Al-Quran Berbicara Akhirat

Al-Quran Berbicara Akhirat

Jika masalah dunia dan dasar-dasar ilmu pengetahuan saja disinggung dalam Al-Quran, apalagi masalah akhirat. Bahkan Allâh menurunkan Al-Quran sebagai kitab yang membimbing manusia agar selamat di akhirat. Ia adalah kitab petunjuk dan pedoman hidup bukan kitab ilmu pengetahuan. Seandainya Al-Quran hanya mengandung petunjuk akhirat semata, maka hal ini telah cukup. Namun, Allâh dengan hikmah-Nya menjadikan Al-Quran sesuai dengan apa yang Dia kehendaki dan sesuai dengan apa yang Dia firmankan.

Di antara ahli ilmu ada yang mengatakan bahwa sebenarnya seluruh Al-Quran berbicara masalah akhirat. Lalu bagaimana dengan ayat-ayat yang menyingung tentang ilmu pengetahuan? Jawabannya adalah disinggungnya demikian bukan semata untuk tujuan itu tetapi untuk bahan renungan manusia agar percaya akan hari berbangkit, percaya akan datangnya kematian, percaya akan pembalasan amal, percaya akan kemahakekuasaan Allâh. Dengannya, Allâh menegaskan bahwa Allâh Maha Perkasa, Maha Memiliki, Maha Adil, Maha Mengatur, Maha Melihat, dan lain sebagainya.

Allâh subhanahu wa ta’ala menyebutkan tentang siklus hujan dalam Al-Quran dimana air hujan itu awalnya dari air laut yang menguap kemudian menggumpal di angkasa menjadi butiran-butiran uap lalu disimpan di awan lalu diturunkanlah hujan ke lembah-lembah gersang. Lalu tanah yang gersang itu menjadi subur dan menumbuhkan tanaman. Demikian itulah perumpamaan manusia. Allâh Mahakuasa untuk menghidupkannya kembali sebagaimana Dia kuasa menumbuhkan kembali tanaman di tanah yang gersang.[1]

Allâh subhanahu wa ta’ala membuat permisalan:

«وَالَّذِي نَزَّلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً بِقَدَرٍ فَأَنْشَرْنَا بِهِ بَلْدَةً مَيْتًا كَذَلِكَ تُخْرَجُونَ»

“Dan Dia-lah yang menurunkan air dari langit menurut kadarnya lalu Kami sebarkan ia ke negeri-negeri yang mati. Demikianlah kalian akan dikeluarkan (dari kubur) nanti.”[2]

Untuk itu Al-Quran benar-benar menjadi sebaik-baik pedoman hidup manusia. Allâh memerintahkan mereka untuk mempelajarinya, mengkajinya, memahaminya, dan mengamalkannya dengan menjadikannya sebagai pedoman hidup, sekaligus memerintahkan mereka agar bersungguh-sungguh atasnya.

Allâh subhanahu wa ta’ala berfirman:

«خُذُوا مَا آتَيْنَاكُمْ بِقُوَّةٍ وَاذْكُرُوا مَا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ»

“Ambillah apa yang Kami berikan kepada kalian dengan kuat dan selalu ingatlah isinya agar kalian bertakwa.”[3]

«كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ»

“Yang Kami turunkan kepadamu adalah sebuah kitab yang diberkahi supaya mereka mentadabburi ayat-ayatnya dan supaya orang-orang yang berakal mau mengingat-ingatnya.”[4]

Setelah itu, Allâh menjanjikan kebahagiaan di dunia dan di akhirat bagi mereka yang telah memenuhi perintah-Nya tersebut. Allâh subhanahu wa ta’ala berfirman:

«مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ»

“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih baik laki-laki maupun perempuan dalam  keadaan beriman, maka Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Kami benar-benar akan membalas mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.”[5]

Yang dimaksud di sini adalah ahli Al-Quran, karena amal dikatakan shalih jika dilakukan di atas petunjuk Al-Quran dan bimbingan Sunnah, begitupula dengan keimanan. Untuk itulah mengapa Allâh melanjutkan ayat berikutnya tentang Al-Quran dalam firman-Nya:

«فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ»

“Jika kamu membaca Al-Quran, hendaklah berlindung kepada Allâh dari setan yang terkutuk.”[6]

Huruf fa pada (فَإِذَا قَرَأْتَ) adalah syarat untuk kalimat sebelumnya.[7] Yakni, syarat untuk mendapatkan dua pahala, di dunia dan di akhirat, sebagaimana yang Allâh sebutkan dalam ayat sebelumnya yang disyaratkan dengan Al-Quran, yaitu dengan membacanya, mengkajinya, mentadaburinya, mengamalkannya, dan menghafalkannya.

