Manasik Umroh - Ibnu Utsaimin
Manasik
Umroh
Ibnu Utsaimin
﷽
الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونتوب إليه، ونعوذ بالله
من شرور أنفسنا، ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له،
ونشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، ونشهد أن محمداً عبده ورسوله صلى الله عليه
وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين وسلم تسليماً، أما بعد:
Haji termasuk ibadah
paling utama dan ketaatan paling agung, karena ia salah satu rukun Islam yang
dibawa Muhammad ﷺ, yang
ke-Islaman seorang hamba tidak bisa tegak (dengan sempurna) kecuali dengannya.
Ibadah tidak akan
diterima kecuali dikerjakan di atas dua landasan: (1) ikhlas, yaitu
hanya mengharapkan pahala dari Allah dan Surga, tidak diniatkan untuk pamer
(riya maupun sum’ah). (2) ittiba’, yaitu mengikuti Nabi ﷺ dan hal ini bisa terlaksana dengan
mengkaji Sunnah Nabi ﷺ. Oleh
karena itu bagi siapa saja yang ingin mewujudkan ittiba, harus mempelajai
Sunnah-Sunnahnya ﷺ yang
diambil dari ahli ilmu, baik dengan jalan tulisan maupun mendengar langsung
dari lisan ulama.
Wajib bagi orang-orang
yang mewarisi ilmu kenabian (ulama) dan orang-orang yang meniti jejaknya untuk
menerapkan ibadah, akhlak, dan interaksi sesama sesuai dengan apa yang mereka
ketahui dari Sunnnah Nabi mereka ﷺ, serta menyampaikannya kepada umat dan mengajak kepadanya, agar
terwujud warisan kenabian ﷺ dalam
bentuk ilmu, amal, menyampaikan dan mengajak, agar menjadi orang-orang yang
beruntung dari orang-orang yang beriman dan beramal sholih serta saling
membantu dalam dakwah dan kesabaran.
Kutaib ini adalah
ringkasan yang berkaitan dengan manasik Haji dan Umroh, yang aku jelaskan
sesuai apa yang aku ketahui dari nash-nash Kitab dan Sunnah, sambil berharap
kepada Allah agar menjadikannya ikhlas dan bermanfaat bagi manusia.[1]
ADAB SAFAR
Semestinya orang yang
pergi haji atau ibadah apapun untuk menghadirkan niat taqorrub (mendekatkan
diri) kepada Allah dalam semua kondisinya, agar seluruh ucapan, perbuatan,
harta yang dikeluarkannya hanya untuk Allah semata. Sebab, amal tergantung niat, dan masing-masing orang akan mendapatkan
sesuai niatnya.
Semestinya juga ia
menghiasi dirinya dengan akhlak mulia seperti dermawan, lemah lembut, lapang
dada dan suka memaafkan saudaranya, membantunya dengan harta dan fisik, serta
memasukkan kebahagiaan ke hati mereka,
di samping ia juga menunaikan segala yang diwajibkan Allah dari ibadah dan
menjauhi segala perkara harom.
Semestinya juga ia
memperbanyak bekal uang dan perlengkapan dalam safar, melebihi dari kebutuhan
untuk hati-hati dari antisipasi ada keperluan mendadak.
Semestinya ia juga mengucapkan
doa ketika hendak safar dan sedang safar, sesuai dengan tuntunan Nabi ﷺ, seperti:
1. Jika kakinya naik
kendaraan, ia membaca: bismillah. Jika sudah sempurna di atasnya, ia menyebut
nikmat Allah atas hamba-hamba-Nya dimudahkannya memanfaatkan
kendaraan-kendaraan yang berageka ragam, lalu ia bertakbir (Allahu akbar) tiga
kali lalu berdoa:
«سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا، وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ،
وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ، اللهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِي سَفَرِنَا
هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى، وَمِنَ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى، اللهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا
سَفَرَنَا هَذَا، وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ، اللهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ،
وَالْخَلِيفَةُ فِي الْأَهْلِ، اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ،
وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ، وَسُوءِ الْمُنْقَلَبِ فِي الْمَالِ وَالْأَهْلِ»
[Terjemah per
kalimat]
«سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا، وَمَا
كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ، وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ»
“Aku mensucikan (dari segala aib dan kekurangan) Dzat yang telah
menundukkan ini untuk kami, padahal kami tidak mampu menundukkannya, dan kami
kelak akan kembali kepada Rob kami.”
«اللّٰهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِي سَفَرِنَا هَذَا
الْبِرَّ وَالتَّقْوَى، وَمِنَ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى»
“Ya Allah, kami memohon dalam safar ini kebaikan dan taqwa serta amal yang
Engkau ridhoi.”
«اللّٰهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا،
وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ»
“Ya Allah, ringankanlah safar kami ini dan lipatlah jauhnya perjalanan dari
kami.”
«اللّٰهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ،
وَالْخَلِيفَةُ فِي الْأَهْلِ»
“Ya Allah, Engkau adalah teman dalam safarku dan pengganti untuk
keluargaku.”
«اللّٰهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ
السَّفَرِ، وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ، وَسُوءِ الْمُنْقَلَبِ فِي الْمَالِ وَالْأَهْلِ»
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesulitan dalam safar, pemandangan
yang tidak menyenangkan, dan keburukan pulang dalam harta dan keluarga.”[2]
2. Bertakbir (Allahu akbar) ketika jalan menanjak, dan bertasbih (subhānallōh)
ketika jalan menurun.
