Kini Saatnya Anak Kaum Muslimin Menjadi Jenius
Kini Saatnya Anak Kaum Muslimin Menjadi Jenius
Di belakang
kebanyakan setiap ilmuwan Islam yang terkenal, terdapat orang tua yang melatih
putra-putri mereka menghafal Al-Quran semenjak balita hingga mereka dapat
menyelesaikan hafalan Al-Quran saat berumur 7-10 tahun. Baru setelah itu mereka
diajari ilmu-ilmu yang lain. Ini juga merupakan nasihat Imam an-Nawawi, “Yang
paling pokok adalah menghafal Al-Quran, karena ia adalah ilmu terpenting,
bahkan para salaf tidak mengajarkan hadits dan fiqih kecuali yang telah hafal Al-Quran.”
Apabila kita
merujuk kepada kejayaan Islam dan kaum muslimin di zaman kegemilangan, maka
kita akan mendapati bahwa mayoritas kaum muslimin adalah para penghafal Al-Quran.
Dialah Muhammad
al-Fatih raja sekaligus panglima perang yang berhasil menaklukkan
Konstantinopel negara adidaya nomor satu pada waktu itu. Diriwayatkan dalam alMustadrâk
bahwa Nabi ﷺ
mengabarkan bahwa kelak Konstantinopel akan ditaklukkan oleh panglima terbaik
dan oleh pasukan terbaik, dan kabar ini shahih dari Nabi ﷺ. Siapakah al-Fatih ini? Pemuda yang
semenjak kecil dididik untuk membaca Al-Quran dan menghafalnya, hasilnya dia
menjadi pemuda tangguh dan panglima perang penakluk Konstantin, padahal umurnya
ketika itu sekitar 22 tahun. Nabi ﷺ bersabda tentang al-Fatih dan pasukannya:
«لَتُفْتَحَنَّ الْقُسْطَنْطِينِيَّةُ، وَلَنِعْمَ الْأَمِيرُ
أَمِيرُهَا، وَلَنِعْمَ الْجَيْشُ ذَلِكَ الْجَيْشُ»
“Sungguh
Konstantinopel benar-benar akan ditaklukan. Sungguh pemimpin terbaik adalah
pemimpin penaklukan itu dan pasukan terbaik adalah pasukan tersebut.”[1]
Para ‘ulama
yang pakar dalam bidang-bidang ilmu tertentu adalah para penghafal Al-Quran di
usia dini. Begitu pula ilmuwan kaum muslimin, kebanyakan mereka adalah hafal Al-Quran,
seperti Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina rujukan ilmu kedokteran modern hingga saat ini
yang hafal saat berumur sekitar 10 tahun.
Sayangnya
kebanyakan kaum muslimin zaman ini memiliki konsep pendidikan untuk
anak-anaknya jauh berbeda dengan kaum salaf terdahulu. Mereka memulai
pendidikan anak-anaknya dari ilmu-ilmu dunia, ambil contoh matematika dan
bahasa Inggris. Yang satu hanya mengajarkan anak-anak sekedar “berpikir” dan
yang kedua hanya sekedar “mendengar dan berbicara”, padahal masa anak-anak
sangat bagus untuk menghafal dan ini bisa diperoleh secara maksimal dalam Al-Quran.
Di samping itu, otak para penghafal Al-Quran akan menjadi cerdas karena berkah Al-Quran,
baik akhlaknya, pandai merangkai kata dan berbicara, mudah paham saat
mendengar, dan peka terhadap permasalahan dan kejadian-kejadian. Menghafal bisa
meningkatkan fungsi memori otak jauh lebih banyak dari konsep pembelajaran
lainnya.
Imam Malik bin
Anas (w. 179 H) berkata:
كَانَ السَّلَفُ يُعَلِّمُونَ أَوْلَادَهُمْ حُبَّ أَبِي بَكْرٍ
وَعُمَرَ كَمَا يُعَلِّمُونَ السُّورَةَ مِنَ الْقُرْآنِ
“Kaum salaf
dahulu mengajari anak-anaknya mencintai Abu Bakar dan ‘Umar seperti mereka
mengajari sebuah surat dari Al-Quran.”[2]
Meskipun ucapan
ini tertuju kepada cinta Abu Bakar dan ‘Umar, tetapi juga terkandung makna
bahwa kebiasaan kaum salaf dulu adalah mendidik putra-putri mereka dengan Al-Quran
semenjak dini.
Bayi-bayi yang
baru lahir laksana CD kosong yang akan merekam setiap data yang dimasukkan
kepadanya. Menurut kajian sains, otak anak-anak sudah siap menerima pelajaran
sejak lahir. Otaknya pada waktu ini ibarat sponge yang amat mudah menyerap air.
