Al-Quran Berbicara Sains dan Alam Semesta
Al-Quran Berbicara Sains dan Alam Semesta
Selama ratusan tahun, para
ilmuwan menyakini kekekalan langit dan bumi, tidak bermula dan tidak berakhir, yang mereka istilahkan Steady
State Theory. Di penghujung abad ke-20 sains modern mengungkapkan kenyataan
bahwa manusia hidup di alam yang berkembang dan berubah, bermula dan akan
berakhir. Mereka mengamati fenomena mengejutkan bahwa matahari setiap detik
kehilangan massa sekitar 4,6 miliar ton yang berubah menjadi energi panas dan
berpindahnya energi panas dari benda panas ke benda dingin. Hal ini meyakinkan
mereka bahwa alam semesta ini suatu saat akan musnah, entah kapan, mereka tidak
mampu menjawabnya.
Mereka pun merumuskan
teori-teori awal terciptanya alam semesta dan tidak ada satu pun yang diterima
karena tidak bisa menjelaskannya secara ilmiah kecuali sebuah teori yang
dikuatkan oleh para ilmuwan, yaitu Teori Ledakan Besar (Big Bang Theory).
Teori ini menyatakan bahwa alam semesta ini awalnya berasal dari gumpalan massa
yang sangat padat dan panas. Kemudian karena tekanan panas yang memuncak, massa
ini mengalami ledakan besar (bing bang) menjadi serpihan-serpihan alam
semesta: tata surya, galaksi, nebula, planet, dan sebagainya yang terus
mengembang. Ledakan
Besar ini diperkirakan terjadi sekitar 15 milyar tahun lalu.[1]
Sekarang mari kita bandingkan
teori ini dengan ayat al-Qur`an:
«أَوَلَمْ يَرَ
الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا
فَفَتَقْنَاهُمَا وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا
يُؤْمِنُونَ»
“Apakah
orang-orang kafir itu belum mengetahui bahwa langit-langit dan bumi itu dulunya
sesuatu yang padu (ratqan) lalu kami pisahkan keduanya, dan kami jadikan
kehidupan segala sesuatu dari air. Maka, apakah mereka tidak beriman?”[2]
Al-Hafizh Ibnu Katsir (w. 774 H)
memberikan penjelasan yang menakjubkan tentang ayat ini, “Maksudnya, semua
benda dahulunya saling merekat, menyatu, dan tersusun satu sama lain. Kemudian
langit-langit Allâh jadikan tujuh dan bumi pun tujuh. Allâh memisah langit
dunia dan bumi dengan udara. Lalu langit menurunkan hujan dan bumi menumbuhkan
tanaman. Oleh karena itu, Allâh berfirman, “Dan kami jadikan kehidupan
segala sesuatu dari air. Maka, apakah mereka tidak beriman?” Maksudnya,
apakah mereka tidak menyaksikan bahwa makhluk-makhluk ini terjadi dari fase ke
fase yang menunjukkan keberadaan Sang Pencipta yang Mahakuasa atas segala sesuatu.
فَفِي كُلِّ شَيْءٍ لَهُ آيَة ... تَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ وَاحِدٌ
...
Pada segala sesuatu terdapat
tanda yang menunjukkan bahwa Dia adalah esa
Sufyan ats-Tsauri berkata, dari
ayahnya, dari ‘Ikrimah, dia berkata, ‘Ibnu ‘Abbas pernah ditanya, apakah tercipta
malam dulu atau siang? Lalu menjawab, ‘Bagaimana menurutmu keadaan saat
langit-langit dan bumi menyatu, bukankah yang ada di antara keduanya hanya
kegelapan?’ Akhirnya mereka pun tahu bahwa malam lebih dahulu daripada siang.’”[3]
Ayat-ayat al-Qur`an selalu
mendahului lafazh malam daripada siang yang menunjukkan ketepatan tafsiran
Tarjamatul Qur`an Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Misalnya firman
Allâh subhanahu wa ta’ala:
«وَهُوَ
الَّذِي خَلَقَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ»
“Dan Dia-lah
yang telah menciptakan malam dan siang,
matahari dan bulan.”[4]
Yang menakjubkan lagi, ternyata
sains modern juga menyebutkan hal yang sama, malam lebih dahulu ada sebelum
siang.
Jika ada yang bertanya, “Apakah
ayat ini boleh disebut ayat Big Bang?” Jawabannya, tidak boleh. “Bukankah
sesuai sekali dengan teori Big Bang?” Ini pertanyaan yang bagus sekali dan
penjelasannya sebagai berikut:
Ayat hanya memberi informasi
bahwa langit dan bumi pernah menyatu. Adapun teori Big Bang, disamping
menyebutkan langit dan bumi menyatu juga menyebutkan hal-hal lainnya yang sama
sekali tidak dijelaskan nash atau justru menyelisihi nash. Oleh karena itu,
kita membenarkan penelitian mereka bahwa langit dan bumi pernah menyatu karena
sesuai dengan nash, tetapi kita mengingkari beberapa hal dalam teori ini,
yaitu:
1.
Perkiraan
usia alam semesta 15 miliar.
2.
Konsekuensi
Big Bang bahwa bumi tercipta bersamaan atau sebelum langit, matahari,
dan benda angkasa lainnya.
3.
Klaim
mereka bahwa bumi mengelilingi matahari karena bumi terbuat dari pecahan
matahari.
4.
Klaim
mereka bahwa sebelum peristiwa Big Bang belum ada materi dan energi.
Semua yang disebutkan di atas
menyelisihi nash shahih sehingga kita menyikapinya seperti menyikapi kabar Bani
Isra`il poin ke-2, yaitu mendustakannya dan tidak menerimanya. Adapun
konsekuensi hukum dari teori ini yang tidak didustakan nash dan tidak pula
dibenarkan, maka disikapi dengan poin ke-3, misalkan konsekuensi hukum bahwa
teori ini secara tidak langsung memberi pemahaman bahwa benda-benda langit
semuanya tercipta dari gumpalan massa yang superpanas tersebut; terdapat banyak
galaksi di luar galaksi kita yang tak terhitung jumlahnya; dan seterusnya.
1. Benarkah
Usia Alam Semesta 15 Miliar Tahun?
Usia alam semesta adalah waktu
yang dihitung dari mulai terjadinya ledakan besar. Mereka mengklaim bahwa usia
alam semesta adalah 13,75 ± 0,11 miliar tahun (anggaplah 14 miliar). 13,75
miliar adalah masa terjadinya ledakan hingga dingin dan stabil, dan 110 juta adalah masa stabil dan munculnya
tanda kehidupan hingga sekarang.
Yang benar usia alam semesta
tidak sebanyak itu. Al-Qur`an tidak menyinggung usia alam semesta, tetapi masa
penciptaan alam semesta disinggung, yaitu 6 hari, masa Allâh menciptakan
langit, bumi, dan segala yang ada di antara keduanya. Allâh subhanahu wa
ta’ala berfirman sebanyak 7 kali bahwa langit dan bumi tercipta dalam 6
hari:
«وَلَقَدْ
خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ»
“Dan
sungguh Kami telah menciptakan langit-langit dan bumi serta apa yang ada di
antara keduanya dalam 6 hari.”[5]
“Langit-langit
dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya” menunjukkan alam semesta. Ini berarti alam semesta diciptakan
Allâh selama 6 hari. Namun, hari di sini maksudnya hari akhirat,
bukan hari dunia. Satu hari akhirat sama dengan 1.000 hari dunia. Dalilnya
adalah firman Allâh subhanahu wa ta’ala:
«وَإِنَّ
يَوْمًا عِنْدَ رَبِّكَ كَأَلْفِ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ»
“Dan
sesungguhnya satu hari di sisi Tuhan-mu seperti 1.000 tahun menurut perhitungan
kalian.”[6]
Jadi, jika dihitung menurut
perhitungan kita, masa penciptaan alam semesta adalah 6.000 tahun. Ini dipegang
oleh Ibnu ‘Abbas, Mujahid, ‘Ikrimah, Ibnu Jarir, Imam Ahmad, dan lainnya.
Adapun jumhur, mereka memahami seperti hari biasa, yaitu 6 hari dunia sebagaimana
hari-hari kita.
Al-Hafizh Ibnu Katsir (w. 774 H)
menjelaskan, “Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai maksud 6 hari ini
menjadi 2 pendapat. Jumhur berpendapat seperti hari-hari biasa kita. Adapun
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Mujahid, adh-Dhahhak, dan Ka’ab
al-Ahbar berpendapat bahwa masing-masing hari tersebut seperti seribu hari
menurut perhitungan manusia. Ini diriwayatkan Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, dan
pendapat ini dipilih Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitabnya ar-Ra’du ‘alal
Jahmiyyah, dan dipilih juga oleh Ibnu Jarir dan sekelompok ‘ulama
muta`akhkhirin (belakangan). Allahu a’lam.”[7]
Masa penciptaan alam semesta
hingga masa sekarang tidak sebanyak menurut klaim mereka. Perhatikan hadits
shahih berikut ini.