3. Jika singgah di sebuah tempat, hendaknya ia membaca:
«أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ
شَرِّ مَا خَلَقَ»
‘Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari keburukan makhluk-Nya.’
Jika ia membacanya maka tidak ada apapun yang membahayakannya hingga ia
pergi dari tempat itu.[3]
SAFAR WANITA
Tidak boleh wanita safar Haji maupun lainnya kecuali bersama mahrom, baik
safarnya dekat maupun jauh, baik bersama wanita lain maupun tidak, baik wanita
muda maupun tua, berdasarkan umumnya sabda Nabi ﷺ: “Wanita tidak boleh safar kecuali bersama
mahromnya.”
Hikmah dilarangnya safar wanita tanpa mahrom, karena akal wanita yang
pendek dan tidak mampu membela diri, dan hal ini akan menjadi target lelaki.
Boleh jadi dia nanti dikelabui atau dipaksa, atau boleh jadi ia lemah agama
sehingga tidak mampu menolak syahwat kaum lelaki, dan jadilah ia sasaran
ketamakan lelaki. Sementara mahrom akan menjaga kehormatannya dan membelanya.
Oleh karena itu, disyaratkan bagi mahrom adalah baligh dan berakal, tidak cukup
anak kecil yang belum baligh maupun orang yang tidak berakal.
Mahrom (yang paling utama) adalah suaminya, begitu juga semua orang yang
diharomkan menikah dengannya selamanya, baik karena hubungan kekerabatan,
persusuan, atau pernikahan.
Mahrom dari kerabat ada 7, yaitu:
1.
Ayah dan kakek, begitu pula seterusnya ke atas, baik dari jalur ibu maupun
ayah.
2.
Anak dan cucu (dari anak laki-laki maupun perempuan), termasuk yang
jalurnya ke bawah.
3.
Saudara, baik kanudng, seayah, maupun seibu.
4.
Anak saudara (keponakan), baik keponakan sekandung, seayah, maupun seibu.
5.
Anak saudari (keponakan), baik keponakan sekandung, seayah, maupun seibu.
6.
Paman (dari ayah), baik sekandung, seayah, maupun seibu.
7.
Paman (dari ibu), baik sekandung, seayah, maupun seibu.
Sementara mahrom sepersusuan, sama persis dengan mahrom kerabat,
berdasarkan sabda Nabi ﷺ:
“Menjadi mahrom karena sepersusuan, siapa saja yang menjadi mahrom karena nasab
(kekerabatan).”
Sementara mahrom pernikahan adalah
1.
Anak suami, cucu suami (baik dari anak laki-laki maupun perempuan), begitu
seterusnya ke bawah, sama saja dari suami sebelumnya (mantan atau wafat), suami
sekarang, maupun suami setelah wafatnya.
2.
Ayah dan kakek suami, begitu seterusnya ke atas, sama saja dari jalur
ayahnya maupun ibunya.
3.
Suami putrinya dan suami dari anak putranya atau putrinya. Tiga ini menjadi
mahrom selamanya dengan sekedar akad saja, meskipun seandainya suaminya
berpisah dengannya baik karena wafat, cerai, maupun khulu’ (tuntutan cerai dari
istri). Status mahromnya tetap berlaku.
4.
Suami ibu dan suami nenek, begitu seterusnya ke atas. Akan tetapi
suami-suami tersebut tidak menjadi mahrom untuk putri dari istri mereka hingga
istri tersebut sudah digaulinya. Jika sudah digauli maka suami menjadi mahrom
untuk putri istrinya dari suami sebelumnya (mantan atau cerai) maupun suami
setelahnya. Begitu juga menjadi mahrom untuk putri dari anak laki-laki maupun
perempuannya (cucu) meskipun sudah dicerai. Adapun jika setelah akad nikah
dicerai sebelum digauli, maka ia tidak menjadi mahrom untuk putri mantan
istrinya maupun putri dari anaknya (laki-laki maupun perempuan).
SHOLAT MUSAFIR
Agama Islam merupakan
agama yang mudah tidak memberatkan. Setiap kali ada keberatan, Allah membuka
pintu kemudahan. Allah berfirman:
هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ
حَرَجٍ
“Dia
memilih kalian dan tidak menjadikan untuk kalian pada agama Islam keberatan.”
(QS. Al-Hajj: 78)
Nabi ﷺ bersabda: “Agama Islam adalah mudah.”
Ulama ushul fiqih
berkata: “Keberatan akan menarik kemudahan.”
Karena umumnya safar
mengandung keberatan maka Allah meringankan hukumnya. Misalnya:
1.
Musafir boleh tayammum jika tidak mendapati air, atau memiliki sedikit air
yang hanya digunakan untuk makan dan minum. Akan tetapi jika diduga kuat akan
medapatkan air sebelum habis waktu sholat maka yang lebih utama adalah menunda
sholat sampai mendapatkan air tersebut untuk bersuci.
2.
