (umat) dari ahli bid’ah dan para penentang (kebenaran) dengan Sunnah-Sunnah Rosululloh dan seluruh keluarganya.” (Ma’rifah ‘Ulumil Hadits hlm. 2)

Ibnu Hibban, mengomentari sabda Nabi : “...maka hendaklah kalian berpegang pada Sunnahku,” berkata: “Sungguh orang yang tekun menjalankan Sunnah-Sunnah, berpegang padanya, dan tidak berpaling kepada pendapat-pendapat lain, maka ia termasuk golongan yang selamat.” (Al-Ihsan, 1/105)

Ini merupakan bantahan telak bagi siapa saja yang mengklaim bahwa Ahli Hadits bukanlah sebuah golongan khusus. Anggapan keliru ini muncul karena istilah Ahli Hadits memiliki dua makna:

Pertama: Setiap orang yang menyibukkan diri dengan ilmu Hadits. Dalam pengertian ini, baik Ahli Sunnah wal Jama’ah maupun ahli bid’ah bisa termasuk di dalamnya. Berdasarkan istilah ini, Ahli Hadits bukanlah golongan khusus.

Kedua: Orang yang meyakini aqidah para imam Hadits dan Sunnah. Berdasarkan pengertian ini, ahli bid’ah tidak termasuk di dalamnya. Pujian para imam Sunnah terhadap Ahli Hadits—bahwa mereka adalah kelompok yang selamat dan golongan yang ditolong—mengacu pada pengertian kedua ini. Termasuk di dalamnya adalah setiap orang yang berada di atas aqidah para imam Sunnah, meskipun ia bukan seorang ulama ahli Hadits. (Lihat Syarh Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah, 1/24)

Peringatan:

Istilah Ahli Zhohir (orang-orang yang berpegang pada teks lahiriah) sering digunakan oleh ahli bid’ah untuk menyebut Ahli Sunnah. Istilah ini juga memiliki dua makna:

Pertama: Tidak men-ta’wil (menafsirkan secara menyimpang) nash-nash wahyu, baik dalam masalah-masalah ilmiah terkait aqidah maupun masalah fiqih praktis. Mereka mendahulukan nash-nash syariat di atas semua perkataan manusia, siapa pun dia, dan mengikuti ke mana pun nash itu mengarah. Dalam pengertian ini, istilah Ahli Zhohir setara dengan Ahli Hadits, Ahli Hadits, Ahli Sunnah wal Jama’ah, dan Ath-Thoifah Al-Manshuroh.

Kedua: Orang yang membatasi makna nash-nash syariat hanya pada makna literalnya dan mengabaikan makna implisit dan kontekstualnya. Contohnya, orang yang memahami sabda Nabi ,

«لا يبولن أحدكم في الماء الدائم»

“Janganlah salah seorang dari kalian kencing di air yang tergenang,” (muttafaq alaih) dengan pemahaman bahwa kencing langsung di air tergenang tidak boleh, tetapi jika ia kencing di wadah lalu menuangkannya ke air tergenang, itu boleh.

Klaim ini batil karena ia membatasi makna nash dari tujuan syar’i-nya. Jika kencing langsung di air tergenang saja tidak boleh, maka menuangkan air kencing dari wadah ke dalamnya tentu lebih tidak boleh lagi. Kencing langsung di air tergenang mungkin didorong oleh kebutuhan mendesak, sedangkan kencing di wadah lalu menuangkannya sama sekali tidak ada urgensinya, bahkan itu murni tindakan iseng yang merusak air. Cara berpikir seperti ini bukanlah metode Ahli Hadits.

Dalam pengertian kedua ini, Ahli Zhohir berada di kutub yang berlawanan dengan kelompok ekstrem Ahlur Ro’yi (ahli logika) yang menyelewengkan dan men-ta’wil nash-nash syariat agar sesuai dengan madz-hab mereka, serta mendahulukan pendapat para imam dan logika mereka di atas nash.

Adapun Ahli Hadits berada di posisi tengah, antara sikap berlebihan (ifroth) Ahli Ro’yi dan sikap meremehkan (tafrith) Ahli Zhohir. Para ahli bid’ah sering menjuluki para Ahli Hadits sebagai Ahli Zhohir, Hasyawiyyah (kelompok rendahan atau tekstual), Musyabbihah (penyerupa Alloh), dan Mujassimah (penjasmani Alloh) untuk membuat orang-orang lari dari metode Ahli Hadits.