Sahal bin Sa’ad radhiyallahu
‘anhu berkata, “Aku melihat Nabi ﷺ bersabda sambil
berisyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah:
«بُعِثْتُ
[أَنَا] وَالسَّاعَةُ كَهَاتَيْنِ»
“Aku
diutus dalam keadaan jarak hari
Kiamat seperti jarak selisih dua jari
ini.”[8]
Jarak yang dimaksud adalah sisa
panjang antara jari tengah dan telunjuk jika disejajarkan merapat. Ibaratnya
panjang jari telunjuk adalah masa alam semesta hingga diutusnya Nabi ﷺ dan panjang jari tengah adalah masa alam
semesta hingga datangnya hari kiamat, ini pendapat Qatadah. Jika dipraktekan,
akan terlihat jari tengah memiliki kelebihan sedikit sekitar 10% dari jari
telunjuk. 10% inilah jarak hari Nabi Muhammad ﷺ diutus hingga
datangnya hari Kiamat.
Al-Hafizh an-Nawawi (w. 676 H)
menjelaskan, “Qatadah berpendapat maksudnya selisih jarak antara dua jari itu.
Ada pula yang berpendapat bahwa maksudnya adalah jarak pendek seperti (selisih)
jarak panjang dua jari, dan ada pula yang berpendapat sebagai isyarat dekatnya mujâwazah
(sisa waktu terjadinya hari Kiamat).”[9]
Al-Kirmani menjelaskan, “Maksud
hadits ini adalah masa sisa hari Kiamat dibanding dengan hari-hari yang telah
berlalu seperti sisa jari tengah dibanding jari telunjuk.”[10]
Jika 13,75 miliar sama dengan
90%, maka 100% adalah 15,3 miliar. Itu artinya hari Kiamat akan terjadi menurut
teori ini 15,3 - 13,75 = 1,5 miliar
tahun lagi. Meskipun datangnya hari Kiamat tidak ada yang tahu kecuali Allâh,
tetapi angka ini terlalu lama dengan beberapa alasan:
1.
Hari
Kiamat disifati Allâh dengan dekat baik di al-Qur`an maupun di hadits. Bahkan
tanda-tanda hari Kiamat sudah banyak
bermunculan semenjak diutusnya Nabi ﷺ hingga sekarang.[11]
2.
Malaikat
yang ditugasi meniup sangkalala hari Kiamat telah menempatkannya di mulutnya
dan siaga menunggu perintah Allâh sambil mendongak ke arah ‘Arsy.
3.
Prilaku
para shahabat dan ‘ulama yang takut terjadi hari Kiamat saat masih hidup, hal
ini karena dipahami hari Kiamat sudah dekat.
4.
Para
‘ulama sepakat akan dekatnya hari Kiamat bahkan sebagian memprediksinya (tanpa
meyakini kebenarannya) semisal Ibnu Jarir ath-Thabari dan Imam as-Suyuthi,
meskipun hal ini ditentang keras oleh para ‘ulama karena datangnya hari Kiamat
hanya Allâh semata yang tahu.
2. Benarkah
Langit Tercipta Sebelum Lainnya?
Teori Big Bang mengklaim
bumi tercipta bersamaan atau sebelum langit, matahari, dan benda angkasa
lainnya, artinya langit tercipta sebelum segala sesuatu. Ini adalah dugaan yang
keliru dan klaim yang tidak mendasar, karena
bertentangan dengan nash al-Qur`an, hadits, dan ijma’. Berikut
dalil-dalilnya:
1.
Al-Qur`an
menginformasikan bumi lebih dulu diciptakan daripada langit:
«قُلْ
أَئِنَّكُمْ لَتَكْفُرُونَ بِالَّذِي خَلَقَ الْأَرْضَ فِي يَوْمَيْنِ
وَتَجْعَلُونَ لَهُ أَنْدَادًا ذَلِكَ رَبُّ الْعَالَمِينَ (٩) وَجَعَلَ فِيهَا
رَوَاسِيَ مِنْ فَوْقِهَا وَبَارَكَ فِيهَا وَقَدَّرَ فِيهَا أَقْوَاتَهَا فِي
أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ سَوَاءً لِلسَّائِلِينَ (١٠) ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ
وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلْأَرْضِ ائْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا
قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ (١١) فَقَضَاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ فِي يَوْمَيْنِ وَأَوْحَى فِي
كُلِّ سَمَاءٍ أَمْرَهَا وَزَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ
وَحِفْظًا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ»
“Katakanlah,
apakah kalian benar-benar kafir kepada Yang telah menciptakan bumi dalam
dua hari dan kalian menjadikan tandingan-tandingan bagi-Nya. Dialah Rabb
semesta alam. Dia jadikan gunung-gunung di atasnya dan memberkahinya serta
menentukan kadar makanan (penghuninya) dalam empat hari, sebagai jawaban bagi
orang-orang yang bertanya. Kemudian Dia menuju[12] kepada langit saat
berupa asap, lalu Dia berfirman kepadanya dan bumi, ‘Datanglah kalian
berdua dengan patuh atau terpaksa.’ Keduanya menjawab, ‘Kami datang dalam
keadaan patuh.’ Kemudian Dia menciptakannya tujuh langit dalam dua hari
dan mewahyukan pada setiap langit urusannya. Kami hiasi langit dunia dengan
bintang-bintang dan sebagai penjaga. Demikianlah ketentuan yang Maha Perkasa
lagi Maha Mengetahui.”[13]
Allâh subhanahu wa ta’ala
mengabarkan bahwa Dia menciptakan bumi kemudian menciptakan langit
saat berupa asap untuk diciptakan darinya. Hal ini menunjukkan penciptaan bumi
sebelum langit.
Al-Hafizh Ibnu
Katsir menjelaskan ayat ini, “Ayat ini menunjukkan bahwa bumi tercipta sebelum
langit, karena bumi seperti pondasi dari sebuah bangunan.”[14]
2.
Nabi ﷺ mengabarkan bukan langit yang pertama kali
diciptakan:
«إِنَّ
أَوَّلَ شَيْءٍ خَلَقَهُ اللَّهُ الْقَلَمَ وَأَمَرَهُ فَكَتَبَ كُلَّ شَيْءٍ»
“Sesungguhnya
yang pertama kali Allâh ciptakan adalah pena. Dia memerintahkannya untuk
menulis (takdir) segala-sesuatu.”[15]
Adapun lamanya adalah 50.000
tahun sebelum penciptaan langit dan bumi, berdasarkan sabda Nabi ﷺ:
«كَتَبَ
اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ
بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ، وَعَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ»
“Allâh
menentukan takdir semua makhluk 50.000 tahun sebelum menciptakan langit-langit
dan bumi, dan ‘Arsy-Nya di atas air.”[16]
Imam as-Suyuthi (w. 911 H)
menjelaskan sabda “‘Arsy-Nya di atas air”, “Maksudnya, sebelum
menciptakan langit-langit dan bumi.”[17]
Dengan uap air yang menjadi asap
inilah Allâh menciptakan langit, berdasarkan hadits marfu’ Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma:
«وَكَانَ
عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ فَارْتَفَعَ بُخَارُ الْمَاءِ فَفُتِقَتْ مِنْهُ
السَّمَاوَاتُ»
“Dan
‘Arsy-Nya di atas air, lalu uap airnya naik lalu dari itu terbentuk
langit-langit.”[18]
‘Arsy lebih dahulu diciptakan
daripada pena takdir, sebagaimana riwayat bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma berkata:
إِنَّ اللَّهَ - جَلَّ ذِكْرُهُ - خَلَقَ الْعَرْشَ فَاسْتَوَى
عَلَيْهِ، ثُمَّ خَلَقَ الْقَلَمَ فَأَمَرَهُ أَنْ يَجْرِيَ بِإِذْنِهِ
“Sesungguhnya Allâh subhanahu
wa ta’ala menciptakan ‘Arsy lalu tinggi di
atasnya, kemudian menciptakan pena lalu memerintahkannya untuk berjalan dengan
seizin-Nya.”[19]
Penjelasan ini sekaligus
membantah anggapan mereka bahwa sebelum peristiwa Big Bang belum ada
materi dan energi.
3. Benarkah
Bumi Mengelilingi Matahari?
