Tiga Pengaruh Agung Al-Quran

 

Tiga Pengaruh Agung Al-Quran

1. Pengaruh Intelejensi[1]

Jika kita renungkan, menghafal Al-Quran memiliki pengaruh yang agung untuk menyiapkan otak untuk menghafal ilmu-ilmu yang lain sekaligus memahaminya. Berikut akan kami paparkan pembuktiannya lewat tiga sisi: sisi memori otak, sisi uslub Al-Quran, dan sisi rasa percaya diri.

a. Sisi Memori Otak

Otak terbentuk dari dua jenis sel, yaitu glia dan neuron. Glia berfungsi untuk menunjang dan melindungi neuron, sedangkan neuron membawa informasi dalam bentuk pulsa listrik yang dikenal sebagai potensi aksi.

Proses perekaman informasi dalam memori itu cukup sederhana. Informasi diterima oleh mata karena adanya gelombang cahaya yang ditangkap oleh sel-sel di mata yang kemudian diubah menjadi energi listrik yang merangsang listrik-listrik di otak. Rangsangan ini membawa jenis-jenis rekaman yang akhirnya tersimpan di suatu tempat yang dinamakan memori. Setiap proses belajar meninggalkan jejak-jejak dalam otak yang mengendap di dalam memori dan menunggu untuk dipanggil kembali, proses ini disebut retrieval.

Penelitian terbaru menyebutkan bahwa otak manusia berisi 1.000 miliar sel saraf neuron, meliputi 100 milyar sel aktif dan 900 milyar sel nonaktif. Diperkirakan jika setiap detik satu informasi dimasukkan ke otak, maka kapasitas otak baru penuh sekitar 30 juta tahun kemudian.

Kapasitas yang begitu bombastis ini bila benar-benar dimanfaatkan tentu akan menjadikan seseorang benar-benar cerdas dan banyak hafalannya, lebih banyak daripada data yang tersimpan di hardisk berukuran 40 terabyte (40.000 GB).

Di antara kaum salaf ada yang berkata, “Segala sesuatu jika di isi akan penuh, kecuali otak. Jika otak selalu diisi, justru ia semakin kosong.”

Bagi kaum muslimin, hal ini bukanlah hal baru. Sebab 1400 tahun yang lalu Allâh telah mengabarkan kepada mereka tentang kapasitas otak manusia lewat cerita Adam nenek moyang mereka ‘alaihis salam.

Allâh subhanahu wa ta’ala berfirman:

«وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا»

“Dan Dia mengajari Adam nama-nama semuanya.”[2]

Mujahid bin Jabr (w. 104 H) berkata:

عَلَّمَهُ اسْمَ كُلِّ دَابَّةٍ وَكُلِّ طَيْرٍ وَكُلِّ شَيْءٍ

“Dia mengajarinya semua nama dabbah[3], burung, dan segala sesuatu.”[4]

Al-Hafizh Ibnu Katsir (w. 774 H) berkata, “Tafsir yang benar adalah Dia mengajarinya nama-nama segala sesuatu seluruhnya baik dzatnya maupun perbuatannya.”[5]

Kaum salaf adalah orang-orang yang terdepan dalam memanfaatkan kapasitas mega besar ini dengan digunakan untuk menuntut ilmu, menghafal, dan menulis kitab. Hasilnya, mereka menjadi orang-orang yang tak tertandingi dalam keilmuan. Bagaimana dengan para ilmuwan Barat? Tak sebanding, bagai langit dan bumi.

Contoh sederhana adalah cerita tentang hafalan dan kecerdasan Imam al-Bukhari. Diriwayatkan oleh beberapa syaikh ahli hadits bahwa Muhammad bin Ismail al-Bukhari tiba di Baghdad. Para ahli hadits mendengar kedatangannya lalu mereka berkumpul untuk mengujinya dengan 100 hadits yang dibolak-balik matan dan sanadnya. Mereka menukar matan dengan sanad lain, dan sanad lain dengan matan yang lain pula. Mereka menyerahkan hadits-hadits itu kepada sepuluh orang sehingga setiap orang diserahi 10 hadits. Kemudian satu persatu bertanya ke al-Bukhari tentang hadits tersebut tetapi al-Bukhari hanya menjawab, ‘Aku tidak mengenalnya.’ Hadits yang lain disampaikan dan dijawab, ‘Aku tidak mengenalnya.’ Satu per satu disampaikannya hadits-hadits tersebut hingga habis sebanyak sepuluh, sementara al-Bukhari hanya menjawab, ‘Aku tidak mengenalnya.’ Sebagian ahli fiqih bergumam, ‘Lelaki itu memang faqih,’ dan sebagian lain menuduhnya lemah hafalan.

