Hukum Sutroh Sholat dalam 4 Madzhab
Hukum Sutroh Sholat dalam 4 Madzhab
Sutroh (penghalang) di depan orang yang
Sholat, baik dia sebagai imam atau munfarid (sholat sendirian),
hukumnya adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat ditekankan). Hal
ini merupakan kesepakatan dari empat mazhab fiqih: Hanafiyah, Malikiyah,
Syafi’iyah, dan Hanabilah, serta disebutkan adanya Ijma’ (kesepakatan ulama)
atas hal tersebut.
Dalil-dalil dari Sunnah:
Dari Abu
Sa’id Al-Khudri رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ, ia berkata: Rosulullah ﷺ bersabda:
«إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا»
“Jika
salah seorang dari kalian Sholat, maka hendaklah ia Sholat menghadap sutroh dan
hendaklah ia mendekat kepadanya.” (HSR. Abu Dawud no. 698)
Dari Abu
Dzar Al-Ghifari رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ, ia berkata: Rosulullah ﷺ bersabda:
«إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي، فَإِنَّهُ يَسْتُرُهُ إِذَا كَانَ بَيْنَ
يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ، فَإِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ
الرَّحْلِ، فَإِنَّهُ يَقْطَعُ صَلَاتَهُ الْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ وَالْكَلْبُ الْأَسْوَدُ»
“Jika
salah seorang dari kalian berdiri untuk Sholat, maka dia akan terlindungi
apabila ada di depannya benda seperti pelana (unta). Jika tidak ada benda
seperti pelana di depannya, maka akan memutus Sholatnya: keledai, wanita, dan
anjing hitam.” (HR. Muslim no. 510)
Lihat makna
“memutus Sholat” dalam artikel di
sini.
Dari Abu
Sa’id Al-Khudri رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ, ia berkata: Aku mendengar Nabi ﷺ bersabda:
«إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنَ النَّاسِ،
فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَلْيَدْفَعْهُ، فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ،
فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ»
“Apabila
salah seorang dari kalian Sholat menghadap sesuatu yang menjadi penghalang dari
orang-orang, lalu ada seseorang ingin lewat di depannya, maka hendaklah dia
menghalanginya. Jika dia menolak, maka lawanlah dia, karena sesungguhnya dia
adalah setan.” (HR. Al-Bukhori no. 509 dan Muslim no. 505)
Hadits Abu
Sa’id dan Abu Dzar menunjukkan wajibnya sutroh. Lalu kewajiban ini turun
menjadi sunnah dengan hadits Ibnu Abbas di bawah ini. Demikian yang ditempuh
oleh 4 madzhab sehingga mereka sepakat tidak wajibnya sutroh.[1]
Dari
‘Abdullah bin ‘Abbas رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا, ia berkata:
أَقْبَلْتُ رَاكِبًا
عَلَى حِمَارٍ أَتَانٍ، وَأَنَا يَوْمَئِذٍ قَدْ نَاهَزْتُ الِاحْتِلَامَ، وَرَسُولُ
اللَّهِ ﷺ يُصَلِّي بِمِنًى إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ، فَمَرَرْتُ بَيْنَ
يَدَيْ بَعْضِ الصَّفِّ، وَأَرْسَلْتُ الْأَتَانَ تَرْتَعُ، فَدَخَلْتُ فِي الصَّفِّ،
فَلَمْ يُنْكَرْ ذَلِكَ عَلَيَّ
“Aku
datang menunggang keledai betina, dan saat itu aku hampir baligh. Rosulullah ﷺ sedang Sholat di Mina tanpa menghadap
dinding (sebagai sutroh). Aku melewati bagian depan dari shof, lalu aku
membiarkan keledai itu merumput, dan aku masuk ke dalam shof, dan tidak ada
yang mengingkariku.” (HR. Al-Bukhori no. 76 dan Muslim no. 504)
Ucapan “Beliau
Sholat di Mina tanpa menghadap dinding,” menunjukkan bahwa seorang imam
boleh Sholat tanpa menggunakan sutroh. (Ibnu Baththol, 1/162)
Dalil dari Ijma
Berikut perkataan
para ulama tentang hukum sutroh Sholat:
Ibnu Rusyd
(w. 595 H) berkata:
وَاتَّفَقَ العُلَمَاءُ
بِأَجمَعِهِم عَلَى استِحبَابِ السُّترَةِ بَينَ المُصَلِّي وَالقِبلَةِ، إِذَا صَلَّى
مُنفَرِدًا كَانَ أَو إِمَامًا
“Para
ulama telah sepakat bahwa sutroh sunnah, antara orang yang Sholat dengan
kiblat, baik dia Sholat sendiri maupun sebagai imam.” (Bidayatul Mujtahid
1/113)
An-Nawawi
(w. 676 H) berkata:
السُّنَّةُ لِلمُصَلِّي
أَن يَكُونَ بَينَ يَدَيهِ سُترَةٌ مِن جِدَارٍ أَو سَارِيَةٍ أَو غَيرِهِمَا، وَيَدنُوَ
مِنهَا، وَنَقَلَ الشَّيخُ أَبُو حَامِدٍ الإِجمَاعَ فِيهِ.