Mereka mengklaim bahwa bumi
mengelilingi matahari karena bumi terbuat dari pecahan matahari. Ini tidaklah
benar karena bertentangan dengan nash syar’i yang justru menyatakan
kebalikannya, yaitu matahari mengelilingi bumi. Ada lima alasan untuk menjawab
hal ini:
Pertama, bumi ini diam sehingga tidak mungkin bergerak mengelilingi
matahari. Allâh subhanahu wa ta’ala berfirman:
«وَمِنْ
آيَاتِهِ أَنْ تَقُومَ السَّمَاءُ وَالْأَرْضُ بِأَمْرِهِ»
“Dan di
antara tanda-tanda-Nya adalah langit dan bumi qiyam dengan
perintah-Nya.”[20]
Secara bahasa fi’il (تَقُومَ) berasal dari masdar (القِيَامُ) yang artinya berdiri atau diam. Ibnu
Manzhur menyebutkan makna qiyâm adalah diam/tetap (العَزْمُ). Setelah menyebutkan sya’ir-sya’ir
penguat makna ini, beliau melanjutkan, “Qiyâm bermakna diam dan tetap (الْوُقُوفُ
وَالثَّبَاتُ). Jika dikatakan
kepada orang yang berjalan (قِفْ لِي) artinya tetaplah di
tempatmu hingga aku datang kepadamu. Begitu pula (قُم لِي) maksudnya sama dengan (قِفْ
لِي). Inilah tafsir firman Allâh subhanahu
wa ta’ala:
«وَإِذا
أَظْلَمَ عَلَيْهِمْ قامُوا»
‘Dan
apabila kegelapan meliputi mereka, mereka qiyâm.’[21]
Para ahli bahasa dan tafsir
memaknai “mereka qiyâm” di sini adalah mereka berhenti dan tetap di
tempatnya, tidak maju dan tidak mundur.”[22]
Al-Fairuz Abadi menyebutkan
beberapa penggunaan qiyâm. Jika digunakan untuk air artinya beku, jika untuk
urusan artinya adil, jika untuk binatang artinya berhenti. Dari situ muncul
lafazh (المَقامُ) artinya tempat meletakkan telapak kaki.[23]
Semua arti ini menunjukkan bahwa
makna ayat di atas adalah langit dan bumi diam dan tetap di tempatnya. Para
‘ulama juga berpendapat demikian dalam menafsirkan ayat ini. Al-Hafizh Ibnu
Katsir dan Ibnul Jauzi menafsirkannya, “Berdiri tetap,” dan “Senantiasa diam.”[24]
Al-Qurthubi menafsirkan, “Maksudnya berdirinya dan diamnya karena kekuasaan-Nya
meskipun tanpa tiang,”[25]
dan yang semisal ini disampaikan oleh ahli bahasa kenamaan al-Farra`,
“Senantiasa diam karena perintah-Nya meskipun tanpa tiang.”[26]
Kedua, justru nash syar’i menyebutkan kebalikannya, yakni mataharilah
yang mengelilingi bumi. Bukti-buktinya sangatlah jelas, dan kami rangkum dalam
tiga poin berikut:
1.
Allâh subhanahu
wa ta’ala mengisyaratkan matahari mengelilingi bumi, seperti firman-Nya:
«قَالَ
إِبْرَاهِيمُ فَإِنَّ اللَّهَ يَأْتِي بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا
مِنَ الْمَغْرِبِ»
“Ibrahim
berkata, ‘Sesungguhnya Allâh mendatangkan matahari dari timur, maka datangkanlah
(wahai Namrud) ia dari barat!’”[27]
Sisi pendalilannya, seandainya
yang bergerak bumi tentulah yang dikatakan Ibrahim kepada raja Namrud,
“Sesungguhnya Allâh menggerakkan bumi ke arah barat matahari, maka datangkanlah
ia dari arah timur matahari!’ Ini menunjukkan bahwa matahari yang berputar
mengelilingi bumi.
Juga firman Allâh subhanahu
wa ta’ala:
«فَلَمَّا
رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَذَا رَبِّي هَذَا أَكْبَرُ فَلَمَّا أَفَلَتْ
قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ»
“Maka
tatkala dia (Ibrahim) melihat matahari terbit, dia berkata, ‘Inilah Rabb-ku.
Ini lebih besar.’ Namun, tatkala dia (matahari) terbenam (أَفَلَتْ), dia berkata, ‘Wahai kaumku,
sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian sekutukan.’”[28]
Sisi pendalilannya, tatkala
Allâh menjadikan matahari terbenam, ini menunjukkan yang terbenam adalah dzat
mataharinya bukan panasnya, bayangannya, atau sinarnya, karena tidak ada qarinah
(indikasi) yang memalingkan kepada hal-hal tersebut. Demikian itu adalah kaidah
dasar nahwu yang disepakati seluruh ahli bahasa ‘Arab. Misalkan ungkapan
“Muhammad datang” (جَاءَ مُحَمَّدٌ), maka dipahami yang
datang diri Muhammad, bukan ayahnya, suratnya, kendaraannya, atau lainnya.
Tidak boleh makna ini dibawa ke makna lainnya kecuali adanya qarinah
(misalkan badal isytimal) yang menghalangi dari makna sebenarnya,
contohnya “Muhammad datang, suratnya” (جَاءَ مُحَمَّدٌ
رِسَالَتُهُ). Di sini dipahami
yang datang suratnya bukan diri Muhammad karena adanya qarinah berupa badal
isytimal.
2.
Nabi
Muhammad ﷺ juga mengisyaratkan matahari yang bergerak
mengelilingi bumi, misalkan sabda beliau ﷺ:
«غَزَا
نَبِيٌّ مِنَ الأَنْبِيَاءِ، فَقَالَ لِقَوْمِهِ: لاَ يَتْبَعْنِي رَجُلٌ مَلَكَ
بُضْعَ امْرَأَةٍ، وَهُوَ يُرِيدُ أَنْ يَبْنِيَ بِهَا، وَلَمَّا يَبْنِ بِهَا،
وَلاَ أَحَدٌ بَنَى بُيُوتًا وَلَمْ يَرْفَعْ سُقُوفَهَا، وَلاَ أَحَدٌ اشْتَرَى
غَنَمًا أَوْ خَلِفَاتٍ وَهُوَ يَنْتَظِرُ وِلاَدَهَا، فَغَزَا فَدَنَا مِنَ
القَرْيَةِ صَلاَةَ العَصْرِ أَوْ قَرِيبًا مِنْ ذَلِكَ، فَقَالَ لِلشَّمْسِ:
إِنَّكِ مَأْمُورَةٌ وَأَنَا مَأْمُورٌ اللَّهُمَّ احْبِسْهَا عَلَيْنَا،
فَحُبِسَتْ حَتَّى فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ»
“Seorang
nabi berperang. Dia berkata kepada kaumnya, ‘Tidak boleh mengikutiku seseorang
yang memiliki istri dan ingin menggaulinya tetapi belum sempat menggaulinya,
tidak pula seseorang yang membangun rumah dan belum memasang atapnya, dan tidak
pula seseorang yang membeli domba atau unta bunting dan sedang menunggu
kelahiran anaknya.’ Dia pun pergi berperang dan mendekat ke sebuah desa untuk
shalat ‘Ashar, atau lebih dekat lagi. Dia berkata kepada matahari,
‘Sesungguhnya kamu diperintah dan aku pun diperintah. Ya Allâh tahanlah ia dari
kami!’ Lalu dia ditahan sehingga Allâh memberi kemenangan kepadanya.’”[29]
Dalam riwayat lain:
«أَيَّتُهَا
الشَّمْسُ إِنَّكِ مَأْمُورَةٌ وَأَنَا مَأْمُورٌ بِحُرْمَتِي عَلَيْكِ، إِلَّا
رَكَدْتِ سَاعَةً مِنَ النَّهَارِ»
“Wahai
matahari, sesungguhnya kamu diperintah dan aku pun diperintah. Karena
kehormatanku atasmu, berhentilah sejenak dari siang hari.”[30]
Dalam hadits ini jelas sekali,
Nabi Yusya’ bin Nun ‘alahissalam meyakini matahari yang bergerak
berputar sehingga terjadi malam dan siang. Aturan perang waktu itu, jika
matahari telah tenggelam perang berhenti, padahal keadaan waktu itu sedang
berpihak kepada Nabi Yusya’ dan kaumnya sedikit lagi. Seandainya bumi yang
bergerak, tentulah beliau akan berdo’a, “Ya Allâh tahanlah gerakan bumi,” atau,
“Hai bumi, berhentilah sesaat agar aku bisa menuntaskan peperangan.
Sesungguhnya kamu berputar karena perintah Allâh dan aku pun berperang karena
perintah Allâh!” Ini menunjukkan bahwa mataharilah yang mengelilingi bumi.