Yang disyariatkan bagi musafir adalah meringkas sholat yang empat rokaat
menjadi dua rokaat, dimulai dari keluar dari negerinya sampai kembali pulang,
meskipun lama durasinya. Hal ini berdasarkan hadits dalam Shohih Al-Bukhori
dari Ibnu Abbas Rodhiyallahu ‘Anhuma
bahwa Nabi ﷺ tinggal
di Makkah pada tahun Fathu Makkah (penaklukan kota Makkah) pada tahun 9 H,
tepatnya di Tabuk selama 20 hari mengqoshor (meringkas) sholat. Akan tetapi
jika musafir sholat bermakmum kepada imam yang sholat 4 rokaat, maka ia sholat
4 rokaat mengikuti imam, baik ia mendapati imam dari awal atau masbuq. Jika
imam salam, maka ia menyempurnakan 4 rokaat. Hal ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Imam diangkat untuk diikuti maka kalian
jangan berbeda dengannya.” Juga berdasarkan keumumam sabda Nabi ﷺ: “Rokaat yang kalian dapatkan maka ikutlah
sholat, dan rokaat yang terluput maka sempurnakan.” Ibnu Abbas Rodhiyallahu ‘Anhuma ditanya: “Kenapa musafir sholat dua rokaat ketika
sendirian dan 4 rokaat ketika bermakmum ke muqim?” Dia menjawab: “Itulah Sunnah.”
Jika sholat bermakmum, Ibnu Umar sholat 4 rokaat, dan apabila sholat sendirian,
sholat 2 rokaat, yakni dalam safar.
3.
Disyariatkan bagi musafir untuk menjamak antara Zhuhur dengan Ashar dan
antara Maghrib dengan Isya, jika memang butuh dijamak, seperti masih
melanjutkan perjalanan. Yang lebih utama baginya ketika itu adalah memilih yang
paling mudah baginya antara jamak taqdim atau jamak ta’khir. Adapun jika ia
tidak butuh menjamak maka tidak boleh menjamak, misalnya ia sudah singgah di
sebuah tempat yang (dalam tempo lama) tidak ingin berpindah, kecuali setelah
masuknya waktu sholat kedua. Kondisi ini tidak membolehkannya jamak, bahkan ia
sholat fardhu pada waktunya, karena ia tidak berhajat untuk menjamak.
MIQOT
Miqot adalah tempat yang
telah ditentukan Nabi ﷺ untuk
memulai ihrom bagi yang hendak Haji maupun Umroh. Miqot ada lima, yaitu:
1.
Dzulhulaifah, yang
sekarang disebut Bir Ali dan ada pula yang menyebutnya Al-Hisā. Jaraknya dengan
Makkah sekitar 10 marhalah. Ia miqot bagi penduduk Madinah dan siapa yang
melewatinya.
2.
Juhfah, yaitu desa
kuno yang berjarak dengan Makkah sekitar 5 marhalah. Desa ini tidak dihuni
manusia sehingga orang-orang mengganti ihromnya dari Rōbigh. Ini miqot bagi
penduduk Syam (Yordania, Lebanon, Palestina, Suriah), dan siapa saja yang
melewatinya.
3.
Yalamlam, yaitu gunung atau
lokasi di Tihamah yang jaraknya dengan Makkah sekitar 2 marhalah. Ini miqot
bagi penduduk Yaman dan siapa yang melewatinya.
4.
Qornul Manāzil, yang biasa
disebut As-Sail, jaraknya dengan Makkah sekitar 2 marhalah. Ini miqot penduduk
Najed dan siapa saja yang melewatinya.
5.
Dzatu Irqin, yang biasa
disebut Dhorībah, jaraknya dengan Makkah sekitar 2 marhalah. Ini miqot penduduk
Iroq (Irak) dan siapa saja yang melewatinya.
Siapa saja yang lebih
dekat dari miqot-miqot ini maka miqotnya adalah tempatnya sendiri lalu berihrom
darinya. Penduduk Makkah berihrom dari Makkah, siapa yang melewati jalan kanan
atau kiri dari miqot-miqot ini maka ia berihrom dari tempat yang sejajar dan
paling dekat dengan miqot-miqot tersebut. Siapa yang berada di dalam pesawat,
maka ia berihrom dari tempat yang sejajar dari miqot-miqot ini dari atas,
dengan persiapan sebelumnya dan memakai pakaian ihrom sebelum melewati miqot
yang sejajar dengannya. Jika sudah mendekati tempat yang sejajar tersebut maka
ia berniat ihrom seketika itu juga, dan tidak boleh menundanya. Ada orang-orang
yang di dalam pesawat hendak Haji atau Umroh lalu ketika sudah mendekati tempat
yang sejajar dengan miqot ia tidak berihrom dan menunda ihromnya sampai turun
di bandara. Ini tidak boleh. Karena siapa termasuk melampaui batasan Allah.
Akan tetapi jika ia belum ada niat ingin Haji atau Umroh saat melewati miqot
lalu ternyata setelah itu ia berniat Haji atau Umroh maka tidak mengapa ia
berihrom dari tempat niatnya.
Siapa yang melewati
miqot-miqot ini tanpa ada keinginan untuk Haji atau Umroh, tetapi hanya ingin
mengunjungi kerabat atau berdagang atau menuntut ilmu atau berobat atau tujuan
lainnya, maka ia tidak diwajibkan ihrom. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas Rodhiyallahu ‘Anhuma bahwa Nabi ﷺ telah menentukan miqot-miqot dan bersabda: “Miqot-miqot ini
untuk mereka dan siapa saja yang melewatinya, bagi siapa yang berkeinginan Haji
atau Umroh.” Beliau mengkaitkan ihrom dengan Haji atau Umroh, sehingga dipahami
siapa yang tidak ada keinginan Haji atau Umroh maka tidak wajib ihrom.
