Al-Quran Berbicara Sains dan Alam Semesta

Al-Quran Berbicara Sains dan Alam Semesta

Selama ratusan tahun, para ilmuwan menyakini kekekalan langit dan bumi, tidak bermula dan tidak  berakhir, yang mereka istilahkan Steady State Theory. Di penghujung abad ke-20 sains modern mengungkapkan kenyataan bahwa manusia hidup di alam yang berkembang dan berubah, bermula dan akan berakhir. Mereka mengamati fenomena mengejutkan bahwa matahari setiap detik kehilangan massa sekitar 4,6 miliar ton yang berubah menjadi energi panas dan berpindahnya energi panas dari benda panas ke benda dingin. Hal ini meyakinkan mereka bahwa alam semesta ini suatu saat akan musnah, entah kapan, mereka tidak mampu menjawabnya.

Mereka pun merumuskan teori-teori awal terciptanya alam semesta dan tidak ada satu pun yang diterima karena tidak bisa menjelaskannya secara ilmiah kecuali sebuah teori yang dikuatkan oleh para ilmuwan, yaitu Teori Ledakan Besar (Big Bang Theory). Teori ini menyatakan bahwa alam semesta ini awalnya berasal dari gumpalan massa yang sangat padat dan panas. Kemudian karena tekanan panas yang memuncak, massa ini mengalami ledakan besar (bing bang) menjadi serpihan-serpihan alam semesta: tata surya, galaksi, nebula, planet, dan sebagainya yang terus mengembang. Ledakan Besar ini diperkirakan terjadi sekitar 15 milyar tahun lalu.[1]

Sekarang mari kita bandingkan teori ini dengan ayat al-Qur`an:

«أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ»

“Apakah orang-orang kafir itu belum mengetahui bahwa langit-langit dan bumi itu dulunya sesuatu yang padu (ratqan) lalu kami pisahkan keduanya, dan kami jadikan kehidupan segala sesuatu dari air. Maka, apakah mereka tidak beriman?”[2]

Al-Hafizh Ibnu Katsir (w. 774 H) memberikan penjelasan yang menakjubkan tentang ayat ini, “Maksudnya, semua benda dahulunya saling merekat, menyatu, dan tersusun satu sama lain. Kemudian langit-langit Allâh jadikan tujuh dan bumi pun tujuh. Allâh memisah langit dunia dan bumi dengan udara. Lalu langit menurunkan hujan dan bumi menumbuhkan tanaman. Oleh karena itu, Allâh berfirman, “Dan kami jadikan kehidupan segala sesuatu dari air. Maka, apakah mereka tidak beriman?” Maksudnya, apakah mereka tidak menyaksikan bahwa makhluk-makhluk ini terjadi dari fase ke fase yang menunjukkan keberadaan Sang Pencipta yang Mahakuasa atas segala sesuatu.

فَفِي كُلِّ شَيْءٍ لَهُ آيَة ... تَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ وَاحِدٌ ...

Pada segala sesuatu terdapat tanda yang menunjukkan bahwa Dia adalah esa

Sufyan ats-Tsauri berkata, dari ayahnya, dari ‘Ikrimah, dia berkata, ‘Ibnu ‘Abbas pernah ditanya, apakah tercipta malam dulu atau siang? Lalu menjawab, ‘Bagaimana menurutmu keadaan saat langit-langit dan bumi menyatu, bukankah yang ada di antara keduanya hanya kegelapan?’ Akhirnya mereka pun tahu bahwa malam lebih dahulu daripada siang.’”[3]

Ayat-ayat al-Qur`an selalu mendahului lafazh malam daripada siang yang menunjukkan ketepatan tafsiran Tarjamatul Qur`an Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Misalnya firman Allâh subhanahu wa ta’ala:

«وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ»

“Dan Dia-lah yang  telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan.”[4]

Yang menakjubkan lagi, ternyata sains modern juga menyebutkan hal yang sama, malam lebih dahulu ada sebelum siang.

Jika ada yang bertanya, “Apakah ayat ini boleh disebut ayat Big Bang?” Jawabannya, tidak boleh. “Bukankah sesuai sekali dengan teori Big Bang?” Ini pertanyaan yang bagus sekali dan penjelasannya sebagai berikut:

Ayat hanya memberi informasi bahwa langit dan bumi pernah menyatu. Adapun teori Big Bang, disamping menyebutkan langit dan bumi menyatu juga menyebutkan hal-hal lainnya yang sama sekali tidak dijelaskan nash atau justru menyelisihi nash. Oleh karena itu, kita membenarkan penelitian mereka bahwa langit dan bumi pernah menyatu karena sesuai dengan nash, tetapi kita mengingkari beberapa hal dalam teori ini, yaitu:

1.         Perkiraan usia alam semesta 15 miliar.

2.         Konsekuensi Big Bang bahwa bumi tercipta bersamaan atau sebelum langit, matahari, dan benda angkasa lainnya.

3.         Klaim mereka bahwa bumi mengelilingi matahari karena bumi terbuat dari pecahan matahari.

4.         Klaim mereka bahwa sebelum peristiwa Big Bang belum ada materi dan energi.

Semua yang disebutkan di atas menyelisihi nash shahih sehingga kita menyikapinya seperti menyikapi kabar Bani Isra`il poin ke-2, yaitu mendustakannya dan tidak menerimanya. Adapun konsekuensi hukum dari teori ini yang tidak didustakan nash dan tidak pula dibenarkan, maka disikapi dengan poin ke-3, misalkan konsekuensi hukum bahwa teori ini secara tidak langsung memberi pemahaman bahwa benda-benda langit semuanya tercipta dari gumpalan massa yang superpanas tersebut; terdapat banyak galaksi di luar galaksi kita yang tak terhitung jumlahnya; dan seterusnya.

1. Benarkah Usia Alam Semesta 15 Miliar Tahun?

Usia alam semesta adalah waktu yang dihitung dari mulai terjadinya ledakan besar. Mereka mengklaim bahwa usia alam semesta adalah 13,75 ± 0,11 miliar tahun (anggaplah 14 miliar). 13,75 miliar adalah masa terjadinya ledakan hingga dingin dan stabil, dan  110 juta adalah masa stabil dan munculnya tanda kehidupan hingga sekarang.

Yang benar usia alam semesta tidak sebanyak itu. Al-Qur`an tidak menyinggung usia alam semesta, tetapi masa penciptaan alam semesta disinggung, yaitu 6 hari, masa Allâh menciptakan langit, bumi, dan segala yang ada di antara keduanya. Allâh subhanahu wa ta’ala berfirman sebanyak 7 kali bahwa langit dan bumi tercipta dalam 6 hari:

«وَلَقَدْ خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ»

“Dan sungguh Kami telah menciptakan langit-langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya dalam 6 hari.”[5]

“Langit-langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya” menunjukkan alam semesta. Ini berarti alam semesta diciptakan Allâh selama 6 hari. Namun, hari di sini maksudnya hari akhirat, bukan hari dunia. Satu hari akhirat sama dengan 1.000 hari dunia. Dalilnya adalah firman Allâh subhanahu wa ta’ala:

«وَإِنَّ يَوْمًا عِنْدَ رَبِّكَ كَأَلْفِ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ»

“Dan sesungguhnya satu hari di sisi Tuhan-mu seperti 1.000 tahun menurut perhitungan kalian.”[6]

Jadi, jika dihitung menurut perhitungan kita, masa penciptaan alam semesta adalah 6.000 tahun. Ini dipegang oleh Ibnu ‘Abbas, Mujahid, ‘Ikrimah, Ibnu Jarir, Imam Ahmad, dan lainnya. Adapun jumhur, mereka memahami seperti hari biasa, yaitu 6 hari dunia sebagaimana hari-hari kita.

Al-Hafizh Ibnu Katsir (w. 774 H) menjelaskan, “Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai maksud 6 hari ini menjadi 2 pendapat. Jumhur berpendapat seperti hari-hari biasa kita. Adapun Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Mujahid, adh-Dhahhak, dan Ka’ab al-Ahbar berpendapat bahwa masing-masing hari tersebut seperti seribu hari menurut perhitungan manusia. Ini diriwayatkan Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, dan pendapat ini dipilih Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitabnya ar-Ra’du ‘alal Jahmiyyah, dan dipilih juga oleh Ibnu Jarir dan sekelompok ‘ulama muta`akhkhirin (belakangan). Allahu a’lam.”[7]

Masa penciptaan alam semesta hingga masa sekarang tidak sebanyak menurut klaim mereka. Perhatikan hadits shahih berikut ini.

