Al-Quran Berbicara Kedokteran Modern
Al-Quran Berbicara Kedokteran Modern
Umat Islam memiliki ahli
kedokteran yang ternama di dunia Barat yang bernama Ibnu Sina atau dilatinkan
menjadi Avicenna. Bukunya yang menjadi pedoman kedokteran selama berabad-abad silam di dunia Eropa dan Barat
bukanlah hal yang tersembunyi lagi. Ibnu Sina hafal al-Qur`an saat berumur
sekitar 10 tahun, sebagaimana yang dinukil adz-Dzahabi.
Al-Qur`an banyak menyinggung
masalah kedokteran agar beriman orang-orang yang sombong dan angkuh dari
kalangan umat Nashrani yang membanggakan ilmu kesehatan mereka.
Allâh subhanahu wa ta’ala
lewat al-Qur`an menyuruh manusia untuk memikirkan penciptaan diri mereka
sendiri yang begitu rumit dan
menakjubkan, apakah mungkin dirinya tercipta dengan sendirinya tanpa
Pencipta?
«وَفِي
الْأَرْضِ آيَاتٌ لِلْمُوقِنِينَ (٢٠) وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ»
“Dan di
bumi terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang yakin dan juga di diri-diri
kalian. Apakah kalian tidak melihatnya?”[1]
Kemudian Allâh menjelaskan
kaidah-kaidah mendasar dalam kedokteran dari mulai keajaiban sperma, proses
pembuahan, hingga masa pertumbuhan dan masa tua yang pikun. Belum ada kitab
yang mampu berbicara permasalahan yang begitu akurat seperti ini sebelum 1400
tahun silam selain al-Qur`an.
1. Sperma dalam Kedokteran dan Wahyu
Ilmu kedokteran menjelaskan
bahwa rata-rata sel sperma laki-laki yang terpancar berjumlah 250 juta.
Kumpulan sperma tersebut membutuhkan waktu sekitar 5 menit untuk sampai ke sel
telur, tetapi hanya 1.000 saja yang berhasil sampai mencapai sel telur, yang
lainnya mati terkena asam di pintu rahim saat di perjalanan. Sel telur yang
seukuran setengah garam tersebut hanya mengijinkan dimasuki (dibuahi) oleh satu
sel sperma saja (spermatozoa). Spermatozoa ini yang akan menentukan apakah
berjenis kelamin laki-laki atau perempuan, bukan sel telur perempuan.
Bandingkan ini dengan firman
Allâh:
«وَأَنَّهُ
خَلَقَ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَالْأُنْثَى (٤٥) مِنْ نُطْفَةٍ إِذَا تُمْنَى»
“Dan
sesungguhnya Dia menciptakan berpasangan laki-laki dan perempuan dari sperma
apabila dipancarkan.”[2]
Dalam ayat ini setelah
menyebutkan jenis laki-laki dan perempuan, al-Qur`an menyebutkan bahan
penciptaannya dari nutfah (sperma) tanpa menyebutkan rahim atau sel
telur, seakan mengisyaratkan bahwa yang menentukan berjenis laki-laki atau
perempuan adalah spermatozoa laki-laki bukan sel perempuan. Inilah yang diakui
ilmu kedokteran modern. Menurut kedokteran, spermatozoa itu mengandung dua
pasang kromosom y dan x sementara perempuan hanya x. Jika y spermatozoa bertemu
x sel telur maka berjenis laki-laki (xy) tetapi jika x bertemu x maka berjenis
perempuan (xx).
Syaikh as-Sa’di (w. 1367 H)
menjelaskan nutfah, “Ia keluar dari tulang sulbi laki-laki dan tulang
dada perempuan lalu menetap di ‘tempat yang kokoh’ yakni rahim yang
menjaga dari kerusakan, angin, dan lainnya.”[3]
Sperma tersusun dari campuran
zat-zat lainnya sehingga memiliki energi untuk bergerak, pelindung dari asam di
sekitar rahim, dan melincinkan jalan sehingga memudahkan pergerakan menuju sel
telur.
