Mengenal Lebih Dekat Madzhab Asy-Syafi'i - Nor Kandir

1. Pendahuluan

Madz-hab (مَذْهَبٌ) artinya tempat yang dituju atau jalan menuju tempat tersebut. Secara istilah, yaitu hukum-hukum yang mencakup berbagai permasalahan fiqih.[1]

Madzhab Asy-Syafi’i (المَذْهَبُ الشَّافِعِيُّ) artinya pendapat-pendapat Imam Asy-Syafi’i dalam masalah fiqih.

Di antara kelebihan Madzhab Asy-Syafi’i adalah menggabungkan dua madzhab pendahulunya. Imam Malik merupakan guru utama Asy-Syafi’i sehingga ia berhasil mengumpulkan ilmu gurunya dan hafal kitab Al-Muwath-tho’ karya gurunya tersebut. Asy-Syafi’i juga berhasil mengumpulkan fiqih Abu Hanifah dari murid utama Abu Hanifah yaitu Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani.

Dikatakan bahwa Madzhab Hanafi banyak menggunakan ro’yu (akal) dalam menetapkan fiqihnya karena keterbatasan hadits dan uzur lainnya, sementara Madzhab Maliki banyak fokus kepada hadits. Lalu Asy-Syafi’i menggabungkan hadits dan ro’yu.

2. Periode Perintisan

Perintis madzhab ini adalah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i yang lahir pada tahun wafatnya Abu Hanifah (150 H) dan wafat pada tahun 204 H. Kota kelahirannya di Ghoza (Gaza) Palestina dan wafat di Mesir.

Asy-Syafi’i hafal Al-Qur’an ketika berusia 7 tahun dan hafal kitab Al-Muwatho ketika berusia 10 tahun, sebagaimana yang dikatakannya sendiri:

حَفِظْتُ القُرْآنَ وَأَنَا ابْنُ سَبْعِ سِنِيْنَ، وَحَفِظْتُ المُوَطَّأَ وَأَنَا ابْنُ عَشْرٍ

“Aku hafal Al-Qur’an ketika berusia 7 tahun, dan aku hafal Al-Muwatho ketika berusia 10 tahun.”[2]

Setelah hafal Al-Muwatho, ia berguru langsung ke penyusunnya yaitu Imam Malik bin Anas di Madinah. Setelah mengambil ilmunya Malik, ia mengambil ilmu para ulama Hijaz (Makkah, Madinah, serta sekitarnya) lalu Iroq (Bashroh, Kufah, Wasith) lalu Syam lalu menetap di Mesir hingga wafat.

1) Dasar Madzhab Asy-Syafi’i

Dasar yang dijadikan landasan dalam Madzhab Asy-Syafi’i adalah apa yang dikatakannya sendiri dalam Al-Um:

وَالْعِلْمُ طَبَقَاتٌ شَتَّى: الْأُولَى: الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ إذَا ثَبَتَتْ السُّنَّةُ، ثُمَّ الثَّانِيَةُ: الْإِجْمَاعُ فِيمَا لَيْسَ فِيهِ كِتَابٌ وَلَا سُنَّةٌ، وَالثَّالِثَةُ: أَنْ يَقُولَ بَعْضُ أَصْحَابِ النَّبِيِّ وَلَا نَعْلَمُ لَهُ مُخَالِفًا مِنْهُمْ، وَالرَّابِعَةُ: اخْتِلَافُ أَصْحَابِ النَّبِيِّ فِي ذَلِكَ، الْخَامِسَةُ: الْقِيَاسُ عَلَى بَعْضِ الطَّبَقَاتِ

“Ilmu ada beberapa tingkatan: (1) Al-Kitab dan As-Sunnah yang shohih, lalu (2) ijma’ yang tidak terdapat di Al-Kitab maupun As-Sunnah, lalu (3) pendapat Sahabat Nabi yang tidak kami ketahui ada Sahabat lain yang menyelisihinya, (4) apa yang diperselisihkan Sahabat Nabi , (5) qiyas.”[3]

Ulama Asy-Syafi’iyah menyederhakannya menjadi 4: yaitu (1) Al-Kitab, (2) As-Sunnah, (3) ijma, (4) qiyas[4].