Ketiga, hal ini (bumi diam, tidak mengelilingi matahari) merupakan
pendapat jumhur ‘ulama seperti Imam al-Isfirayini, Ibnu Hazm, Syaikhul Islam,
Ibnul Qayyim, al-Hafizh Ibnu Hajar, Syaikh Bin Baz, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin,
Syaikh ad-Duwais, dan lain-lain. Bahkan, al-Qurthubi menukil bahwa paham ini
juga diyakini ahli kitab zaman dulu, sebagaimana ucapan beliau, “Yang diyakini
umat Islam dan ahli kitab adalah pendapat bahwa bumi berhenti, diam, dan
terhampar. Sementara gerakannya biasanya terjadi karena gempa.”[31]
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Di sini terdapat penjelasan bahwa matahari
beredar setiap hari dan malam. Ini jelas sekali bertentangan dengan klaim para
astronom.”[32]
Keempat, akal sehat menolak bumi mengelilingi matahari. Seandainya memang
bumi berputar mengelilingi matahari dengan kecepatan 107.500 km/jam, itu
artinya sama dengan 39 kali lipat kecepatan pesawat tempur tercepat dunia
MIG29M yang hanya mampu melaju 2.750 km/jam. Seandainya benar demikian,
niscaya tidak akan ada lagi kehidupan di dunia karena semua benda terpental,
berbenturan, atau minamal penuh goncangan. Mengapa hal ini tidak terjadi jika
memang bumi berputar revolusi? Masih ingatkah gempa di Jepang beberapa tahun
lalu yang hanya beberapa skala ritcher mampu meluluhlantahkan negeri sakura
tersebut? Masih ingatkah gempa Tsunami yang meluapkan air laut ke daratan Aceh,
padahal hanya benturan “ringan” antar lempengan dasar laut? Lantas, bagaimana
jadinya jika gerakan bumi lebih besar dari itu?
Andai benar bumi melakukan
gerakan revolusi, pastilah orang yang melompat tidak akan jatuh tepat di
bawahnya, tetapi bergeser jauh ke arah berlawanan dengan arah gerak revolusi
bumi. Juga, pastilah pesawat terbang dari Saudi menuju Indonesia tidak akan
bisa kembali ke Saudi, begitu juga sebaliknya, minimal salah satu tempat
ditempuh lebih cepat dan tempat lainnya ditempuh lebih dekat, tetapi kenyataan
berbicara lain, yaitu jarak Saudi – Indonesia sama tidak berubah sesuai dengan
kecepatan pesawat terbangnya. Juga, pastilah pesawat ruang angkasa yang lepas
landas tidak akan bisa kembali ke landasannya semula.
Kata mereka, “Benda-benda bumi
tidak terpental karena bumi memiliki gaya gravitasi dan gaya sentrifugal yang
menarik benda-benda di sekitarnya.” Kita jawab, seberapa besar gaya gravitasi
bumi hingga mampu menarik semua benda tetap di atasnya atau tertarik ke
intinya? Jika benar demikian, pastilah orang tidak akan mampu melompat bahkan
sekedar mengangkat kaki kanannya; pastilah pesawat terbang tidak akan mampu terbang; pastilah pesawat ruang angkasa
tidak akan mampu lepas landas, terutama pesawat ruang angkasa yang keluar dari
orbit gravitasi bumi seperti pesawat satelit.
Penjelasan yang cukup meretakkan
taring kesombongan Barat adalah penjelasan Fakhruddin ar-Razi dalam tafsirnya
saat menafsirkan firman Allâh subhanahu wa ta’ala:
«الَّذِي
جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً»
“Yang
telah menjadikan bumi untuk kalian sebagai hamparan dan langit sebagai atap.”[33]
Ar-Razi berkata, “Ketahuilah,
sesungguhnya Allâh subhanahu wa ta’ala di sini menyebutkan bahwa bumi
sebagai hamparan. Yang semakna dengan ayat ini adalah, ‘Dan siapakah yang
menjadikan bumi sebagai tempat menetap dan menjadikan celah-celahnya sebagai
sungai,’[34] juga, ‘Dia-lah yang
menjadikan bumi untuk kalian sebagai hamparan.’[35]
Ketahuilah bahwa keberadaan bumi sebagai hamparan harus terpenuhi beberapa
syarat. Syarat pertama adalah bumi harus diam. Seandainya dia bergerak, tentu
akan bergerak lurus atau berputar. Seandainya bergerak lurus, bumi tidak
mungkin bisa dijadikan hamparan untuk kita, karena orang yang melompat dari
tempat tinggi mustahil jatuh ke bumi karena bumi ke bawah dan orang itu juga ke
bawah, sementara bumi lebih berat daripada manusia. Jika dua benda jatuh maka
yang paling berat lebih cepat dari satunya, dan yang lambat tidak akan bisa
mencapai yang cepat. Sehingga mustahil seseorang sampai ke tanah. Hal ini
menetapkan bahwa seandainya bumi bergerak tidak akan menjadi hamparan.
Adapun seandainya bumi bergerak
putar, niscaya bumi tidak bisa dimanfaatkan sama sekali. Misalkan gerakan bumi
ke arah timur dan seseorang ingin bergerak ke arah barat, pasti gerakan bumi
yang lebih cepat itu menyebabkannya tetap di tempatnya dan tidak mungkin
mencapai tempat yang dituju. Oleh karena itu, tatkala orang tersebut
kenyataannya mencapai tujuannya, kita pun mengetahui bahwa bumi itu tidak
bergerak, baik gerak lurus maupun gerak putar, tetapi diam.”[36]
Kelima, yang unik di sini bahwa di dalam al-Qur`an Allâh subhanahu wa
ta’ala selalu menggandengkan antara matahari dengan bulan (minimal 15
kali), dan menggandengkan antara langit dengan bumi (minimal sebanyak 148
kali), tetapi tidak pernah antara matahari dengan bumi sekalipun. Ini
mengisyaratkan bahwa matahari berputar sebagaimana bulan berputar, dan bumi
diam sebagaimana langit diam.
Keberadaan bumi sebagai pusat
tata surya dan matahari mengelilinginya bukanlah hal aneh, sebab di bumi
terdapat orang-orang shalih, Ka’bah, masjid, bahkan para nabi dan rasul yang
merupakan kekasih Allâh. Apakah aneh jika Allâh subhanahu wa ta’ala
memuliakan bumi dengan dijadikannya pusat tata surya kita dan semua benda
langit mengelilinginya karena keberadaan para kekasih-Nya? Adapun para penyembah
matahari dan kaum paganisme, mereka sangat senang dengan teori matahari sebagai
pusat tata surya dan bumi mengelilinginya, sebab hal itu secara tidak langsung
memuliakan tuhan mereka yang mahapanas itu. Asal Anda tahu bahwa pencetus teori
heliosentris (matahari sebagai pusat tata surya dan seluruh benda langit mengelilinginya) adalah para
penyembah berhala. Pencetus pertama teori heliosentris adalah Pythagoras.
Setelah 12 abad terpendam, dihidupkan kembali oleh Copernicus. Tak ketinggalan
Galileo yang mengkampanyekan teori ini hingga menjagat dunia. Mereka juga
meyakini bahwa alam semesta ada dengan sendirinya, alias ateis alias menginkari
Allâh Rabbul ‘Alamin. Wal’iyâdzubillah! Pahamilah!
Jika ada yang menyanggah, “Apa
yang Anda sampaikan bertentangan dengan fakta ilmiah dalam ilmu pengetahuan
sains. Semua teori sains yang Anda bantah telah dibuktikan kebenarannya. Ini
menunjukkan kebatilan bantahan Anda!”
Ini sanggahan yang bagus tetapi
perlu didudukkan. Izinkan kami untuk menyanggahnya pula dengan dua renungan
berikut:
1.
Apakah
penelitian mereka pasti benar dan tidak bisa digangu gugat? Apakah akal manusia
sempurna tanpa cacat atau menyamai ilmu Allâh? Sekali-kali tidak. Sesuatu
dikatakan kepastian (benar, jujur, dan tepat sehingga diterima persaksiannya/ klaimnya) jika terpenuhi tiga syarat: [1] pernah melihat dengan
kedua matanya langsung, [2] mengetahui alam ghaib atau sakti mandraguna, atau
[3] mendengar kabar dari wahyu. Jika mereka mengklaim termasuk yang pertama,
maka kita dustakan karena mereka mustahil keluar dari tata surya lalu melihat
dengan pandangan mereka sendiri bahwa semua benda langit mengelilingi matahari.
Jika mereka mengklaim termasuk yang kedua, maka persaksian mereka tertolak
dengan sendirinya karena dukun, paranormal, tukang sihir yang bekerjasama
dengan jin, atau setan yang berubah wujud manusia tertolak persaksiannya. Jika
mereka mengklaim termasuk yang ketiga, maka kita katakan, “Teori mereka justru
bertentangan dengan wahyu.”
2.
Al-Qur`an
dan as-Sunnah tidak
mungkin salah, dan apakah para ‘ulama ceroboh saat berbicara tentang masalah
keghaiban dan masalah besar? Sekali-kali tidak. Mahasuci Allâh atas apa yang
mereka sifatkan.
4. Langit Mengembang dan Bagaikan Lembaran Kertas
Pembahasan berikutnya. Pada
tahun 1929 Astronom Amerika Serikat, Edwin Hubble melakukan observasi dan
mengamati galaksigalaksi bergerak menjauhi kita dengan kecepatan yang tinggi.