Sahal bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku melihat Nabi bersabda sambil berisyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah:

«بُعِثْتُ [أَنَا] وَالسَّاعَةُ كَهَاتَيْنِ»

“Aku diutus dalam keadaan jarak hari Kiamat seperti jarak selisih dua jari ini.”[8]

Jarak yang dimaksud adalah sisa panjang antara jari tengah dan telunjuk jika disejajarkan merapat. Ibaratnya panjang jari telunjuk adalah masa alam semesta hingga diutusnya Nabi dan panjang jari tengah adalah masa alam semesta hingga datangnya hari kiamat, ini pendapat Qatadah. Jika dipraktekan, akan terlihat jari tengah memiliki kelebihan sedikit sekitar 10% dari jari telunjuk. 10% inilah jarak hari Nabi Muhammad diutus hingga datangnya hari Kiamat.

Al-Hafizh an-Nawawi (w. 676 H) menjelaskan, “Qatadah berpendapat maksudnya selisih jarak antara dua jari itu. Ada pula yang berpendapat bahwa maksudnya adalah jarak pendek seperti (selisih) jarak panjang dua jari, dan ada pula yang berpendapat sebagai isyarat dekatnya mujâwazah (sisa waktu terjadinya hari Kiamat).”[9]

Al-Kirmani menjelaskan, “Maksud hadits ini adalah masa sisa hari Kiamat dibanding dengan hari-hari yang telah berlalu seperti sisa jari tengah dibanding jari telunjuk.”[10]

Jika 13,75 miliar sama dengan 90%, maka 100% adalah 15,3 miliar. Itu artinya hari Kiamat akan terjadi menurut teori ini 15,3  - 13,75 = 1,5 miliar tahun lagi. Meskipun datangnya hari Kiamat tidak ada yang tahu kecuali Allâh, tetapi angka ini terlalu lama dengan beberapa alasan:

1.         Hari Kiamat disifati Allâh dengan dekat baik di al-Qur`an maupun di hadits. Bahkan tanda-tanda hari Kiamat sudah banyak  bermunculan semenjak diutusnya Nabi hingga sekarang.[11]

2.         Malaikat yang ditugasi meniup sangkalala hari Kiamat telah menempatkannya di mulutnya dan siaga menunggu perintah Allâh sambil mendongak ke arah ‘Arsy.

3.         Prilaku para shahabat dan ‘ulama yang takut terjadi hari Kiamat saat masih hidup, hal ini karena dipahami hari Kiamat sudah dekat.

4.         Para ‘ulama sepakat akan dekatnya hari Kiamat bahkan sebagian memprediksinya (tanpa meyakini kebenarannya) semisal Ibnu Jarir ath-Thabari dan Imam as-Suyuthi, meskipun hal ini ditentang keras oleh para ‘ulama karena datangnya hari Kiamat hanya Allâh semata yang tahu.

2. Benarkah Langit Tercipta Sebelum Lainnya?

Teori Big Bang mengklaim bumi tercipta bersamaan atau sebelum langit, matahari, dan benda angkasa lainnya, artinya langit tercipta sebelum segala sesuatu. Ini adalah dugaan yang keliru dan klaim yang tidak mendasar, karena  bertentangan dengan nash al-Qur`an, hadits, dan ijma’. Berikut dalil-dalilnya:

1.         Al-Qur`an menginformasikan bumi lebih dulu diciptakan daripada langit:

«قُلْ أَئِنَّكُمْ لَتَكْفُرُونَ بِالَّذِي خَلَقَ الْأَرْضَ فِي يَوْمَيْنِ وَتَجْعَلُونَ لَهُ أَنْدَادًا ذَلِكَ رَبُّ الْعَالَمِينَ (٩) وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ مِنْ فَوْقِهَا وَبَارَكَ فِيهَا وَقَدَّرَ فِيهَا أَقْوَاتَهَا فِي أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ سَوَاءً لِلسَّائِلِينَ (١٠) ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلْأَرْضِ ائْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ (١١) فَقَضَاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ فِي يَوْمَيْنِ وَأَوْحَى فِي كُلِّ سَمَاءٍ أَمْرَهَا وَزَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَحِفْظًا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ»

“Katakanlah, apakah kalian benar-benar kafir kepada Yang telah menciptakan bumi dalam dua hari dan kalian menjadikan tandingan-tandingan bagi-Nya. Dialah Rabb semesta alam. Dia jadikan gunung-gunung di atasnya dan memberkahinya serta menentukan kadar makanan (penghuninya) dalam empat hari, sebagai jawaban bagi orang-orang yang bertanya. Kemudian Dia menuju[12] kepada langit saat berupa asap, lalu Dia berfirman kepadanya dan bumi, ‘Datanglah kalian berdua dengan patuh atau terpaksa.’ Keduanya menjawab, ‘Kami datang dalam keadaan patuh.’ Kemudian Dia menciptakannya tujuh langit dalam dua hari dan mewahyukan pada setiap langit urusannya. Kami hiasi langit dunia dengan bintang-bintang dan sebagai penjaga. Demikianlah ketentuan yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.”[13]

Allâh subhanahu wa ta’ala mengabarkan bahwa Dia menciptakan bumi kemudian menciptakan langit saat berupa asap untuk diciptakan darinya. Hal ini menunjukkan penciptaan bumi sebelum langit.

Al-Hafizh Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini, “Ayat ini menunjukkan bahwa bumi tercipta sebelum langit, karena bumi seperti pondasi dari sebuah bangunan.”[14]

2.         Nabi mengabarkan bukan langit yang pertama kali diciptakan:

«إِنَّ أَوَّلَ شَيْءٍ خَلَقَهُ اللَّهُ الْقَلَمَ وَأَمَرَهُ فَكَتَبَ كُلَّ شَيْءٍ»

“Sesungguhnya yang pertama kali Allâh ciptakan adalah pena. Dia memerintahkannya untuk menulis (takdir) segala-sesuatu.”[15]

Adapun lamanya adalah 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi, berdasarkan sabda Nabi :

«كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ، وَعَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ»

“Allâh menentukan takdir semua makhluk 50.000 tahun sebelum menciptakan langit-langit dan bumi, dan ‘Arsy-Nya di atas air.”[16]

Imam as-Suyuthi (w. 911 H) menjelaskan sabda “‘Arsy-Nya di atas air”, “Maksudnya, sebelum menciptakan langit-langit dan bumi.”[17]

Dengan uap air yang menjadi asap inilah Allâh menciptakan langit, berdasarkan hadits marfu’ Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma:

«وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ فَارْتَفَعَ بُخَارُ الْمَاءِ فَفُتِقَتْ مِنْهُ السَّمَاوَاتُ»

“Dan ‘Arsy-Nya di atas air, lalu uap airnya naik lalu dari itu terbentuk langit-langit.”[18]

‘Arsy lebih dahulu diciptakan daripada pena takdir, sebagaimana riwayat bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:

إِنَّ اللَّهَ - جَلَّ ذِكْرُهُ - خَلَقَ الْعَرْشَ فَاسْتَوَى عَلَيْهِ، ثُمَّ خَلَقَ الْقَلَمَ فَأَمَرَهُ أَنْ يَجْرِيَ بِإِذْنِهِ

“Sesungguhnya Allâh subhanahu wa ta’ala menciptakan ‘Arsy lalu tinggi di atasnya, kemudian menciptakan pena lalu memerintahkannya untuk berjalan dengan seizin-Nya.”[19]

Penjelasan ini sekaligus membantah anggapan mereka bahwa sebelum peristiwa Big Bang belum ada materi dan energi.

