Ulama dan Ilmuwan Hafal Al-Quran

 

Ulama dan Ilmuwan Hafal Al-Quran

Sejarah menyingkap bahwa kebanyakan para ‘ulama kaum muslimin adalah pakar di hampir semua disiplin ilmu. Hal ini disebabkan mereka mengawali tahapan belajarnya dengan prioritas Al-Quran. Hampir tidak ada ‘ulama Islam kecuali hafal Al-Quran. Sebut saja Imam Abu Ja’far ath-Thabari (w. 310 H), al-Hafizh Abul Faraj Ibnul Jauzi (w. 597 H), Imam an-Nawawi (w. 676 H), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (w. 728 H), Syaikhul Mu’arrikhin adz-Dzahabi (w. 748 H), al-‘Allamah Ibnul Qayyim (w. 751 H), al-Hafizh Ibnu Katsir (w. 774 H), dan Imam as-Suyuthi (w. 911 H).

Imam Abu Ja’far ath-Thabari menguasai hampir seluruh disiplin ilmu, bahkan beliau disebut-sebut sebagai satu-satunya ‘ulama yang berhasil mengumpulkan riwayat-riwayat dalam tafsir Al-Quran paling  banyak sehingga kitab tafsirnya adalah kitab tafsir paling besar yang dimiliki kaum muslimin, bahkan semua kitab tafsir yang ada banyak merujuk dan menukil dari kitab tafsir beliau. Dengan itu beliau dijuluki Syaikhul Mufassirin (penghulu para ahli tafsir) dengan kitab tafsirnya yang fenomenal Jâmi’ul Bayân fî Ta`wîlil Qur`ân. Dalam bidang sejarah beliau memiliki karya Târîkhur Rusul wal Muluk.

Untuk mempelajari ilmu ‘Arudh (ilmu tentang kaidah sya’ir ‘Arab) beliau hanya memerlukan waktu satu malam. Dikisahkan bahwa ketika beliau singgah di suatu daerah, beliau didatangi oleh seseorang yang bertanya tentang ilmu ‘Arudh. Beliau sama sekali tidak menguasainya, tetapi beliau mengatakan kepadanya, “Pulanglah dulu, besok kembalilah ke sini untuk aku jawab, insya Allâh.” Kemudian beliau berkata kepada seseorang untuk dicarikan kitab yang membahas ilmu tersebut. Malam itu beliau mengkajinya sampai pagi. Beliau mendapatkan faidah-faidah baru yang belum disinggung oleh penulisnya. Akhirnya memasuki waktu pagi, beliau telah menjadi pakar dalam ilmu ‘Arudh. Si penanya pun datang sesuai janji dan sang imam menjawab semua pertanyaannya dengan memuaskan hingga dia terheran ternyata ada manusia yang sangat pakar dalam ilmu ‘Arudh yang sukar ini.

Beliau juga memiliki bacaan Al-Quran yang merdu. Dikisahkan bahwa ada seorang imam Tarawih yang tidak biasanya telat datang. Ketika ditanya, rupanya dia mampir sebentar di masjidnya Imam ath-Thabari mendengar merdu dan bagusnya tajwid sang imam.

Tidak hanya ahli tafsir, ahli hadits, ahli qira’ah, ahli fiqih, ahli bahasa, dan ahli ilmu ‘Arudh, Imam ath-Thabari juga dikenal sebagai ahli ibadah yang wara’, berakhlak mulia, dan dermawan. Diriwayatkan bahwa beliau tidak pernah keluar kecuali memenuhi undangan. Jika beliau datang, acara menjadi sangat mengesankan karena keberadaan beliau.

Al-Hafizh Ibnul Jauzi termasuk ‘ulama yang pakar dalam segala bidang keilmuan. Dalam tafsir beliau memiliki karya Zâdul Masîr fî Ilmit Tafsîr; dalam hadits beliau memiliki karya adh-Dhu’afâ` wal Matrûkûn, al-Maudhû’ât, Gharîbul Hadîts, dan  Kasyful Musykil min Hadîts ash-Shahîhain; dalam biografi beliau memiliki karya Shifatu ash-Shafwah; dan Shaidul Khâthir, dan Talbîs Iblîs merupakan kitab beliau yang digemari banyak orang.