Ijma’ di sini meliputi ijma sukuti yaitu pendapat Sahabat yang tidak diingkari Sahabat lainnya. Diamnya mereka menunjukan persetujuan, karena mustahil para Sahabat membiarkan kemungkaran yang mereka lihat. Lalu perselisihan para Sahabat dimasukkan pula di sini, karena ia lebih tinggi dari qiyas.

Imam Asy-Syafi’i digelari Nāshirus Sunnah karena sangat berpegang teguh kepada Sunnah dan membantah bid’ah. Beliau menganggap hadits shohih manapun adalah madzhabnya, meski hadits itu belum sampai kepadanya. Di antara ucapannya yang menunjukkan hal itu adalah:

أَجْمَعَ الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُوْلِ اللَّهِ لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلٍ أَحَدٍ

“Kaum Muslimin telah bersepakat bahwa siapa saja yang telah jelas sunnah Rasulullah baginya, tidak halal baginya meninggalkannya, hanya karena mengikuti pendapat seseorang.”[5]

إِذَا وَجَدْتُمْ فِي كِتَابِيْ خِلَافُ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللَّهِ فَقُوْلُوْا بِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللَّهِ وَدَعُوْا مَا قُلْتُ

Jika kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi sunnah Rasulullah , maka ambillah sunnah Rasulullah dan tinggalkan pendapatku,” dalam riwayat lain, “maka ikutilah ia dan jangan menoleh kepada pendapat siapa pun.”[6]

إِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَهُوَ مَذْهَبِي

“Jika memang hadits shahih, maka itulah madzhabku.”[7]

أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِالْحَدِيْثِ وَالرِّجَالِ مِنِّي، فَإِذَا كَانَ الْحَدِيْثُ الصَّحِيْحُ فَأَعْلِمُونِي بِهِ أَيْ شَيْءٍ يَكُوْنُ: كُوفِيًا أَوْ بَصْرِيًّا أَوْ شَامِيًا حَتَّى أَذْهَبَ إِلَيهِ إِذَا كَانَ صَحِيحًا

“Kamu (hai Ahmad bin Hanbal) lebih tahu tentang hadits dan para perowi daripada aku. Maka, jika ada hadits shohih, maka beritahu aku, dari mana saja, baik Kufah, Bashroh, dan Syam, sehingga aku akan berpendapat dengannya jika memang shohih.”[8]

كُلُّ مَسْأَلَةٍ صَحَّ فِيْهَا الْخَبَرُ عَنْ رَسُوْلِ اللَّهِ عِنْدَ أَهْلِ النَّقْلِ بِخِلَافِ مَا قُلْتُ فَأَنَا رَاجِعٌ عَنْهَا فِي حَيَاتِيْ وَبَعْدَ مَوْتِيْ

“Setiap masalah yang ada haditsnya shohih dari Rasulullah menurut ahli hadits yang ternyata menyelisihi pendapatku, maka aku rujuk kepadanya baik saat masih hidup maupun setelah mati.”[9]

إِذَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أَقُوْلُ قَوْلًا وَقَدْ صَحَّ عَنِ النَّبِيِّ خِلَافُهُ فَاعْلَمُوْا أَنَّ عَقْلِيْ قَدْ ذَهَبَ

“Jika kalian melihat aku berpendapat, tetapi ada hadits shohih dari Nabi yang menyelisihinya, maka ketahuilah bahwa akalku telah hilang.”[10]

كُلُّ حَدِيْثٍ عَنِ النَّبِيِّ فَهُوَ قَوْلِيْ وَإِنْ لَمْ تَسْمَعُوْهُ مِنِّي

“Setiap hadits dari Nabi adalah pendapatku, meskipun kalian tidak mendengarnya dariku.”[11]

2) Qoul Qodim dan Qoul Jadid

Pendapat-pendapat Asy-Syafi’i ketika di Baghdad disebut qoul qodim (pendapat lama), sementara pendapat-pendapatnya di Mesir disebut qoul jadid (pendapat baru). Ulama Asy-Syafi’iyah tidak berselisih dalam hal ini.