3. Benarkah Bumi Mengelilingi Matahari?

Mereka mengklaim bahwa bumi mengelilingi matahari karena bumi terbuat dari pecahan matahari. Ini tidaklah benar karena bertentangan dengan nash syar’i yang justru menyatakan kebalikannya, yaitu matahari mengelilingi bumi. Ada lima alasan untuk menjawab hal ini:

Pertama, bumi ini diam sehingga tidak mungkin bergerak mengelilingi matahari. Allâh subhanahu wa ta’ala berfirman:

«وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ تَقُومَ السَّمَاءُ وَالْأَرْضُ بِأَمْرِهِ»

“Dan di antara tanda-tanda-Nya adalah langit dan bumi qiyam dengan perintah-Nya.”[20]

Secara bahasa fi’il (تَقُومَ) berasal dari masdar (القِيَامُ) yang artinya berdiri atau diam. Ibnu Manzhur menyebutkan makna qiyâm adalah diam/tetap (العَزْمُ). Setelah menyebutkan sya’ir-sya’ir penguat makna ini, beliau melanjutkan, “Qiyâm bermakna diam dan tetap (الْوُقُوفُ وَالثَّبَاتُ). Jika dikatakan kepada orang yang berjalan (قِفْ لِي) artinya tetaplah di tempatmu hingga aku datang kepadamu. Begitu pula (قُم لِي) maksudnya sama dengan (قِفْ لِي). Inilah tafsir firman Allâh subhanahu wa ta’ala:

«وَإِذا أَظْلَمَ عَلَيْهِمْ قامُوا»

‘Dan apabila kegelapan meliputi mereka, mereka qiyâm.’[21]

Para ahli bahasa dan tafsir memaknai “mereka qiyâm” di sini adalah mereka berhenti dan tetap di tempatnya, tidak maju dan tidak mundur.”[22]

Al-Fairuz Abadi menyebutkan beberapa penggunaan qiyâm. Jika digunakan untuk air artinya beku, jika untuk urusan artinya adil, jika untuk binatang artinya berhenti. Dari situ muncul lafazh (المَقامُ) artinya tempat meletakkan telapak kaki.[23]

Semua arti ini menunjukkan bahwa makna ayat di atas adalah langit dan bumi diam dan tetap di tempatnya. Para ‘ulama juga berpendapat demikian dalam menafsirkan ayat ini. Al-Hafizh Ibnu Katsir dan Ibnul Jauzi menafsirkannya, “Berdiri tetap,” dan “Senantiasa diam.”[24] Al-Qurthubi menafsirkan, “Maksudnya berdirinya dan diamnya karena kekuasaan-Nya meskipun tanpa tiang,”[25] dan yang semisal ini disampaikan oleh ahli bahasa kenamaan al-Farra`, “Senantiasa diam karena perintah-Nya meskipun tanpa tiang.”[26]

Kedua, justru nash syar’i menyebutkan kebalikannya, yakni mataharilah yang mengelilingi bumi. Bukti-buktinya sangatlah jelas, dan kami rangkum dalam tiga poin berikut:

1.         Allâh subhanahu wa ta’ala mengisyaratkan matahari mengelilingi bumi, seperti firman-Nya:

«قَالَ إِبْرَاهِيمُ فَإِنَّ اللَّهَ يَأْتِي بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ»

“Ibrahim berkata, ‘Sesungguhnya Allâh mendatangkan matahari dari timur, maka datangkanlah (wahai Namrud) ia dari barat!’[27]

Sisi pendalilannya, seandainya yang bergerak bumi tentulah yang dikatakan Ibrahim kepada raja Namrud, “Sesungguhnya Allâh menggerakkan bumi ke arah barat matahari, maka datangkanlah ia dari arah timur matahari!’ Ini menunjukkan bahwa matahari yang berputar mengelilingi bumi.

Juga firman Allâh subhanahu wa ta’ala:

«فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَذَا رَبِّي هَذَا أَكْبَرُ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ»

“Maka tatkala dia (Ibrahim) melihat matahari terbit, dia berkata, ‘Inilah Rabb-ku. Ini lebih besar.’ Namun, tatkala dia (matahari) terbenam (أَفَلَتْ), dia berkata, ‘Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian sekutukan.’[28]

Sisi pendalilannya, tatkala Allâh menjadikan matahari terbenam, ini menunjukkan yang terbenam adalah dzat mataharinya bukan panasnya, bayangannya, atau sinarnya, karena tidak ada qarinah (indikasi) yang memalingkan kepada hal-hal tersebut. Demikian itu adalah kaidah dasar nahwu yang disepakati seluruh ahli bahasa ‘Arab. Misalkan ungkapan “Muhammad datang” (جَاءَ مُحَمَّدٌ), maka dipahami yang datang diri Muhammad, bukan ayahnya, suratnya, kendaraannya, atau lainnya. Tidak boleh makna ini dibawa ke makna lainnya kecuali adanya qarinah (misalkan badal isytimal) yang menghalangi dari makna sebenarnya, contohnya “Muhammad datang, suratnya” (جَاءَ مُحَمَّدٌ رِسَالَتُهُ). Di sini dipahami yang datang suratnya bukan diri Muhammad karena adanya qarinah berupa badal isytimal.

2.         Nabi Muhammad juga mengisyaratkan matahari yang bergerak mengelilingi bumi, misalkan sabda beliau :

«غَزَا نَبِيٌّ مِنَ الأَنْبِيَاءِ، فَقَالَ لِقَوْمِهِ: لاَ يَتْبَعْنِي رَجُلٌ مَلَكَ بُضْعَ امْرَأَةٍ، وَهُوَ يُرِيدُ أَنْ يَبْنِيَ بِهَا، وَلَمَّا يَبْنِ بِهَا، وَلاَ أَحَدٌ بَنَى بُيُوتًا وَلَمْ يَرْفَعْ سُقُوفَهَا، وَلاَ أَحَدٌ اشْتَرَى غَنَمًا أَوْ خَلِفَاتٍ وَهُوَ يَنْتَظِرُ وِلاَدَهَا، فَغَزَا فَدَنَا مِنَ القَرْيَةِ صَلاَةَ العَصْرِ أَوْ قَرِيبًا مِنْ ذَلِكَ، فَقَالَ لِلشَّمْسِ: إِنَّكِ مَأْمُورَةٌ وَأَنَا مَأْمُورٌ اللَّهُمَّ احْبِسْهَا عَلَيْنَا، فَحُبِسَتْ حَتَّى فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ»

“Seorang nabi berperang. Dia berkata kepada kaumnya, ‘Tidak boleh mengikutiku seseorang yang memiliki istri dan ingin menggaulinya tetapi belum sempat menggaulinya, tidak pula seseorang yang membangun rumah dan belum memasang atapnya, dan tidak pula seseorang yang membeli domba atau unta bunting dan sedang menunggu kelahiran anaknya.’ Dia pun pergi berperang dan mendekat ke sebuah desa untuk shalat ‘Ashar, atau lebih dekat lagi. Dia berkata kepada matahari, ‘Sesungguhnya kamu diperintah dan aku pun diperintah. Ya Allâh tahanlah ia dari kami!’ Lalu dia ditahan sehingga Allâh memberi kemenangan kepadanya.’”[29]

Dalam riwayat lain:

«أَيَّتُهَا الشَّمْسُ إِنَّكِ مَأْمُورَةٌ وَأَنَا مَأْمُورٌ بِحُرْمَتِي عَلَيْكِ، إِلَّا رَكَدْتِ سَاعَةً مِنَ النَّهَارِ»

“Wahai matahari, sesungguhnya kamu diperintah dan aku pun diperintah. Karena kehormatanku atasmu, berhentilah sejenak dari siang hari.”[30]

Dalam hadits ini jelas sekali, Nabi Yusya’ bin Nun ‘alahissalam meyakini matahari yang bergerak berputar sehingga terjadi malam dan siang. Aturan perang waktu itu, jika matahari telah tenggelam perang berhenti, padahal keadaan waktu itu sedang berpihak kepada Nabi Yusya’ dan kaumnya sedikit lagi. Seandainya bumi yang bergerak, tentulah beliau akan berdo’a, “Ya Allâh tahanlah gerakan bumi,” atau, “Hai bumi, berhentilah sesaat agar aku bisa menuntaskan peperangan. Sesungguhnya kamu berputar karena perintah Allâh dan aku pun berperang karena perintah Allâh!” Ini menunjukkan bahwa mataharilah yang mengelilingi bumi.

Ketiga, hal ini (bumi diam, tidak mengelilingi matahari) merupakan pendapat jumhur ‘ulama seperti Imam al-Isfirayini, Ibnu Hazm, Syaikhul Islam, Ibnul Qayyim, al-Hafizh Ibnu Hajar, Syaikh Bin Baz, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Syaikh ad-Duwais, dan lain-lain. Bahkan, al-Qurthubi menukil bahwa paham ini juga diyakini ahli kitab zaman dulu, sebagaimana ucapan beliau, “Yang diyakini umat Islam dan ahli kitab adalah pendapat bahwa bumi berhenti, diam, dan terhampar. Sementara gerakannya biasanya terjadi karena gempa.”[31] Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Di sini terdapat penjelasan bahwa matahari beredar setiap hari dan malam. Ini jelas sekali bertentangan dengan klaim para astronom.”[32]

Keempat, akal sehat menolak bumi mengelilingi matahari. Seandainya memang bumi berputar mengelilingi matahari dengan kecepatan 107.500 km/jam, itu artinya sama dengan 39 kali lipat kecepatan pesawat tempur tercepat dunia MIG­29M yang hanya mampu melaju 2.750 km/jam. Seandainya benar demikian, niscaya tidak akan ada lagi kehidupan di dunia karena semua benda terpental, berbenturan, atau minamal penuh goncangan. Mengapa hal ini tidak terjadi jika memang bumi berputar revolusi? Masih ingatkah gempa di Jepang beberapa tahun lalu yang hanya beberapa skala ritcher mampu meluluhlantahkan negeri sakura tersebut? Masih ingatkah gempa Tsunami yang meluapkan air laut ke daratan Aceh, padahal hanya benturan “ringan” antar lempengan dasar laut? Lantas, bagaimana jadinya jika gerakan bumi lebih besar dari itu?

