Mengenal Lebih Dekat Madzhab Asy-Syafi'i - Nor Kandir
﷽
1. Pendahuluan
Madz-hab (مَذْهَبٌ) artinya tempat yang dituju atau jalan
menuju tempat tersebut. Secara istilah, yaitu hukum-hukum yang mencakup
berbagai permasalahan fiqih.[1]
Madzhab Asy-Syafi’i (المَذْهَبُ
الشَّافِعِيُّ) artinya
pendapat-pendapat Imam Asy-Syafi’i dalam masalah fiqih.
Di antara kelebihan Madzhab
Asy-Syafi’i adalah menggabungkan dua madzhab pendahulunya. Imam Malik merupakan
guru utama Asy-Syafi’i sehingga ia berhasil mengumpulkan ilmu gurunya dan hafal
kitab Al-Muwath-tho’ karya gurunya tersebut. Asy-Syafi’i juga berhasil
mengumpulkan fiqih Abu Hanifah dari murid utama Abu Hanifah yaitu Muhammad bin
Hasan Asy-Syaibani.
Dikatakan bahwa Madzhab
Hanafi banyak menggunakan ro’yu (akal) dalam menetapkan fiqihnya karena
keterbatasan hadits dan uzur lainnya, sementara Madzhab Maliki banyak fokus kepada
hadits. Lalu Asy-Syafi’i menggabungkan hadits dan ro’yu.
2. Periode Perintisan
Perintis madzhab ini
adalah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i yang lahir pada tahun wafatnya Abu
Hanifah (150 H) dan wafat pada tahun 204 H. Kota kelahirannya di Ghoza (Gaza)
Palestina dan wafat di Mesir.
Asy-Syafi’i hafal
Al-Qur’an ketika berusia 7 tahun dan hafal kitab Al-Muwatho ketika
berusia 10 tahun, sebagaimana yang dikatakannya sendiri:
حَفِظْتُ القُرْآنَ وَأَنَا ابْنُ سَبْعِ
سِنِيْنَ، وَحَفِظْتُ المُوَطَّأَ وَأَنَا ابْنُ عَشْرٍ
“Aku
hafal Al-Qur’an ketika berusia 7 tahun, dan aku hafal Al-Muwatho ketika berusia
10 tahun.”[2]
Setelah hafal Al-Muwatho,
ia berguru langsung ke penyusunnya yaitu Imam Malik bin Anas di Madinah.
Setelah mengambil ilmunya Malik, ia mengambil ilmu para ulama Hijaz (Makkah,
Madinah, serta sekitarnya) lalu Iroq (Bashroh, Kufah, Wasith) lalu Syam lalu
menetap di Mesir hingga wafat.
1) Dasar Madzhab
Asy-Syafi’i
Dasar yang dijadikan
landasan dalam Madzhab Asy-Syafi’i adalah apa yang dikatakannya sendiri dalam Al-Um:
وَالْعِلْمُ طَبَقَاتٌ شَتَّى: الْأُولَى:
الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ إذَا ثَبَتَتْ السُّنَّةُ، ثُمَّ الثَّانِيَةُ: الْإِجْمَاعُ
فِيمَا لَيْسَ فِيهِ كِتَابٌ وَلَا سُنَّةٌ، وَالثَّالِثَةُ: أَنْ يَقُولَ بَعْضُ
أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ
وَلَا نَعْلَمُ لَهُ مُخَالِفًا مِنْهُمْ، وَالرَّابِعَةُ: اخْتِلَافُ أَصْحَابِ
النَّبِيِّ ﷺ
فِي ذَلِكَ، الْخَامِسَةُ: الْقِيَاسُ عَلَى بَعْضِ الطَّبَقَاتِ
“Ilmu ada beberapa
tingkatan: (1) Al-Kitab dan As-Sunnah yang shohih, lalu (2) ijma’ yang tidak
terdapat di Al-Kitab maupun As-Sunnah, lalu (3) pendapat Sahabat Nabi ﷺ yang tidak kami ketahui ada Sahabat lain
yang menyelisihinya, (4) apa yang diperselisihkan Sahabat Nabi ﷺ, (5) qiyas.”[3]
Ulama Asy-Syafi’iyah
menyederhakannya menjadi 4: yaitu (1) Al-Kitab, (2) As-Sunnah, (3) ijma, (4)
qiyas[4].