Imam an-Nawawi ditakdirkan memiliki umur yang pendek hanya 45 tahun, tetapi usia yang singkat ini menghasilkan karya yang banyak dan berkah. Hampir setiap penuntut ilmu memiliki kitab ‘Arba’în an-Nawâwî dan Riyâdhush Shâlihîn.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah setelah wafat, dihitunglah umur beliau dengan karya-karyanya, ternyata jumlah karyanya melebihi umurnya. Beliau disebut-sebut perpustakaan berjalan, seakan-akan tidak disebut hadits shahih jika tidak dihafal oleh beliau karena saking banyaknya hafalan beliau.

Imam adz-Dzahabi adalah imam yang pakar hadits, sejarah, qira’ah, fiqih, dan lain-lain. Beliau memiliki kitab tentang biografi para ‘ulama terlengkap dari zaman para shahabat hingga zaman beliau, yaitu Siyar A’lâmin Nubalâ.

Ahli tafsir, ahli hadits, ahli fiqih, ahli bahasa dan balaghah, ahli kedokteran, dan ahli jiwa. Dialah al-‘Allamah Ibnul Qayyim al-Jauziyah. Kitab tebal Raudhatul Muhibbîn yang sarat petuah, nukilan, dan hikmah beliau karang saat perjalanan, saat beralas tanah dan berselimut langit. Demikian penuturan beliau sendiri dalam muqaddimah kitabnya.

Inilah pakar tafsir terkenal dan tersohor pemilik Tafsîr Qur`ânil Adhîm yang lebih terkenal dengan Tafsîr Ibni Katsîr. Beliau juga memiliki kitab sejarah yang fenomenal al-Bidâyah wan Nihâyah yang mengumpulkan sejarah awal hingga akhir. Belum ada kitab setema yang mengunggulinya. Beliau mengawalinya dari ‘Arsy makhluk besar di atas langit sampai huru-hara hari Kiamat lalu sampai batas sejarah, yakni Surga dan Neraka. Dikatakan oleh para ‘ulama bahwa kitab sejarah yang dijadikan rujukan dan terpercaya ada empat, yaitu: Thabaqât Ibnu Sa’ad, Târîkh ath-Thabarî, as-Siyar adz-Dzahabî, dan al-Bidâyah Ibnu Katsîr, dan dari keempat itu yang paling shahih dan lengkap adalah al-Bidâyah Ibnu Katsîr, karena beliau berusaha memilah-milah riwayat yang sharih dan shahih untuk dicantumkan ke dalam kitabnya itu. Adapun Thabaqât Ibnu Sa’ad dan Târîkh ath-Thabarî, penulisnya diibaratkan seperti pencari kayu bakar di malam hari, maksudnya semua yang mereka dengar dimasukkan ke dalam kitabnya tanpa memilahnya sehingga di dalamnya dijumpai riwayat dha’if, mungkar, dan isra`iliyat. Adapun as-Siyar adz-Dzahabî tidak selengkap al-Bidâyah Ibnu Katsîr karena beliau memulai sejarahnya semenjak zaman shahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum hingga zaman hidupnya.

Inilah dia Imam as-Suyuthi yang mengasingkan diri untuk fokus ibadah dan mengarang kitab saat berumur 50 tahun. Beliau telah mengarang banyak kitab dalam semua disiplin ilmu baik tafsir, hadits, fiqih dan ushul fiqih, bahasa dan balaghah, sejarah, qira’ah, dan lain-lain dalam kitab-kitab yang tebal.

Semoga Allâh merahmati mereka semua, mengampuni mereka, dan memasukkan mereka ke Surga-Nya, serta menjadikan mereka sebagai teman-teman kita di sana. Mereka itulah sebaik-baik teman.

Ulama Islam juga tidak ketinggalan dalam ilmu pengetahuan dan sains. Inilah Ibnu Hajar al-Asqalani seorang hafizh yang hafal ribuan hadits pemilik kitab Syarh Shahîh al-Bukhârî yang terkenal, beliau juga ahli geografi. Suatu ketika beliau menjenguk gurunya lalu gurunya bertanya tentang nama negeri-negeri dan daerah-daerah. Kemudian Ibnu Hajar menyebut semua nama-nama dengan mendiktekan dari hafalannya.

Dalam ilmu kedokteran ada Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan az-Zahrawi. Abu ‘Ali al-Husein Ibnu Sina (w. 1037 M) dikenal di dunia Eropa dengan nama Avicenna. Dia memiliki lebih 450 karya, salah satunya yang populer di dunia Barat adalah asy-Syifâ dan al-Qânûn fi ath-Thibb. Yang terakhir ini diterjemahkan dengan judul The Book of Healing dan The Canon of Medicine. Buku ini menjadi buku rujukan dunia  kedokteran selama berabad-abad sampai sekarang. Untuk mengenang jasa-jasanya, dibuatlah patung Ibnu Sina di Universitas Kedokteran Paris.