Andai benar bumi melakukan gerakan revolusi, pastilah orang yang melompat tidak akan jatuh tepat di bawahnya, tetapi bergeser jauh ke arah berlawanan dengan arah gerak revolusi bumi. Juga, pastilah pesawat terbang dari Saudi menuju Indonesia tidak akan bisa kembali ke Saudi, begitu juga sebaliknya, minimal salah satu tempat ditempuh lebih cepat dan tempat lainnya ditempuh lebih dekat, tetapi kenyataan berbicara lain, yaitu jarak Saudi – Indonesia sama tidak berubah sesuai dengan kecepatan pesawat terbangnya. Juga, pastilah pesawat ruang angkasa yang lepas landas tidak akan bisa kembali ke landasannya semula.

Kata mereka, “Benda-benda bumi tidak terpental karena bumi memiliki gaya gravitasi dan gaya sentrifugal yang menarik benda-benda di sekitarnya.” Kita jawab, seberapa besar gaya gravitasi bumi hingga mampu menarik semua benda tetap di atasnya atau tertarik ke intinya? Jika benar demikian, pastilah orang tidak akan mampu melompat bahkan sekedar mengangkat kaki kanannya; pastilah pesawat terbang tidak akan  mampu terbang; pastilah pesawat ruang angkasa tidak akan mampu lepas landas, terutama pesawat ruang angkasa yang keluar dari orbit gravitasi bumi seperti pesawat satelit.

Penjelasan yang cukup meretakkan taring kesombongan Barat adalah penjelasan Fakhruddin ar-Razi dalam tafsirnya saat menafsirkan firman Allâh subhanahu wa ta’ala:

«الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً»

“Yang telah menjadikan bumi untuk kalian sebagai hamparan dan langit sebagai atap.”[33]

Ar-Razi berkata, “Ketahuilah, sesungguhnya Allâh subhanahu wa ta’ala di sini menyebutkan bahwa bumi sebagai hamparan. Yang semakna dengan ayat ini adalah, ‘Dan siapakah yang menjadikan bumi sebagai tempat menetap dan menjadikan celah-celahnya sebagai sungai,’[34] juga, ‘Dia-lah yang menjadikan bumi untuk kalian sebagai hamparan.’[35] Ketahuilah bahwa keberadaan bumi sebagai hamparan harus terpenuhi beberapa syarat. Syarat pertama adalah bumi harus diam. Seandainya dia bergerak, tentu akan bergerak lurus atau berputar. Seandainya bergerak lurus, bumi tidak mungkin bisa dijadikan hamparan untuk kita, karena orang yang melompat dari tempat tinggi mustahil jatuh ke bumi karena bumi ke bawah dan orang itu juga ke bawah, sementara bumi lebih berat daripada manusia. Jika dua benda jatuh maka yang paling berat lebih cepat dari satunya, dan yang lambat tidak akan bisa mencapai yang cepat. Sehingga mustahil seseorang sampai ke tanah. Hal ini menetapkan bahwa seandainya bumi bergerak tidak akan menjadi hamparan.

Adapun seandainya bumi bergerak putar, niscaya bumi tidak bisa dimanfaatkan sama sekali. Misalkan gerakan bumi ke arah timur dan seseorang ingin bergerak ke arah barat, pasti gerakan bumi yang lebih cepat itu menyebabkannya tetap di tempatnya dan tidak mungkin mencapai tempat yang dituju. Oleh karena itu, tatkala orang tersebut kenyataannya mencapai tujuannya, kita pun mengetahui bahwa bumi itu tidak bergerak, baik gerak lurus maupun gerak putar, tetapi diam.”[36]

Kelima, yang unik di sini bahwa di dalam al-Qur`an Allâh subhanahu wa ta’ala selalu menggandengkan antara matahari dengan bulan (minimal 15 kali), dan menggandengkan antara langit dengan bumi (minimal sebanyak 148 kali), tetapi tidak pernah antara matahari dengan bumi sekalipun. Ini mengisyaratkan bahwa matahari berputar sebagaimana bulan berputar, dan bumi diam sebagaimana langit diam.

Keberadaan bumi sebagai pusat tata surya dan matahari mengelilinginya bukanlah hal aneh, sebab di bumi terdapat orang-orang shalih, Ka’bah, masjid, bahkan para nabi dan rasul yang merupakan kekasih Allâh. Apakah aneh jika Allâh subhanahu wa ta’ala memuliakan bumi dengan dijadikannya pusat tata surya kita dan semua benda langit mengelilinginya karena keberadaan para kekasih-Nya? Adapun para penyembah matahari dan kaum paganisme, mereka sangat senang dengan teori matahari sebagai pusat tata surya dan bumi mengelilinginya, sebab hal itu secara tidak langsung memuliakan tuhan mereka yang mahapanas itu. Asal Anda tahu bahwa pencetus teori heliosentris (matahari sebagai pusat tata surya dan seluruh  benda langit mengelilinginya) adalah para penyembah berhala. Pencetus pertama teori heliosentris adalah Pythagoras. Setelah 12 abad terpendam, dihidupkan kembali oleh Copernicus. Tak ketinggalan Galileo yang mengkampanyekan teori ini hingga menjagat dunia. Mereka juga meyakini bahwa alam semesta ada dengan sendirinya, alias ateis alias menginkari Allâh Rabbul ‘Alamin. Wal’iyâdzubillah! Pahamilah!

Jika ada yang menyanggah, “Apa yang Anda sampaikan bertentangan dengan fakta ilmiah dalam ilmu pengetahuan sains. Semua teori sains yang Anda bantah telah dibuktikan kebenarannya. Ini menunjukkan kebatilan bantahan Anda!”

Ini sanggahan yang bagus tetapi perlu didudukkan. Izinkan kami untuk menyanggahnya pula dengan dua renungan berikut:

1.         Apakah penelitian mereka pasti benar dan tidak bisa digangu gugat? Apakah akal manusia sempurna tanpa cacat atau menyamai ilmu Allâh? Sekali-kali tidak. Sesuatu dikatakan kepastian (benar, jujur, dan tepat sehingga diterima persaksiannya/ klaimnya) jika terpenuhi tiga syarat: [1] pernah melihat dengan kedua matanya langsung, [2] mengetahui alam ghaib atau sakti mandraguna, atau [3] mendengar kabar dari wahyu. Jika mereka mengklaim termasuk yang pertama, maka kita dustakan karena mereka mustahil keluar dari tata surya lalu melihat dengan pandangan mereka sendiri bahwa semua benda langit mengelilingi matahari. Jika mereka mengklaim termasuk yang kedua, maka persaksian mereka tertolak dengan sendirinya karena dukun, paranormal, tukang sihir yang bekerjasama dengan jin, atau setan yang berubah wujud manusia tertolak persaksiannya. Jika mereka mengklaim termasuk yang ketiga, maka kita katakan, “Teori mereka justru bertentangan dengan wahyu.”

2.         Al-Qur`an dan as-Sunnah tidak mungkin salah, dan apakah para ‘ulama ceroboh saat berbicara tentang masalah keghaiban dan masalah besar? Sekali-kali tidak. Mahasuci Allâh atas apa yang mereka sifatkan.

4. Langit Mengembang dan Bagaikan Lembaran Kertas

Pembahasan berikutnya. Pada tahun 1929 Astronom Amerika Serikat, Edwin Hubble melakukan observasi dan mengamati galaksi­galaksi bergerak menjauhi kita dengan kecepatan yang tinggi. Ia juga mengamati jarak antara galaksi-galaksi bertambah setiap saat. Penemuan Hubble ini menunjukkan bahwa alam semesta kita tidaklah statis seperti yang dipercaya sejak lama, namun bergerak mengembang. Kemudian hal ini menimbulkan suatu perkiraan bahwa alam semesta bermula dari pengembangan di masa lampau.