Mereka berdusta saat menuduh Ahli Hadits sebagai Hasyawiyyah, Musyabbihah, dan Mujassimah. Adapun tuduhan bahwa mereka adalah Ahli Zhohir:

Jika yang dimaksud adalah makna pertama, maka tuduhan itu tidak membahayakan Ahli Hadits. Justru bisa dibalikkan kepada ahli bid’ah: “Apakah kalian adalah kaum Bathiniyyah (yang menyembunyikan makna batin) sehingga kalian menuduh Ahli Hadits sebagai kaum Zhohiriyyah (yang berpegang pada makna lahiriah)?”

Bahkan bisa dikatakan kepada ahli bid’ah: “Kalian tidak diragukan lagi adalah kaum Bathiniyyah dalam banyak penafsiran dan penyelewengan kalian terhadap nash-nash syariat, baik dalam aqidah maupun masalah fiqih.”

Dengan demikian, (jika yang dimaksud makna pertama) maka Ahli Hadits adalah Ahli Zhohir, bukan Bathiniyyah seperti kalian. Ini adalah sebuah pujian bagi mereka, bukan celaan, walhamdulillah.

Namun, jika yang dimaksud adalah makna kedua dari Ahli Zhohir, maka mayoritas Ahli Hadits berlepas diri dari pemahaman semacam itu, wallohu a’lam.


 

الإقرار بالله

Pengakuan kepada Alloh:

Penulis (Al-Asy’ari) memulai dengan menjelaskan enam rukun Iman yang disebutkan dalam hadits Jibril, yaitu Iman kepada Alloh, Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rosul-Rosul-Nya, Hari Akhir, serta takdir yang baik dan yang buruk. Pembahasan penulis mengenai takdir dan Hari Akhir akan datang di bagian-bagian selanjutnya dalam kitab ini.

Adapun makna Iman kepada Alloh adalah keyakinan yang kokoh bahwa Alloh adalah Robb, Pemilik, dan Pencipta segala sesuatu; bahwa Dia berhak atas segala sifat kesempurnaan dan suci dari segala sifat kekurangan dan aib; dan bahwa hanya Dia-lah satu-satunya yang berhak untuk diesakan dalam ibadah, ketundukan, dan ketaatan. Dia Maha Esa dalam rububiyyah (sifat-sifat perbuatan-Nya seperti mencipta dan mengatur), uluhiyyah (hak untuk disembah), dan sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Seorang hamba tidak akan menjadi Mu’min sejati sampai ia mentauhidkan Alloh dalam ketiga aspek ini. (Lihat Taisir Al-’Aziz Al-Hamid, hlm. 17, dan Tath-hirul I’tiqod, hlm. 3)

Malaikat:

Adapun Iman kepada para Malaikat adalah engkau membenarkan keberadaan mereka; bahwa mereka adalah hamba-hamba yang mulia, yang diciptakan Alloh untuk beribadah kepada-Nya. Mereka tidak pernah mendurhakai perintah Alloh dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. Mereka tidak pernah lelah beribadah, (sebagaimana firman-Nya),

﴿يُسَبِّحُونَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لَا يَفْتُرُونَ

“Mereka bertasbih malam dan siang tanpa henti-hentinya.” (QS. Al-Anbiya)

Iman kepada Malaikat juga mencakup keimanan terhadap sifat-sifat dan tugas-tugas yang mereka jalankan sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Kita juga wajib mengimani nama-nama Malaikat yang disebutkan secara khusus dalam nash, seperti Jibril, Mikail, Isrofil, dan Malaikat Maut. Kami berpendapat bahwa siapa saja yang mengatakan bahwa Malaikat berjenis kelamin perempuan, maka ia telah kafir karena menentang kitab Alloh. Sebaliknya, kita juga tidak mengatakan bahwa mereka berjenis kelamin laki-laki, karena tidak ada nash shohih yang menyatakan hal itu.

Kitab-kitab:

Adapun Iman kepada kitab-kitab adalah engkau membenarkan bahwa Alloh Ta’ala telah menurunkan kitab-kitab kepada para Rosul-Nya untuk mengajarkan kepada manusia mana yang hak dan mana yang batil, mana yang baik dan mana yang buruk. Kitab-kitab ini sangat banyak dan wajib kita imani secara umum. Namun, ada empat kitab yang wajib kita imani secara terperinci, yaitu: Taurot yang diturunkan kepada Musa, Zabur yang diturunkan kepada Dawud, Injil yang diturunkan kepada ‘Isa, dan Al-Qur’an yang diturunkan kepada Muhammad .