Akan tetapi mereka berselisih, qoul dan tulisan Asy-Syafi’i dalam perjalanan saat keluar dari Baghdad pada tahun 198 H menuju Mesir dan tiba pada tahun 199 H, apakah masuk qodim atau jadid?

Ibnu Hajar Al-Haitsami berpendapat ia dimasukkan qoul qodim karena qoul qodim menurutnya adalah “apa yang diucapkan Asy-Syafi’i sebelum masuk Mesir.”[12]

Pendapat kedua memasukkannya kepada qoul jadid dan ini yang lebih tepat.[13]

Di antara perowi utama qoul qodim dari murid Asy-Syafi’i adalah Ahmad bin Hanbal, Az-Za’farōnī, Al-Karōbīsī, dan Abū Tsaur. Secara umum, qoul qodim merujuk kepada pendapat-pendapat Imam Malik, guru utama Asy-Syafi’i.

Adapun perowi qoul jadid yang utama adalah Al-Buwaithī, Al-Muzanī, Ar-Robī Al-Murōdī, Ar-Robī Al-Jīzī, Yūnus bin Abdil A’lā, Al-Humaidī, Muhammad bin Abdullah bin Al-Hakam, dan Harmalah. Tiga yang pertama adalah perowi utama dan diunggulkan dari selainnya, dan Ar-Robī Al-Murōdī adalah yang terbanyak riwayatnya hingga Asy-Syafi’i berkata: “Ar-Robi adalah perowiku (yang terbaik).”[14]

3) Apakah Semua Qoul Qodim Dibatalkan?

Ibnu Hajar berkata: “Imam Asy-Syafi’i berkata: ‘Aku tidak membolehkan siapapun meriwayatkan qoul qodim dariku.’ Juga berkata: ‘Tidak boleh memasukkan qoul qodim dalam madzhabku.’ Al-Mawardi berkata saat menjelaskan bab mahar: ‘Asy-Syafi’i merubah semua pendapat-pendapat lamanya (qoul qodim) kepada qoul jadid kecuali bab mahar saja yang tidak.’”[15]

Akan tetapi ulama Asy-Syafi’iyah memahami ucapan Asy-Syafi’i ini sebagai gholibnya (kebanyakan), bukan mutlak semuanya, yakni kebanyakan qoul qodim dibatalkan tetapi tidak semuanya. An-Nawawi menjelaskan: “Para ulama Asy-Syafi’iyah memandang qoul qodim tidak berlaku lagi dan tidak diamalkan, maksudnya kebanyakan demikian (tidak semuanya).”

Di antara sebab rujuknya Imam Asy-Syafi’i dari pendapat lama, di antaranya: (1) telah sampai padanya hadits shohih, (2) gambaran (tashowwur) persoalan menjadi lebih jelas belakangan, (3) tabiat manusia yang bisa salah dan benar, (4) dan lain-lain.

Tidak semua qoul qodim ditinggalkan oleh ulama Asy-Syafi’iyah. Qoul qodim dijadikan madzhab jika: (1) ia didukung oleh hadits shohih sebagai bentuk melaksanakan wasiat Imam Asy-Syafi’i: “Jika ada hadits shohih, maka ia adalah madzhabku,” dan (2) jika qoul qodim tidak menyelisihi qoul jadid atau masalah tersebut tidak disinggung dalam qoul jadid.

Maka, selain dari dua keadaan tersebut, qoul qodim tidak dijadikan madzhab, dan inilah yang dipegang semua ulama Asy-Syafi’iyah. An-Nawawi menjelaskan: “Karena qoul qodim adalah marju’ (ditinggalkan), sementara apa yang marju’ bukan madzhab bagi roji (yang dirujuk).”[16]

Sebagian ulama Asy-Syafi’iyah berpandangan bahwa qoul qodim tidak ditinggalkan selagi Asy-Syafi’i tidak menjelaskan bahwa ia ditinggalkan, sehingga jika ada dua pendapat Imam Asy-Syafi’i (qodim dan jadid) atas dasar ketentuan di atas, maka dianggap ada dua pendapat dalam masalah tersebut, yakni keduanya sah dan menjadi madzhab.