Mari kita bandingkan penemuan ini dengan ayat al-Qur`an:

«وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ»

“Dan langit Kami bangun dengan kekuasaan Kami dan Kami benar-benar meluaskannya.”[37]

Ash-Shabuni menjelaskan, “Maksudnya, Kami benar-benar meluaskan penciptaan langit, sehingga  bumi beserta yang meliputinya baik udara dan air bagaikan gelang kecil di padang luas, sebagaimana yang tercantum di banyak hadits. Ibnu ‘Abbas menjelaskan tafsir ‘Kami benar-benar meluaskannya’ yaitu kemampuan, yakni Kami benar-benar mampu meluaskannya.”[38]

Allâh subhanahu wa ta’ala juga berfirman:

«اللَّهُ الَّذِي رَفَعَ السَّمَاوَاتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا»

“Allâh-lah yang telah meninggikan langit-langit tanpa tiang seperti yang kalian lihat.”[39]

Al-‘Allamah as-Sa’di (w. 1376 H) menjelaskan, “Allâh-lah yang meninggikannya dengan membesarkannya dan meluaskannya dengan kemahaagungan-Nya ‘tanpa tiang seperti yang kalian lihat,’ yakni langit tidak bertiang dari bawahnya, karena seandainya bertiang tentulah kalian akan melihatnya.”[40]

“Meninggikannya” mengisyaratkan bahwa langit itu semakin tinggi, jauh, luas, dan mengembang. Para ilmuwan mengilustrasikan pengembangan ini seperti bola yang ditiup atau roti yang mengembang. Namun, ilustrasi yang lebih tepat adalah seperti balon udara yang mengembang. Pendapat yang benar dan shahih menurut al-Qur`an dan Sunnah adalah langit itu bulat sebagaimana bumi bulat. Dalil-dalilnya sebagai berikut:

1.         Al-Qur`an mengisyaratkan langit itu bulat sebagaimana firman-Nya:

«لَا الشَّمْسُ يَنْبَغِي لَهَا أَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ»

“Tidak layak bagi matahari untuk mendapati bulan dan tidak mungkin malam mendahului siang. Masing-masing beredar (berputar) pada falak (garis edarnya/ langit).”[41]

Sisi pendalilannya, keadaan sesuatu (bulan dan matahari) berputar pada sesuatu (langit) menunjukkan kebulatannya. Al-Hasan al-Bashri (w. 110 H) menjelaskan ayat ini, “Yakni berputar.” Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menafsirkan (فَلَكٍ) seperti (فَلْكَةِ الْمِغْزَلِ), yaitu kayu berbentuk bulat yang digunakan untuk menenun kain.[42]

Juga firman Allâh subhanahu wa ta’ala:

«وَجَعَلْنَا السَّمَاءَ سَقْفًا مَحْفُوظًا وَهُمْ عَنْ آيَاتِهَا مُعْرِضُونَ»

“Dan Kami jadikan langit sebagai atap yang terjaga, sementara mereka berpaling dari ayat-ayat (tanda-tanda) Kami.”[43]

Sisi pendalilannya, sesuatu dikatakan atap jika menaungi di bawahnya secara keseluruhan menyesuaikan bentuknya. Oleh karena bumi (yang diatapi) itu bulat, maka langit (atap) pun bulat. Yang mengejutkan di sini, seolah ayat “sementara mereka berpaling dari ayat-ayat (tanda-tanda) Kami” mengisyaratkan bahwa nanti akan ada manusia yang menentang kebenaran ayat ini, yaitu orang-orang kafir, karena konteks ayat dan ayat sebelumnya membicarakan orang kafir.

2.         Sabda Nabi mengisyaratkan demikian:

«إِنَّ اللَّهَ فَوْقَ عَرْشِهِ، فَوْقَ سَمَوَاتِهِ، وَسَمَوَاتُهُ فَوْقَ أَرَضِيهِ مِثْلُ الْقُبَّةِ»

“Sesungguhnya Allâh di atas ‘Arsy-Nya, di atas langit-langit-Nya, di atas bumi-bumi-Nya, bagaikan kubah.”[44]

Sisi pendalilannya, ‘Arsy yang menaungi langit seperti kubah sehingga langit pun bulat. Ini pendapat Syaikhul Islam. Adapun perbandingan ‘Arsy dengan langit dan bumi, terdapat dalam hadits yang masih diperselisihkan keabsahannya:

«مَا السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ مَعَ الْكُرْسِيِّ إِلَّا كَحَلْقَةٍ مُلْقَاةٍ بِأَرْضٍ فَلَاةٍ وَفَضْلُ الْعَرْشِ عَلَى الْكُرْسِيِّ كَفَضْلِ الْفَلَاةِ عَلَى الْحَلْقَةِ»

“Tidaklah langit yang tujuh dibanding Kursi melainkan seperti gelang yang dilempar di tanah lapang. Besarnya ‘Arsy dibanding Kursi seperti besarnya tanah lapang dibanding gelang tersebut.”[45]

3.         Ijma’  para ‘ulama. Al-Hafizh Ibnu Katsir (w. 774 H) berkata, “Ibnu Hazm, Ibnul Munadi, Abu Faraj Ibnul Jauzi, dan ‘ulama lainnya menukil ijma’ bahwa langit bulat.”[46]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) berkata, “Telah tsabit dari al-Qur`an, as-Sunnah, dan ijma’ ‘ulama bahwa langit itu bulat.”[47]

4.         Telah masyhur di kalangan ahli bahasa bahwa (الْفَلَكُ) bermakna sesuatu yang bulat.[48]

Ilmuwan menyatakan bahwa alam semesta berkembang terus-menerus, tetapi dengan kelajuan yang semakin kecil dan semakin kecil, meskipun tidak benar-benar mencapai nol. Hal ini menyebabkan suatu saat alam semesta akan mengalami penyusutan seperti balon yang dilipat atau digulung. Mungkin inilah keadaan hari Kiamat yang diyakini umat Islam.

Mari kita bandingkan penemuan ini dengan ayat al-Qur`an:

«يَوْمَ نَطْوِي السَّمَاءَ كَطَيِّ السِّجِلِّ لِلْكُتُبِ كَمَا بَدَأْنَا أَوَّلَ خَلْقٍ نُعِيدُهُ وَعْدًا عَلَيْنَا إِنَّا كُنَّا فَاعِلِينَ»

“(Ingatlah) pada hari Kami melipat (menggulung) langit seperti melipat (menggulung) lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami yang mengawali penciptaan pada kali pertama, Kami pun akan mengulanginya kembali (penciptaanya), sebagai janji atas Kami dan Kami benar-benar akan melakukannya.”[49]

5. Gunung Sebagai Pasak

Pembahasan berikutnya. Dalam al-Qur`an, Allâh menjadikan gunung sebagai pasak (pondasi). Maklumnya, pasak berfungsi untuk menjadikan sebuah bangunan seimbang dan tidak goncang atau roboh.

Allâh subhanahu wa ta’ala berfirman:

«وَأَلْقَى فِي الْأَرْضِ رَوَاسِيَ أَنْ تَمِيدَ بِكُمْ وَأَنْهَارًا وَسُبُلًا لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ»

“Dan Dia memasang rawâsî di dalam bumi agar ia tidak bergoncang bersama kalian, juga sungai-sungai dan jalan-jalan agar kalian mendapat petunjuk.”[50]

Al-Hafizh Ibnul Jauzi (w. 597 H) menjelaskan makna rawâsî sebagai jibâl (gunung-gunung) dan ini juga pendapat ahli bahasa terkenal az-Zujaj. Al-Hafizh berkata, “Maksudnya, Kami memasang di dalamnya gunung-gunung yang kokoh agar ia tidak goncang.”[51]

Nabi bersabda:

«لَمَّا خَلَقَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ الْأَرْضَ، جَعَلَتْ تَمِيدُ، فَخَلَقَ الْجِبَالَ، فَأَلْقَاهَا عَلَيْهَا فَاسْتَقَرَّتْ»

“Tatkala Allâh ‘azza wa jalla menciptakan bumi, ia berguncang. Lalu Dia menciptakan gunung-gunung lalu dipancangkan di atasnya sehingga bumi jadi tenang.”[52]

Lantas, apa pendapat ilmuwan tentang gunung? Mereka menemukan fenomena yang tidak terduga sebelumnya bahwa gunung yang menjulang tinggi itu kalah jauh dengan akarnya yang menjulang ke bumi. Dan seandainya bukan karena akar ini, bumi akan sering bergoncang karena di dasar bumi terdapat cairan yang sangat panas dan mendidih. Cairan ini tetap stabil karena tekanan panasnya dikeluarkan lewat gunung-gunung ke lempengan-lempengan atau diletuskan.