Kita juga harus meyakini bahwa apa yang ada di dalam Al-Qur’an adalah firman Alloh yang sungguh. Dia berbicara dengannya, Jibril mendengarnya langsung dari-Nya, lalu Jibril menyampaikannya kepada Rosululloh Muhammad , yang kemudian mendengarnya dari Jibril. Keyakinan ini berbeda dengan klaim ahli bid’ah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an bukanlah firman Alloh yang hakiki, melainkan hanya sebuah ungkapan dari kalam Alloh. Wajib pula untuk mengimani bahwa Alloh Ta’ala telah menjaga Al-Qur’an dari penyelewengan dan perubahan, dan bahwa setiap huruf di dalamnya adalah firman Alloh Ta’ala.

Rosul-Rosul:

Adapun Iman kepada para Rosul adalah engkau meyakini dengan seyakin-yakinnya bahwa Alloh telah mengutus kepada umat manusia para Rosul—untuk mengajak mereka beribadah hanya kepada Alloh—sebagai pembawa kabar gembira bagi ahli tauhid dan Sunnah, serta pemberi peringatan bagi ahli syirik, bid’ah, dan maksiat. Jumlah mereka tidak ada yang mengetahui kecuali Alloh Ta’ala. Kita juga wajib beriman kepada para Rosul dan Nabi yang namanya disebutkan oleh Alloh dalam kitab-Nya, yaitu: Adam, Nuh, Idris, Ibrohim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub, Yusuf, Musa, Harun, Dawud, Sulaiman, Ilyas, Alyasa’, Hud, Sholih, Syu’aib, Dzul Kifli, Ayyub, Yunus, Luth, Zakariyya, Yahya, ‘Isa, dan Muhammad, semoga sholawat tercurah kepada mereka semua.


 

Imam Abul Hasan Al-Asy’ari berkata:

* وما جاء من عند الله وما رواه الثقات عن رسول الله لا يردون من ذلك شيئا، وأن الله سبحانه إله واحد فرد صمد لا إله غيره لم يتخذ صاحبة ولا ولدا

Apa pun yang datang dari sisi Alloh dan apa pun yang diriwayatkan oleh para perowi terpercaya dari Rosululloh , mereka (Ahli Hadits) tidak menolak sedikit pun darinya. Mereka meyakini bahwa Alloh Yang Maha Suci adalah Ilah yang satu, tunggal, dan tempat bergantung (shomad). Tidak ada ilah selain-Nya, Dia tidak mengambil istri maupun anak.

Penjelasan:

Keyakinan ini diambil dari firman Alloh Ta’ala (dalam suroh Al-Ikhlas). Ini adalah bentuk penyucian Alloh dari hal-hal yang terpisah dari-Nya (tanzih munfashil), seperti menyucikan-Nya dari adanya sekutu, penolong, pemberi syafaat tanpa izin-Nya, istri, tandingan, atau yang setara dengan-Nya. Alloh Ta’ala berfirman,

﴿فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Maka janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Alloh, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqoroh)

Dia berfirman,

﴿لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.” (QS. Asy-Syuro)

Adapun penyucian yang bersifat melekat pada diri-Nya (tanzih muttashil) adalah menyucikan Alloh dari rasa kantuk, tidur, kematian, kelemahan, kehinaan, kebodohan, kelupaan, kelalaian, kebutuhan, dan kelelahan. Alloh Ta’ala berfirman,

﴿اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ

“Alloh, tidak ada ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur.” (QS. Al-Baqoroh)

Dia berfirman,

﴿وَمَا مَسَّنَا مِنْ لُغُوبٍ

“...dan Kami tidak merasa lelah sedikit pun.” (QS. Qof)

Ahli Sunnah (para Ahli Hadits) menafikan (menolak) apa yang Alloh nafikan dari diri-Nya dan apa yang dinafikan oleh Rosul-Nya . Mereka tidak menyentuh sifat-sifat kesempurnaan dan keagungan-Nya dengan penafian ataupun penyelewengan makna. Menurut mereka, menetapkan sifat-sifat yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sama sekali bukanlah penyerupaan (tasybih). Justru, penyerupaan itu terletak pada penolakan sifat, bukan pada penetapannya.