Namun, pendapat ini dibantah An-Nawawi: “Jumhur (mayoritas) ulama Asy-Syafi’iyah mengatakan bahwa ini pendapat yang keliru, karena dua qoul di atas mirip nash syar’i, yang apabila saling bertentangan dan tidak mungkin dijamak (digabung hukumnya) maka yang diamalkan adalah yang kedua, sementara yang pertama ditinggalkan.”[17]

Abu Ishaq Asy-Syairozi juga membantahnya: “Ini tidak benar, karena qoul kedua tentu bertentangan dengan qoul pertama, maka qoul kedua merupakan rujukan dari qoul pertama, mirip dalam menyikapi dua nash syar’i.”[18]

Sebagian ulama Asy-Syafi’iyah menyelisihi qoul jadid, ketika telah jelas bagi mereka bahwa pendapat mereka itu lebih sesuai dengan dalil. Akan tetapi, pendapat mereka tidak mesti benarnya. Mungkin saja pendapat Asy-Syafi’i yang lebih benar dengan hujjah yang tidak diketahui mereka, atau mungin saja penisbatan qoul jadid tersebut tidak absah kepada Asy-Syafi’i dan ini banyak terjadi, setelah diteliti ternyata itu bukan qoul Asy-Syafi’i. Ar-Romli berkata: “Sebagian ulama Asy-Syafi’iyah berkata: ‘Setelah diteliti kembali permasalahan tersebut, ditemukan bahwa pendapat dalam madzhab yang disepakati mereka tersebut ternyata qoul jadid itu sendiri.”[19]

3. Periode Penyebaran

Imam Asy-Syafi’i wafat pada tahun 204 H dan meninggalkan warisan fiqih yang melimpah yang dibawa oleh sahabat-sahabatnya[20]. Sahabat Asy-Syafi’i yang paling banyak meriwayatkan qoulnya adalah Ar-Robi bin Sulaiman Al-Murodi, sementara sahabatnya yang paling alim adalah Al-Buwaithi yang dipuji oleh gurunya:

لَيْسَ أَحَدٌ أَحَقَّ بِمَجْلِسِي مِنْ يُوسُفَ بْنِ يَحْيَى وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِي أَعْلَمَ مِنْهُ

“Tidak ada seorang pun yang lebih berhak bermajlis bersamaku dari Yusuf bin Yahya (Al-Buwaithi). Tidak ada seorang pun dari sahabat-sahabatku yang lebih berilmu darinya.”[21] Untuk itu ia disebut sebagai Pengganti Asy-Syafi’i.[22]

Para sahabat Asy-Syafi’i menyebarkan fiqihnya ke seluruh penjuru negeri hingga masuk ke Hijaz, Iraq, Syam, Khurosan, hingga ke timurnya dan ke Afrika. Pada prakteknya, mereka tidak hanya menyebarkan fiqih Asy-Syafi’i tetapi juga qoul pribadi.

Misalkan saja Al-Muzani yang termasuk sahabat Asy-Syafi’i terbaik, pemilik kitab Al-Mukhtashor serta dijuluki penolong Madzhab Asy-Syafi’i, ia menulis kitab yang berisi qoul pribadi bukan di atas Madzhab Asy-Syafi’i. Oleh karena itu Imam Haromain Al-Juwaini menjelaskan: “Jika sebuah qoul dari Al-Muzani menyendiri, maka ia qoul madzhab pribadinya. Apabila ia meriwayatkan qoul Asy-Syafi’i maka riwayatnya didahulukan daripada rowi lainnya, dan qoul tersebut dimasukkan dalam Madzhab Asy-Syafi’i.”[23]

Pada zaman tersebut, ulama Asy-Syafi’iyah terbagi dua kelompok, yaitu kiblat Iroq (Iroqiyyun) dan kiblat Khurosan (Khurosaniyyun). Masing-masing memiliki keistimewaan dalam banyaknya riwayat, ketelitian riwayat, dan penelitian riwayat.

Yang mempelopori kiblat Iroqiyyun adalah Abu Hāmid Al-Isfirōyīnī yang diikuti oleh para ulama terkemuka, di antaranya Al-Māwardī pemiliki Al-Hāwī, Al-Qōdhī Abut Thoyyib Ath-Thobarī, Al-Qōdhī Abū Ali Al-Bandīnajī, Al-Mahāmilī, dan Salīm Ar-Rōzī.