Haji hanya wajib sekali,
berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Haji
hanya wajib sekali dan selebihnya adalah sunnah.” Yang lebih utama adalah tidak
menghalangi dirinya dari menambah Sunnah agar meraih banyak pahala, karena
mudahnya melaksanakan ihrom di waktu sekarang (dengan adanya bus), dan segala
puji dan karunia hanya milik Allah.
MACAM MANASIK
Manasik ada tiga yaitu tamattu’,
ifrod, dan qiron. Tamattu’ adalah berniat ihrom saja pada
bulan-bulan Haji (Syawwal, Dzulqo’dah, Dzulhijjah). Jika sudah sampai Makkah,
ia thowaf, sai untuk umroh, lalu membotak atau memendekkan rambut (tahallul).
Pada hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah), ia berihrom Haji dan mengerjakan semua
rentetan Haji.
Ifrod: berihrom Haji saja dan ketika sudah sampai
Makkah, ia thowaf qudum, lalu sa’i untuk Haji, dan tidak membotak atau
memendekkan rambut kepala. Ia tidak bertahallul, bahkan tetap ihrom sampai
melempar Jumroh Aqobah pada hari Idul Adha. Jika ia menunda sai Haji sampai
setelah thowaf Haji, tidak mengapa.
Qiron: ihrom Umroh dan Haji sekaligus, atau ihrom Umroh
dulu lalu memasukkan Haji padanya sebelum melaksanakan thowaf. Pelaksanaan
qiron mirip ifrod, hanya saja dalam qiron menyembelih hadyu dan ifrod tidak
perlu menyembelih hadyu.
Yang paling utama dari 3
manasik ini adalah tamattu, dan inilah yang diperintahkan Nabi ﷺ kepada para Sahabatnya, hingga seandainya
seseorang ihrom qiron atau ifrod, beliau menekankan agar merubah ihromnya menjadi
Umroh agar menjadi tamattu, meskipun setelah thowaf dan sai, karena Nabi ﷺ ketika thowaf dan sai pada tahun Haji Wada
bersama para Sahabatnya, memerintahkan siapa saja yang tidak memiliki hadyu
untuk merubah ihromnya menjadi Umroh lalu memendekkan rambutnya untuk
bertahallul. Beliau bersabda: “Seandainya aku tidak memiliki hadyu, tentulah
aku sudah melakukan seperti yang kuperintahkan kepada kalian.”
Terkadang seseorang ihrom
tamattu menuju Haji lalu tidak memungkinkan menyempurnakan Umrohnya sebelum
wukuf di Arofah, maka dalam kondisi seperti ini Haji dimasukkan ke Umroh
sehingga menjadi qiron. Saya berikan dua contoh:
Contoh pertama: seorang
wanita ihrom Tamattu lalu haid atau nifas sebelum thowaf dan belum suci sampai
datang waktu wukuf di Arofah. Pada kondisi seperti ini dia berniat memasukkan
Haji ke Umroh agar menjadi qiron. Ia melanjutkan ihromnya dan menuntaskan
manasik Haji tanpa thowaf di Ka’bah dan tanpa sai di antara Shofa dan Marwah,
sampai suci dan mandi.
Contoh kedua: seseorang berihrom
tamattu’ lalu terjadi penghalang yang menghalanginya dari memasuki Makkah
sebelum hari Arofah. Maka ia berniat memasukkan Haji kepada Umroh agar menjadi
qiron. Ia meneruskan ihromnya dan menuntaskan manasik Hajinya.
MUHRIM YANG MENGHARUSKAN HADYU
Muhrim (orang yang ihrom)
yang mengaharuskan menyembelih hadyu adalah tamattu dan qiron, bukan ifrod.
Tamattu adalah berihrom
Umroh pada bulan-bulan Haji yaitu setelah masuknya Syawal lalu tahallul. Lalu
ia berihrom lagi untuk Haji pada tahun itu juga. Jika ia berihrom Umroh sebelum
masuknya Syawal maka tidak termasuk tamattu’ sehingga tidak perlu hadyu, baik
ia sudah puasa Romadhon di Makkah atau tidak. Puasanya di Makkah tidak
berpengaruh baginya, karena yang dijadikan patokan adalah ihrom Umroh. Kapan ihromnya
sebelum memasuki Syawal maka tidak perlu hadyu, dan jika setelah masuknya
Syawal maka ia tamattut yang diharuskan menyembelih hadyu, jika terpenuhi
syarat-syarat wajibnya. Adapun yang dipahami oleh sebagian orang awam, yang
menjadikan patokannya adalah puasa Romadhon, bahwa siapa yang berpuasa di
Makkah maka tidak perlu hadyu, dan siapa yang tidak berpuasa harus menyembelih
hadyu, ini pemahaman yang tidak benar.
Adapun qiron, ia berihrom
Haji dan Umroh sekaligus, atau berihrom Umroh dulu lalu memasukkan Haji padanya
sebelum thowaf. Hadyu tidak wajib atas tamattu dan qiron kecuali dengan syarat
ia bukan termasuk penduduk Masjidil Harom. Jika ia termasuk penduduk Masjidil
Harom maka tidak perlu hadyu.