Ia juga mengamati jarak antara galaksi-galaksi bertambah setiap saat. Penemuan
Hubble ini menunjukkan bahwa alam semesta kita tidaklah statis seperti yang
dipercaya sejak lama, namun bergerak mengembang. Kemudian hal ini menimbulkan
suatu perkiraan bahwa alam semesta bermula dari pengembangan di masa lampau.
Mari kita bandingkan penemuan
ini dengan ayat al-Qur`an:
«وَالسَّمَاءَ
بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ»
“Dan
langit Kami bangun dengan kekuasaan
Kami dan Kami benar-benar meluaskannya.”[37]
Ash-Shabuni menjelaskan,
“Maksudnya, Kami benar-benar meluaskan penciptaan langit, sehingga bumi beserta yang meliputinya baik udara dan
air bagaikan gelang kecil di padang luas, sebagaimana yang tercantum di banyak
hadits. Ibnu ‘Abbas menjelaskan tafsir ‘Kami benar-benar meluaskannya’
yaitu kemampuan, yakni Kami benar-benar mampu meluaskannya.”[38]
Allâh subhanahu wa ta’ala
juga berfirman:
«اللَّهُ
الَّذِي رَفَعَ السَّمَاوَاتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا»
“Allâh-lah
yang telah meninggikan langit-langit tanpa tiang seperti yang kalian lihat.”[39]
Al-‘Allamah as-Sa’di (w. 1376 H)
menjelaskan, “Allâh-lah yang meninggikannya dengan membesarkannya dan
meluaskannya dengan kemahaagungan-Nya ‘tanpa tiang seperti yang kalian
lihat,’ yakni langit tidak bertiang dari bawahnya, karena seandainya
bertiang tentulah kalian akan melihatnya.”[40]
“Meninggikannya”
mengisyaratkan bahwa langit itu semakin tinggi, jauh, luas, dan
mengembang. Para ilmuwan mengilustrasikan pengembangan ini seperti bola yang
ditiup atau roti yang mengembang. Namun, ilustrasi yang lebih tepat adalah
seperti balon udara yang mengembang. Pendapat yang benar dan shahih menurut
al-Qur`an dan Sunnah adalah langit itu bulat sebagaimana bumi bulat.
Dalil-dalilnya sebagai berikut:
1.
Al-Qur`an
mengisyaratkan langit itu bulat sebagaimana firman-Nya:
«لَا
الشَّمْسُ يَنْبَغِي لَهَا أَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا اللَّيْلُ سَابِقُ
النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ»
“Tidak
layak bagi matahari untuk mendapati bulan dan tidak mungkin malam mendahului
siang. Masing-masing beredar (berputar) pada falak (garis edarnya/ langit).”[41]
Sisi pendalilannya, keadaan
sesuatu (bulan dan matahari) berputar pada sesuatu (langit) menunjukkan
kebulatannya. Al-Hasan al-Bashri (w. 110 H) menjelaskan ayat ini, “Yakni
berputar.” Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menafsirkan (فَلَكٍ) seperti (فَلْكَةِ الْمِغْزَلِ), yaitu kayu berbentuk bulat yang
digunakan untuk menenun kain.[42]
Juga firman Allâh subhanahu
wa ta’ala:
«وَجَعَلْنَا
السَّمَاءَ سَقْفًا مَحْفُوظًا وَهُمْ عَنْ آيَاتِهَا مُعْرِضُونَ»
“Dan Kami
jadikan langit sebagai atap yang terjaga, sementara mereka berpaling dari ayat-ayat
(tanda-tanda) Kami.”[43]
Sisi pendalilannya, sesuatu
dikatakan atap jika menaungi di bawahnya secara keseluruhan menyesuaikan
bentuknya. Oleh karena bumi (yang diatapi) itu bulat, maka langit (atap) pun
bulat. Yang mengejutkan di sini, seolah ayat “sementara mereka berpaling
dari ayat-ayat (tanda-tanda) Kami” mengisyaratkan bahwa nanti akan ada
manusia yang menentang kebenaran ayat ini, yaitu orang-orang kafir, karena
konteks ayat dan ayat sebelumnya membicarakan orang kafir.
2.
Sabda
Nabi ﷺ mengisyaratkan demikian:
«إِنَّ
اللَّهَ فَوْقَ عَرْشِهِ، فَوْقَ سَمَوَاتِهِ، وَسَمَوَاتُهُ فَوْقَ أَرَضِيهِ
مِثْلُ الْقُبَّةِ»
“Sesungguhnya
Allâh di atas ‘Arsy-Nya, di atas langit-langit-Nya, di atas bumi-bumi-Nya,
bagaikan kubah.”[44]
Sisi pendalilannya, ‘Arsy yang
menaungi langit seperti kubah sehingga langit pun bulat. Ini pendapat Syaikhul
Islam. Adapun perbandingan ‘Arsy dengan langit dan bumi, terdapat dalam hadits
yang masih diperselisihkan keabsahannya:
«مَا
السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ مَعَ الْكُرْسِيِّ إِلَّا كَحَلْقَةٍ مُلْقَاةٍ بِأَرْضٍ
فَلَاةٍ وَفَضْلُ الْعَرْشِ عَلَى الْكُرْسِيِّ كَفَضْلِ الْفَلَاةِ عَلَى
الْحَلْقَةِ»
“Tidaklah
langit yang tujuh dibanding Kursi melainkan seperti gelang yang dilempar di
tanah lapang. Besarnya ‘Arsy dibanding Kursi seperti besarnya tanah lapang
dibanding gelang tersebut.”[45]
3.
Ijma’ para ‘ulama. Al-Hafizh Ibnu Katsir (w. 774 H)
berkata, “Ibnu Hazm, Ibnul Munadi, Abu Faraj Ibnul Jauzi, dan ‘ulama lainnya
menukil ijma’ bahwa langit bulat.”[46]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
(w. 728 H) berkata, “Telah tsabit dari al-Qur`an, as-Sunnah, dan ijma’
‘ulama bahwa langit itu bulat.”[47]
4.
Telah
masyhur di kalangan ahli bahasa bahwa (الْفَلَكُ) bermakna sesuatu yang bulat.[48]
Ilmuwan menyatakan bahwa alam
semesta berkembang terus-menerus, tetapi dengan kelajuan yang semakin kecil dan
semakin kecil, meskipun tidak benar-benar mencapai nol. Hal ini menyebabkan
suatu saat alam semesta akan mengalami penyusutan seperti balon yang dilipat
atau digulung. Mungkin inilah keadaan hari Kiamat yang diyakini umat Islam.
Mari kita bandingkan penemuan
ini dengan ayat al-Qur`an:
«يَوْمَ
نَطْوِي السَّمَاءَ كَطَيِّ السِّجِلِّ لِلْكُتُبِ كَمَا بَدَأْنَا أَوَّلَ خَلْقٍ
نُعِيدُهُ وَعْدًا عَلَيْنَا إِنَّا كُنَّا فَاعِلِينَ»
“(Ingatlah)
pada hari Kami melipat (menggulung) langit seperti melipat (menggulung)
lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami yang mengawali penciptaan pada kali
pertama, Kami pun akan mengulanginya kembali (penciptaanya), sebagai janji atas
Kami dan Kami benar-benar akan melakukannya.”[49]
5. Gunung Sebagai Pasak
Pembahasan berikutnya. Dalam
al-Qur`an, Allâh menjadikan gunung sebagai pasak (pondasi). Maklumnya, pasak
berfungsi untuk menjadikan sebuah bangunan seimbang dan tidak goncang atau
roboh.
Allâh subhanahu wa ta’ala
berfirman:
«وَأَلْقَى
فِي الْأَرْضِ رَوَاسِيَ أَنْ تَمِيدَ بِكُمْ وَأَنْهَارًا وَسُبُلًا لَعَلَّكُمْ
تَهْتَدُونَ»
“Dan Dia
memasang rawâsî di dalam bumi agar ia tidak bergoncang bersama kalian,
juga sungai-sungai dan jalan-jalan agar kalian mendapat petunjuk.”[50]
Al-Hafizh Ibnul Jauzi (w. 597 H)
menjelaskan makna rawâsî sebagai jibâl (gunung-gunung) dan ini
juga pendapat ahli bahasa terkenal az-Zujaj. Al-Hafizh berkata, “Maksudnya,
Kami memasang di dalamnya gunung-gunung yang kokoh agar ia tidak goncang.”[51]
Nabi ﷺ bersabda:
«لَمَّا
خَلَقَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ الْأَرْضَ، جَعَلَتْ تَمِيدُ، فَخَلَقَ الْجِبَالَ،
فَأَلْقَاهَا عَلَيْهَا فَاسْتَقَرَّتْ»
“Tatkala
Allâh ‘azza wa jalla menciptakan bumi, ia berguncang. Lalu Dia menciptakan
gunung-gunung lalu dipancangkan di atasnya sehingga bumi jadi tenang.”[52]
Lantas, apa pendapat ilmuwan
tentang gunung? Mereka menemukan fenomena yang tidak terduga sebelumnya bahwa
gunung yang menjulang tinggi itu kalah jauh dengan akarnya yang menjulang ke
bumi. Dan seandainya bukan karena akar ini, bumi akan sering bergoncang karena
di dasar bumi terdapat cairan yang sangat panas dan mendidih. Cairan ini tetap
stabil karena tekanan panasnya dikeluarkan lewat gunung-gunung ke
lempengan-lempengan atau diletuskan.