Pendapat-pendapat mereka menjadi madzhab yang mu’tamad (diakui) sampai muncul Al-Qoffāl Ash-Shoghīr Al-Marwazī yang menghimpun qoul Asy-Syafi’i dan diikuti oleh sejumlah ulama terkemuka, di antaranya: Abu Muhammad Al-Juwainī, Al-Faurōnī, Al-Qōdhi Husain, Abu Ali As-Sinjī, dan Al-Mas’ūdī.

Fiqih Asy-Syafi’i berhenti pada dua kelompok ini. Maka semua kitab fiiqh Asy-Syafi’i setelahnya, merujuk kepada dua kelompok di atas.

Lalu muncul beberapa ulama yang mencoba menggabungkan qoul-qoul dari dua kelompok tersebut: Ar-Rūyānī, Asy-Syāsyī, Ibnu Ash-Shobbāgh dari Iroqiyyun, sementara dari kalangan Khurosaniyyun adalah Al-Mutawallī, Imam Haromain, dan Al-Ghozali.

Dari perpaduan ini, muncul dua kitab besar yang dijadikan rujukan setelahnya yaitu Al-Muhadz-dzab karya Asy-Syairozi dan Al-Wasīth karya Al-Ghozali. Mereka tidak menoleh kepada selain keduanya.

Lalu muncul dua ulama besar yang meneliti dan menetapkan kaidah-kaidah madzhab yaitu An-Nawawi dan Ar-Rōfi’ī. Penelitian mereka ditulis dalam kitabnya masing-masing dan menjadi rujukan setelahnya dalam Madzhab Asy-Syafi’i. Apa yang disepakati mereka berdua, itulah madzhab yang mu’tamad (diakui), lalu jika keduanya berselisih maka didahulukan An-Nawawi atas Ar-Rofi’i, lalu baru pendapat Ar-Rofi’i jika menyendiri.

4. Periode Penyaringan

Penyaringan Madzhab Asy-Syafi’i dilakukan oleh dua imam besar: An-Nawawi (w. 676 H) dan Ar-Rofi’i (w. 624 H).

1) Syaikhul Islam Ar-Rofi’i

Syaikhul Islam Imamuddin Abdul Qosim Adul Karim bin Muhammad bin Al-Fadhl Al-Qozwaini wafat tahun 624 H. Karya terkenalnya dalam madzhab adalah Al-Muharror.

Al-Muharror merupakan ringkasan Al-Wajīz karya Abu Hamid Al-Ghozali dan kitab ini disyarah (dijabarkan) oleh Ar-Rofi’i dengan nama Asy-Syarhul Kabīr lalu kitab ini diringkas menjadi Asy-Syarhul Shoghīr.

Al-Wajiz merupakan ringkasan Al-Wasīth, dan Al-Wasīth merupakan ringkasan dari Al-Basīth, dan ketiganya karya Al-Ghozali.

Al-Basīth merupakan penjabaran dari Bidāyatul Mathlab karya Imam Haromain Abul Ma’ali Al-Juwaini.

Al-Bidāyah tersebut merupakan penjabaran dari Al-Mukhtashor karya Al-Muzani, dan ia termasuk sahabat utama Asy-Syafi’i.

2) Al-Hafizh An-Nawawi

Nama lengkapnya Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syarof An-Nawawi yang wafat tahun 676 H. Dua kitab utamanya dalam madzhab adalah:

(1) Minhājut Thōlibīn (مِنهَاجُ الطَّالِبِينَ)

Kitab ini merupakan ringkasan dari Al-Muharror karya Ar-Rofi’i. Hanya saja ia lebih spesial karena dilengkapi dengan beberapa permasalahan yang terluput dalam Al-Muharror, juga penggantian beberapa lafazh yang kurang tepat dan ditata rapi dengan bahasa yang lebih jelas.

Kitab ini bersama kitab Matan Abu Syuja dipelajari di pondok-pondok pesantren di Nusantara, dan Abu Syuja lebih didahulukan karena lebih ringkas dan lebih ringan bagi pemula.