Penduduk Masjidil Harom
adalah penduduk Jarm dan siapa saja yang lokasinya dekat darinya yang jaraknya
dengan tanah Harom tidak dianggap safar, seperti penduduk jalan dan semisalnya.
Mereka tidak perlu hadyu.
Adapun orang-orang yang
jauh dari tanah Harom, yang jaraknya dianggap safar seperti Najed maka ia wajib
menyembelih hadyu.
Siapa dari penduduk
Makkah yang safar ke tempat lain untuk menuntut ilmu atau selainnya lalu
kembali ke Makkah untuk tamattu, ia juga tidak perlu hadyu. Karena yang
dijadikan patokan adalah tempat bermukimnya dan rumahnya yaitu Makkah, kecuali
jika ia telah pindah ke selain Makkah untuk berdomisili. Maka jika ia kembali
ke Makkah untuk tamattu, wajib hadyu, karena saat itu ia tidak dianggap
termasuk penduduk Masjidil Harom.
Hadyu yang wajib atas
tamattu dan qiron adalah satu ekor kambing yang layak sebagai kurban atau
sepertujuh ekor unta badanah atau sepertujuh ekor sapi betina. Jika ia tidak
mendapatinya, maka ia puasa 3 hari saat Haji ditambah 7 hari setelah pulang ke
keluarganya. Boleh berpuasa 3 hari di hari-hari Tasyriq, yaitu 11, 12, 13
Dzulhijjah. Boleh pula berpuasa sebelum itu setelah ihrom Umroh, tetapi tidak
boleh berpuasa di hari Idul Adha dan di hari Arofah. Karena Nabi ﷺ melarang berpuasa di dua hari raya dan
melarang berpuasa Arofah di hari Arofah (bagi jamaah Haji). Boleh berpuasa di
hari-hari tasyriq ini secara berurutan maupun tidak, akan tetapi tidak boleh
menundanya dari hari-hari Tasyriq. Adapun 7 hari sisanya, ia berpuasa ketika
sudah kembali kepada keluarganya. Boleh ia berpuasa itu secara berururan maupun
tidak.
SIFAT UMROH
Umroh adalah ihrom,
thowaf, sai, dan tahallul (menggundul atau memendekkan rambut).
[Ihrom dari
Miqot]
Ihrom adalah niat masuk
Umroh dengan memakai pakaian ihrom.
Jika seseorang ingin ihrom
untuk Umroh, maka dianjurkan mandi seperti mandi jinabat. Lalu memakai
minyak wangi terbaik yang dia miliki, seperti minyak wangi gaharu maupun
selainnya, (terutama) pada rambut dan jenggotnya. Tidak mengapa sisa aroma
tersebut masih terasa setelah ihrom, berdasarkan hadits dalam Shohihain
dari Aisyah ڤ, ia
berkata: “Apabila Nabi ﷺ ingin ihrom,
beliau memakai minyak wangi terbaik yang dimilikinya, lalu setelah itu aku
masih melihat bekas aroma minyak wangi tersebut pada rambut kepala dan
jenggotnya.”[4]
Mandi bagi lelaki maupun
perempuan, bahkan bagi wanita haid dan nifas, adalah sunnah (anjuran), karena
Nabi ﷺ
memerintahkan Asma binti Umais ketika nifas untuk mandi ihrom dan menutupi
tempat keluarnya darah dengan kain (semacam popok) lalu berihrom.[5]
Lalu setelah mandi dan
berminyak wangi, memakai pakaian[6] ihrom[7]. Lalu sholat fardhu
—kecuali wanita haid dan nifas— jika memang masuk waktu fardhu, dan jika tidak
maka (dianjurkan) sholat dua rokaat dengan niat sholat sunnah wudhu.
Jika sudah selesai
sholat, maka ihrom dengan membaca:
لَبَّيْكَ عُمْرَةً
Labbaika Umroh.
“Aku memenuhi
panggilan-Mu Umroh.”[8]
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ
لَبَّيْكَ، إِنَّ الحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالمُلْكَ، لاَ شَرِيكَ لَكَ
Labbaikallōhumma
labbaīk. Labbaika lā syarīka laka labbaīk. Innal hamda wan ni’mata laka
wal mulk, lā syarīka lak.
“Ya Allah, aku memenuhi
panggilan-Mu[9].
Aku memenuhi panggilan-Mu tanpa ada sekutu satu pun bagi-Mu, aku memenuhi
panggilan-Mu. Sesungguhnya segala pujian dan segala ni’mat hanyalah milik-Mu,
tidak ada sekutu satu pun bagi-Mu.”[10]
Ketika membacanya, lelaki
mengeraskan suaranya, dan adapun wanita membacanya sekedar didengar oleh orang
di sisinya saja.
Jika orang yang hendak
ihrom khawatir nanti akan ada penghalang yang menghalanginya dari menyempurkan Umrohnya
maka dianjurkan ia menambah syarat dalam ihrom dengan membaca tambahan dalam
niat tadi:
إِنْ حَبَسَنِي حَابِسٌ فَمَحِلِّي حَيْثُ حَبَسْتَنِي
In habasanī hābis,
fa mahillī hai-tsu habastanī.