Kemudian bergilir penguji lain dengan haditsnya sementara al-Bukhari pada setiap hadits hanya menjawab, ‘Aku tidak mengenalnya,’ hingga habis sepuluh hadits. Kemudian penguji ketiga, kemudian keempat, hingga kesepuluh, sementara al-Bukhari tidak menambah jawabannya selain hanya, ‘Aku tidak mengenalnya.’

Setelah habis semuanya, al-Bukhari mendekati penguji pertama dan berkata, ‘Adapun haditsmu pertama yang benar adalah demikian, yang kedua demikian, yang ketiga demikian, yang keempat demikian,’ hingga selesai sepuluh hadits dengan sempurna. Al-Bukhari mengembalikan setiap matan ke sanad aslinya, dan setiap sanad ke matan aslinya. Dia melakukan itu juga pada sisa hadits-hadits lainnya. Akhirnya, orang-orang mengakui hafalannya dan menyuarakan keutamaannya.”[6]

Sungguh mengagumkan apa yang dilakukan al-Bukhari dengan menempatkan matan dan sanad ke tempatnya masing-masing sebanyak 100 hadits dengan hafalannya. Namun, yang lebih mengagumkan adalah tindakannya mengurutkan hadits pertama yang dibawakan penguji pertama hingga hadits ke-100 yang terakhir dibawakan penguji terakhir, tanpa ada yang keliru sama sekali!!! Subhanallah!

Maka, dengan kapasitas otak sebesar ini, sangat memungkinkan bagi seseorang untuk menghafal ilmu-ilmu yang lain serta mudah dalam memahami ilmu-ilmu yang sedang dipelajari dan waktu yang diperlukan pun relatif lebih sedikit dari kebiasaan belajarnya kebanyakan orang.

Dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal bahwa dia mendengar Abu Zur’ah ar-Razi berkata:

كَانَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ يَحْفَظُ أَلْفَ أَلْفِ حَدِيثٍ. فَقِيلَ لَهُ: وَمَا يُدْرِيكَ؟ قَالَ: ذَاكَرْتُهُ، وَأَخَذْتُ عَلَيْهِ الأَبْوَابَ

“Ahmad bin Hanbal hafal satu juta hadits.” Ditanyakan kepadanya, “Dari mana Anda tahu?” Abu Zur’ah menjawab, “Aku belajar kepadanya dan mengambil beberapa bab darinya.”[7]

Di sinilah letak intelejensi yang mengagumkan bagi ahli Al-Quran, karena menghafal Al-Quran menjadikan otak menjadi kokoh dan kuat dalam menghafal. Otak manusia terdiri dari triliunan sel saraf yang disebut neuron. Semakin banyak sel-sel saraf ini yang saling terhubung, maka semakin kuat dan kokoh pula daya ingat dan  daya hafal. Menghafal dan mengulang-ulang adalah jalan utama untuk menghubungkan sel-sel saraf ini. Secara tidak langsung orang yang menghafal atau yang murajaah Al-Quran sedang mempersiapkan otaknya untuk membuatnya kokoh, kuat, dan siap untuk menampung hafalan lain yang lebih banyak jumlahnya. Ibaratnya hutan belantara yang dilalui seekor binatang akan meninggalkan bekas meskipun sedikit, lalu dilalui binatang lain lagi, begitu seterusnya hingga ia menjadi jalan yang datar tanpa ada semaknya sama sekali.

Imam az-Zuhri (w. 124 H) berkata, “Sesungguhnya ada seorang penuntut ilmu yang memiliki hati bagaikan bukit yang gersang. Namun, lama-kelamaan ia menjadi bukit yang subur. Tidak ada sesuatu yang ditaruh di atasnya kecuali ia melahapnya.”