Pada umur 2 tahun, kapasitas otak anak-anak sudah menyamai 80% otak dewasa.
“Bahan mentah”
anak-anak semuanya sama. Yang membuat mereka berbeda adalah kualitas dan
kuantitas didikan kedua orangtuanya. Anak-anak yang semenjak dini diajarkan Al-Quran
memiliki empat ketrampilan, yaitu mendengar, berbicara, menghafal, dan
berpikir. Empat ketrampilan yang diperolehi ini akan meningkatkan IQ otak
mereka dan akan mempengaruhi penyerapan pelajaran/ ilmu, bila mereka dewasa nanti. Ia ibarat
BRAIN TRAINING yang akan menghasilkan daya konsentrasi, fokus, kreativiti, dan
kecepatan berpikir yang bermanfaat untuk jangka masa panjang.
Jika orang tua
mempunyai anak yang nakal, bersegeralah ajarkan mereka Al-Quran karena ia
adalah ‘speech therapy’ bagi anak-anak tersebut.
Menurut pakar anak, bagi mereka yang mempunyai anak-anak
nakal dan bandel, anak-anak perlu diajak berbicara dan dinasehati serta
dimotifasi untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak bermanfaat dan
melaksanakan hal-hal yang bermanfaat. Ternyata peran ini bisa digantikan oleh Al-Quran.
Dengan seringnya anak-anak membaca Al-Quran dan menghafalnya akan meningkatkan
kualitas akhlak dan etika mereka, karena pada hakekatnya orang yang membaca Al-Quran
sedang berbicara dengan Allâh atau diajak dialog oleh Allâh.
Sebenarnya ini
telah dibuktikan dalam sains bahwa jalinan saraf neuron otak pada anak-anak
sangat aktif di mana pada 3 tahun pertama bayi, sejumlah 300 trilliun sel
penghubung dibuat di dalam otak dimana sebelumnya tidak ada.
Di antara
bentuk perhatian orang tua terhadap Al-Quran bagi putra-putrinya adalah
menyiapkan Al-Quran semenjak dini bahkan jauh-jauh hari sebelum kelahiran
sehingga pengaruh Al-Quran benar-benar menyatu dengan darah dan dagingnya.
Fase Pertama: Saat Masih
Janin
Di antara
perhatian orang tua terutama ibu hamil adalah memperdengarkan janin murattal Al-Quran
(rekaman bacaan dari seorang qari/imam shalat) dan lebih baik bila dibaca
sendiri oleh ibunya. Janin pada usia 6 bulan sudah bisa mendengar suara dan
usia 7 bulan mampu membedakan suara. Disebutkan dalam sebuah hadits shahih
bahwa ruh ditiup ke janin pada usia kehamilan 4 bulan.[3]
Baik pula
disetel murattal sebagai pengantar tidur. Meskipun tidur, otak masih bekerja
dan mampu merekam suara dan ini juga berimbas pada si janin, demikian ini
menurut penelitian mutakhir. Allâh subhanahu wa ta’ala berfirman:
«هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ لِتَسْكُنُوا فِيهِ
وَالنَّهَارَ مُبْصِرًا إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَسْمَعُونَ»
“Dia-lah
yang menjadikan bagi kalian malam untuk istirahat dan siang terang benderang
(untuk bekerja). Sesungguhnya pada demikian itu terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang mendengar.”[4]
Kebiasaan
istirahat di malam hari adalah tidur. Allâh mengaitkan antara tidur dengan
mendengar, seakan mengisyaratkan adanya hubungan keduanya.
Umat Yahudi
yang terkenal kecerdasannya memiliki kebiasaan bahwa wanita hamil selalu
didengarkan musik dan mengerjakan soal matematika, kata mereka, supaya kelak
anaknya cerdas. Hanya saja, mereka seperti ungkapan “memasak bubur dengan
kotoran.”
Selanjutnya
kedua orang tua selalu berdo’a kepada Allâh agar diberi anak shalih yang cinta Al-Quran.
Betapa banyak para ‘ulama terkenal karena hasil do’a orang tuanya, semisal Imam
al-Bukhari, ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Ibnu Abi Hatim ar-Razi, Abu Bakar
as-Sijistani, Ibnul Jazari, dan lain-lain.