(2) Al-Maj’mu Syarhul Muhadzdzab (المَجْمُوعُ شَرْحُ المُهَذَّبِ)

Kitab ini merupakan syarah (penjabaran) dari kitab Al-Muhadz-dzab karya Asy-Syairozi (w. 476 H).

An-Nawawi menjelaskan metodenya dalam menyusun kitab ini: “Oleh karena itu, aku tidak meninggalkan qoul, wajah (beberapa riwayat atas sebuah hukum), nukilan, meskipun lemah, kecuali kumasukkan jika memang kudapatkan, disertai —in syaa Allah— penjelasan yang rojih jika memang rojih, lemah jika memang lemah, dan palsu jika memang palsu. Aku berusaha meneliti kitab-kitab ulama Asy-Syafi’iyah baik yang mutaqoddimin maupun yang mutaakhirin sampai zamanku ini, baik dalam bentuk kitab yang tebal maupun ringkasan. Begitu pula, kuteliti langsung nash Asy-Syafi’i perintis madzhab yang kunukil dari kitab-kitab yang mudah kujangkau seperti Al-Um, Al-Mukhtashor, dan kitab Al-Buwaithi, juga apa yang dinukil oleh kitab-kitab induk dan mu’tamad, dan lain-lain.”[24]

Sebenarnya, An-Nawawi belum menyempur-nakan syarah kitab ini karena keburu meninggal —semoga Allah merahmatinya— dan sampai beberapa bab dari Kitabul Buyū (jual-beli). Lalu ia disempurnakan oleh Taqiyuddin As-Subki dan sampai bab Mushirrōt war Ro’du bil Aib[25]. Lalu disempurnakan sampai akhir oleh Muhammad Najib Al-Muthi’i.

5. Periode Penetapan

Pendapat-pendapat Syaikhon (An-Nawawi dan Ar-Rofi’i) menjadi dasar bagi orang-orang yang datang setelahnya. Madzhab Asy-Syafi’i dibatasi hanya dalam apa yang dikatakan oleh keduanya.

Lalu muncul para peneliti dari kalangan para pemuka madzhab yang berusaha merapikan pendapat-pendapat keduanya. Mereka adalah Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshori, Al-Khotib Asy-Syirbini, Asy-Syihab Ar-Romli, Al-Jamal Ar-Romli penyusun Nihāyatul Muhtāj, dan Ibnu Hajar Al-Haitsami.

Karya-karya mereka seputar penjabaran dari kitab-kitab Syaikhon, dan terkadang mereka menyelisihi dalam sedikit permasalahan.

Kitab yang banyak diperhatikan mereka adalah Al-Minhāj An-Nawawi. Kitab ini disyarah (dijabarkan) oleh:

(1)   Ibnu Hajar dengan nama Tuhfatul Muhtāj.

(2)   Ar-Romli dengan nama Nihāyatul Muhtāj.

(3)   Asy-Syirbini dengan nama Mughnil Muhtāj.

Adapun Zakaria Al-Anshori, ia meringkas Al-Minhāj (المنهاج) dengan nama Al-Minhaj (المنهج).

6. Kesimpulan

Asy-Syafi’i hafal Al-Qur’an ketika berusia 7 tahun lalu hafal kitab Al-Muwatho ketika berusia 10 tahun. Ia menghimpun ilmu dua madzhab: (1) madzhab Maliki dari perintisnya langsung, Imam Malik bin Anas, dan (2) madzhab Hanafi dari Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani yang merupakan satu dari dua murid utama Abu Hanifah. Asy-Syafi’i menggabungkan dua madzhab ini hingga muncul pendapatnya. Ketika pindah ke Mesir, ia meralat pendapat lamanya (qoul qodim) ketika di Baghdad, kepada pendapat baru (qoul jadid).

Dasar dalam memahami fiqih bagi Asy-Syafi’i ada 4 tingkatan yaitu: (1) Al-Kitab, (2) As-Sunnah, (3) ijma, dan (4) qiyas.