Para ilmuwan juga menjelaskan bahwa fungsi gunung bagi bumi adalah ibarat sebuah paku yang menjadikan lembaran kayu tetap saling menyatu. Gunung  muncul karena tumbukan lempengan-lempengan raksasa yang membentuk kerak bumi. Ketika dua lempengan bertumbukan, lempengan yang lebih kuat menyelip ke bawah sedangkan  lempengan yang lemah melipat ke atas membentuk dataran tinggi dan gunung. Lapisan bawah bergerak di bawah permukaan dan membentuk perpanjangan yang dalam ke bawah. Ini berarti gunung mempunyai bagian yang menghujam jauh ke bawah yang tak kalah besarnya dengan yang tampak di permukaan bumi. Dengan perpanjangan yang menghujam jauh ke dalam maupun ke atas permukaan bumi, gunung-gunung menggenggam lempengan-lempengan kerak bumi yang berbeda, layaknya pasak. Kerak bumi terdiri atas lempengan-lempengan yang senantiasa dalam keadaan bergerak. Fungsi pasak dari gunung ini mencegah guncangan dengan cara memancangkan kerak bumi yang memiliki struktur sangat mudah bergerak.[53]

Allâh subhanahu wa ta’ala mengabarkan fungsi gunung dalam firman-Nya:

«أَلَمْ نَجْعَلِ الْأَرْضَ مِهَادًا (٦) وَالْجِبَالَ أَوْتَادًا»

“Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan? Dan gunung-gunung sebagai pasak?”[54]

Diduga bahwa magma yang berhasil ditenangkan gunung ini sebagian berasal dari magma yang berada di kerak bumi, yang seolah-olah di dasar laut ada api.

Pada pertengahan tahun 1990-an, dua ahli geologi berkebangsaan  Rusia, Anatol Sbagovich dan Yuri Bagdanov bersama rekannya ilmuwan Amerika Serikat, Rona Clint pernah melakukan penelitian tentang kerak bumi dan patahannya di dasar laut.

Para ilmuwan tersebut, menyelam ke dasar laut sedalam 1.750 kilometer di lepas pantai Miami. Sbagovich bersama kedua rekannya menggunakan kapal selam canggih yang kemudian beristirahat di batu karang dasar laut. Di dasar laut itulah, mereka dikejutkan dengan fenomena aliran air yang sangat panas mengalir ke arah retakan batu. Kemudian aliran air itu disertai dengan semburan lava cair panas menyembur layaknya api di daratan, juga disertai dengan debu vulkanik layaknya asap kebakaran di daratan. Panasnya suhu api vulkanis di dalam air tersebut ternyata mencapai 231 derajat celcius.

Bagaimana api bisa bertahan di dalam laut? Mereka menemukan fakta bahwa fenomena alam itu terjadi akibat aliran lava vulkanis yang terjadi di dasar laut, layaknya gunung api bila di daratan. Dan kemudian mereka menemukan lebih banyak lagi gunung api aktif di bawah laut, yang tersebar di seluruh lautan.[55]

Setelah Perang Dunia II, para ilmuwan  melakukan ekspedisi bawah laut dalam rangka mencari alternatif berbagai barang tambang yang sudah nyaris habis cadangannya di daratan akibat konsumerisme budaya materialistik yang dijalani manusia sekarang ini. Mereka dikejutkan dengan rangkaian gunung berapi (volcanic mountain chain) yang membentang berpuluh-puluh ribu kilometer di tengah-tengah seluruh samudera bumi yang kemudian mereka sebut sebagai ‘gunung-gunung tengah samudera.’

Dengan mengkaji rangkaian gunung-gunung tengah samudera ini tampak jelas bahwa gunung-gunung tengah samudera tersebut sebagian besar terdiri dari bebatuan berapi (volcanic rocks) yang dapat meledak layaknya ledakan gunung berapi yang dahsyat melalui sebuah jaring retak yang sangat besar. Jaring retak ini dapat merobek lapisan bebatuan bumi dan ia melingkupi bola bumi kita secara sempurna dari segala arah dan terpusat di dalam dasar samudera dan beberapa lautan, sedangkan kedalamannya mencapai 65 km. Kedalaman jaring retak ini menembus lapisan bebatuan bumi secara penuh hingga menyentuh lapisan lunak bumi (lapisan bumi ketiga) yang memiliki unsur bebatuan yang sangat elastis, semi cair, dan memiliki tingkat kepadatan dan kerekatan tinggi.

Bebatuan lunak ini didorong oleh arus muatan yang panas ke dasar semua samudera dan beberapa lautan semacam Laut Merah dengan suhu panas yang melebihi 1.000 derajat Celcius. Batuan-batuan elastis yang beratnya mencapai jutaan ton ini mendorong kedua sisi samudera atau laut ke kanan dan ke kiri yang kemudian disebut oleh para ilmuwan dengan ‘fenomena perluasan dasar laut dan samudera.’ Dengan terus berlangsungnya proses perluasan ini, maka wilayah-wilayah yang dihasilkan oleh proses perluasan itupun penuh dengan magma bebatuan yang mampu menimbulkan pendidihan di dasar samudera dan beberapa dasar laut.

Salah satu fenomena yang mencengangkan para ilmuwan saat ini adalah bahwa meskipun sebegitu banyak, air laut atau samudera tetap tidak mampu memadamkan bara api magma tersebut. Dan magma yang sangat panas pun tidak mampu memanaskan air laut dan samudera. Keseimbangan dua hal yang berlawanan: air dan api di atas dasar samudera bumi, termasuk di dalamnya Samudera Antartika Utara dan Selatan, dan dasar sejumlah lautan seperti Laut Merah merupakan saksi hidup dan bukti nyata atas kekuasaan Allâh subhanahu wa ta’ala yang tiada batas.

Laut Merah misalnya, merupakan laut terbuka yang banyak mengalami guncangan gunung berapi secara keras sehingga sedimen dasar laut ini pun kaya dengan beragam jenis barang tambang. Atas dasar pemikiran ini, dilakukanlah proyek bersama antara Pemerintah Kerajaan Saudi Arabia, Sudan, dan salah satu negara Eropa untuk mengeksploitasi beberapa kekayaan tambang yang menggumpal di dasar Laut Merah.

Kapal-kapal proyek ini melemparkan stapler barang tambang untuk mengumpulkan sampel tanah dasar Laut Merah tersebut. Stapler pengeruk sampel tanah itu diangkat dalam batang air yang ketebalannya mencapai 3.000 m. Dan jika stapler sampai ke permukaan kapal, tidak ada seorang pun yang berani mendekat karena sangat panasnya. Begitu dibuka, maka keluarlah tanah dan uap air panas yang suhunya mencapai 3.000 derajat Celcius. Dengan demikian, sudah terbukti nyata di kalangan ilmuwan kontemporer, bahwa ledakan gunung vulkanik di atas dasar setiap samudera dan dasar sejumlah laut jauh melebihi ledakan vulkanik serupa yang terjadi di daratan.

Kemudian terbukti pula dengan beragam dalil dan bukti bahwa semua air yang ada di bumi dikeluarkan oleh Allâh subhanahu wa ta’ala dari dalam bumi melalui ledakan-ledakan vulkanik dari setiap moncong gunung berapi. Pecahan-pecahan lapisan berbatu bumi menembus lapisan ini hingga kedalaman tertentu mampu mencapai lapisan lunak bumi. Di dalam lapisan lunak bumi dan lapisan bawahnya, magma vulkanik menyimpan air puluhan kali lipat lebih banyak dibanding debit air yang ada di permukaan bumi.