Para ilmuwan juga menjelaskan
bahwa fungsi gunung bagi bumi adalah ibarat sebuah paku yang menjadikan
lembaran kayu tetap saling menyatu. Gunung
muncul karena tumbukan lempengan-lempengan raksasa yang membentuk kerak
bumi. Ketika dua lempengan bertumbukan, lempengan yang lebih kuat menyelip ke
bawah sedangkan lempengan yang lemah
melipat ke atas membentuk dataran tinggi dan gunung. Lapisan bawah bergerak di
bawah permukaan dan membentuk perpanjangan yang dalam ke bawah. Ini berarti
gunung mempunyai bagian yang menghujam jauh ke bawah yang tak kalah besarnya
dengan yang tampak di permukaan bumi. Dengan perpanjangan yang menghujam jauh
ke dalam maupun ke atas permukaan bumi, gunung-gunung menggenggam
lempengan-lempengan kerak bumi yang berbeda, layaknya pasak. Kerak bumi terdiri
atas lempengan-lempengan yang senantiasa dalam keadaan bergerak. Fungsi pasak
dari gunung ini mencegah guncangan dengan cara memancangkan kerak bumi yang
memiliki struktur sangat mudah bergerak.[53]
Allâh subhanahu wa ta’ala
mengabarkan fungsi gunung dalam firman-Nya:
«أَلَمْ
نَجْعَلِ الْأَرْضَ مِهَادًا (٦) وَالْجِبَالَ أَوْتَادًا»
“Bukankah
Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan? Dan gunung-gunung sebagai
pasak?”[54]
Diduga bahwa magma yang berhasil
ditenangkan gunung ini sebagian berasal dari magma yang berada di kerak bumi,
yang seolah-olah di dasar laut ada api.
Pada pertengahan tahun 1990-an,
dua ahli geologi berkebangsaan Rusia,
Anatol Sbagovich dan Yuri Bagdanov bersama rekannya ilmuwan Amerika Serikat,
Rona Clint pernah melakukan penelitian tentang kerak bumi dan patahannya di
dasar laut.
Para ilmuwan tersebut, menyelam
ke dasar laut sedalam 1.750 kilometer di lepas pantai Miami. Sbagovich bersama
kedua rekannya menggunakan kapal selam canggih yang kemudian beristirahat di
batu karang dasar laut. Di dasar laut itulah, mereka dikejutkan dengan fenomena
aliran air yang sangat panas mengalir ke arah retakan batu. Kemudian aliran air
itu disertai dengan semburan lava cair panas menyembur layaknya api di daratan,
juga disertai dengan debu vulkanik layaknya asap kebakaran di daratan. Panasnya
suhu api vulkanis di dalam air tersebut ternyata mencapai 231 derajat celcius.
Bagaimana api bisa bertahan di
dalam laut? Mereka menemukan fakta bahwa fenomena alam itu terjadi akibat
aliran lava vulkanis yang terjadi di dasar laut, layaknya gunung api bila di
daratan. Dan kemudian mereka menemukan lebih banyak lagi gunung api aktif di
bawah laut, yang tersebar di seluruh lautan.[55]
Setelah Perang Dunia II, para
ilmuwan melakukan ekspedisi bawah laut
dalam rangka mencari alternatif berbagai barang tambang yang sudah nyaris habis
cadangannya di daratan akibat konsumerisme budaya materialistik yang dijalani
manusia sekarang ini. Mereka dikejutkan dengan rangkaian gunung berapi (volcanic
mountain chain) yang membentang berpuluh-puluh ribu kilometer di
tengah-tengah seluruh samudera bumi yang kemudian mereka sebut sebagai
‘gunung-gunung tengah samudera.’
Dengan mengkaji rangkaian
gunung-gunung tengah samudera ini tampak jelas bahwa gunung-gunung tengah
samudera tersebut sebagian besar terdiri dari bebatuan berapi (volcanic
rocks) yang dapat meledak layaknya ledakan gunung berapi yang dahsyat
melalui sebuah jaring retak yang sangat besar. Jaring retak ini dapat merobek
lapisan bebatuan bumi dan ia melingkupi bola bumi kita secara sempurna dari
segala arah dan terpusat di dalam dasar samudera dan beberapa
lautan, sedangkan kedalamannya mencapai 65 km. Kedalaman jaring retak ini
menembus lapisan bebatuan bumi secara penuh hingga menyentuh lapisan lunak bumi
(lapisan bumi ketiga) yang memiliki unsur bebatuan yang sangat elastis, semi
cair, dan memiliki tingkat kepadatan dan kerekatan tinggi.
Bebatuan lunak ini didorong oleh
arus muatan yang panas ke dasar semua samudera dan beberapa lautan semacam Laut
Merah dengan suhu panas yang melebihi 1.000 derajat Celcius. Batuan-batuan
elastis yang beratnya mencapai jutaan ton ini mendorong kedua sisi samudera
atau laut ke kanan dan ke kiri yang kemudian disebut oleh para ilmuwan dengan
‘fenomena perluasan dasar laut dan samudera.’ Dengan terus berlangsungnya
proses perluasan ini, maka wilayah-wilayah yang dihasilkan oleh proses
perluasan itupun penuh dengan magma bebatuan yang mampu menimbulkan pendidihan
di dasar samudera dan beberapa dasar laut.
Salah satu fenomena yang
mencengangkan para ilmuwan saat ini adalah bahwa meskipun sebegitu banyak, air
laut atau samudera tetap tidak mampu memadamkan bara api magma tersebut. Dan
magma yang sangat panas pun tidak mampu memanaskan air laut dan samudera.
Keseimbangan dua hal yang berlawanan: air dan api di atas dasar samudera bumi,
termasuk di dalamnya Samudera Antartika Utara dan Selatan, dan dasar sejumlah
lautan seperti Laut Merah merupakan saksi hidup dan bukti nyata atas kekuasaan
Allâh subhanahu wa ta’ala yang tiada batas.
Laut Merah misalnya, merupakan laut
terbuka yang banyak mengalami guncangan gunung berapi secara keras sehingga
sedimen dasar laut ini pun kaya dengan beragam jenis barang tambang. Atas dasar
pemikiran ini, dilakukanlah proyek bersama antara Pemerintah Kerajaan Saudi
Arabia, Sudan, dan salah satu negara Eropa untuk mengeksploitasi beberapa
kekayaan tambang yang menggumpal di dasar Laut Merah.
Kapal-kapal proyek ini
melemparkan stapler barang tambang untuk mengumpulkan sampel tanah dasar Laut
Merah tersebut. Stapler pengeruk sampel tanah itu diangkat dalam batang air
yang ketebalannya mencapai 3.000 m. Dan jika stapler sampai ke permukaan kapal,
tidak ada seorang pun yang berani mendekat karena sangat panasnya. Begitu
dibuka, maka keluarlah tanah dan uap air panas yang suhunya mencapai 3.000
derajat Celcius. Dengan demikian, sudah terbukti nyata di kalangan ilmuwan
kontemporer, bahwa ledakan gunung vulkanik di atas dasar setiap samudera dan
dasar sejumlah laut jauh melebihi ledakan vulkanik serupa yang terjadi di
daratan.
Kemudian terbukti pula dengan
beragam dalil dan bukti bahwa semua air yang ada di bumi dikeluarkan oleh Allâh
subhanahu wa ta’ala dari dalam bumi melalui ledakan-ledakan vulkanik
dari setiap moncong gunung berapi. Pecahan-pecahan lapisan berbatu bumi
menembus lapisan ini hingga kedalaman tertentu mampu mencapai lapisan lunak
bumi. Di dalam lapisan lunak bumi dan lapisan bawahnya, magma vulkanik
menyimpan air puluhan kali lipat lebih banyak dibanding debit air yang ada di
permukaan bumi.