Mari kita bandingkan hal ini
dengan firman Allâh subhanahu wa ta’ala:
«إِنَّا
خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ
سَمِيعًا بَصِيرًا»
“Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dari sperma yang bercampur. Kami mengujinya lalu
Kami menjadikan untuknya pendengaran dan penglihatan.”[4]
Al-Hafizh Ibnul Jauzi (w. 597 H)
menukil dari Ibnu Qutaibah bahwa makna (أَمْشاجٍ) adalah bercampur (أَخْلاَطٌ). Kemudian al-Hafizh menjelaskan, yaitu
campuran air laki-laki dengan air perempuan (bercampurnya spermatozoa dan
ovum).[5]
Boleh jadi juga maknanya dibawa
kepada campuran bermacam-macam zat dalam sperma. Di dalam ayat lain, Allâh subhanahu
wa ta’ala mensifati sperma sulâlah (سُلَالَةٍ) yang artinya saripati. Imam al-Qurthubi
dalam tafsirnya menjelaskan makna sulâlah, mengeluarkan sesuatu dari
sesuatu. Itu artinya air mani terbentuk dari saripati tubuh (zat mendasar atau
terbaik) yang bercampur lalu menjadi nutfah
(sperma).
2. Enam Tahapan Janin
Kemudian, Allâh subhanahu wa
ta’ala berfirman:
«وَلَقَدْ
خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ طِينٍ (١٢) ثُمَّ جَعَلْنَاهُ
نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ (١٣) ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً
فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا
الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ
أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ»
“Dan
sungguh Kami telah menciptakan manusia dari saripati tanah. Kemudian Kami
jadikan ia nutfah (sperma) di tempat yang kokoh. Kemudian Kami jadikan nuftah
‘alaqah (segumpal
darah). Kamudian Kami jadikan ‘alaqah mudhghah (segumpang daging). Kemudian Kami jadikan mudhghah tulang lalu Kami bungkus tulang
tersebut dengan daging. Kemudian Kami menjadikannya ke bentuk ciptaan lain.
Maka Mahasuci Allâh sebaik-baik pencipta.”[6]
Inilah tahapan-tahapan
penciptaan manusia yang Allâh jelaskan secara terperinci 14 abad silam,
sementara kedokteran Barat baru bisa menjelaskannya 2 abad silam. Sebab,
embriologi (cabang ilmu kedokteran tentang pembuahan spermatozoa dan ovum
hingga menjadi janin) berkembang seiring ditemukannya mikroskop pada abad ke-17
M oleh Leueewenhoek, tetapi baru diketahui perkembangan embrio secara detail
abad ke-20 M oleh Streeter (1941) dan dilanjutkan oleh O’Rahilly (1972).
Ilmu embriologi menjelaskan
bahwa spermatozoa yang berhasil memasuki ovum, ia menempel ke rahim untuk
mengambil zat makanan dari darah ibu, mirip lintah mengisap darah. Seandainya
zigot (spermatozoa yang melebur dengan ovum) ini difoto sejajar dengan lintah,
maka gambar yang terambil hampir sama bentuknya. Al-Qur’an menyebut setelah
tahapan nutfah dengan ‘alaqah (عَلَقَةٌ) yang dalam bahasa Arab artinya sesuatu
yang menempel pada sesuatu. Orang ‘Arab biasa menggunakan lafazh untuk
mengungkapkan menempelkan lintah kepada sesuatu dengan (أَعْلَقَ), bahkan lintah sendiri bernama (عَلَقٌ). Al-Hafizh Ibnul Jauzi menjelaskan, “Ada
yang berpendapat bahwa disebut (عَلَقَةٌ) karena ia bersifat basah dan menempel
pada sesuatu yang dilewatinya, apabila telah kering (sehingga terlepas) tidak
disebut lagi (عَلَقَةٌ).”[7]
Allâh Mahasempurna menentukan
istilah untuk keadaan zigot ini dengan (عَلَقَةٌ) yang ketiga maknanya menyamai keadaan
zigot, yaitu sesuatu yang menempel (karena memang zigot menempel pada dinding
rahim), lintah (karena memang bentuknya dan cara mengisapnya mirip lintah), dan
segumpal darah (karena memang menghisap darah lewat dinding rahim sehingga
mengandung dominasi darah yang menggumpal). Allahu akbar!
Kemudian Allâh rubah menjadi (مُضْغَةٌ) setelah (عَلَقَةٌ). Secara bahasa (مُضْغَةٌ) artinya sesuatu yang dikunyah atau
segumpal daging (yang dikunyah). Kata ini mengena sekali dalam menjelaskan
keadaan zigot dalam fase ini, di mana bahan dasarnya berupa segumpal daging
kecil dan bentuknya mirip sesuatu yang dikunyah (sudah berbentuk tidak
teratur). Al-Hafizh Ibnul Jauzi dan Syaikh as-Sa’di menafsirkan (مُضْغَةٌ) dengan gumpalan daging yang sedikit.[8]
Fase berikutnya, Allâh
menjadikannya tulang (عِظَامٌ) kemudian Allâh
bungkus dengan daging (لَحْمٌ). Awalnya
kedokteran meyakini fase tulang dan
daging terbentuk bersamaan, tetapi kemudian meralatnya, yaitu tulang dulu baru dibungkus daging. Kemudian di fase
terakhir zigot berkembang menjadi janin dengan bentuk hampir sempurna kemudian
sempurna seperti bayi pada umumnya, sebagai tahapan dari (النَّشَأُ) yang secara bahasa berarti berkembang,
tumbuh, dan hidup. Fase ini dikenal oleh ilmu kedokteran dengan diferensiasi.