Dari sini tampaklah kehebatan hadits Nabi ini yang menetapkan sejumlah fakta-fakta bumi yang mencengangkan dengan sabda, “Sesungguhnya di bawah lautan ada api dan di bawah api ada lautan.” Sebab fakta-fakta ini baru terungkap dan baru bisa diketahui oleh umat manusia pada beberapa tahun terakhir.[56]

Mari kita bandingkan penemuan ini dengan ayat al-Qur`an:

«وَالْبَحْرِ الْمَسْجُورِ»

“Demi laut yang dibakar api.”[57]

Kebanyakan mufassir (ahli tafsir) menafsirkan ayat ini tentang kejadian hari Kiamat bukan fenomena alam sekarang. Yang semakna dengan ini adalah firman Allâh:

«وَإِذَا الْبِحَارُ سُجِّرَتْ»

“Dan apabila laut dibakar api.”[58]

‘Ali bin Abi Thalib bertanya kepada seorang Yahudi, “Di mana Jahannam?” Dia menjawab, “Laut.” ‘Ali berkata, “Aku memandangmu sebagai orang yang benar.” Kemudian ‘Ali membaca ayat, “Demi laut yang dibakar api.”[59]

Boleh jadi ayat ini juga mengandung hukum alam. Sangat mudah bagi Allâh menyempurnakan kandungan Kalam-Nya. Apalagi ayat ini diletakkan setelah pembicaraan fenomena alam, “Dan demi atap (langit) yang ditinggikan.” Juga ada hadits yang berbunyi:

«إِنَّ تَحْتَ الْبَحْرِ نَارًا، وَتَحْتَ النَّارِ بَحْرًا»

“Sesungguhnya di bawah laut ada api dan di bawah api ada laut.”[60]

Syaraful Haq al-‘Adhimi al-Abadi menjelaskan, “Ada yang berpendapat bahwa makna hadits ini adalah sesuai zhahirnya (apa adanya) karena Allâh Mahakuasa atas segala sesuatu.”[61]

Cairan api yang sangat panas ini diistilahkan para ilmuwan dengan magma. Inti Bumi yang sangat panas mengandung magma yang berada di dalam perut bumi. Lapisan dalam inti bumi ini menyambung lapisan lithosfer yang menyambung pada gunung-gunung berapi. Magma yang berasal dari lapisan athenosfer akan menjadi lahar setelah dimuntahkan oleh gunung berapi. Para ilmuwan memperkirakan temperatur inti bumi antara 9.000 - 11.000 derajat Fahrenheit atau sekitar 5.000 - 6.000 derajat Celcius. Sebagai perbandingan, air mendidih pada temperatur 100 derajat Celcius. Magma yang super panas ini tidak membeku di dalam perut bumi karena makin ke dalam perut bumi, tekanan dan suhu makin tinggi. Pada suhu yang tinggi itu material-material akan meleleh sehingga material di bagian dalam bumi berbentuk cair. Suhu tinggi ini yang mempertahankan cairan akan terus berbentuk cair hingga jutaan tahun.

Ketika ada lubang keluar, cairan ini keluar berbentuk lava cair. Ketika lava mencapai permukaan bumi, suhu menjadi lebih dingin (dari ribuan derajat menjadi hanya sekitar 30 derajat). Pada suhu ini cairan lava akan membeku membentuk batuan beku.

Mengapa cairan magma yang super panas ini tidak sampai membakar permukaan bumi? Jawabannya, minimal karena dua hal: diseimbangkan oleh gunung dengan cara dikeluarkan lewat letusannya, dan struktur lithosfer (lapisan kerak bumi) yang tebal dan kuat. Jadi, manusia pada hakikatnya ini sedang berjalan di atas lautan api yang sangat panas. Seandainya Allâh berkehendak, Allâh akan membinasakan orang-orang yang sombong dan angkuh dalam berjalan itu.

Mari kita bandingankan penemuan ini dengan ayat al-Qur`an:

«وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الْأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولًا»

“Dan janganlah kamu berjalan di bumi dengan angkuh. Sesungguhnya kamu tidak akan mampu melubangi bumi dan tinggimu tidak akan mampu mencapai gunung.”[62]

Firman-Nya, “kamu tidak akan mampu melubangi bumi” seolah mengisyaratkan bahwa lapisan permukaan bumi ini didesain kuat dan tebal oleh Allâh sehingga mustahil dilubangi oleh hamba-hamba yang angkuh itu. Juga dengan hikmah-Nya agar tidak mampu ditembus oleh magma yang super panas di dalam inti bumi sebagai bentuk kasih sayang-Nya kepada para hamba-Nya.

Tentang “Kamu tidak akan mampu melubangi bumi” ini, al-Hafizh Ibnul Jauzi (w. 597 H) menjelaskan, “Ada dua pendapat. Yang pertama: ‘Kamu tidak akan mampu melintasi bumi hingga ujungnya’ dan kedua: ‘Kamu tidak akan mampu menembus dan menggalinya.’”[63]

6. Sebuah Renungan

Apa yang kami sebutkan ini mengenai seputar Big Bang, langit, matahari, dan bumi, jika masih terasa berat karena keyakinan dulu yang sudah mendarah daging dan turun-temurun, sejujurnya kami tidak memaksa siapapun untuk mengikutinya. Meskipun demikian, baiknya Anda merenungi sifat-sifat orang beriman berikut ini. Mereka disebut beriman karena mereka percaya dengan kabar-kabar dari Allâh meskipun belum pernah melihat Allâh ataupun belum pernah menyaksikan sendiri kabar tersebut.

«إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا»

“Sesungguhnya orang-orang beriman hanyalah orang-orang yang percaya kepada Allâh dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu.”[64]

«إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ»

“Sesungguhnya ucapan orang-orang beriman apabila diseru kepada Allâh dan Rasul-Nya agar memutuskan perkara di antara mereka adalah ucapan, ‘kami dengar dan kami taat,’ dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”[65]

«وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا»

“Dan tidak patut bagi orang beriman laki-laki dan perempuan apabila Allâh dan Rasul-Nya telah memutuskan suatu perkara bahwa mereka memiliki pilihan lain dari urusan mereka tersebut. Barangsiapa yang durhaka kepada Allâh dan Rasul-Nya sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata.”[66]



[1] Lebih jelasnya bisa dilihat di http://id.wikipedia.org/wiki/big_bang.

[2] QS. Al-Anbiyâ` [21]: 30.

[3] Tafsîr Ibnu Katsîr (V/339).

[4] QS. Al-Anbiyâ` [21]: 33. Jika ditotal minimal ada 17 tempat penyebutan malam sebelum siang saat beriringan, yaitu al-Baqarah [2]: 164, ‘Ali Imrân [3]: 190, begitu juga [6]: 13, [10]: 6, [14]: 33, [16]: 12, [17]: 12, [21]: 20 & 33, [23]: 88, [24]: 44, [25]: 62, [28]: 73, [34]: 33, [41]: 37, [45]: 5, dan [73]: 20.

[5] QS. Qâf [50]: 38.

[6] QS. Al-Hajj [22]: 47.

[7] Al-Bidâyah wan Nihâyah (I/27) olehnya.

[8] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 4936) dan Muslim (no. 2950).  Dalam kurung tutup tambahan lafazh dari al-Bukhari, Muslim, Ibnu Hibban, dan lainnya dalam riwayat lain.

[9] Al-Minhâj (XVIII/89) olehnya.

[10] Fathul Bârî (IX/442) oleh Ibnu Hajar.

[11] Lihat QS. An-Nahl [16]: 1, al-Ahzâb [33]: 63, al-Qamar [54]: 1, dan an-Najm [53]: 57. Juga HR. Al-Bukhari (no. 3346) dan Muslim (no. 2880), juga HR. Al-Bukhari (no. 5231) dan Muslim (no. 2671), dan lain-lain.

[12] Maksud menuju di sini adalah beralih menciptakan langit. Urutannya: bumi diciptakan dalam 2 hari masih kosongan, lalu langit diciptakan, lalu isi bumi disempurnakan dalam 4 hari. Maka total penciptaan langit dan bumi adalah 6 hari.

[13] QS. Fushshilat [41]: 9-12.

[14] Al-Bidâyah wan Nihâyah (I/29).

[15] Shahih: HR. Abu Ya’la al-Maushili (no. 2329, IV/217) dalam Musnadnya dan ad-Darimi (I/142) dalam ar-Ra’du ‘alal Jahmiyyah dari  Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Dinilai shahih Husain Salim Asad.

[16] HR. Muslim (no. 2653, IV/2044), at-Tirmidzdi (no. 2156), Ahmad (no. 6579), dan Ibnu Hibban (no. 6138) dalam Shahihnya dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma.

[17] Syarhus Suyûthî (VI/18).

[18] Shahih: HR. Al-Hakim (no. 3840, II/540) dalam al-Mustadrâk seraya berkata, “Hadits shahih sesuai syarat al-Bukhari Muslim tetapi keduanya tidak mengeluarkannya,” dan disetujui adz-Dzahabi.