Adapun pahala di dunia adalah dilapangkannya hati, dimudahkannya segala urusan, sembuh dari penyakit jasmani dan rohani, mendapat petunjuk dan rahmat, tidak tersesat, dimuliakan manusia, dan dijauhkan dari setan, memiliki do’a mustajab, dan tidak pikun di hari tuanya. Allâh berfirman:

«يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ»

“Wahai manusia, sungguh telah datang kepada kalian mau’idhah dari Rabb kalian, penyembuh untuk apa yang ada di dalam dada, petunjuk, dan rahmat bagi orang-orang mukmin.”[8]

Rasûlullâh bersabda:

«عَلَيْكُمْ بِالشِّفَاءَيْنِ: الْعَسَلِ وَالْقُرْآنِ»

“Hendaklah kalian menggunakan dua penyembuh, yaitu madu dan Al-Quran.”[9]

«يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُّوا أَبَدًا: كِتَابَ اللّٰهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ »

“Wahai manusia, sesungguhnya aku telah tinggalkan di tengah-tengah kalian apa yang jika kalian berpegang teguh padanya tidak akan tersesat selamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya .”[10]

«إِنَّ مِنْ إِجْلَالِ اللّٰهِ: إِكْرَامَ ذِي الشَّيْبَةِ الْمُسْلِمِ، وَحَامِلِ الْقُرْآنِ غَيْرِ الْغَالِي فِيهِ وَالْجَافِي عَنْهُ، وَإِكْرَامَ ذِي السُّلْطَانِ الْمُقْسِطِ»

“Sesungguhnya di antara mengagungkan Allâh adalah memuliakan orang muslim yang sudah tua, ahlul Qur`an yang tidak berlebihan dan meremehkannya, dan memuliakan penguasa yang adil.”[11]

«لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ، إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ»

“Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan.[12] Sesungguhnya setan lari dari rumah yang dibacakan di dalamnya surat al-Baqarah.”[13]

 ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:

مَنْ خَتَمَ الْقُرْآنَ فَلَهُ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ

“Barangsiapa yang mengkhatamkan Al-Quran maka dia memiliki do’a mustajab.”[14]

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata:

مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ لَمْ يُرَدَّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ لِكَيْلَا يَعْلَمَ بَعْدَ عِلْمٍ شَيْئًا، وَذَلِكَ قَوْلُهُ عَزَّ وَجَلَّ: «ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ (٥) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ» قَالَ: إِلَّا الَّذِينَ قَرَءُوا الْقُرْآنَ

“Siapa yang membaca Al-Quran tidak akan dikembalikan kepada umur pikun yang tidak tahu apapun setelah sebelumnya mengetahuinya. Demikian itu karena Allâh berfirman, ‘Kemudian Kami kembalikan ia kepada keadaan yang paling rendah, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih,’[15] yaitu kecuali orang-orang yang membaca Al-Quran.” [16]

Adapun pahala di akhirat adalah diberi mahkota kemuliaan untuk kedua orang tuanya, diberi syafaat, diberi naungan, dikumpulkan bersama malaikat yang taat dan mulia, dibela Al-Quran, tidak terbakar api Neraka, dan disediakan tempat yang tinggi di Surga. Rasûlullâh bersabda:

«مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ وَعَمِلَ بِمَا فِيهِ، أُلْبِسَ وَالِدَاهُ تَاجًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ، ضَوْءُهُ أَحْسَنُ مِنْ ضَوْءِ الشَّمْسِ فِي بُيُوتِ الدُّنْيَا لَوْ كَانَتْ فِيكُمْ، فَمَا ظَنُّكُمْ بِالَّذِي عَمِلَ بِهَذَا؟»

“Barangsiapa yang membaca Al-Quran dan mengamalkan apa yang ada di dalamnya, maka akan dipakaikan kepada kedua orangtuanya mahkota pada hari Kiamat yang cahayanya lebih indah daripada cahaya matahari di rumah-rumah dunia, seandainya ada di tengah-tengah kalian. Lantas apa pendapat kalian dengan orang yang mengamalkannya?”[17]

«الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، يَقُولُ الصِّيَامُ: أَيْ رَبِّ، مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ! وَيَقُولُ الْقُرْآنُ: مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ!» قَالَ: «فَيُشَفَّعَانِ»