“Jika ada yang
menghalangiku, maka aku bertahallul[11] di mana Engkau
menghalangiku.”[12]
Maksudnya, jika ada yang
menghalangiku dari menyempurnakan manasik Umrohku baik sakit, terlambat, maupun
lainnya, maka aku bertahallul sekarang.
Hal ini dikarenakan Nabi ﷺ memerintahkan Dhibā’ah binti Az-Zubair
untuk menambah syarat saat ingin ihrom dalam keadaan sakit: “Kamu memiliki
keringanan dari Rob-mu atas apa yang kamu kecualikan.”[13]
Maka jika ia sudah
menambah syarat lalu terjadi sesuatu yang mengahalanginya dari menyempurnakan
manasih Umrohnya maka ia boleh segera bertahallul dan tidak mengapa.
Adapun orang yang tidak
khawatir atas penghalang apapun dari menyempurnakan manasik Umrohnya, maka ia
tidak boleh menambah syarat, karena Nabi ﷺ tidak melakukannya dan tidak pula menyuruh seorang pun
melakukannya. Nabi ﷺ hanya
menyuruh Dhiba’ah binti Az-Zubair karena ia sedang sakit.
Orang yang ihrom
dianjurkan memperbanyak membaca talbiyah, terutama saat pergantian
keadaan dan waktu, seperti sedang menaiki tempat tinggi atau menuruni tempat
rendah, atau datang malam atau pagi. Setelah itu, (hendaknya) ia memohon kepada
Allah ridho-Nya dan Surga, serta berlindung dari Neraka dengan rohmat-Nya.[14]
Dianjurkan talbiyah Umroh
dimulai dari ihrom sampai hendak memulai thowaf. Adapun dalam Haji, dimulai
dari ihrom sampai melepar Jumroh aqobah pada hari Idul Adha.
Dianjurkan mandi karena
memasuki Makkah, jika sudah mendekatinya, karena Nabi ﷺ melakukannya ketika hendak memasuki
Makkah.
[Thowaf]
Ketika memasuki Masjidil
Harom, (dianjurkan) ia mendahulukan kaki kanan dan membaca:
بِسْمِ اللَّهِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ،
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذُنُوبِي وَافْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ. أَعُوذُ بِاللَّهِ
الْعَظِيمِ، وَبِوَجْهِهِ الْكَرِيمِ، وَبِسُلْطَانِهِ الْقَدِيمِ، مِنَ الشَّيْطَانِ
الرَّجِيمِ
Bismillāh, wash
sholātu was salāmu ‘alā rosūlillāh. Allōhummāghfirlī dzunūbī, waftahlī
abwāba rohmatik. A’ūdzū billāhil ‘azhīm, wa biwajhihil karīm, wa bisulthōnihil
qodīm, minasy syaithōnir rojīm.
“Dengan menyebut nama
Allah. Semoga sholawat dan salam atas Rosulullah. Ya Allah ampuni semua dosaku,
dan bukalah untukku pintu-pintu rohmat-Mu. Aku berlindung kepada Allah yang
Maha Agung, kepada Wajah-Nya yang mulia, serta kepada kerajaan-Nya yang terdahulu,
dari gangguan setan yang dirajam.”[15]
Lalu ia menuju Hajar
Aswad untuk memulai thowaf. (Hendaknya) ia menyentuh Hajar Aswad dengan tangan
kanannya dan menciumnya. Jika tidak memungkinkan menciumnya, ia mencium
tangannya sendiri setelah mencium Hajar Aswad. Jika tidak memungkinkan
menyentuh Hajar Aswad dengan tangannya, maka ia menghadap Hajar Aswad dan
menunjuk dengan tangannya dan tidak perlu mencium tangannya. Yang lebih utama
adalah tidak berdesakan dengan orang-orang karena akan menyakiti mereka, sebagaimana
dalam hadits dari Nabi ﷺ yang
berkata kepada Umar: “Wahai Umar, kamu lelaki kuat, maka kamu jangan mendesak
orang-orang saat mendekati Hajar Aswad karena akan menyakiti orang lemah. Jika
kamu menemukan celah maka sentuhlah ia, dan jika tidak memungkinkan maka
hadapkan wajahmu padanya lalu membaca tahlil dan takbir.[16]
(Dianjurkan) membaca
ketika menyentuh Hajar Aswad:
بِسْمِ اللَّهِ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُمَّ إِيمَانًا بِكَ،
وَتَصْدِيقًا بِكِتَابِكَ، وَوَفَاءً بِعَهْدِكَ، وَاتِّبَاعًا لِسُنَّةِ نَبِيِّكَ
مُحَمَّدٍ ﷺ
Bismillāh. Allōhumma
īmānan bik, wa tash-dīqon bikitābik, wa wafā-an bi’ahdik, wat tibā’ān lisunnati
nabiyyika Muhammadin ﷺ.
“Dengan menyebut nama
Allah. Ya Allah (aku melakukan ini) karena beriman kepada-Mu, membenarkan
Kitab-Mu, memenuhi janji-Mu, dan mengikuti Sunnah Nabi-Mu Muhammad ﷺ.”