Baiknya kedua
orang tua berdo’a dengan do’a Nabi Ibrahim ‘alahissalam. Do’a beliau
sederhana dan ringkas, lalu Allâh kabulkan dengan memberinya kabar gembira
seorang anak shalih dan taat bernama Isma’il, juga seorang Nabi. Ini do’anya:
«رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ»
“Wahai
Rabb-ku, berilah aku (anak) yang termasuk orang-orang shalih.”[5]
Tidak
ketinggalan do’a Nabi Zakariyya ‘alahissalam. Beliau berdo’a kepada
Allâh subhanahu wa ta’ala seorang anak shalih lalu Allâh memberinya
seorang anak shalih bernama Yahya. Ini do’anya:
«رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ
سَمِيعُ الدُّعَاءِ»
“Wahai
Rabb-ku, berilah aku dari sisi-Mu seorang keturunan yang baik. Sesungguhnya
Engkau Maha Mendengar segala do’a.”[6]
Juga do’a
perempuan shalihah istri Imran. Beliau bernazhar kepada Allâh subhanahu wa
ta’ala bahwa janin yang dikandungnya akan dihibahkan sebagai da’i di jalan
Allâh subhanahu wa ta’ala. Ini teladan yang baik yang patut ditiru oleh
semua kaum muslimah shalihah. Karena ketulusannya, Allâh pun menerimanya dan
kelak dari keturunannya lahir seorang nabi mulia, ‘Isa ‘alahissalam. Ini
do’anya:
«رَبِّ إِنِّي نَذَرْتُ لَكَ مَا فِي بَطْنِي مُحَرَّرًا
فَتَقَبَّلْ مِنِّي إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ»
“Wahai
Rabb-ku, sesungguhnya aku bernazhar kepada-Mu apa yang ada di dalam perutku
sebagai muharrar,[7] maka terimalah dariku. Sesungguhnya Engkau
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”[8]
Sangat
dianjurkan bagi orang tua untuk selalu berdo’a dengan do’a ‘Ibadur Rahman
sepanjang masa, yaitu sebelum kehamilan, masa kehamilan, dan berlanjut setelah
kelahiran. Sebab, do’a ini mencakup segala permohonan kebaikan bagi keturunan
shalih. Apa guna anak jika tidak shalih yang hanya menyusahkan, meresahkan, dan
durhaka kepada orang tua? Maka punya anak shalih hukumnya wajib diusahakan. Ini
do’anya:
«رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ
أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا»
“Wahai
Rabb kami jadikanlah istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk
pandangan, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang beriman.”[9]
Fase Kedua: Bayi Berumur
1-3 Tahun
Di samping bayi
selalu diperdengarkan Al-Quran, ibu proaktif membaca Al-Quran di samping bayi.
Hal ini akan sangat membekas pada dirinya dan mulai menirukan orang-orang yang
di sekelilingnya.
Dulu ada
seorang anak yang melihat pamannya shalat malam. Kemudian ditiru oleh anak
tersebut dan dia terus melakukannya hingga dewasa sampai meninggal.
Fase Ketiga: Bayi
Berumur 3-7 Tahun
Orang tua mulai
mengajari anaknya menghafal sedikit demi sedikit dengan sabar dan konsisten.
Baik pula orang tua mendatangkan guru ngaji Al-Quran. Imam Abu Hanifah saat
dikabari guru ngaji anaknya bahwa anaknya telah hafal surat al-Fatihah gembira
sekali lalu guru tersebut diberi tambahan uang yang banyak. Saat ditanya beliau
menjawab bahwa al-Fatihah jauh lebih berharga dari sejumlah uang yang beliau
keluarkan bahkan tidak ada nilainya dibanding karunia al-Fatihah.
Kebiasaan para
raja Islam zaman dulu adalah mendatangkan guru privat ngaji untuk anak-anaknya
sehingga banyak hafal Al-Quran di waktu kecil. Muhammad al-Fatih kecil termasuk
yang diperlakukan ayahnya seperti ini di waktu kecil.
Umur-umur ini
begitu baik untuk menghafal, mudah direkam dan susah hilang. Imam Qatadah (w.
118 H) berkata:
الْحِفْظُ فِي الصِّغَرِ كَالنَّقْشِ فِي الْحَجَرِ
“Menghafal di
masa kecil laksana mengukir di atas batu (yakni bekasnya sulit hilang).”[10]
Banyak para
‘ulama yang sukses menyelesaikan hafalannya di saat umurnya 7 tahun atau kurang
dari itu, misalnya Imam asy-Syafi’i, Imam ath-Thabari, al-Bulqini, Basyir al-Ghazi,
Abu Bakar Zarirani, Muhammad ‘Abdul Baqi al-Anshari, dan lainya.
Bila
memungkinkan, tidak ada salahnya anak dikirim ke halaqah Al-Quran atau
dipondokkan yang diampu oleh guru yang mumpuni, shalih, dan bertanggungjawab.
Fase Keempat: Umur 7-12
Tahun
Jika belum
selesai hafalannya, umur ini sudah memungkinkan untuk dikirim ke pondok tahfizh
jika ingin fokus dan hasil yang memuaskan, tetapi boleh jadi dibimbing sendiri
oleh orang tua di rumah sambil didatangkan guru ngaji lebih baik dan utama.