Abu Hilal menceritakan pengalaman pribadinya tentang masalah ini. Dia berkata, “Pada awalnya menghafal merupakan sesuatu yang sulit bagi saya. Kemudian saya membiasakan diri (menghafal), hingga saya mampu menghafal sya’ir Ru’bah bin al-Ajjaj dalam satu malam yang berjumlah sekitar 200 bait.”[8]

Orang yang hafal Al-Quran kebanyakan lebih cepat dalam menghafal nama seseorang daripada selainnya dan lebih tahan lama.

b. Sisi Uslub Al-Quran

Siapa pun yang pernah berkelana menghafal Al-Quran tentu mengetahui uslub (susunan) Al-Quran yang unik. Sungguh menakjubkan uslub-uslub Al-Quran yang Allâh buat di dalamnya, seolah-olah dengan hal itu Allâh hendak menyiapkan para penghafal Al-Quran untuk menjadi ahli ilmu yang luas keilmuannya, mendalam pemahamannya, dan kuat serta teliti hafalannya.

Uslub yang unik ini dikenal oleh ahli qira’ah dengan nama ayat-ayat mutasyabihat. Ayat-ayat mutasyabihat ini bervariasi: ada yang berupa pengulangan persis, pembuangan atau penambahan kata, pendahuluan atau pengakhiran kata, penggantian fi’il mudhari’ ke madhi dan sebaliknya, atau lain-lain dalam dua ayat atau lebih. Dengan adanya ini, para penghafal Al-Quran secara tidak langsung diajari untuk lebih hati-hati, fokus, jeli, dan teliti dalam membaca hafalannya. Contohnya adalah “menyelamatkan” yang menggunakan lafazh berbeda di tiga tempat yang hampir mirip sehingga terkesan membingungkan, yaitu (نَجَّيْنَاكُمْ), (أَنْجَيْنَاكُمْ), dan (أَنْجَاكُمْ):

١- «وَإِذْ نَجَّيْنَاكُمْ مِنْ آلِ فِرْعَوْنَ يَسُومُونَكُمْ سُوءَ الْعَذَابِ يُذَبِّحُونَ أَبْنَاءَكُمْ وَيَسْتَحْيُونَ نِسَاءَكُمْ وَفِي ذَلِكُمْ بَلاءٌ مِنْ رَبِّكُمْ عَظِيمٌ» [البقرة: ٤٩]

٢- «وَإِذْ أَنْجَيْنَاكُمْ مِنْ آلِ فِرْعَوْنَ يَسُومُونَكُمْ سُوءَ الْعَذَابِ يُقَتِّلُونَ أَبْنَاءَكُمْ وَيَسْتَحْيُونَ نِسَاءَكُمْ وَفِي ذَلِكُمْ بَلاءٌ مِنْ رَبِّكُمْ عَظِيمٌ» [الأعراف: ١٤١]

٣- «وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ أَنْجَاكُمْ مِنْ آلِ فِرْعَوْنَ يَسُومُونَكُمْ سُوءَ الْعَذَابِ وَيُذَبِّحُونَ أَبْنَاءَكُمْ وَيَسْتَحْيُونَ نِسَاءَكُمْ وَفِي ذَلِكُمْ بَلاءٌ مِنْ رَبِّكُمْ عَظِيمٌ» [إبراهيم: ٦]

Kita perhatikan kembali, di sana masih ada mutasyabihat (kesamaran ayat) di tiga lafazh yaitu lafazh (سُوءَ الْعَذَابِ يُذَبِّحُونَ), (سُوءَ الْعَذَابِ يُقَتِّلُونَ), dan (سُوءَ الْعَذَابِ وَيُذَبِّحُونَ). Anda bisa membedakannya? Ya demikianlah, Al-Quran penuh dengan ayat-ayat seperti ini. Namun, Allâh menjadikan hal ini bukan tanpa makna tetapi ada hikmah tersembunyi baik untuk penghafal (hikmah intelejensi) maupun untuk hukum (kandungan hikmah yang mengagumkan).

Untuk contoh kandungan hikmah yang mengagumkan, perhatikan tiga ayat berikut ini terutama yang bergaris bawah:

١- «وَأَزْلَفْنَا ثَمَّ الْآخَرِينَ (٦٤) وَأَنْجَيْنَا مُوسَى وَمَنْ مَعَهُ أَجْمَعِينَ»

“Dan Kami tenggelamkan di sana orang-orang yang tertinggal. Dan Kami selamatkan Musa dan orang-orang yang bersamanya seluruhnya.”[9]

٢- «قَالَ رَبِّ إِنَّ قَوْمِي كَذَّبُونِ (١١٧) فَافْتَحْ بَيْنِي وَبَيْنَهُمْ فَتْحًا وَنَجِّنِي وَمَنْ مَعِيَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ (١١٩) فَأَنْجَيْنَاهُ وَمَنْ مَعَهُ فِي الْفُلْكِ الْمَشْحُونِ»

