Al-Quran Prioritas Utama

 

Al-Quran Prioritas Utama

Apakah ideal menjadikan Al-Quran sebagai prioritas utama sebelum belajar ilmu-ilmu yang lain? Apa kelebihan mendahulukan pembelajaran Al-Quran bagi anak-anak sebelum pembelajaran ilmu keduniaan seperti matematika, fisika, kimia, biologi, kedokteran, teknik, bahasa dan sastra, bahkan lebih didahulukan daripada tafsir, hadits, dan fiqih?

Al-Quran sebagai sumber ilmu memiliki kaitan yang sangat erat dengan kecerdasan seseorang. Telah disinggung di muka bahwa syarat yang Allâh berikan untuk menjadi orang yang berilmu adalah memiliki hafalan Al-Quran di dalam dada-dada mereka. Jika hal ini ditempuh, benar-benar Allâh akan menjadikan orang tersebut dalam puncak keilmuwan, bahkan tidak saja berilmu juga bertaqwa dan berakhlak mulia. Singkat istilah, mereka memiliki tiga kelebihan, yaitu kelebihan dalam intelejensi, spiritual, dan emosional.

Al-Walid bin Muslim berkata:

كُنَّا إِذَا جَالَسْنَا الْأَوْزَاعِيَّ فَرَأَى فِينَا حَدَثًا، قَالَ: يَا غُلَامُ، قَرَأْتَ الْقُرْآنَ؟ فَإِنْ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: اقْرَأْ: «يُوصِيكُمُ اللّٰهُ فِي أَوْلَادِكُمْ» وَإِنْ قَالَ: لَا، قَالَ: اذْهَبْ، تَعَلَّمِ الْقُرْآنَ قَبْلَ أَنْ تَطْلُبَ الْعِلْمَ

“Apabila kami duduk di majlisnya al-Auza’i lalu melihat di tengah-tengah kami orang baru, maka dia akan bertanya, ‘Hai anak, apakah kamu bisa membaca Al-Quran?’ Jika dia menjawab, ‘Ya,’ maka dia berkata, ‘Bacalah (يُوصِيكُمُ اللّٰهُ فِي أَوْلَادِكُمْ)[1],’ dan jika dia menjawab, ‘Tidak,’ maka dia berkata, ‘Pergilah. Belajarlah Al-Quran sebelum belajar hadits.’”[2]

Abu Hisyam ar-Rifa’i berkata:

كَانَ يَحْيَى بْنُ يَمَانٍ إِذَا جَاءَهُ غُلَامٌ أَمْرَدَ اسْتَقْرَأَهُ رَأْسَ سَبْعِينَ مِنَ «الْأَعْرَافِ»، وَرَأْسَ سَبْعِينَ مِنْ «يُوسُفَ»، وَأَوَّلَ الْحَدِيثِ، فَإِنْ قَرَأَهُ حَدَّثَهُ، وَإِلَّا لَمْ يُحَدِّثْهُ. فَإِذَا رَزَقَهُ اللّٰهُ تَعَالَى حِفْظَ كِتَابِهِ، فَلْيَحْذَرْ أَنْ يَشْتَغِلَ عَنْهُ بِالْحَدِيثِ، أَوْ غَيْرِهِ مِنَ الْعُلُومِ اشْتِغَالًا يُؤَدِّي إِلَى نِسْيَانِهِ

“Apabila Yahya bin Yaman didatangi seorang bocah amrad (belum memiliki jenggot karena masih muda), maka dia akan memintanya membaca 60 ayat awal dari surat al-A’raf, 60 ayat awal dari surat Yusuf, dan awal hadits. Jika dia bisa membacanya, Yahya akan memberikannya hadits, tetapi jika tidak maka tidak diberi hadits. Seandainya Allâh memberinya anugerah hafal Kitab-Nya maka Yahya mengingatkannya agar tidak tersibukkan dengan hadits atau ilmu-ilmu lain yang menyibukkannya sehingga menyebabkannya lupa.”[3]

Di antara ‘ulama sekaligus ahlil hadits yang sangat memperhatikan hal ini adalah Imam Ibnu Khuzaimah. Cicitnya bercerita, “Aku mendengar kakekku berkata, ‘Aku pernah meminta izin kepada ayahku untuk pergi kepada Qutaibah, lalu dia berkata, ‘Bacalah Al-Quran terlebih dahulu baru aku akan memberimu izin.’ Aku pun membaca Al-Quran dengan hafalan. Setelah selesai dia berkata, ‘Jangan pergi hingga kamu shalat dengan mengkhatamkannya.’ Aku pun melakukannya. Ketika aku telah menyelesaikannya, dia memberi izin kepadaku, lalu aku pergi ke Marwa. Di Marwa ar-Raudz aku mendengar dari Muhammad bin Hisyam murid Haitsam bahwa Qutaibah telah wafat.’”[4]