Ibnu Rusyd (w. 1198 M) adalah ahli fiqih ternama. Kepakarannya dalam fiqih beliau tuangkan dalam kitabnya Bidâyatul Mujtahid wa Nihâyatul Muqtashid. Kitab ini menjadi rujukan dalam masalah fiqih lintas madzhab dan bersanding dengan Syarhul Muhadzdzabnya Imam an-Nawawi dan al-Mughnînya Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi. Imam ahli fiqih ini ternyata juga ahli kedokteran yang dituangkan dalam kitab Kuliyah fî ath-Thibb yang terdiri dari 16 jilid, yang pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada tahun 1255 M oleh seorang Yahudi bernama Bonacosa, kemudian buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan nama General Rules of Medicine sebuah buku wajib di universitas-universitas di Eropa. Di kalangan ilmuwan Barat dikenal dengan nama Averroes.

Abul Qasim Khalaf bin al-Abbas az-Zahrawi (w. 1013 M) dikenal di Barat sebagai Abulcasis. Karya terkenalnya adalah at-Tasrîf, kumpulan praktik kedokteran yang terdiri atas 30 jilid. At-Tasrîf berisi berbagai topik mengenai kedokteran, termasuk di antaranya tentang gigi dan kelahiran anak. Buku ini diterjemahkan ke bahasa Latin oleh Gerardo dari Cremona pada abad ke-12 dengan judul Liber Alsaharavi di Cirurgia. Salinan kitab at-Tasrîf juga diterbitkan di Venice pada tahun 1471 dengan judul Liber Servitoris. Dengan demikian kitab karya az-Zahrawi semakin termasyhur di seluruh Eropa. Kitabnya yang mengandung sejumlah diagram dan ilustrasi alat bedah ini menjadi buku wajib mahasiswa kedokteran di berbagai kampus-kampus. Bahkan hingga lima abad setelah dia meninggal, bukunya tetap menjadi buku wajib bagi para dokter di berbagai belahan dunia. Prinsip-prinsip ilmu pengetahuan kedokterannya masuk dalam kurikulum jurusan kedokteran di seluruh Eropa.

Dalam bidang matematika umat Islam memiliki al-Khawarizmi. Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (w. 850 M) dikenal orang Eropa dengan Algorizm. Nama itu kemudian dipakai orang-orang Barat untuk istilah algoritma dalam ilmu hitung, karena beliau adalah muslim yang pertama-tama meletakkan kaidah ilmu hitung. Bukunya yang terkenal berjudul al-Jabar wal Muqâbalah, kemudian buku tersebut disalin oleh orang-orang Barat dan sampai sekarang ilmu itu kita kenal dengan nama Aljabar.

Dalam robotika umat Islam memiliki al-Jazari. Al-Jazari mengembangkan prinsip hidrolik untuk menggerakkan mesin yang kemudian hari dikenal sebagai mesin robot. Donal Hill seorang ahli teknik asal Inggris peneliti sejarah teknologi berkata, “Tak mungkin mengabaikan hasil karya al-Jazari yang begitu penting. Dalam bukunya, ia begitu detail memaparkan instruksi untuk mendesain, merakit, dan membuat sebuah mesin.” Ketertarikan Donald Hill terhadap karya al-Jazari membuatnya terdorong untuk menerjemahkan karya al-Jazari pada 1974, atau 6 abad 68 tahun setelah pengarangnya menyelesaikan karyanya.

Donald Routledge dalam bukunya Studies In Medieval Islamic Technology, mengatakan bahwa hingga zaman modern ini, tidak satupun dari suatu kebudayaan yang dapat menandingi lengkapnya instruksi untuk merancang, memproduksi, dan menyusun berbagai mesin sebagaimana yang disusun oleh al-Jazari. London Science Museum merancang kembali replika jam raksasa al-Jazari, sebagai bentuk penghargaan atas karya besarnya. Pada acara World of Islam Festival yang diselenggarakan di Inggris pada 1976, banyak orang yang berdecak kagum dengan hasil karya al-Jazari. Al-Jazari dinobatkan sebagai penemu robotika modern.