Para ahli kalam (mutakallimun) menyimpang dalam memahami konsep penyucian (tanzih). Mereka menjadikannya sebagai alat untuk meruntuhkan bangunan sifat-sifat Alloh yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Kelompok pertama yang memasukkan metode penafian dalam konsep penyucian adalah Jahmiyyah. Al-Asy’ari dalam kitabnya (Al-Maqolat) menukil bahwa mereka (Jahmiyyah) bersepakat atas: “bahwa Alloh itu satu, tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Dia bukan jism (tubuh), bukan sesuatu yang menyerupai makhluk, bukan ju-tsah (sosok), bukan shuroh (bentuk), bukan syakhshun (pribadi), bukan jauhar (substansi), bukan ‘arodh (sifat aksiden), tidak memiliki warna, rasa, atau sentuhan. Tidak panas, tidak dingin, tidak basah, tidak kering. Tidak memiliki panjang, kedalaman, atau pemisahan. Dia tidak bergerak, tidak diam, tidak terbagi-bagi, tidak memiliki bagian, potongan, organ, atau anggota tubuh. Dia tidak memiliki arah, tidak punya kanan, kiri, depan, atas, atau bawah. Dia tidak diliputi oleh tempat dan tidak terikat oleh waktu. Tidak boleh bagi-Nya untuk bersentuhan atau menempati suatu tempat. Dia tidak disifati dengan sifat-sifat makhluk apa pun.”

Inilah ringkasan dari keyakinan mereka tentang tauhid. Dalam hal ini, mereka diikuti oleh kelompok Khowarij dan sekelompok dari Murji’ah, Syi’ah, dan Maturidiyyah.

Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi, saat menjelaskan kerusakan metode ini, berkata: “Para penolak sifat (mu’aththilah) berpaling dari nama-nama dan sifat-sifat yang disebutkan oleh Syariat. Mereka tidak merenungkan maknanya, dan justru menjadikan makna dan lafazh-lafazh hasil rekaan mereka sebagai standar yang wajib diyakini. Mayoritas keyakinan mereka bersifat negatif (menolak), seperti ‘Dia tidak begini, Dia tidak begitu’. Adapun penetapan sifat sangat sedikit, hanya sebatas bahwa Dia Maha Mengetahui dan Maha Kuasa. Sebagian besar penafian yang mereka sebutkan tidak bersumber dari Al-Qur’an, As-Sunnah, maupun dari argumen rasional yang digunakan oleh kelompok lain yang menetapkan sifat. Padahal Alloh Ta’ala berfirman:

﴿لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

‘Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.’ (QS. Asy-Syuro)

Ayat ini mengandung penetapan sifat yang justru memperkuat makna penafian (penyerupaan). Dari sini dipahami bahwa maksudnya adalah Alloh Maha Esa dengan sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Dia Maha Suci dan disifati dengan apa yang Dia sifatkan untuk diri-Nya dan yang disifatkan oleh Rosul-Nya. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, baik dalam sifat-sifat-Nya, nama-nama-Nya, maupun perbuatan-perbuatan-Nya.” (Lihat Ar-Rod ‘ala Al-Jahmiyyah karya Imam Ahmad hlm. 105, Maqolat Al-Islamiyyin hlm. 155, Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thohawiyyah hlm. 54, dan Majmu’ Al-Fatawa 11/483-484)


 

وأن محمدا عبده ورسوله

Muhammad adalah hamba dan Rosul-Nya:

Alloh menyifati Nabi-Nya, Muhammad , dengan sifat ‘ubudiyyah (penghambaan) dan risalah (kerosulan) pada kedudukan-kedudukan yang paling mulia. Dia berfirman pada momen Isro’ Mi’roj,

﴿سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى

“Maha Suci Alloh, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjid Al-Harom ke Al-Masjid Al-Aqsho.” (QS. Al-Isro: 1)

Pada momen tantangan untuk membuat tandingan Al-Qur’an, Dia berfirman,

﴿وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ

“Jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu suroh (saja) yang semisal Al-Qur’an itu.” (QS. Al-Baqoroh)