Lalu ia memposisikan diri
di sebelah kanan, sementara Ka’bah di sebelah kirinya. Jika ia sudah melewati
Rukun Yamani, ia menyentuhnya tanpa perlu menciumnya. Jika tidak memungkinkan,
maka jangan berdesakan dengan orang-orang. Di antara Rukun Yamani ini dengan
Hajar Aswad membaca:
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً
وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Robbanā ātinā fid
dunyā hasanah, wa fil ākhiroti hasanah, wa qinā ‘adzāban nār.
“Wahai Rob kami, berilah
kami kebaikan di dunia dan kebaikan di Akhirat, serta jagalah kami dari siksa
Neraka.”
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي
الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
Allōhumma innī
as-alukal ‘afwa wal ‘āfiyah fid dun-yā wal ākhiroh.
“Ya Allah, aku memohon
kepada-Mu ampunan dan kesehatan di dunia dan Akhirat.”[17]
Setiap kali ia melewati
Hajar Aswad, bertakbir. Adapun pada putaran selain itu, ia boleh membaca apa
saja yang dia sukai dari dzikir, berdoa, dan tilawah Al-Quran. Sebenarnya
diperintahkannya thowaf di Ka’bah, Shofa, Marwa, dan melempar Jumroh, agar
dilaksanakan dzikir, doa, dan tilawah.
Pada thowaf kedatangan
ini[18], dianjurkan melakukan dua
hal:
1) Idh-thiba’ (الاضطباع) dari awal thowaf sampai selesai. Tata
cara idh-thiba’ adalah tengah selendang ihrom dimasukkan ke dalam ketiak kanan,
sementara dua ujungnya dikalungkan ke pundak kirinya.[19] Selesai thowaf, ia
mengembalikan selendangnya kepada keadaan awal sebelum thowaf (yakni pundak
kiri terbuka). Idh-thiba’ hanya berlaku saat thowaf saja.
2) Roml (الرمل) pada tiga putaran pertama saja. Tata cara
roml yaitu berjalan cepat sambil memendekkan langkah. Adapun empat putaran
sisanya, tanpa roml, tetapi berjalan normal.
Jika ia sudah
menyelesaikan thowaf sebanyak 7 putaran, (dianjurkan) ia menuju maqom[20] Ibrohim dan membaca:
﴿وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى﴾
Wattakhidzū mim maqōmi
ibrōhīma mushollā.
“Jadikanlah maqom Ibrohim
sebagai tempat sholat.” (QS. Al-Baqoroh: 125)
Lalu ia sholat dua rokaat
di belakang maqom tersebut. Pada rokaat pertama membaca Al-Kafirun setelah
Al-Fatihah, dan para rokaat kedua membaca Al-Ikhlas setelah Al-Fatihah.
Jika sudah selesai
sholat, ia kembali ke Hajar Aswad untuk menyentuhnya, jika memungkinkan.
[Sai]
Lalu ia (wajib) keluar
menuju tempat Sai. Apabila sudah dekat bukit Shofa, ia membaca:
﴿إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّه﴾
Innash shofā wal
marwata ming sya’ā-irillāh.
“Sesungguhnya Shofa dan
Marwah termasuk syi’ar-syi’ar Allah.” (QS. Al-Baqoroh: 158)
Lalu ia naik Shofa sampai
melihat Ka’bah lalu ia hadapkan wajahnya ke arah Ka’bah dan mengangkat dua
tangannya memuji Allah dan berdoa dengan doa apapun yang ia suka. Di antara doa
Nabi ﷺ di sini
adalah:
لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ
المُلْكُ، وَلَهُ الحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Lā ilāha illāllōh wahdahū
lā syarīka lah, lahul mulku wa lahul hamdu, wa huwa ‘alā kulli syai-ing qodīr.
“Tidak ada yang berhak
disembah kecuali Allah saja, tanpa ada sekutu apapun bagi-Nya. Semua kerajaan
dan pujian hanya milik-Nya. Hanya Dia yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ، أَنْجَزَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ
عَبْدَهُ، وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ
Lā ilāha illāllōh wahdah,
anjaza wa’dah, wanashoro ‘abdah, wahazamal ahzāba wahdah.
“Tidak ada yang berhak
disembah kecuali Allah saja, Yang mewujudkan janji-Nya, menolong hamba-Nya
(Muhammad), dan mengalahkan sendiri semua musuh.”[21]
Ini dibaca tiga kali. Di
sela-sela ini, ia (boleh) berdoa.
Lalu ia turun dari Shofa
menuju Marwah dengan berjalan kaki. Saat melewati tanda hijau, ia berjalan
dengan menghentakkan kakinya semampunya dan tidak boleh mengganggu orang lain.
Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa
beliau melakukan Sai (berjalan cepat) hingga terlihat dua lututnya karena
saking kuat langkahnya, hingga sarungnya memutar. Dalam riwayat lain: sarungnya
memutar karena saking kuat langkahnya.
Jika telah sampai tanda
hijau kedua, ia berjalan normal hingga sampai Marwah dan naik di atasnya. Lalu
ia menghadap kiblat dan mengangkat dua tangannya dan membaca seperti yang
dilakukan di Shofa.
Lalu ia turun dari Marwah
menuju Shofa dengan berjalan pada jalannya dan berlari kecil pada jalannya.
Apabila sudah sampai Shofa, ia melakukan lagi seperti yang dilakukan pertama
tadi. Demikian pula di Marwah. Ia melakukan ini hingga 7 kali putaran. Perginya
dia dari Shofa menuju Marwah dianggap satu putaran. Kembalinya ia dari Marwah
menuju Shofa dianggap satu putaran lagi. Ketika Sai ia (dianjurkan) membaca
dzikir, doa, dan tilawah.