“Puasa dan Al-Quran memberi syafaat kepada hamba pada hari Kiamat. Puasa berkata, ‘Wahai Rabb-ku, sesungguhnya aku telah menahannya makan dan syahwat di siang hari, maka berilah aku syafaat untuknya, dan Al-Quran berkata, ‘Aku telah menahannya tidur di malam hari, maka berilah aku syafaat untuknya.’ Lalu keduanya diizinkan memberi syafaat.”[18]

«اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لِأَصْحَابِهِ، اقْرَءُوا الزَّهْرَاوَيْنِ الْبَقَرَةَ وَسُورَةَ آلِ عِمْرَانَ، فَإِنَّهُمَا تَأْتِيَانِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُمَا غَمَامَتَانِ أَوْ كَأَنَّهُمَا غَيَايَتَانِ أَوْ كَأَنَّهُمَا فِرْقَانِ مِنْ طَيْرٍ صَوَافَّ تُحَاجَّانِ عَنْ أَصْحَابِهِمَا، اقْرَءُوا سُورَةَ الْبَقَرَةِ فَإِنَّ أَخْذَهَا بَرَكَةٌ وَتَرْكَهَا حَسْرَةٌ وَلَا تَسْتَطِيعُهَا الْبَطَلَةُ»

“Bacalah Al-Quran, karena ia akan datang pada hari Kiamat sebagai pemberi syafaat bagi ahlinya. Bacalah dua cahaya yaitu al-Baqarah dan surat Ali Imran, karena keduanya akan datang para hari Kiamat laksana dua naungan atau laksana dua teduhan atau laksana dua kepakan sayap burung yang menaungi ahlinya. Bacalah surat al-Baqarah, karena mengambilnya adalah berkah, meninggalkannya adalah kerugian, dan tidak dapat dikalahkan oleh para tukang sihir.”[19]

«الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ، وَالَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ»

“Orang yang mahir Al-Quran bersama dengan malaikat yang mulia lagi ta’at. Sedangkan orang yang membaca Al-Quran dan terbata-bata serta merasa berat, dia mendapat dua pahala.”[20]

«لَوْ أَنَّ الْقُرْآنَ جُعِلَ فِي إِهَابٍ ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ مَا احْتَرَقَ»

“Seandainya Al-Quran dirasukkan ke kulit lalu dilempar ke Neraka, niscaya tidak akan terbakar.”[21]

Setelah Allâh dan Rasul-Nya menjelaskan keutamaan dan pahala yang besar bagi ahli Al-Quran, ternyata Allâh memberlakukan hukum kebalikan (mafhum mukhalafah), yaitu menghukum orang-orang yang berpaling dari Al-Quran dengan dua kerugian, yaitu kerugian di dunia dan kerugian di akhirat.

Kerugian di dunia berupa Allâh menyempitkan dadanya dan menjadikannya tidak puas dengan takdir dan pembagian­Nya. Adapun kerugian di akhirat dia diabaikan sebagaimana dulu dia mengabaikan Al-Quran. Dua kehinaan di dunia dan di akhirat ini Allâh singgung dalam firman-Nya:

«وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى (١٢٤) قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا (١٢٥) قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَى»

“Dan barangsiapa yang berpaling dari dzikir-Ku,[22] maka dia akan mendapatkan kehidupan yang sempit dan Kami kelak akan menggiringnya pada hari Kiamat dalam keadaan buta. Dia berkata, ‘Ya Rabb-ku, mengapa Engkau menggiringku dalam keadaan  buta padahal dahulunya aku bisa melihat?’ Allâh menjawab, ‘Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami lalu kamu mengabaikannya, maka pada hari ini kamu diabaikan.’”[23]

«الْقُرْآنُ شَافِعٌ مُشَفَّعٌ وَمَاحِلٌ مُصَدَّقٌ، مَنْ جَعَلَهُ أَمَامَهُ قادَهُ إِلَى الْجَنَّةِ، وَمَنْ جَعَلَهُ خَلْفَهُ سَاقَهُ إِلَى النَّارِ»

“Al-Quran adalah pemberi syafaat yang diterima syafaatnya dan pembela yang kuat hujjahnya. Barangsiapa yang menempatkannya di depannya akan membimbingnya ke Surga, dan barangsiapa yang menempatkannya di belakangnya akan menggiringnya ke Neraka.”[24][]



[1] Lihat QS. An-Nûr [24]: 43, ar-Rûm [31]: 48, dan Fâthir [35]: 9.ihhas

[2] QS. Az-Zukhrûf [43]: 11.

[3] QS. Al-Baqarah [2]: 63 dan al-A’râf [7]: 171.

[4] QS. Shad [38]: 29.

[5] QS. Al-Nahl [16]: 97.

[6] QS. Al-Nahl [16]: 98.