Dalam ilmu kimia, umat Islam memiliki ar-Razi. Muhammad bin Zakaria ar-Razi (w. 930 M) dilatinkan orang Barat menjadi Razes. Seorang dokter klinis yang terbesar pada masa itu dan pernah mengadakan satu penelitian al-Kimi yang sekarang kata itu dipakai untuk istilah ilmu kimia zaman modern.

Di dalam penelitiannya pada waktu itu, ar-Razi sudah menggunakan peralatan khusus dan secara sistematis hasil karyanya dibukukan, sehingga orang sekarang tidak sulit mempelajarinya. Bukunya tersebut menjadi pegangan laboratorium kimia pertama di dunia.

Manusia tempat salah dan lupa. Tidak ada manusia satupun tanpa memiliki cacat/kekurangan, tidak terkecuali para ilmuwan. Di antara mereka ada terperosok ke jurang penyimpangan agama, yaitu saat mereka berbicara masalah agama apa yang mereka tidak kuasai ilmu tentangnya.

Kenapa bisa begitu? Jawabannya, karena syarat terhindar dari penyimpangan adalah mengikuti bimbingan kaum salaf (para ‘ulama baik dari kalangan shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, maupun ‘ulama muta’akhirin yang mengikuti mereka dengan baik). Oleh karena itu, menjadi ilmuwan bukan jaminan selamat dari penyimpangan agama, tetapi penyimpangan itu jauh dari para ‘ulama. Di sini jelas bagi kita keutamaan ‘ulama daripada ilmuwan.

Hal ini lebih parah lagi, saat sebagian ilmuwan hobi dan larut mempelajari filsafat buatan Yunani kaum Majusi (penyembah api). Adapun para ‘ulama, mencukupkan diri dengan Al-Quran dan hadits dengan bimbingan salafush shalih, dan memperingatkan umat untuk menjauhi ilmu filsafat, kalam, manthiq, dan semisalnya.

Imam Malik (w. 179 H) berkata:

لَوْ كَانَ الْكَلامُ عِلْمًا، لَتَكَلَّمَ فِيهِ الصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُونَ، كَمَا تَكَلَّمُوا فِي الأَحْكَامِ وَالشَّرَائِعِ، وَلَكِنَّهُ بَاطِلٌ يَدُلُّ عَلَى بَاطِلٍ

“Seandainya kalam adalah ilmu, niscaya para shahabat dan tabi’in telah membicarakannya seperti pembicaraan mereka terhadap hukum dan syari’at. Namun, ilmu kalam adalah kebathilan dan menunjukkan kebathilan.”[1]

Imam asy-Syafi’i (w. 204 H) berkata:

حُكْمِي فِي أَصْحَابِ الْكَلامِ أَنْ يُضْرَبُوا بِالْجَرِيدِ، وَيُحْمَلُوا عَلَى الإِبِلِ، وَيُطَافُ بِهِمْ فِي الْعَشَائِرِ وَالْقَبَائِلِ، وَيُقَالُ: هَذَا جَزَاءُ مَنْ تَرَكَ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ، وَأَخَذَ فِي الْكَلامِ

“Hukumanku untuk ahli kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma dan dinaikkan di atas unta dan digiring ke kampung-kampung sambil dikatakan, ‘Inilah balasan bagi yang meninggalkan Al-Quran dan as-Sunnah dan mengambil ilmu kalam.”[2]

Misalkan, sebut saja Ibnu Sina. Ilmuwan muslim kenamaan sang rujukan dokter dunia ini, banyak bergelut di ilmu filsafat dan menjadi pengagum Aristoteles. Juga ayahnya adalah dai sekte Isma’iliyah, salah satu sekte Syi’ah yang ekstrim. Gurunya yang terkenal adalah al-Farabi yang disebut-sebut Aristoteles II karena kecerdasannya dalam ilmu filsafat yang pernah belajar kepada Matta bin Yunus dan Yuhanna bin Hilan yang keduanya beragama Kristen. Ibnu Sina banyak berbicara tentang agama tanpa ilmu dan tidak mengikuti kaum salaf, akhirnya banyak pendapatnya yang aneh, ganjil, dan menyimpang.