[Tahallul]
Jika sudah selesai 7 kali
putaran, ia menggundul rambut kepalanya jika lelaki. Jika perempuan, cukup
memendekkan rambutnya seukuran satu ruas jarinya.
Dalam mengundul, wajib
merata ke seluruh bagian kepala. Demikian pula dalam memendekkan, merata ke
seluruh bagian kepala.
Menggundul lebih utama
dari memendekkan, karena Nabi ﷺ
mendoakan orang-orang yang menggundul sebanyak tiga kali, dan mendoakan
orang-orang yang memendekkan hanya sekali.
Kecuali jika waktu Haji
sudah dekat, di mana rambut kepadanya tidak tumbuh dalam waktu dekat, (maka
jangan digundul, disisakan untuk tahallul Haji). Maka dianjurkan hanya
memendekkan (dalam Umroh, yakni Haji tamattu), agar rambutnya masih tersisa
untuk digundul saat Haji. Dalilnya adalah Nabi ﷺ memerintahkan para Shohabatnya dalam Haji Wada untuk
memendekkan rambutnya saat Umroh, karena kedatangan mereka (di Makkah) adalah
pada pagi tanggal 4 Dzulhijjah[22].
Dengan mengerjakan
amal-amal ini maka Umroh telah sempurna. Maka (rukun) Umroh adalah ihrom,
thowaf, Sai, dan menggundul atau memendekkan[23]. Setelah itu, ia halal
secara sempurna dan boleh melakukan apa saja yang biasa dilakukan oleh
orang-orang yang halal seperti memakai pakaian (berjahit), berminyak wangi,
menggauli istrinya, dan selainnya.
***
[1] Tulisan beliau ini sebenarnya membahas Haji dan
Umroh lalu saya menyendirikan Umroh saja untuk diterjemahkan dengan bebas.
Kitab aslinya bernama:
«مناسك
الحج والعمرة والمشروع في الزيارة»
[2] HR. Muslim no. 1342.
[3] HR. Ahmad no. 7898.
[4] HR. Muslim no. 1190.
[5] HR. Muslim no. 1218.
[6] Pakaian ihrom lelaki adalah dua kain tanpa lubang
yang membentuk anggota badan seperti baju. Kain pertama untuk sarung dan kain
kedua untuk selendang. Adapun wanita ia memakai pakaian syari’ seperti
biasanya, dan tidak boleh memakai cadar dan sarung tangan.
[7] Ihrom ibarat takbirotul ihrom dalam sholat. Dengan
memasuki ihrom, berarti ia dilarang melakukan apa saja yang dilarang seperti
memakai baju, celana, penutup kepala, sarung tangan, sepatu, parfum, berburu,
bercumbu dan berjimak, menikah dan menikahkan atau melamar, dan lain-lain.
[8] HR. Muslim no. 1232. Inilah niat Umroh, harus
dilafazkan dan didengar minimal oleh dirinya sendiri.
[9] Yakni
Allah menyuruh Nabi Ibrohim untuk mengumumkan kepada manusia agar datang ke
Makkah untuk Haji (dan Umroh). Lihat QS. Al-Hajj: 27.
[10] HR.
Al-Bukhori no. 1549. Ini disebut talbiyah.
[11] Yakni
menyudahi Umrohku, karena adanya udzur syar’i. Tahallul adalah menggundul atau
memendekkan rambut. Kedudukannya seperti salam dalam sholat, untuk menyudahi
manasik Umroh.
[12] Lihat HR. Al-Baihaqi no. 10121 dan Al-Bukhori no. 5089.
[13] HR. Al-Bukhori no. 5089 dan Muslim no. 1207.
[14] Seperti
mengucapkan Allāhumma innī as-alukan jannah (ya Allah aku memohon Surga
kepada-Mu) wa a’ūdzubika minan nār (dan aku berlindung kepada-Mu dari
Neraka). Boleh memakai bahasa Indonesia, dan lebih utama berbahasa Arob.
[15] HR. Ahmad no. 26418 dan Abu Dawud no. 466.
[16] HR. Ahmad no. 189.
[17] HR. Ibnu Majah no. 2957.
[18] Biasa disebut thowāf qudūm. Qudum artinya tiba dan
datang. Thowaf sendiri ada beberapa macam: thowaf qudum, thowaf ifadhoh, thowaf
wada.
[19] Intinya pundak kanan terbuka. Sementara pundak
kiri tertutup kain selendangnya.
[20] Artinya tempat berpijak, yakni tempat berpijak
Nabi Ibrohim ketika merenov meninggikan Ka’bah.
[21] HR. Muslim no. 1218.
[22] Sementara Haji dimulai tanggal 8 Dzulhijjah sampai
12 Dzulhijjah.
[23] Menggundul atau memendekkan rambut ini biasa
disebut tahallul. Secara bahasa artinya halal (boleh), yakni akhir dari Umroh
dan dibolehkannya memakai baju, parfum, penutup kepala, dan lainnya yang
dilarang saat Umroh. Tahallul ibarat salam dalam sholat, sebagaimana ihrom
ibarat takbirotul ihrom dalam sholat.