[7] Al-Mujtabâ min Musykil I’râbil Qur`ân (no. 98, II/597) oleh al-Kharrath.

[8] QS. Yûnûs [10]: 57.

[9] Shahih: HR. Ibnu Majah (no. 3452, II/1142), al-Hakim (no. 7435 dan 8225) dalam al-Mustadrâk  dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Dinilai shahih oleh al-Hakim, al-Haitsami, dan al-Baihaqi, serta disetujui adz-Dzahabi.

[10] Shahih: HR. Al-Hakim (no. 318, I/171) dalam al-Mustadrâk dan al-Baihaqi (no. 20336) dalam as-Sunan al-Kubrâ dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Dinilai shahih oleh al-Hakim dan disetujui adz-Dzahabi.

[11] Hasan: HR. Abu Dawud (no. 4843, IV/261), al-Bukhari (no. 52 ) dalam al-Adâb al-Mufrâd, dan al-Baihaqi (no. 16658) dalam as-Sunan al-Kubrâ dari Abu Musa al-‘Asy’ari radhiyallahu ‘anhu. Dinilai shahih oleh al-Albani.

[12] Maksudnya tidak dibacakan al-Qur`an di dalamnya seperti kuburan, karena kuburan bukan tempat membaca al-Qur`an.

[13] HR. Muslim (no. 780, I/539), at-Tirmidzi (no. 2877), dan an-Nasa`i (no. 7961 dan 10735) dalam as-Sunan al-Kubrâ dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.

[14] HR. Abu Ubaid al-Qasim bin Sallam (hal. 108) dalam Fadhâ`ilul Qur`ân dan Ibnu adh-Dhurais (no. 76) dalam Fadhâ`ilul Qur`ân dari Ibrahim at-Taimi dan dia berkata:

فَكَانَ عَبْدُ اللّٰهِ إِذَا خَتَمَ الْقُرْآنَ جَمَعَ أَهْلَهُ ثُمَّ دَعَا وَأَمِّنُوا عَلَى دُعَائِهِ

Perawi berkata, “Apabila ‘Abdullah mengkhatamkan al-Qur`an, beliau mengumpulkan keluarganya kemudian berdo’a dan mereka mengamini do’anya.” Diriwayatkan bahwa Imam al-Bukhari juga mengatakan hal yang sama. Allahu a’lam.

[15] QS. At-Tîn [95]: 5-6.

[16] Shahih: HR. Al-Hakim (no. 3952, II/576) dalam al-Mustadrâk dan al-Baihaqi (no. 2450) dalam Syu’abul Imân. Al-Hakim berkata, “Ini hadits shahih sanadnya tetapi al-Bukhari Muslim tidak mengeluarkannya,” dan disetujui adz-Dzahabi.

[17] Shahih: HR. Abu Dawud (no. 1453, II/70), Ahmad (no. 15645) dalam Musnadnya, al-Hakim (no. 2085) dalam al-Mustadrâk, dan ath-Thabarani (no. 445) dalam al-Mu’jam al-Kabîr. Al-Hakim berkata, “Hadits shahih sanadnya tetapi tidak dikeluarkan oleh al-Bukhari Muslim.”

[18] Shahih: HR. Ahmad (no. 6626, XI/199) dalam Musnadnya, al-Hakim (no. 2036) dalam al-Mustadrâk, ath-Thabarani (no. 88) dalam al-Mu’jam al-Kabîr dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma. Al-Hakim berkata, “Ini hadits shahih sesuai syarat Muslim tetapi tidak dikeluarkannya.”

[19] HR. Muslim (no. 804, I/553), Ibnu Hibban (no. 116) dalam Shahîhnya, dan al-Hakim (no. 2071 dan 3135) dalam al-Mustadrâk dari Abu Umamah al-Bahili radhiyallahu ‘anhu.

[20] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Muslim (no. 798, I/549) dan al-Bukhari (no. 4937) dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.

[21] Hasan: HR. Ahmad (no. 17365, XXVIII/595) dalam Musnadnya, ad-Darimi (no. 3353) dalam Sunannya, dan Abu Ya’la (no. 1745) dalam Musnadnya dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu.

[22] Dzikir di sini adalah al-Qur`an, sebagaimana yang Allâh tafsirkan sendiri dalam surat al-Hijr [15]: 7.

[23] QS. Thâhâ [20]: 124-126.

[24] Shahih: HR. Ath-Thabarani (no. 10450, X/198) dalam al-Mu’jam al-Kabîr, al-Baihaqi (no. 1855) dalam Syu’abul Iman, dan Ibnu Hibban (no. 124) dalam Shahîhnya dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url