Istri-Istri Nabi - Al-Fushul fi Sirotil Rosul - Al-Hafizh Ibnu Katsir

 

Istri-Istri Nabi

[Qotadah bin Du’amah menyatakan bahwa Nabi menikahi 15 wanita, menggauli 13, mengumpulkan 11 dalam waktu bersamaan, dan wafat dengan 9 istri.

Dalam sebuah riwayat hadits disebutkan 11, namun pendapat 10 lebih shohih, sebagaimana dalam Shohih Bukhori.]

[1. Khodijah, -1,5 H]

Istri pertama yang dinikahi Nabi adalah Khodijah binti Khuwailid Rodhiyallahu ‘Anha.

Beliau adalah penolong setia bagi Nabi ketika pertama kali diutus, dan ia adalah orang pertama yang beriman kepada beliau menurut pendapat yang shohih.

Ada juga yang mengatakan: Abu Bakr, namun itu pendapat yang syadz (ganjil).

Selama Khodijah hidup, Nabi tidak menikahi wanita lain karena kemuliaannya dan kedudukannya yang agung di hati beliau.

Ulama berbeda pendapat siapa yang lebih utama antara Khodijah dan ‘Aisyah Rodhiyallahu ‘Anhuma, namun banyak Ulama yang lebih mengunggulkan Khodijah.

Khodijah wafat sebelum hijroh sekitar satu setengah tahun sebelumnya.

[2. Saudah, ±13 H]

Kemudian Nabi menikahi Saudah binti Zam’ah Al-Qurosyiyah Al-‘Amiriyah setelah wafatnya Khodijah di Makkah dan beliau melakukan akad serta mulai rumah tangga di sana. Ketika Saudah telah lanjut usia, Nabi hendak menceraikannya, namun ia berdamai dengan menyerahkan gilirannya kepada ‘Aisyah, dan ada juga yang mengatakan gilirannya diserahkan langsung kepada Nabi , lalu beliau memberikannya kepada ‘Aisyah. Turun ayat:

﴿وَإِنِ ٱمْرَأَةٌ خَافَتْ مِنۢ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًۭا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًۭا ۚ وَٱلصُّلْحُ خَيْرٌۭ ۗ وَأُحْضِرَتِ ٱلْأَنفُسُ ٱلشُّحَّ ۚ وَإِن تُحْسِنُوا۟ وَتَتَّقُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًۭا

Jika seorang wanita khawatir suaminya akan berlaku nusyuz (durhaka) atau berpaling, maka tidak ada dosa bagi keduanya untuk mengadakan perdamaian di antara mereka berdua; dan perdamaian itu lebih baik. Sifat kikir telah hadir dalam jiwa manusia. Dan jika kalian berbuat baik dan bertakwa, maka sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. An-Nisa’: 128)

Saudah wafat pada akhir masa pemerintahan Amirul Mukminin ‘Umar bin Al-Khottob (13 H) Rodhiyallahu ‘Anhu.

Ada yang mengatakan bahwa Nabi menikahi ‘Aisyah sebelum Saudah, namun beliau baru serumah (menggaulinya) pada bulan Syawwal tahun kedua Hijriyah.

[3. Aisyah, 57 H]

Nabi tidak pernah menikahi gadis kecuali ‘Aisyah.

Wahyu tidak pernah turun di atas selimut salah satu istrinya kecuali ‘Aisyah, dan beliau tidak mencintai wanita lain sebagaimana beliau mencintai ‘Aisyah.

‘Aisyah memiliki keutamaan dan kekhususan yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah.

Tidak diketahui ada wanita lain dari umat ini yang mencapai derajat ilmu seperti dirinya.

Ia wafat tahun 57 H atau menurut pendapat lain 58 H.

[4. Hafshoh, 41 H]

Kemudian Nabi menikahi Hafshoh binti ‘Umar bin Al-Khottob Rodhiyallahu ‘Anha pada tahun ketiga Hijriyah.

Nabi sempat menceraikannya, lalu merujuknya kembali.

Ia wafat tahun 41 H, ada pula yang mengatakan 45 H atau 50 H.

[5. Ummu Salamah, 59 H]

Kemudian Nabi menikahi Ummu Salamah, nama aslinya Hindun binti Abi Umayyah—konon namanya Hudzaifah atau Suhail bin Al-Mughirah bin ‘Abdillah bin ‘Umar bin Makhzum, dari suku Quroisy—setelah wafatnya suaminya Abu Salamah ‘Abdullah bin ‘Abdil Asad bin Hilal bin ‘Abdillah bin Makhzum sepulangnya dari Perang Badar.

Setelah masa ‘iddahnya selesai, Nabi meminangnya, yaitu pada awal tahun ketiga Hijriyah.

Yang menikahkan Ummu Salamah adalah anaknya, ‘Umar, sebagaimana diriwayatkan oleh An-Nasa’i dari jalur Hammad bin Salamah dari Tsabit Al-Bunani dari Ibnu ‘Umar bin Abi Salamah dari ayahnya dari Ummu Salamah.