“Dia (Nuh) berdo’a, ‘Ya Rabb-ku, sesungguhnya kaumku mendustakanku, maka putuskanlah perkara antaraku dan mereka, dan selamatkanlah aku dan orang-orang beriman yang bersamaku.’ Lalu Kami selamatkan ia dan orang-orang yang bersamanya di sebuah kapal yang penuh.”[10]

٣- «رَبِّ نَجِّنِي وَأَهْلِي مِمَّا يَعْمَلُونَ (١٦٩) فَنَجَّيْنَاهُ وَأَهْلَهُ أَجْمَعِينَ (١٧٠) إِلَّا عَجُوزًا فِي الْغَابِرِينَ»

“’Ya Rabb-ku, selamatkanlah aku dan keluargaku dari apa yang mereka kerjakan.’ Lalu Kami selamatkan ia dan keluarganya seluruhnya, kecuali wanita tua (istri Luth) bersama orang-orang yang dibinasakan.”[11]

Jika kita perhatikan pada 2 ayat terakhir (فَأَنْجَيْنَاهُ) & (فَنَجَّيْنَاهُ) berbeda dengan ayat pertama (وَأَنْجَيْنَا). Dua terakhir memakai lafazh “fa” yang secara harfiah berarti “lalu segera” dan ayat pertama memakai lafazh “wa” yang artinya “dan.” Kenapa berbeda? Jawabannya, karena dua ayat terakhir sebagai jawaban Allâh atas do’a Nabi Nuh dan Luth ‘alahimassalam dan Allâh mengabulkannya sehingga “langsung menyelamatkannya”, sementara ayat pertama hanya berupa kabar bahwa Musa ‘alahissalam Allâh selamatkan sehingga memakai kata “dan”. Jika hamba saja langsung Allâh kabulkan do’anya, apalangi para kekasih-Nya dari kalangan nabi dan rasul ‘alahimussalam. Allâh subhanahu wa ta’ala berfirman:

«وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ»

“Dan Rabb kalian berkata, ‘Berdo’alah kalian kepada-Ku niscaya akan Aku kabulkan kalian.’”[12]

Semua huruf-huruf di Al-Quran berlaku hukum seperti ini, yaitu setiap huruf dalam Al-Quran menyimpan hikmah dan ilmu bagi yang mengetahuinya dan tersembunyi bagi yang tidak mengetahuinya. Itulah mengapa hanya mengingkari SATU HURUF saja dari Al-Quran, telah cukup untuk dikafirkan para ‘ulama, dan ini ijma para ‘ulama Ahlus Sunnah, sebagaimana yang dikatakan Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali (w. 620 H):

وَلاَ خِلاَفَ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ فِي أَنَّ مَنْ جَحَدَ مِنَ الْقُرْآنِ سُورَةً أَوْ آيَةً أَوْ كَلِمَةً أَوْ حَرْفًا مُتَّفَقًا عَلَيْهِ أَنَّهُ كَافِرٌ

“Dan tidak ada khilaf di antara kaum muslimin tentang seseorang yang mengingkari satu surat, satu ayat, satu kata, atau satu huruf Al-Quran yang telah disepakati ulama, bahwa dia kafir berdasarkan ijma’.”[13]

Kemudian, bersamaan dengan banyaknya mutasyabihat ini yang secara dhahir mengacaukan hafalan, justru kaum salaf terkenal dengan kemutqinannya (kokoh dan kuat hafalannya), tentunya dengan perjuangan besar. Di antara mereka ada yang khatam Al-Quran dalam satu bulan, ada yang 15 hari, ada yang 7 hari sebagaimana Imam Ahmad dan Ibnul Jauzi, ada yang 3 hari sebagaimana Khaitsamah, ada yang 2 malam sebagaimana Sa’id bin Jubair, ada yang setiap hari sebagaimana Manshur bin Zadzan, ada yang semalam saja dalam shalatnya sebagaimana ‘Utsman bin ‘Affan, dan ada pula yang 2 kali khatam dalam sehari semalam sebagaimana Imam asy-Syafi’i pada bulan Ramadhan. Akhirnya, hafalan mereka kuat sehingga otaknya cerdas dan siap menampung hafalan yang lebih besar dan banyak dari itu serta jauh lebih mudah dalam memahami dan mendalami ilmu-ilmu lainnya.