Imam adz-Dzahabi sebelum mendalami hadits hingga menjadi al-hafizh dan mendalami sejarah hingga menjadi syaikhul muarrikhin, beliau mendalami Al-Quran terlebih dahulu. Beliau menaruh perhatian kepada studi Al-Quran dan qira’at. Pada tahun 691 H, beliau dan kawannya pergi kepada Syaikhul Qurra` Jamaluddin Abu Ishaq Ibrahim bin Dawud al-Asqalani kemudian ad-Dimasqi yang dikenal dengan al-Fadhili. Adz-Dzahabi tetap demikian hingga beliau memiliki pengetahuan yang baik tentang qira’ah, ushul dan berbagai persoalannya, saat beliau masih muda yang usianya belum mencapai 20 tahun.

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani hafal Al-Quran saat berumur 9 tahun. Saat usianya genap 12 tahun, beliau diminta menjadi imam Tarawih di Masjidil Haram pada tahun 785 H.

Sinan al-Baghdadi hafal Al-Quran saat masih anak-anak, dan saat menginjak usia sepuluh tahun telah mampu membacakan qira’ah asyrah (variasi sepuluh bacaan Al-Quran). Tak heran jika beliau menjadi imam, mufti, syaikh madzhab Hanafi, ahli bahasa ‘Arab, ahli Qira’at, dan panutan negeri Bashrah.

Putra Ibrahim al-Harbi hafal Al-Quran saat usia 10 tahun, kemudian ayahnya baru mendiktekan kepadanya beberapa persoalan fiqih, padahal umurnya masih sangat muda.

Syaikhul Qurra` Ibnul Jazari (w. 833 H) hafal Al-Quran saat berumur 13 tahun, menjadi imam shalat saat berumur 14 tahun, dan mandiri dalam qira’ah saat berumur 15 tahun.

Imam asy-Syafi’i (w. 204 H) berkata:

حَفِظْتُ القُرْآنَ وَأَنَا ابْنُ سَبْعِ سِنِيْنَ، وَحَفِظْتُ المُوَطَّأَ وَأَنَا ابْنُ عَشْرٍ

“Aku hafal Al-Quran ketika berumur 7 tahun, dan aku hafal kitab al-Muwaththa` ketika berumur 10 tahun.”[5]

Al-Bulqini hafal Al-Quran saat berumur 7 tahun, Ibnu Laban saat berumur 5 tahun, al-Hafizh al-Iraqi saat berumur 8 tahun, Abu Bakar Zarirani al-Baghdadi saat berumur 7 tahun, dan Muhammad bin Abdul Baqi al-Anshari saat berumur 7 tahun.

Tidak ketinggalan dari kalangan wanita. Ummu Darda` hafal Al-Quran saat masih kecil kemudian dinikahi Abu Darda` lalu menimba ilmu kepada shahabat Nabi yang mulia ini. Dia membacakan hafalan Al-Quran di depan Abu Darda` saat umurnya masih sangat belia. Dia dikaruniai umur yang panjang dan menjadi masyhur karena ilmu, amal, dan kezuhudannya.[6]

Hafshah binti Sirin saudari Muhammad bin Sirin hafal Al-Quran lalu menjadi ahlinya. Saat Muhammad bin Sirin mengalami kesulitan mengenai suatu masalah tentang Al-Quran maka dia berkata, “Pergilah kalian dan tanyakan kepada Hafshah.”[7]



[1] “Allâh mewasiatkan kalian tentang (bagian warisan untuk) anak-anak kalian.” [QS. An-Nisâ` [4]: 11] Ayat warisan termasuk ayat yang paling sulit karena berisi hitungan angka­angka.

[2] Al-Jâmi’ li Akhlâqir Râwî (no. 81, I/108) oleh al-Khathib al-Baghdadi.

[3] Ibid (no. 81, I/108).

[4] Lihat as-Siyar (XIV/371-372) oleh adz-Dzahabi.

[5] As-Siyar (X/11) oleh adz-Dzahabi.

[6] Lihat as-Siyar (IV/277).

[7] Lihat as-Siyar (IV/507).

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url