Ijma’ di sini meliputi ijma
sukuti yaitu pendapat Sahabat yang tidak diingkari Sahabat lainnya. Diamnya
mereka menunjukan persetujuan, karena mustahil para Sahabat membiarkan
kemungkaran yang mereka lihat. Lalu perselisihan para Sahabat dimasukkan pula
di sini, karena ia lebih tinggi dari qiyas.
Imam Asy-Syafi’i digelari
Nāshirus Sunnah karena sangat berpegang teguh kepada Sunnah dan membantah bid’ah.
Beliau menganggap hadits shohih manapun adalah madzhabnya, meski hadits itu
belum sampai kepadanya. Di antara ucapannya yang menunjukkan hal itu adalah:
أَجْمَعَ الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى
أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُوْلِ اللَّهِ ﷺ
لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلٍ أَحَدٍ
“Kaum Muslimin telah bersepakat bahwa siapa
saja yang telah jelas sunnah Rasulullah ﷺ baginya, tidak halal
baginya meninggalkannya, hanya karena mengikuti pendapat seseorang.”[5]
إِذَا وَجَدْتُمْ فِي كِتَابِيْ
خِلَافُ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللَّهِ ﷺ
فَقُوْلُوْا بِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللَّهِ ﷺ
وَدَعُوْا مَا قُلْتُ
“Jika
kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi sunnah Rasulullah ﷺ,
maka ambillah sunnah Rasulullah ﷺ dan tinggalkan
pendapatku,” dalam riwayat lain, “maka ikutilah ia dan jangan menoleh kepada
pendapat siapa pun.”[6]
إِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَهُوَ
مَذْهَبِي
“Jika memang hadits shahih, maka itulah
madzhabku.”[7]
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِالْحَدِيْثِ
وَالرِّجَالِ مِنِّي، فَإِذَا كَانَ الْحَدِيْثُ الصَّحِيْحُ فَأَعْلِمُونِي بِهِ
أَيْ شَيْءٍ يَكُوْنُ: كُوفِيًا أَوْ بَصْرِيًّا أَوْ شَامِيًا حَتَّى أَذْهَبَ
إِلَيهِ إِذَا كَانَ صَحِيحًا
“Kamu (hai Ahmad bin Hanbal) lebih tahu tentang hadits
dan para perowi
daripada aku. Maka, jika ada hadits shohih, maka beritahu aku, dari mana saja, baik Kufah, Bashroh, dan Syam, sehingga aku
akan berpendapat dengannya jika memang shohih.”[8]
كُلُّ مَسْأَلَةٍ صَحَّ فِيْهَا
الْخَبَرُ عَنْ رَسُوْلِ اللَّهِ ﷺ
عِنْدَ أَهْلِ النَّقْلِ بِخِلَافِ مَا قُلْتُ فَأَنَا رَاجِعٌ عَنْهَا فِي
حَيَاتِيْ وَبَعْدَ مَوْتِيْ
“Setiap masalah yang ada haditsnya shohih dari Rasulullah ﷺ
menurut ahli hadits yang ternyata menyelisihi pendapatku, maka aku rujuk
kepadanya baik saat masih hidup maupun setelah mati.”[9]
إِذَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أَقُوْلُ
قَوْلًا وَقَدْ صَحَّ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ
خِلَافُهُ فَاعْلَمُوْا أَنَّ عَقْلِيْ قَدْ ذَهَبَ
“Jika kalian melihat aku berpendapat,
tetapi ada hadits shohih dari Nabi ﷺ yang menyelisihinya, maka ketahuilah bahwa akalku telah
hilang.”[10]
كُلُّ حَدِيْثٍ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ
فَهُوَ قَوْلِيْ وَإِنْ لَمْ تَسْمَعُوْهُ مِنِّي
“Setiap hadits dari Nabi ﷺ
adalah pendapatku, meskipun kalian tidak mendengarnya dariku.”[11]
2) Qoul Qodim
dan Qoul Jadid
Pendapat-pendapat Asy-Syafi’i
ketika di Baghdad disebut qoul qodim (pendapat lama), sementara
pendapat-pendapatnya di Mesir disebut qoul jadid (pendapat baru). Ulama Asy-Syafi’iyah
tidak berselisih dalam hal ini.