Diriwayatkan bahwa ketika Abu Bakar bin Ayyasy menjelang wafat, adik perempuannya menangis. Lalu sambil menunjuk ke salah satu dinding rumahnya, dia berkata:

لَا تَبْكِي فَقَدْ خَتَمَ أَخُوكَ فِي تِلْكَ الزَّاوِيَةِ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ أَلْفِ خَتْمَةٍ

“Jangan menangis, karena kakakmu ini telah khatam Al-Quran sebanyak 18.000 kali di sudut itu.”[14]

c. Sisi Rasa Percaya Diri

Al-Quran standar mushaf ‘Utsmani yang beredar berjumlah 604 halaman atau 302 lembar yang terdiri dari 114 surat, 6.236 ayat, 77.439 kata, dan 340.740 huruf, menurut pendapat yang masyhur.[15]  Hafalan sebanyak ini adalah perkara luar biasa yang tidak pernah mampu dilakukan oleh umat-umat terdahulu.

Abu ‘Amr ad-Dani berkata:

وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ عَدَدَ آيِ الْقُرْآنِ سِتَّةُ آلَافِ آيَةٍ ثُمَّ اِخْتَلَفُوا فِيمَا زَادَ، فَقِيلَ: وَمِائَتَا آيَةٍ وَأَرْبَعُ آيَاتٍ،  وَقِيلَ: وَأَرْبَعُ عَشْرَةٍ، وَقِيلَ: وَتِسْعُ عَشْرَةٍ، وَقِيلَ: وَخَمْسٌ وَعِشْرُونَ، وَقِيلَ: وَسِتٌّ وَثَلَاثُونَ

“Para ‘ulama bersepakat bahwa jumlah ayat Al-Quran adalah 6.000 ayat, tetapi mereka berselisih pendapat tentang kelebihannya. Ada yang berpendapat lebih 204 ayat, 214 ayat, 219 ayat, 225 ayat, dan 236 ayat.”[16]

Lihatlah Al-Quran yang berisi ribuan ayat ini, kemudian bayangkan bahwa semua itu ada dalam dada Anda. Bagaimana perasaan Anda saat melihat hadits sekian puluh, sekian ratus, bahkan sekian ribu? Bagaimana perasaan Anda saat melihat tumpukan buku yang tebal-tebal? Rumus-rumus yang ruwet dan jlimet? Tentu terasa ringan karena rasa percaya diri yang Allâh berikan kepada Anda dengan berkah Al-Quran yang lebih tebal kitabnya dan lebih runtut susunannya.

Kesimpulannya, semua yang terdapat dalam Al-Quran baik isinya, kandungannya, hikmahnya, hukumnya, perumpamaan dan ibarat yang dibuat di dalamnya, hingga huruf-hurufnya adalah ilmu dan akan diperoleh oleh siapa yang memperhatikannya. Perhatikan firman Allâh subhanahu wa ta’ala:

«وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ»

“Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia, dan tidak ada yang memahaminya kecuali orang-orang berilmu.”[17]

Sebagaimana Allâh memberi ilmu kepada siapa yang memperhatikan perumpamaan yang dibuat-Nya di Al-Quran, begitu pula siapa yang memperhatikan semua yang Allâh cantumkan di dalamnya.

2. Pengaruh Spiritual

Inilah pengaruh utama dari Al-Quran, dan tidaklah ia diturunkan kecuali untuk pengaruh spiritual ini, yakni bertaqwa kepada-Nya. Pengaruh intelejensi hanyalah wasilah saja. Adapun pokoknya adalah bertaqwa, karena ilmu dicari dan dipelajari untuk diamalkan dan diwujudkan dalam bentuk ketaqwaan. Dulu, seseorang cukup disebut berilmu bila memiliki rasa takut kepada Allâh karena buah dari ketaqwaannya, meskipun hafalannya sedikit dan awam pengetahuannya.

Allâh subhanahu wa ta’ala berfirman:

«مَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَى (٢) إِلَّا تَذْكِرَةً لِمَنْ يَخْشَى»

“Kami tidak menurunkan Al-Quran kepadamu supaya celaka tetapi pengajaran bagi orang yang takut.”[18]

«وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى (٤٠) فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى»

“Dan adapun orang yang takut kepada kedudukan Rabb-nya dan menjaga diri dari hawa nafsu, maka sesungguhnya Surga adalah tempat kediamannya.”[19]

Dua surat ini mengandung faidah bahwa Al-Quran akan menjadikan seseorang takut yang merupakan buah dari ketaqwaan sehingga tidak celaka, kemudian Allâh memasukkannya ke Surga karena rasa takutnya kepada-Nya itu. Inilah sebesar-besar manfaat Al-Quran bagi ahlinya.