“Disunnahkan
bagi orang yang Sholat untuk memiliki sutroh di hadapannya, baik berupa
dinding, tiang, atau selainnya, dan hendaknya ia mendekat kepadanya. Asy-Syaikh
Abu Hamid menukil adanya ijma' dalam hal ini.” (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab
3/247)
Ibnu
Qudamah (w. 620 H) berkata:
وَجُملَتُه:
أَنَّهُ يُستَحَبُّ لِلمُصَلِّي أَن يُصَلِّيَ إِلَى سُترَةٍ، فَإِن كَانَ فِي مَسجِدٍ
أَو بَيتٍ صَلَّى إِلَى الحَائِطِ أَو سَارِيَةٍ، وَإِن كَانَ فِي فَضَاءٍ صَلَّى إِلَى
شَيءٍ شَاخِصٍ بَينَ يَدَيهِ، أَو نَصَبَ بَينَ يَدَيهِ حَربَةً أَو عَصًا، أَو عَرَضَ
البَعِيرَ فَصَلَّى إِلَيهِ، أَو جَعَلَ رَحلَهُ بَينَ يَدَيهِ. وَسُئِلَ أَحمَدُ:
يُصَلِّي الرَّاحِلُ إِلَى سُترَةٍ فِي الحَضَرِ وَالسَّفَرِ؟ قَالَ: نَعَم، مِثلُ
آخِرَةِ الرَّحلِ. وَلَا نَعلَمُ فِي استِحبَابِ ذَلِكَ خِلَافًا.
“Kesimpulannya:
disunnahkan bagi orang yang Sholat untuk Sholat menghadap sutroh. Jika
ia berada di Masjid atau rumah, maka ia Sholat menghadap tembok atau tiang.
Jika ia berada di tanah lapang, maka ia Sholat ke arah sesuatu yang tegak di
hadapannya, atau ia menancapkan tombak atau tongkat di depannya, atau ia
menghadapkan unta ke arahnya lalu Sholat ke arah punggungnya, atau ia
meletakkan pelana (unta) di hadapannya. Ahmad (w. 241 H) ditanya: 'Apakah orang
yang berkendara tetap Sholat ke arah sutroh di rumah atau dalam perjalanan?'
Beliau menjawab: 'Ya, seperti pelana.' Kami tidak mengetahui adanya khilaf
tentang disunnahkannya hal ini.” (Al-Mughni 2/174)
Burhanuddin
Ibnu Muflih (w. 884 H) berkata:
وَيُستَحَبُّ
أَن يُصَلِّيَ إِلَى سُترَةٍ مَعَ القُدرَةِ عَلَيهَا، بِغَيرِ خِلَافٍ نَعلَمُه.
“Disunnahkan
untuk Sholat menghadap sutroh jika mampu, tanpa diketahui adanya khilaf dalam
hal ini.” (Al-Mubdi' 1/437)
Kesimpulan
1. Sutroh adalah sunnah
bukan wajib. Ini kesepakatan 4 madzhab, bahkan ijma’. Orang yang mengatakan
wajib maka ia menyelisihi ijma’ dan memilih pendapat yang lemah dari sebagian
ulama.
2. Dianjurkan senantiasa
menghadap sutroh.
3. Tidak boleh
mengingkari orang yang tidak memakai sutroh dalam sholatnya.
4. Tidak boleh
melewati tempat sujud orang yang sholat, baik ia menghadap sutroh ataukah
tidak.
5. Dianjurkan -bahkan
sebagian ulama mewajibkan- menolak keras dengan tangan atas orang yang lewat
tempat sujudnya.
Allahu a’lam.[]
[1] Perintah mengandung 3 kemungkinan: wajib, sunnah, mubah. Pada asalnya adalah wajib lalu turun menjadi sunnah jika ada indikasi (seperti perintah yang ditinggalkan Nabi ﷺ, seperti kasus sutroh ini). Lalu bisa turun menjadi mubah jika diawali larangan, seperti perintah jual beli yang datang setelah larangan jual beli pada adzan Jum’at, dalam surat Al-Jumuah.