Saya telah mengumpulkan bagian khusus terkait hal ini dan menjelaskan bahwa ‘Umar yang dimaksud dalam hadits itu adalah ‘Umar bin Al-Khottob Rodhiyallahu ‘Anhu, karena ia yang menjadi perantara untuk menikahkan Ummu Salamah dengan Nabi .

Namun Al-Waqidi dan lainnya menyebut bahwa yang menikahkannya adalah putranya, Salamah, dan itu pendapat yang shohih, in syaa Allah.

Ada juga yang mengatakan bahwa Nabi menikahinya tanpa wali, dan Allah Ta’ala lebih mengetahui.

Al-Waqidi menyebut bahwa Ummu Salamah wafat tahun 59 H, sementara riwayat lain menyebutkan bahwa ia wafat pada masa kekhilafahan Yazid bin Mu’awiyah, tahun 62 H.

[6. Zainab binti Jahsy, 20 H]

Kemudian Nabi menikahi Zainab binti Jahsy pada tahun kelima Hijriyah bulan Dzulqo’dah.

Ada juga yang mengatakan tahun ketiga, namun ini lemah.

Pada pagi hari pernikahan dengan Zainab, turunlah ayat tentang hijab, sebagaimana diriwayatkan dalam shohihain dari Anas.

Anas juga menyebutkan bahwa pada saat itu ia dihalangi dari masuk ke kamar beliau, dan usia Anas saat datang ke Madinah adalah 10 tahun, sehingga saat itu usianya sekitar 15 tahun.

Zainab dinikahkan oleh Allah langsung, tanpa perantara manusia, sebagaimana firman-Nya:

﴿فَلَمَّا قَضَىٰ زَيْدٌۭ مِّنْهَا وَطَرًۭا زَوَّجْنَـٰكَهَا

“Maka tatkala Zaid telah selesai terhadap istrinya, Kami nikahkan engkau dengannya.” (QS. Al-Ahzab: 37)

Al-Bukhori meriwayatkan dengan sanad tsulatsi bahwa Zainab membanggakan dirinya di hadapan istri-istri Nabi dan berkata:

زَوَّجَكُنَّ أَهَالِيكُنَّ، وَزَوَّجَنِيَ اللَّهُ مِنْ فَوْقِ سَبْعِ سَمَاوَاتٍ

“Kalian dinikahkan oleh wali kalian, sedangkan aku dinikahkan oleh Allah dari langit.”

Ia adalah istri Nabi yang pertama kali wafat.

Al-Waqidi menyebut ia wafat tahun 20 H dan disholatkan oleh ‘Umar bin Al-Khottob Rodhiyallahu ‘Anhu.

[7. Juwairiyah, 50 H]

Lalu Nabi menikahi Juwairiyah binti Al-Harits bin Abi Dhiror dari Bani Mustholiq pada tahun keenam Hijriyah di tempat bernama Al-Muroisi’.

Ia jatuh dalam tawanan milik Tsabit bin Qois bin Syammas, lalu menebus dirinya (mukatabah) dan mendatangi Nabi untuk meminta bantuan. Nabi lalu membelinya, memerdekakannya, dan menikahinya.

Ia wafat tahun 50 H, menurut Al-Waqidi tahun 56 H.

[8. Shofiyyah, 50 H]

Kemudian Nabi menikahi Shofiyyah binti Huyay bin Akhthob dari Bani Nadhir, keturunan Nabi Harun.

Ia adalah tawanan perang Khoibar tahun ke-7 Hijriyah, lalu Nabi memilihnya dari harta rampasan, memerdekakannya dan menjadikannya sebagai maharnya.

Nabi menikahinya di tengah perjalanan dan memasukinya di sana, serta menutupinya (menghijabinya), sehingga para Shohabat tahu bahwa ia adalah Ummahatul Mu’minin.

Al-Waqidi menyebut ia wafat tahun 50 H, ada juga yang mengatakan 36 H.

[9. Ummu Habibah, 44 H]

Pada tahun ini, atau tahun sebelumnya (tahun ke-6 H), Nabi menikahi Ummu Habibah, namanya Romlah binti Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah dari Bani Umayyah.

Ia berada di Habasyah dan dinikahkan oleh ‘Amr bin Umayyah Adh-Dhomari.

Setelah wafat suaminya, ‘Ubaidullah bin Jahsy, yang menikahkannya adalah Kholid bin Sa’id bin Al-’Ash, ada juga yang mengatakan An-Najasyi, namun pendapat pertama lebih shohih.

Mahar pernikahannya diserahkan oleh An-Najasyi sebesar 400 dinar, ia juga yang mengirimkannya kepada Nabi .

Terkait riwayat Muslim dalam shohih-nya dari ‘Ikrimah bin ‘Ammar dari Abu Zamil dari Ibnu ‘Abbas bahwa Abu Sufyan saat masuk Islam berkata:

“Aku memiliki wanita tercantik dari bangsa Arab, yaitu Ummu Habibah binti Abu Sufyan, izinkan aku menikahkannya denganmu,”

maka ini dianggap aneh oleh sebagian Ulama, karena Abu Sufyan masuk Islam saat penaklukan Makkah (8 H), sedangkan Nabi telah menikahi Ummu Habibah lebih dari setahun sebelumnya.