Yang semakna dengan ini adalah firman Allâh subhanahu wa ta’ala:

«إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ سُجَّدًا (١٠٧) وَيَقُولُونَ سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولًا (١٠٨) وَيَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا»

“Sesungguhnya orang-orang yang diberi ilmu sebelumnya, apabila (Al-Quran/al-Kitab) dibacakan kepada mereka, mereka jatuh tersungkur sambil bersujud dan mereka berkata, ‘Mahasuci Rabb kami, sungguh janji Rabb kami benar-benar akan ditepati.’ Mereka jatuh tersungkur sambil menangis dan (Al-Quran/al-Kitab) itu menambah mereka khusyu’.”[20]

Dalam ayat ini, Allâh subhanahu wa ta’ala menyandingkan ahli ilmu dan Al-Quran yang mengisyaratkan intelejensi kemudian pengaruh bacaan Al-Quran ini menimbulkan rasa takut dalam diri mereka ini, yang mengisyaratkan pengaruh spiritual.

3. Pengaruh Emosional

Al-Quran mengandung cerita-cerita orang shalih berikut sifat-sifat mereka yang mulia, juga disebut sifat-sifat penduduk Surga. Dengan begitu Al-Quran akan memberi pengaruh kepada ahlinya untuk memiliki sifat-sifat tersebut. Mereka sangat tertarik memiliki sifat-sifat mulia tersebut karena balasan agung yang Allâh siapkan untuk mereka berupa Surga. Maka, ahli Al-Quran menjadi orang-orang yang berakhlak mulia. Untuk itulah mengapa Nabi berakhlak mulia, bahkan manusia yang paling mulia akhlaknya, karena beliau adalah orang yang pertama kali hafal Al-Quran, mempraktekkannya, dan mengajarkannya kepada para shahabatnya.

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah ditanya seseorang tentang akhlak Nabi , lalu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menjawab:

كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ

“Akhlak beliau adalah Al-Quran.”[21]

Dua pengaruh Al-Quran terakhir ini (spiritual dan emosional) bukan termasuk objek pembahasan ilmu yang sedang kita kaji, tetapi sengaja kami masukkan untuk memperlengkap kedudukan Al-Quran yang agung bagi ahlinya sehingga tercapai maksud memotivasi untuk menjadi ahli Al-Quran.



[1] Subbab ini diringkas dari Mungkinkah Aku Hafal Satu Juta Hadits Seperti Imam Ahmad (hal. 37-43) oleh Abu Zur’ah ath-Thaybi disertai beberapa tambahan.

[2] QS. Al-Baqarah [2]: 31.

[3] Abu al-Husain Ibnu Faris berkata, “Segala sesuatu yang berjalan di atas bumi adalah dabbah.” [Mu’jam Maqâyisil Lughah (II/263)]

[4]Tafsîr Ibnu Katsîr (I/223).

[5] Tafsîr Ibnu Katsîr (I/223-224).

[6] Al-Hatstsu âla Hifzhil Ilmi wa Dzikru Kibâril Huffâzh (hal. 91) oleh Ibnul Jauzi.

[7] Ibid (hal. 53).

[8] Lihat al-Hatstsu ‘alâ Thalabil Ilmi oleh Abu Hilal al-Askari.

[9] QS. Asy-Syu’arâ` [26]: 64-65.

[10] QS. Asy-Syu’arâ` [26]: 117-119.

[11] QS. Asy-Syu’arâ` [26]: 169-171.

[12] QS. Ghâfir [40]: 60.

[13] Lum’atul I’tiqâd (hal. 21) oleh Ibnu Qudamah.

[14] Hilyatul Auliyâ`(VIII/304) oleh Abu Nu’aim al-Ashfahani.

[15] Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr (I/98-99).

[16] Aunul Ma’bûd (IV/237) oleh Syaraful Haq Abadi.

[17] QS. Al-‘Ankabût [29]: 43.

[18] QS. Thâhâ [20]: 2-3.

[19] QS. An-Nâzi’ât [79]: 40-41.

[20] QS. Al-Isrâ` [17]: 107-109.

[21] Shahih: HR. Ahmad (no. 24601, IXL/148) dalam Musnadnya, ath-Thabarani (no. 72) dalam al-Mu’jam al-Ausath, dan al-Bukhari (I/87) dalam Khalqu Af’âlil Ibâd.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url