Dari sini tampaklah kehebatan
hadits Nabi ﷺ ini yang menetapkan sejumlah fakta-fakta
bumi yang mencengangkan dengan sabda, “Sesungguhnya di bawah lautan ada api
dan di bawah api ada lautan.” Sebab fakta-fakta ini baru terungkap dan baru
bisa diketahui oleh umat manusia pada beberapa tahun terakhir.[56]
Mari kita bandingkan penemuan
ini dengan ayat al-Qur`an:
«وَالْبَحْرِ
الْمَسْجُورِ»
“Demi
laut yang dibakar api.”[57]
Kebanyakan mufassir (ahli
tafsir) menafsirkan ayat ini tentang kejadian hari Kiamat bukan fenomena alam
sekarang. Yang
semakna dengan ini adalah firman
Allâh:
«وَإِذَا
الْبِحَارُ سُجِّرَتْ»
“Dan
apabila laut dibakar api.”[58]
‘Ali bin Abi Thalib bertanya
kepada seorang Yahudi, “Di mana Jahannam?” Dia menjawab, “Laut.” ‘Ali berkata,
“Aku memandangmu sebagai orang yang benar.” Kemudian ‘Ali membaca ayat, “Demi
laut yang dibakar api.”[59]
Boleh jadi
ayat ini juga mengandung hukum alam. Sangat mudah bagi Allâh menyempurnakan
kandungan Kalam-Nya. Apalagi ayat ini diletakkan setelah pembicaraan fenomena
alam, “Dan demi atap (langit) yang ditinggikan.” Juga ada hadits yang
berbunyi:
«إِنَّ
تَحْتَ الْبَحْرِ نَارًا، وَتَحْتَ النَّارِ بَحْرًا»
“Sesungguhnya
di bawah laut ada api dan di bawah api ada laut.”[60]
Syaraful Haq al-‘Adhimi al-Abadi
menjelaskan, “Ada yang berpendapat bahwa makna hadits ini adalah sesuai
zhahirnya (apa adanya) karena Allâh Mahakuasa atas segala sesuatu.”[61]
Cairan api yang sangat panas ini
diistilahkan para ilmuwan dengan magma. Inti Bumi yang sangat panas mengandung
magma yang berada di dalam perut bumi. Lapisan dalam inti bumi ini menyambung
lapisan lithosfer yang menyambung pada gunung-gunung berapi. Magma yang berasal
dari lapisan athenosfer akan menjadi lahar setelah dimuntahkan oleh gunung
berapi. Para ilmuwan memperkirakan temperatur inti bumi
antara 9.000 - 11.000 derajat Fahrenheit atau sekitar 5.000 - 6.000 derajat
Celcius. Sebagai perbandingan, air mendidih pada temperatur 100 derajat
Celcius. Magma yang super panas ini tidak membeku di dalam perut bumi karena
makin ke dalam perut bumi, tekanan dan suhu makin tinggi. Pada suhu yang tinggi
itu material-material akan meleleh sehingga material di bagian dalam bumi
berbentuk cair. Suhu tinggi ini yang mempertahankan cairan akan terus berbentuk
cair hingga jutaan tahun.
Ketika ada lubang keluar, cairan
ini keluar berbentuk lava cair. Ketika lava mencapai permukaan bumi, suhu
menjadi lebih dingin (dari ribuan derajat menjadi hanya sekitar 30 derajat).
Pada suhu ini cairan lava akan membeku membentuk batuan beku.
Mengapa cairan magma yang super
panas ini tidak sampai membakar permukaan bumi? Jawabannya, minimal karena dua
hal: diseimbangkan oleh gunung dengan cara dikeluarkan lewat letusannya, dan
struktur lithosfer (lapisan kerak bumi) yang tebal dan kuat. Jadi, manusia pada
hakikatnya ini sedang berjalan di atas lautan api yang sangat panas. Seandainya
Allâh berkehendak, Allâh akan membinasakan orang-orang yang sombong dan angkuh
dalam berjalan itu.
Mari kita bandingankan penemuan
ini dengan ayat al-Qur`an:
«وَلَا
تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الْأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ
الْجِبَالَ طُولًا»
“Dan
janganlah kamu berjalan di bumi dengan angkuh. Sesungguhnya kamu tidak akan
mampu melubangi bumi dan tinggimu tidak akan mampu mencapai gunung.”[62]
Firman-Nya, “kamu tidak akan
mampu melubangi bumi” seolah mengisyaratkan bahwa lapisan permukaan bumi
ini didesain kuat dan tebal oleh Allâh sehingga mustahil dilubangi oleh
hamba-hamba yang angkuh itu. Juga dengan hikmah-Nya agar tidak mampu ditembus
oleh magma yang super panas di dalam inti bumi sebagai bentuk kasih sayang-Nya
kepada para hamba-Nya.
Tentang “Kamu tidak akan
mampu melubangi bumi” ini, al-Hafizh Ibnul Jauzi (w. 597 H) menjelaskan,
“Ada dua pendapat. Yang pertama: ‘Kamu tidak akan mampu melintasi bumi hingga
ujungnya’ dan kedua: ‘Kamu tidak akan mampu menembus dan menggalinya.’”[63]
6. Sebuah Renungan
Apa yang kami sebutkan ini mengenai seputar Big Bang,
langit, matahari, dan bumi, jika masih terasa berat karena keyakinan dulu yang
sudah mendarah daging dan turun-temurun, sejujurnya kami tidak memaksa siapapun
untuk mengikutinya. Meskipun demikian, baiknya Anda
merenungi sifat-sifat orang beriman berikut ini. Mereka disebut beriman karena
mereka percaya dengan kabar-kabar dari Allâh meskipun belum pernah melihat
Allâh ataupun belum pernah menyaksikan sendiri kabar tersebut.
«إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا»
“Sesungguhnya
orang-orang beriman hanyalah orang-orang yang percaya kepada Allâh dan
Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu.”[64]
«إِنَّمَا
كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ
بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ
الْمُفْلِحُونَ»
“Sesungguhnya
ucapan orang-orang beriman apabila diseru kepada Allâh dan Rasul-Nya agar memutuskan
perkara di antara mereka adalah ucapan, ‘kami dengar dan kami taat,’ dan mereka
itulah orang-orang yang beruntung.”[65]
«وَمَا
كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ
يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا»
“Dan
tidak patut bagi orang beriman laki-laki dan perempuan apabila Allâh dan
Rasul-Nya telah memutuskan suatu perkara bahwa mereka memiliki pilihan lain
dari urusan mereka tersebut. Barangsiapa yang durhaka kepada Allâh dan
Rasul-Nya sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata.”[66]
[1] Lebih jelasnya bisa dilihat di
http://id.wikipedia.org/wiki/big_bang.
[2] QS. Al-Anbiyâ` [21]: 30.
[3] Tafsîr Ibnu Katsîr (V/339).
[4] QS. Al-Anbiyâ` [21]: 33. Jika ditotal minimal ada 17 tempat
penyebutan malam sebelum siang saat beriringan, yaitu al-Baqarah [2]: 164, ‘Ali
Imrân [3]: 190, begitu juga [6]: 13, [10]: 6, [14]: 33, [16]: 12, [17]: 12,
[21]: 20 & 33, [23]: 88, [24]: 44, [25]: 62, [28]: 73, [34]: 33, [41]: 37,
[45]: 5, dan [73]: 20.
[5] QS. Qâf [50]: 38.
[6] QS. Al-Hajj [22]: 47.
[7] Al-Bidâyah wan Nihâyah (I/27) olehnya.
[8] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 4936) dan
Muslim (no. 2950). Dalam kurung tutup
tambahan lafazh dari al-Bukhari, Muslim, Ibnu Hibban, dan lainnya dalam riwayat
lain.
[9] Al-Minhâj (XVIII/89) olehnya.
[10] Fathul Bârî (IX/442) oleh Ibnu Hajar.
[11] Lihat QS. An-Nahl [16]: 1, al-Ahzâb [33]: 63, al-Qamar
[54]: 1, dan an-Najm [53]: 57. Juga HR. Al-Bukhari (no. 3346) dan Muslim (no.
2880), juga HR. Al-Bukhari (no. 5231) dan Muslim (no. 2671), dan lain-lain.
[12] Maksud
menuju di sini adalah beralih menciptakan langit. Urutannya: bumi diciptakan
dalam 2 hari masih kosongan, lalu langit diciptakan, lalu isi bumi
disempurnakan dalam 4 hari. Maka total penciptaan langit dan bumi adalah 6
hari.
[13] QS. Fushshilat [41]: 9-12.
[14] Al-Bidâyah wan Nihâyah (I/29).
[15] Shahih: HR. Abu Ya’la al-Maushili (no. 2329, IV/217) dalam Musnadnya dan ad-Darimi (I/142) dalam ar-Ra’du ‘alal Jahmiyyah
dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Dinilai shahih Husain Salim Asad.
[16] HR. Muslim (no. 2653, IV/2044), at-Tirmidzdi (no. 2156), Ahmad (no. 6579), dan Ibnu Hibban
(no. 6138) dalam Shahihnya dari ‘Abdullah bin ‘Amr
bin al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma.
[17] Syarhus Suyûthî (VI/18).
[18] Shahih: HR. Al-Hakim (no. 3840, II/540) dalam al-Mustadrâk seraya berkata, “Hadits shahih
sesuai syarat al-Bukhari Muslim tetapi keduanya tidak mengeluarkannya,” dan
disetujui adz-Dzahabi.