Di dalam ayat yang agung ini, Allâh
subhanahu wa ta’ala mengajarkan ilmu embriologi kepada manusia. Tahapan-tahapan perkembangan
embrio Allâh subhanahu wa ta’ala rangkum dalam 6 tahapan. Allâh
berfirman, “Dan Dia menciptakan kalian dalam perut-perut ibu kalian kejadian
demi kejadian (tahapan-tahapan).”[9]
Adapun 6 tahapan tersebut
adalah:
1.
Nutfah
(sperma selama 40
hari)
2.
‘Alaqah
(segumpal darah selama 40 hari)
3.
Mudhghah
(segumpal daging selama 40 hari)
4.
‘Idhâm
(tulang)
5.
Lahma
(daging/otot)
6.
Nasy`
menjadi khalqun akhar (bentuk baru)[10]
Semua tahapan ini benar-benar
fakta ilmiah ilmu kedokteran modern, bahkan penjelasan dalam al-Qur`an lebih
akurat, jelas, singkat, dan mudah dipahami, berbeda dengan ilmu embriologi
modern yang sulit ditangkap dan dipahami dengan mudah. Seorang pakar anatomi
dan embriologi dari Universitas Toronto Kanada, Dr. Moore, dalam bukunya Developing
Human (Perkembangan Manusia) menyatakan bahwa klasifikasi modern tentang
tahap perkembangan embrionik yang telah diadopsi hampir di seluruh dunia,
adalah pengklasifikasian yang terlalu rumit dan tidak komprehensif. Klasifikasi
modern di atas tidak memberikan kontribusi terhadap pemahaman mengenai tahapan
perkembangan embrionik secara mudah dan jelas, karena tahap-tahap tersebut
berdasarkan bentuk numerik, yaitu tahap 1, tahap 2, tahap 3, dan seterusnya.
Pembelahan yang telah disebutkan al-Qur`an tidaklah bergantung pada sistem
numerik. Lebih jauh, klasifikasi perkembangan embrio yang terdapat di al-Qur`an
berdasarkan pada identifikasi morfologi (bentuk) dan ukuran yang lebih akurat,
mudah dipahami, dan jelas.
Mahasuci Allâh yang berfirman:
«يَا
أَيُّهَا النَّاسُ إِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِنَ الْبَعْثِ فَإِنَّا
خَلَقْنَاكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِنْ
مُضْغَةٍ مُخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِنُبَيِّنَ لَكُمْ وَنُقِرُّ فِي
الْأَرْحَامِ مَا نَشَاءُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى ثُمَّ نُخْرِجُكُمْ طِفْلًا ثُمَّ
لِتَبْلُغُوا أَشُدَّكُمْ وَمِنْكُمْ مَنْ يُتَوَفَّى وَمِنْكُمْ مَنْ يُرَدُّ
إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ لِكَيْلَا يَعْلَمَ مِنْ بَعْدِ عِلْمٍ شَيْئًا»
“Wahai
manusia, jika kalian berada dalam keraguan tentang hari kebangkitan, (maka
perhatikanlah) sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari tanah kemudian
dari nutfah kemudian dari ‘alaqah kemudian dari mudhghah yang terbentuk dan
tidak terbentuk, supaya Kami jelaskan itu kepada kalian. Kami simpan kalian
dalam rahim sampai waktu yang Kami kehendaki, kemudian Kami keluarkan kalian
berupa bayi kemudian kalian tumbuh dewasa. Sebagian kalian diwafatkan dan
sebagian kalian dikembalikan kepada umur pikun sehingga tidak mengetahui apapun
setelah sebelumnya mengetahui.”[11]
3. 9 Bulan 10 Hari
Umur kehamilan secara umum
menurut ilmu kedokteran adalah 9 bulan 10 hari. Bagaimana dengan al-Qur`an?