Pada momen berdoa, Dia berfirman,

﴿وَأَنَّهُ لَمَّا قَامَ عَبْدُ اللَّهِ يَدْعُوهُ كَادُوا يَكُونُونَ عَلَيْهِ لِبَدًا

“Tatkala hamba Alloh (Muhammad) berdiri menyembah-Nya (mengerjakan ibadah), hampir saja mereka (jin-jin itu) berdesak-desakan mengerumuninya.” (QS. Al-Jin)

Dia berfirman,

﴿مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ

“Muhammad itu adalah Rosululloh dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (QS. Al-Fath)

Nabi sendiri melarang sikap berlebihan (ghuluw) dalam memujinya. Beliau bersabda:

«لا تطروني كما أطرت النصارى عيسى ابن مريم، إنما أنا عبده فقولوا عبد الله ورسوله»

“Janganlah kalian memujiku secara berlebihan sebagaimana orang-orang Nashroni memuji ‘Isa putra Maryam. Aku hanyalah hamba-Nya, maka katakanlah: ‘Hamba Alloh dan Rosul-Nya.’ (HR. Al-Bukhori no. 3545)

Sayangnya, banyak kaum Muslimin yang menyalahi pesan Rosululloh ini dan bersikap berlebihan terhadap beliau, layaknya sikap berlebihan kaum Nashroni kepada ‘Isa ‘alaihissalam. Mereka memberikan banyak bentuk ibadah kepada beliau. Di sisi lain, mereka juga meremehkan hak beliau dengan mendahulukan perkataan para tokoh yang mereka agung-agungkan di atas sabda-sabda beliau .

Adapun para Ahli Hadits, jika mereka mendengar sebuah hadits shohih dari Rosululloh , seolah-olah mereka mendengarnya langsung dari lisan Rosululloh . Mereka langsung membenarkannya, mengamalkannya, dan tidak mendahulukan perkataan, pendapat, perasaan (dzauq), ilham (kasyf), pengalaman batin (wajd), kias, maupun akal di atasnya.


 

Imam Abul Hasan Al-Asy’ari berkata:

* وأن الجنة حق وأن النار حق وأن الساعة آتية لا ريب فيها وأن الله يبعث من في القبور

Jannah adalah benar dan Naar adalah benar, dan bahwa Kiamat pasti akan datang, tidak ada keraguan padanya, dan bahwa Alloh akan membangkitkan siapa saja yang ada di dalam kubur.

Bahasa:

(لا ريب فيها): tidak ada keraguan padanya.

(يبعث من في القبور): menghimpun, menghidupkan, dan mengumpulkan mereka untuk dihisab.

Penjelasan:

Pernyataan ini diambil dari:

Hadits ‘Ubadah bin Ash-Shomit Rodhiyallohu ‘Anhu, di mana Rosululloh bersabda: “Siapa bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Alloh semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, bahwa Muhammad adalah hamba dan Rosul-Nya, bahwa ‘Isa adalah hamba Alloh dan Rosul-Nya serta kalimat-Nya yang Dia sampaikan kepada Maryam dan ruh (ciptaan) dari-Nya, dan bersaksi bahwa Jannah itu benar dan Naar itu benar, maka Alloh akan memasukkannya ke dalam Jannah, apa pun amal yang telah dilakukannya.” (HR. Al-Bukhori no. 3435 dan Muslim no. 28)

Juga kutipan dari ayat mulia dalam suroh Al-Hajj (ayat 7):

﴿وَأَنَّ السَّاعَةَ آتِيَةٌ لَا رَيْبَ فِيهَا وَأَنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ مَنْ فِي الْقُبُورِ

Sungguh hari Kiamat itu pastilah datang, tak ada keraguan padanya; dan bahwasanya Alloh membangkitkan semua orang di dalam kubur.”

Ringkasan:

Ahli Sunnah beriman kepada Alloh , para Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rosul-Rosul-Nya, dan semua yang diriwayatkan oleh para perowi terpercaya dari Rosul . Mereka mengakui keesaan mutlak Alloh dalam segala hal, kenabian Muhammad , serta beriman pada adanya Jannah, Naar, dan kebangkitan setelah kematian.

Diskusi:

S1: Sebutkan pokok-pokok Iman menurut Ahli Hadits secara ringkas!

S2: Jelaskan secara rinci apa yang dimaksud dengan: Iman kepada Alloh, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan Rosul-Rosul-Nya!

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url