Ibnu Hazm bahkan menyatakan hadits ini maudhu’ (palsu) dan mendhoifkan ‘Ikrimah bin ‘Ammar, namun itu tidak dikatakan oleh siapapun dari ulama sebelum dan sesudahnya.

Menurut sebagian Ulama seperti Muhammad bin Thohir Al-Maqdisi, kemungkinan Abu Sufyan ingin memperbarui akad agar tidak merasa terhina karena sebelumnya tidak diminta izinnya, atau ia mengira keislamannya membatalkan akad pernikahan.

Ini diikuti Ibnu Sholah dan Abu Zakaria An-Nawawi dalam Syarh Muslim. Namun ini sangat lemah.

Yang benar, ia ingin menikahkan putrinya yang lain, yakni ‘Izzah, dengan meminta tolong putrinya, Ummu Habibah, sebagaimana disebut dalam shohihain bahwa Ummu Habibah berkata kepada Nabi : “Ya Rosulullah, nikahilah saudara perempuanku binti Abu Sufyan,” maka Nabi bertanya: “Apakah engkau menyukainya?” dan seterusnya.

Ummu Habibah wafat tahun 44 H menurut Abu ‘Ubaid, atau 59 H sebelum wafat saudaranya, Mu’awiyah, menurut Ibnu Abi Khoitsamah.

[10. Maimunah, 59]

Kemudian Nabi menikahi Maimunah binti Al-Harits Al-Hilaliyyah pada bulan Dzulqo’dah tahun itu.

Ada perbedaan pendapat, apakah beliau saat itu sedang berihrom atau tidak.

Shohih Bukhori dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa beliau dalam keadaan ihrom.

Sebagian Ulama menjadikan hal ini sebagai kekhususan Nabi , berdasarkan hadits ‘Utsman: “Orang yang sedang ihrom tidak boleh menikah, tidak boleh menikahkan, dan tidak boleh meminang.”

Namun riwayat dari Maimunah menyebut bahwa Nabi menikahinya dalam keadaan halal, bukan sedang ihrom.

Mayoritas Ulama mendahulukan riwayat Maimunah karena ia pelaku kejadian dan lebih tahu.

Demikian pula riwayat dari Abu Rofi’ dalam Sunan Tirmidzi yang menjadi perantara keduanya, bahwa Nabi menikahinya dalam keadaan halal.

Ia wafat di Sarif, tempat Nabi singgah bersamanya sepulang Umroh Qodho’.

Ia wafat tahun 51 H, atau menurut pendapat lain tahun 53 H atau 66 H, dan disholatkan oleh keponakannya, ‘Abdullah bin ‘Abbas Rodhiyallahu ‘Anhuma.

Inilah sembilan istri Nabi setelah Khodijah, sebagaimana disebutkan dalam shohihain bahwa Nabi wafat dalam keadaan memiliki sembilan istri.

Dalam riwayat lain disebutkan sebelas, namun pendapat pertama lebih shohih.

Qotadah bin Du’amah menyatakan bahwa Nabi menikahi 15 wanita, menggauli 13, mengumpulkan 11 dalam waktu bersamaan, dan wafat dengan 9 istri.

Al-Hafizh Abu ‘Abdillah Al-Maqdisi meriwayatkan hal serupa dari Anas dalam kitab Al-Mukhtarah, dan ini yang paling masyhur.

Sebagian Ulama belakangan dari kalangan Malikiyyah menyebut daftar istri Nabi yang mencapai lebih dari 20 jika dihitung dengan yang tidak digauli.

Budak Simpanan (Sarori)

[Qultu: budak wanita boleh digauli majikannya. Jika lahir anak, ia berganti nama ummu walad (ibu anak majikan) dan ia merdeka jika majikan wafat. Jika ia dinikahkan dengan budak lelaki, maka tidak boleh digauli lagi]

Nabi memiliki dua budak simpanan (hamba sahaya):

1. Mariyah binti Syam’un Al-Qibthiyyah, ibu dari Ibrohim, anak Nabi . Ia dihadiahkan oleh Muqawqis, penguasa Iskandariyah dan Mesir, bersama saudarinya Syirin, pelayan bernama Mâbûr, dan baghol bernama Dal-dal.

   Nabi menghadiahkan Syirin kepada Hassan bin Tsabit, dan ia melahirkan ‘Abdurrohman.

   Mariyah wafat pada bulan Muharrom tahun 16 H. ‘Umar bin Al-Khottob Rodhiyallahu ‘Anhu langsung mengatur jenazahnya, mensholatkannya, dan memakamkannya di Baqi’.

2. Roihânah binti ‘Amr, atau disebut juga binti Zaid, dari Bani Quroizhah.

   Nabi mengambilnya sebagai tawanan perang dan menjadikannya hamba sahaya, lalu membebaskannya. Ada yang mengatakan beliau menikahinya, namun pendapat yang lebih shohih adalah ia tetap sebagai hamba sahaya.

Sebagian Ulama belakangan menyebutkan bahwa Nabi memiliki dua hamba sahaya lainnya, dan Allah Ta’ala lebih mengetahui.[]

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url