[19] HR. Ath-Thabarani (no. 10595, X/247) dalam al-Mu’jam al-Kabîr. Al-Haitsami berkata, “Di dalamnya ada adh-Dhahhak yang dinilai dha’if oleh sekelompok ‘ulama tetapi dinilai tsiqah Ibnu Hibban seraya berkata, ‘Dia tidak pernah mendengar dari Ibnu ‘Abbas.’ Perawi lainnya tsiqah.

[20] QS. Ar-Rûm [30]: 25. Ayat yang serupa misalnya QS. [35]: 41, [40]: 64, dan [27]: 61.

[21] QS. Al-Baqarah [2]: 20.

[22] Lisânul ‘Arâb (XII/497) olehnya.

[23] Al-Qâmûs al-Muhîth (hal. 1152) olehnya.

[24] Zâdul Masîr (III/420).

[25] Tafsîr al-Qurthubî (XIV/19).

[26] Ma’ânil Qur`ân (II/323) olehnya.

[27] QS. Al-Baqarah [2]: 258.

[28] QS. Al-An’âm [6]: 78.

[29] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 3124, IV/86) dan Muslim (no. 1747) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.

[30] Shahih: HR. Al-Hakim (no. 2618, II/151) dalam al-Mustadrâk. Dinilai shahih al-Hakim dan disetujui adz-Dzahabi.

[31] Tafsîr al-Qurthubî (IX/280).

[32] Fathul Bârî (VI/299).

[33] QS. Al-Baqarah [2]: 22.

[34] QS. An-Naml [27]: 61.

[35] QS. Az-Zukhrûf [43]: 10.

[36] Mafâtîhul Ghaib (II/336) olehnya.

[37] QS. Adz-Dzâriyât [51]: 47.

[38] Shafwatut Tafâsîr (III/239) olehnya.

[39] QS. Ar-Ra’du [13]: 2.

[40] Tafsîr as-Sa’dî (hal. 412).

[41] QS. Yâsîn [36]: 40.

[42] Al-Bidâyah wan Nihâyah (I/69) oleh Ibnu Katsir.

[43] QS. Al-Anbiyâ` [21]: 32.

[44] HR. Ad-Darimi (no. 71, I/49) dalam ar-Ra’du ‘alal Jahmiyyah, Abu Dawud (no. 4726), Ibnu Abi ‘Ashim (no. 575) dalam as-Sunnah, Ibnu Khuzaimah (I/239) dalam at-Tauhîd, al-Ajurri (no. 677) dalam asy-Syarî’ah. Dinilai dha’if oleh al-Albani. Adz-Dzahabi mengomentari sanad hadits ini di al-‘Uluw (I/38), “Ini hadits gharib sekali. Memang Ibnu Ishaq bisa dijadikan hujjah dalam bab peperangan apabila bersanad, tetapi dia memiliki riwayat yang mungkar dan aneh.” Muhammad ‘Uwaidhah dalam adh-Dhiya` al-Lâmi’ min Kutub as-Sittah wa Shahîhil Jâmi’ (hal. 47) menyatakan, “Hadits Jabir bin Muth’im ini milik Abu Dawud dengan sanad hasan menurutnya, seperti yang dikatakan adz-Dzahabi.”  Kata beliau hanya mencantumkan hadits shahih dalam kitabnya ini. Ibnu Mandah menyatakan dalam at-Tauhîd, “Hadits ini diriwayatkan Bakar bin Sulaiman dan lainnya dan sanadnya muttasil.” Al-Baihaqi berkomentar dalam al-Asmâ` (II/317) setelah membawakan perbedaan sikap ahli hadits tentang beberapa rawi di dalam sanad ini, “Adapun Abu Sulaiman al-Khaththabi menilai tsabit hadits ini dan berusaha mensyarahnya.”

[45] HR. Ibnu Hibban (no. 361, II/76) dalam Shahîhnya, Abusy Syaikh al-‘Ashfahani (II/648) dalam al-‘Adhamah, Abu Nu’aim (I/166) dalam al-Hilyah, al-Baihaqi (no. 862) dalam al-Asma` wash Shifât. Di dalam sanadnya ada Muhammad bin Abis Sirri al-‘Asqalani yang dinilai dha’if Abu Hatim tetapi dinilai tsiqah Ibnu Ma’in. Ibnu ‘Adhi berkata, “Sering keliru.”

[46] Al-Bidâyah wan Nihâyah (I/69) olehnya.

[47] Majmu’ al-Fatâwâ (XXV/193) olehnya.

[48] Lihat Lisânul ‘Arâb (X/478) oleh Ibnu Manzhur dan Majmu’ al-Fatâwâ (XXV/193) oleh Syaikhul Islam.

[49] QS. Al-Anbiyâ` [21]: 104.

[50] QS. An-Nahl [16]: 15.

[51] Zâdul Masîr fî Ilmit Tafsîr (II/553) olehnya.

[52] HR. Ahmad (no. 12253, XIX/276-227) dalam Musnadnya dan at-Tirmidzi (no. 3369) dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Dinilai dha’if oleh al-Albani dan al-Arna`uth. Namun, matan (teks) hadits ini shahih menurut para ilmuwan. Akan dijelaskan lagi di footnote berikutnya.

[53] http://www.keajaibanalquran.com/earth_mountains.html

[54] QS. An-Nabâ` [78]: 6-7.

[55] http://www.republika.co.id

[56] Lihat Buku Induk Mu’jizat Ilmiah Hadits Nabi (hal. 68-70) oleh Prof. Dr. Zaghlul an-Najjar.

[57] QS. Ath-Thûr [52]: 6.

[58] QS. At-Takwîr [81]: 6. Ayat-ayat dalam surat ini berbicara tentang hari Kiamat.

[59] Tafsîr al-Qurthubî (XVII/61).

[60] HR. Abu Dawud (no. 2489) dari Basyr bin Abi ‘Abdillah dari Basyir bin Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma. Jumhur ahli hadits menilai hadits ini dha’if (lemah). Al-Albani berkata, “Sanad hadits ini dha’if karena juhhâlah (para perawinya tidak dikenal) dan idhthirâb (goncang). Tentang perawi yang tidak dikenal ini, al-Hafizh Ibnu Hajar bekata dalam biografi Bisyr Abu ‘Abdillah dan Basyir bin Muslim di kitab at-Taqrîb, ‘Keduanya majhul.’ Tentang Basyir, Imam al-Bukhari berkata, ‘Haditsnya tidak shahih.’ Adapun tentang kegoncangan, dikatakan juga oleh Ibnul Mundziri demikian dan al-Khaththabi berkata, ‘Para ‘ulama mendha’ifkan sanad hadits ini.’” Demikian secara ringkas yang tercantum dalam as-Silsilah al-Ahâdîts adh-Dha’îfah (no. 478, I/691-692) karya al-Albani. Kesimpulannya, secara sanad hadits ini dha’if menurut jumhur ahli hadits. Hanya saja, secara matan shahih menurut sebagian ilmuwan, seperti Prof. Dr. Zaghlul Raghib an-Najjar yang mengangkat hadits ini dari dha’if ke shahih karena shahih secara fakta ilmiah. Beliau juga menyatakan bahwa hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad lain dan dinilai oleh Ibnu Abi Syaibah para perawi hadits ini tsiqah (terpercaya). Sanad yang dimaksud adalah Abu Dawud ath-Thayalisi dari Hisyam dari Qatadah dari Abi Ayyub dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, dan jika benar adanya sebagaimana yang dikatakan beliau, maka dengan sendirinya hadits ini menjadi hasan lighairih. Syuhaib ‘Abdul Jabbar dalam kitabnya al-Jâmi’ as-Shahîh lis Sunan wal Masânid (I/556) berkata, “Meskipun hadits ini tidak shahih karena sanadnya yang lemah, tetapi ia shahih berdasarkan fakta ilmiah.” Yang benar dalam masalah ini adalah hadits dha’if tidak bisa diangkat ke shahih berdasar fakta ilmiah, karena fakta ilmiah masih bersifat zhan (dugaan). Namun, hadits dha’if tidak selamanya dha’if secara matan. Boleh jadi sebuah hadits dha’if secara sanad tetapi shahih secara matan, dan ini banyak contohnya dan diakui oleh para ahli hadits. Allahu a’lam.

[61] ‘Aunul Ma’bûd Syarh Sunan Abî Dâwûd (VII/120) olehnya.

[62] QS. Al-Isrâ` [17]: 37.

[63] Zâdul Masîr fî Ilmit Tafsîr (III/25) olehnya.

[64] QS. Al-Hujurât [49]: 15.

[65] QS. An-Nûr [24]: 51.

[66] QS. Al-Ahzâb [33]: 36.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url