Dulu Syafi’i kecil dikirim ibunya ke kuttab
(sejenis pondok tahfizh) dan rela melepas anak kesayangannya, tetapi setelah
itu dia bergembira atas apa yang Allâh perbuat terhadap Syafi’i sebagaimana
yang telah kita ketahui. Di usia ini, anak mulai diajari tajwid dan tafsir
ringan untuk memantapkan hafalannya.
Banyak pula
‘ulama Islam yang selesai di umur-umur ini, seperti al-Hafizh Ibnu Hajar
al-‘Ashqalani, al-Hafizh al-‘Iraqi, dan Syaikhul Qurra` Ibnul Jazari.
Fase Kelima: Umur 12 Ke
Atas
Pada usia ini
anak sudah siap diajari ilmu-ilmu lain termasuk ilmu dunia jika menghendaki.
Orang tua akan melihat berkah umurnya dalam belajar dan hasil maksimal yang
dicapai anaknya, insya Allâh.
Kini saatnya
para orang tua muslim untuk mengubah
paradigma dalam mendidik putra-putrinya untuk memulainya dengan Al-Quran. Kelak
kejayaan itu akan kembali kepada kaum muslimin sebagaimana mereka kembali
kepada Kitabullah.
‘Abdullah
bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma masih kecil di masa kenabian. Ketika
Nabi ﷺ
wafat, Ibnu ‘Abbas kecil ini baru beranjak dewasa belasan tahun. Ajaibnya,
sepeninggal Nabi ﷺ
beliau menjadi tempat dimintai fatwa hampir untuk semua permasalahan agama umat
Muhammad ﷺ.
Apa rahasianya? Ibnu ‘Abbas kecil menghafal Al-Quran semenjak wahyu diturunkan
dan menggenapkannya saat Nabi ﷺ
wafat. Ibnu Abbas (w. 68 H) radhiyallahu ‘anhuma berkata:
تُوُفِّيَ رَسُولُ اللّٰهِ ﷺ وَأَنَا ابْنُ عَشْرِ
سِنِينَ، وَقَدْ قَرَأْتُ المُحْكَمَ
“Rasûlullâh
ﷺ
wafat saat aku berumur 10 tahun dan aku telah membaca[11] al-Muhkam[12].”[13][]
[1] Shahih: HR. Al-Hakim (no. 8300, IV/468) dalam al-Mustadrâk dari Bisyr al-Ghanawi radhiyallahu
‘anhu. Dinilai shahih al-Hakim dan disetujui adz-Dzahabi. Para pewarinya
dinilai tsiqah al-Haitsami.
[2] Syarhul Ushûl (no. 2325, VII/1313) oleh al-Lalika`i.
[3] Muttafaqun ‘Alaihi: HR. Al-Bukhari (no. 3208) dan
Muslim (no. 2643) dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Al-Qadhi ‘Iyadh
dan lainnya berpendapat lebih 10 hari.
[4] QS. Yûnûs [10]: 67.
[5] QS. Ash-Shâffât [37]: 100.
[6] QS. Alî Imrân [3]: 38.
[7] Seorang yang ikhlas dan totalitas dalam beribadah, juga
sebagai khidmah Baitul Maqdis. Tafsîr Ibnu Katsîr (II/33).
[8] Ali Imrân [3]: 35.
[9] QS. Al-Furqân [25]: 74.
[10] Diriwayatkan Ibnul Ja’ad (no. 1044, I/162) dalam Musnadnya.
[11] Membaca di sini artinya hafal al-Qur`an sebagaimana
penjelasan Ibnu Hajar dalam Fathul Bârî (IX/84) dengan dalil penguat
dari hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa’id dan lainnya dengan sanad yang
shahih.
[12] Maksud al-Muhkam di sini adalah al-Mufashshal sebagaimana
hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dalam as-Shahîh al-Bukhârî
(no. 5036). Dinamai al-Mufashshal karena surat-surat ini banyak fashl (pendek-pendek
ayatnya). Al-Mufashshal adalah kumpulan dari surat al-Hujurat sampai an-Nas
menurut pendapat jumhur. Al-Hafizh Ibnu Katsir berpendapat agar anak-anak
disuruh menghafal ayat-ayat al-Mufashshal untuk membentuk kepribadian dan adab
yang baik karena surat-surat ini kebanyakan berbicara mengenai tauhid dan
ketuhanan.
[13] HR. Al-Bukhari (no. 5035), Ahmad (no. 2601), ath-Thabarani
(no. 10577) dalam al-Mu’jam al-Kabîr, dan ath-Thayalisi (no. 2761) dalam
Musnadnya.