Di antara pendapatnya dan kebanyakan ahli filsafat lainnya adalah Nabi memang mengetahui kebenaran tetapi terkadang yang ditampakkan adalah kebalikannya untuk suatu maslahat. Juga, Nabi tidak memiliki pengetahuan sebagaimana yang dimiliki ahli filsafat dan yang semisalnya. Mereka mengunggulkan filsuf melebihi Nabi sebagaimana Ibnu ‘Arabi[3] (tokoh sufi) menggungulkan ath-Tha`i melebihi Nabi . Untuk itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) membantah kesesatan-kesesatannya dalam kitab beliau  Dar`u Ta’ârudil ‘Aql wan Naql. Bahkan, Imam adz-Dzahabi dalam kitab as-Siyar (VII/535) menyebutkan bahwa Imam al-Ghazali mengkafirkan Ibnu Sina dan al-Farabi dalam kitabnya al-Munqidz min adz-Dzalâl.

Akan tetapi, –Allahu a’lam– Ibnu Khallikan menjelaskan saat mencantumkan biografi Ibnu Sina, “Kemudian dia (Ibnu Sina) mandi dan bertobat, menyedekahkan harta miliknya kepada fakir miskin,  mengembalikan hak-hak orang yang dizhaliminnya, memerdekakan budak-budaknya, dan mulai mengkhatamkan Al-Quran setiap tiga hari. Kemudian dia meninggal di bulan Ramadhan tahun 428 H.”[4]

Contoh lainnya, al-Imam al-Hafizh Abul Walid Ibnu Rusyd al-Hafid al-Qurthubi (w. 595 H).[5] Beliau tenggelam dalam ilmu filsafat, bahkan menyusun 4 kitab lebih yang berisi kumpulan, ringkasan, atau syarah filsafat Aristotoles, juga beliau menyusun syarah kitabnya Ibnu Sina. Layaknya ahli ilmu lainnya, beliau memiliki banyak keutamaan. Mari kita mendengarnya dari al-Abbar, dia berkata, “Belum pernah ada di Andalusia (Spanyol) yang menyamainya dalam kesempurnaan, ilmu, dan keutamaan. Dia lelaki yang tawadhu dan rendah hati. Ada yang mengatakan bahwa dia tidak pernah berhenti dari kesibukannya semenjak berakal kecuali 2 malam saja, yaitu malam kematian ayahnya dan malam pernikahannya.”[6]

Tentang keilmuannya, seandainya hanya kitab Bidâyatul Mujtahid yang berhasil disusunnya, niscaya telah cukup untuk mengakui akan kedalaman ilmunya, luasnya pemahamannya, kuatnya istinbathnya, dan banyaknya hafalannya. Kitab ini menghimpun hampir semua pendapat ahli fiqih. Siapa yang melihat langsung kitab ini akan tercengang, seolah-olah saat menyusunnya hafalannya terpampang lebar di hadapannya. Hal ini tidaklah mengherankan dan mustahil, karena beliau telah hafal Al-Quran semenjak kecil, juga ayahnya seorang ‘ulama dan kepadanya selesai setoran al-Muwaththa` (kitab hadits karya Imam Malik). Kitab-kitab yang berhasil dikarangnya mencapai sekitar 50 buah berjilid-jilid.

Bagaimana pendapat para imam ahlus sunnah tentang beliau? Perhatikan ucapan adz-Dzahabi saat menulis biografinya, “Yang meriwayatkan darinya adalah Abu Muhammad bin Hauthillah dan Sahl bin Malik. Akan tetapi, tidak selayaknya meriwayatkan darinya.”[7] Komentar adz-Dzahabi ini seakan mengingkari ilmu Ibnu Rusyd karena sudah bercampur dengan filsafat, khawatir sedikit-banyak mempengaruhinya saat berbicara masalah hukum dan syari’at Islam, terutama masalah aqidah. Semoga Allâh mengampuni beliau dan seluruh kaum muslimin. Sungguh Allâh Maha Pengampun dan Maha Penyayang, dan Dia Mahatahu isi hati para hamba-Nya.



[1] Syarhus Sunnah (I/217) oleh al-Baghawi.

[2] Ibid (I/218).

[3] Ibnu ‘Arabi di sini bukan Ibnul ‘Arabi (pakai al, w. 534 H), yang kedua ahlus sunnah penulis kitab Ahkâmul Qur`ân.

[4] Wafayâtul A’yân (II/160) oleh Ibnu Khallikan dan Siyar A’lâmin Nubalâ` (XVII/534) oleh adz-Dzahabi.

[5] Al-Qurthubi di sini bukan Imam Ahlus Sunnah al-Qurthubi pemilik kitab tafsir al-Jâmi’ li Ahkâmil Qur`ân.

[6] Siyar A’lâmin Nubalâ` (XXI/308) oleh adz-Dzahabi.

[7] Ibid (XXI/310).

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url