Fiqih ini diajarkan ke sahabat-sahabatnya, dan yang paling menonjol ketika di Baghdad adalah Ahmad bin Hanbal, Az-Za’faroni, Al-Karobisi, dan Abu Tsaur, dan mereka adalah para pembawa qoul qodim. Sementara para pembawa qoul jadid adalah Al-Buwaithi, Al-Muzani, Al-Murodi (tiga ini murid utama), lalu Al-Jizi, Yunus bin Abdil A’la, Ibnu Al-Hakam, dan Harmalah.

Setelah itu muncul para ulama Asy-Syafi’iyah baik dari kalangan ahli bahasa, ahli tafsir, maupun ahli hadits, hingga muncul dua ulama besar yang mengumpulkan semua yang tercecer dari madzhab yaitu An-Nawawi dan Ar-Rofi’i.

Dari Ar-Rofi’i muncul kitab Al-Muharror, dan dari An-Nawawi muncul kitab Minhājut Thōlibīn yang disyarah dan diringkas oleh ulama terkemua madzhab setelahnya: Zakaria Al-Anshori, Ibnu Hajar Al-Haitsami, Ar-Romli, dan Asy-Syirbini.

Al-Minhāj karya An-Nawawi merupakan ringkasan Al-Muharror karya Ar-Rofii. Al-Muharror ringkasan Al-Wajiz karya Al-Ghozali. Al-Wajiz ringkasan Al-Wasith dan ia ringkasan Al-Basith dan ketiganya karya Al-Ghozali.

Al-Basith merupakan penjabaran dari Nihāyatul Mathlab karya Imam Haromain Al-Juwaini.

Al-Nihāyah ini merupakan penjabaran dari Al-Mukhtashor karya Al-Muzani dan ia merupakan satu dari 3 murid utama Asy-Syafi’i (Al-Buwaithi, Al-Muzani, Ar-Robi Al-Murodi).

تمت بحمد الله.



[1] Lihat Al-Bujairimi ‘ala Khotib, 1/45.

[2] Siyar A’lāmin Nubalā, 8/238, Adz-Dzahabi.

[3] Al-Um, 7/280, Asy-Syafi’i.

[4] Yakni analogi, misalnya zakat di zaman Nabi adalah kurma, sebagai makanan pokok, maka zakat di Indonesia boleh dengan beras karena memiliki illat (alasan) yang sama dengan kurma, yakni sama-sama makanan pokok.

[5] Al-Iqōzh (hal. 68) oleh Al-Falani.

[6] Al-Majmu’ (I/63) oleh An-Nawawi.

[7] Al-Majmu’ (I/63) oleh An-Nawawi.

[8] Al-Ihtijâj bisy Syâfi’î (I/8) oleh Al-Khothib Al-Baghdadi.

[9] Al-Hilyah (IX/107) oleh Abu Nu’aim.

[10] Ibnu ‘Asakir (I/10/15).

[11] Muqaddimah (hal. 93-94) oleh Ibnu Abi Hatim.

[12] Tuhfatul Muhtāj, 1/45, Ibnu Hajar.

[13] Nihāyatul Muhtāj, 1/50, Ar-Romli.

[14] Thobaqōtul Fuqohā hal. 97, Asy-Syairōzī.

[15] Tuhfatul Muhtāj, 1/54, Ibnu Hajar Al-Haitsami.

[16] Majmu’ Syarhul Muhadz-dzab, 1/66, An-Nawawi.

[17] Al-Majmu’, 1/68.

[18] Al-Majmu’, 1/67.

[19] Nihāyatul Muhtāj, 1/50.

[20] Ash-hāb (sahabat) yang dimaksud adalah murid-muridnya. Istilah ini umum digunakan yang menunjukan kedekatan guru dengan muridnya dan juga meneladani Nabi yang memanggil muridnya dengan sahabatku.

[21] Al-Majmu’, 1/106.

[22] I’ānatut Thōlibīn, 1/243, Ad-Dimyāthī.

[23] Al-Majmu’, 1/72.

[24] Al-Majmu’, 1/5.

[25] Mushirrot adalah membiarkan unta tanpa diperah susunya beberapa hari sehingga nanti dikira pembeli untanya gemuk banyak susunya, dan ini bagian dari aib jual beli, dan pembeli punya hak untuk mengembalikannya karena cacat (aib).

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url