[19] HR. Ath-Thabarani (no. 10595, X/247) dalam al-Mu’jam
al-Kabîr. Al-Haitsami berkata, “Di dalamnya ada adh-Dhahhak yang dinilai
dha’if oleh sekelompok ‘ulama tetapi dinilai tsiqah Ibnu Hibban seraya berkata,
‘Dia tidak pernah mendengar dari Ibnu ‘Abbas.’ Perawi lainnya tsiqah.
[20] QS. Ar-Rûm [30]: 25. Ayat yang serupa misalnya QS. [35]:
41, [40]: 64, dan [27]: 61.
[21] QS. Al-Baqarah [2]: 20.
[22] Lisânul ‘Arâb (XII/497) olehnya.
[23] Al-Qâmûs al-Muhîth (hal. 1152) olehnya.
[24] Zâdul Masîr (III/420).
[25] Tafsîr al-Qurthubî (XIV/19).
[26] Ma’ânil Qur`ân (II/323) olehnya.
[27] QS. Al-Baqarah [2]: 258.
[28] QS. Al-An’âm [6]: 78.
[29] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 3124, IV/86) dan Muslim (no. 1747) dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu.
[30] Shahih: HR. Al-Hakim (no. 2618, II/151) dalam al-Mustadrâk. Dinilai shahih al-Hakim dan
disetujui adz-Dzahabi.
[31] Tafsîr al-Qurthubî (IX/280).
[32] Fathul Bârî (VI/299).
[33] QS. Al-Baqarah [2]: 22.
[34] QS. An-Naml [27]: 61.
[35] QS. Az-Zukhrûf [43]: 10.
[36] Mafâtîhul Ghaib (II/336) olehnya.
[37] QS. Adz-Dzâriyât [51]: 47.
[38] Shafwatut Tafâsîr (III/239) olehnya.
[39] QS. Ar-Ra’du [13]: 2.
[40] Tafsîr as-Sa’dî (hal. 412).
[41] QS. Yâsîn [36]: 40.
[42] Al-Bidâyah wan Nihâyah (I/69) oleh Ibnu Katsir.
[43] QS. Al-Anbiyâ` [21]: 32.
[44] HR. Ad-Darimi (no. 71, I/49) dalam ar-Ra’du ‘alal Jahmiyyah, Abu Dawud (no. 4726),
Ibnu Abi ‘Ashim (no. 575) dalam as-Sunnah, Ibnu Khuzaimah (I/239) dalam at-Tauhîd, al-Ajurri (no.
677) dalam asy-Syarî’ah. Dinilai dha’if oleh al-Albani. Adz-Dzahabi
mengomentari sanad hadits ini di al-‘Uluw (I/38), “Ini hadits gharib
sekali. Memang Ibnu Ishaq bisa dijadikan hujjah dalam bab peperangan apabila
bersanad, tetapi dia memiliki riwayat yang mungkar dan aneh.” Muhammad
‘Uwaidhah dalam adh-Dhiya` al-Lâmi’ min Kutub as-Sittah wa Shahîhil Jâmi’
(hal. 47) menyatakan, “Hadits Jabir bin Muth’im ini milik Abu Dawud dengan
sanad hasan menurutnya, seperti yang dikatakan adz-Dzahabi.” Kata beliau hanya mencantumkan hadits shahih
dalam kitabnya ini. Ibnu Mandah menyatakan dalam at-Tauhîd, “Hadits ini
diriwayatkan Bakar bin Sulaiman dan lainnya dan sanadnya muttasil.” Al-Baihaqi
berkomentar dalam al-Asmâ` (II/317)
setelah membawakan perbedaan sikap ahli hadits tentang beberapa rawi di dalam
sanad ini, “Adapun Abu Sulaiman al-Khaththabi menilai tsabit hadits ini dan
berusaha mensyarahnya.”
[45] HR. Ibnu Hibban (no. 361, II/76) dalam Shahîhnya, Abusy Syaikh al-‘Ashfahani (II/648) dalam al-‘Adhamah, Abu Nu’aim
(I/166) dalam al-Hilyah, al-Baihaqi (no. 862) dalam al-Asma` wash
Shifât. Di dalam sanadnya ada Muhammad bin Abis Sirri al-‘Asqalani yang
dinilai dha’if Abu Hatim tetapi dinilai tsiqah Ibnu Ma’in. Ibnu ‘Adhi berkata,
“Sering keliru.”
[46] Al-Bidâyah wan Nihâyah (I/69) olehnya.
[47] Majmu’ al-Fatâwâ (XXV/193) olehnya.
[48] Lihat Lisânul ‘Arâb (X/478) oleh Ibnu Manzhur dan Majmu’ al-Fatâwâ (XXV/193) oleh Syaikhul Islam.
[49] QS. Al-Anbiyâ` [21]: 104.
[50] QS. An-Nahl [16]: 15.
[51] Zâdul Masîr fî Ilmit Tafsîr (II/553) olehnya.
[52] HR. Ahmad (no. 12253, XIX/276-227) dalam Musnadnya dan at-Tirmidzi (no. 3369) dari
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Dinilai dha’if oleh al-Albani dan
al-Arna`uth. Namun, matan (teks) hadits ini shahih menurut para ilmuwan. Akan
dijelaskan lagi di footnote berikutnya.
[53] http://www.keajaibanalquran.com/earth_mountains.html
[54] QS. An-Nabâ` [78]: 6-7.
[55] http://www.republika.co.id
[56] Lihat Buku Induk Mu’jizat Ilmiah Hadits Nabi (hal.
68-70) oleh Prof. Dr. Zaghlul an-Najjar.
[57] QS. Ath-Thûr [52]: 6.
[58] QS. At-Takwîr [81]: 6. Ayat-ayat dalam surat ini berbicara
tentang hari Kiamat.
[59] Tafsîr al-Qurthubî (XVII/61).
[60] HR. Abu Dawud (no. 2489) dari Basyr bin Abi ‘Abdillah dari
Basyir bin Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma.
Jumhur ahli hadits menilai hadits ini dha’if (lemah). Al-Albani berkata, “Sanad
hadits ini dha’if karena juhhâlah (para perawinya tidak dikenal) dan idhthirâb
(goncang). Tentang perawi yang tidak dikenal ini, al-Hafizh Ibnu Hajar bekata
dalam biografi Bisyr Abu ‘Abdillah dan Basyir bin Muslim di kitab at-Taqrîb,
‘Keduanya majhul.’ Tentang Basyir, Imam al-Bukhari berkata, ‘Haditsnya tidak
shahih.’ Adapun tentang kegoncangan, dikatakan juga oleh Ibnul Mundziri
demikian dan al-Khaththabi berkata, ‘Para ‘ulama mendha’ifkan sanad hadits
ini.’” Demikian secara ringkas yang tercantum dalam as-Silsilah al-Ahâdîts
adh-Dha’îfah (no. 478, I/691-692) karya al-Albani. Kesimpulannya, secara sanad hadits ini
dha’if menurut jumhur ahli hadits. Hanya saja, secara matan shahih menurut sebagian ilmuwan, seperti Prof. Dr. Zaghlul Raghib an-Najjar yang
mengangkat hadits ini dari dha’if ke shahih karena shahih secara fakta ilmiah.
Beliau juga menyatakan bahwa hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah
dengan sanad lain dan dinilai oleh Ibnu Abi Syaibah para perawi hadits ini
tsiqah (terpercaya). Sanad yang dimaksud adalah Abu Dawud ath-Thayalisi dari
Hisyam dari Qatadah dari Abi Ayyub dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu
‘anhuma, dan jika benar adanya sebagaimana yang dikatakan beliau, maka
dengan sendirinya hadits ini menjadi hasan lighairih. Syuhaib ‘Abdul Jabbar
dalam kitabnya al-Jâmi’ as-Shahîh lis Sunan wal Masânid
(I/556) berkata, “Meskipun hadits ini tidak
shahih karena sanadnya yang lemah, tetapi ia shahih berdasarkan fakta ilmiah.”
Yang benar dalam masalah ini adalah hadits dha’if tidak bisa diangkat ke shahih
berdasar fakta ilmiah, karena fakta ilmiah masih bersifat zhan (dugaan).
Namun, hadits dha’if tidak selamanya dha’if secara matan. Boleh jadi sebuah
hadits dha’if secara sanad tetapi shahih secara matan, dan ini banyak contohnya
dan diakui oleh para ahli hadits. Allahu a’lam.
[61] ‘Aunul Ma’bûd Syarh Sunan Abî Dâwûd (VII/120) olehnya.
[62] QS. Al-Isrâ` [17]: 37.
[63] Zâdul Masîr fî Ilmit Tafsîr (III/25) olehnya.
[64] QS. Al-Hujurât [49]: 15.
[65] QS. An-Nûr [24]: 51.
[66] QS. Al-Ahzâb [33]: 36.