Perhatikan dua firman Allâh ini yang akan membuat Anda takjub:
«وَوَصَّيْنَا
الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ
كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا»
“Dan Kami
mewasiatkan manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah
mengandungnya dengan kepayahan dan melahirkannya dengan kepayahan pula. Masa
mengandung dan menyapihnya adalah 30 bulan.”[12]
«وَوَصَّيْنَا
الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ
فِي عَامَيْنِ»
“Dan Kami
mewasiatkan manusia kedua orang tuanya (untuk diperlakukan dengan baik). Ibunya
mengandungnya dalam keadaan kelemahan di
atas kelemahan, dan masa menyapihnya 2 tahun.”[13]
Dalam ayat pertama, Allâh
menyebutkan masa mengandung ditambah menyapih (berhenti menyusui balita) adalah
30 bulan (2 tahun 6 bulan), sementara pada ayat kedua disebutkan masa
menyapihnya 2 tahun. Ini berarti masa mengandung ibu menurut al-Qur`an adalah 6
bulan!!!
Enam bulan
adalah masa minimun memungkinkan wanita melahirkan atau istilah kedokterannya prematur.
Kedokteran tidak bisa membantah bahwa terkadang ada wanita yang melahirkan saat
menginjak usia kehamilan 6 bulan, meskipun jarang terjadi dan terkadang bayinya
kurang sempurna atau meninggal.
Al-Hafizh Ibnu Katsir (w. 774 H)
menjelaskan, “Dengan ayat ini ‘Ali radhiyallahu ‘anhu berdalil bahwa
masa hamil paling sedikit wanita adalah 6 bulan. Ini adalah istinbath
(pengambilan hukum) yang kuat dan shahih. Ini juga disetujui ‘Utsman dan jamaah
para shahabat radhiyallahu ‘anhum.” Kemudian al-Hafizh membawakan cerita
yang diriwayatkan dari Ba’ajah bin ‘Abdullah al-Juhanni, dia berkata, “Seorang
lelaki dari daerah kami menikah dengan seorang wanita dari Juhainah lalu
melahirkan persis 6 bulan. Kemudian suaminya pergi menemui ‘Utsman dan
menceritakannya (seolah-olah istrinya telah berzina karena baru 6 bulan bersama
suaminya sudah melahirkan). Lalu wanita itu didatangkan (untuk dirajam).
Tatkala wanita itu bangkit dengan mengenakan pakaiannya, saudarinya menangis.
Wanita itu berkata, ‘Apa yang membuatmu menangis?’ Dia menjawab, ‘Demi Allâh
tidak ada seorang pun dari makhluk Allâh yang memakaikan itu (mungkin merawat)
kepadaku selainmu. Allâh telah menetapkan takdirnya atasku apa yang Dia
kehendaki.’ Tatkala wanita itu didatangkan ke ‘Utsman, kemudian diperintahkan eksekusi
rajam (dilempari batu hingga mati). Kemudian berita itu sampai ke ‘Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu ‘anhu, lalu berkata kepada beliau, ‘Apa yang Anda
lakukan?’ ‘Utsman menjawab, ‘Dia melahirkan persis 6 bulan.’ ‘Ali berkata
kepada beliau, ‘Tidakkah Anda membaca al-Qur`an?’ ‘Ya,’ jawabnya. ‘Tidakkah
Anda mendengar Allâh berfirman, ‘Masa mengandung dan menyapihnya adalah 30
bulan,’ dan firman-Nya, ‘Dan masa menyapihnya 2 tahun,’ sehingga
kita tidak mendapatkan sisa kecuali 6 bulan?’ kata ‘Ali. ‘Utsman berkata, ‘Demi
Allâh, saya tidak mengetahuinya.’”[14]
[1] QS. Adz-Dzâriyât [51]: 20-21.
[2] QS. An-Najm [53]: 45-46.
[3] Tafsîr as-Sa’dî (hal. 548).
[4] QS. Al-Insân [76]: 2.
[5] Zâdul Masîr (IV/374). Penjelasan serupa dalam Tafsîr
Ibnu Katsîr (VIII/285).
[6] QS. Al-Mu`minûn [23]: 12-14.
[7] Zâdul Masîr (III/223).
[8] Tafsîr Ibnul Jauzî (III/223) dan Tafsîr as-Sa’dî
(hal. 548).
[9] QS. Az-Zumar [39]: 6.
[10] Masa 40 hari ini berdasarkan hadits yang shahih riwayat
al-Bukhari (no. 3208) dan Muslim (no. 2643) dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu.
[11] QS. Al-Hajj [22]: 5.
[12] QS. Al-Ahqâf [46]: 15.
[13] QS. Luqmân [31]: 14.
[14] Tafsîr Ibnu Katsîr (VII/280).