Akan tetapi mereka
berselisih, qoul dan tulisan Asy-Syafi’i dalam perjalanan saat keluar
dari Baghdad pada tahun 198 H menuju Mesir dan tiba pada tahun 199 H, apakah
masuk qodim atau jadid?
Ibnu Hajar Al-Haitsami
berpendapat ia dimasukkan qoul qodim karena qoul qodim menurutnya
adalah “apa yang diucapkan Asy-Syafi’i sebelum masuk Mesir.”[12]
Pendapat kedua
memasukkannya kepada qoul jadid dan ini yang lebih tepat.[13]
Di antara perowi utama qoul
qodim dari murid Asy-Syafi’i adalah Ahmad bin Hanbal, Az-Za’farōnī,
Al-Karōbīsī, dan Abū Tsaur. Secara umum, qoul qodim merujuk kepada
pendapat-pendapat Imam Malik, guru utama Asy-Syafi’i.
Adapun perowi qoul
jadid yang utama adalah Al-Buwaithī, Al-Muzanī, Ar-Robī Al-Murōdī, Ar-Robī
Al-Jīzī, Yūnus bin Abdil A’lā, Al-Humaidī, Muhammad bin Abdullah bin Al-Hakam,
dan Harmalah. Tiga yang pertama adalah perowi utama dan diunggulkan dari
selainnya, dan Ar-Robī Al-Murōdī adalah yang terbanyak riwayatnya hingga Asy-Syafi’i
berkata: “Ar-Robi adalah perowiku (yang terbaik).”[14]
3) Apakah Semua
Qoul Qodim Dibatalkan?
Ibnu Hajar berkata: “Imam
Asy-Syafi’i berkata: ‘Aku tidak membolehkan siapapun meriwayatkan qoul qodim
dariku.’ Juga berkata: ‘Tidak boleh memasukkan qoul qodim dalam
madzhabku.’ Al-Mawardi berkata saat menjelaskan bab mahar: ‘Asy-Syafi’i merubah
semua pendapat-pendapat lamanya (qoul qodim) kepada qoul jadid
kecuali bab mahar saja yang tidak.’”[15]
Akan tetapi ulama Asy-Syafi’iyah
memahami ucapan Asy-Syafi’i ini sebagai gholibnya (kebanyakan), bukan
mutlak semuanya, yakni kebanyakan qoul qodim dibatalkan tetapi tidak
semuanya. An-Nawawi menjelaskan: “Para ulama Asy-Syafi’iyah memandang qoul
qodim tidak berlaku lagi dan tidak diamalkan, maksudnya kebanyakan demikian
(tidak semuanya).”
Di antara sebab rujuknya
Imam Asy-Syafi’i dari pendapat lama, di antaranya: (1) telah sampai padanya
hadits shohih, (2) gambaran (tashowwur) persoalan menjadi lebih jelas
belakangan, (3) tabiat manusia yang bisa salah dan benar, (4) dan lain-lain.
Tidak semua qoul qodim
ditinggalkan oleh ulama Asy-Syafi’iyah. Qoul qodim dijadikan madzhab
jika: (1) ia didukung oleh hadits shohih sebagai bentuk melaksanakan wasiat
Imam Asy-Syafi’i: “Jika ada hadits shohih, maka ia adalah madzhabku,” dan (2)
jika qoul qodim tidak menyelisihi qoul jadid atau masalah tersebut
tidak disinggung dalam qoul jadid.
Maka, selain dari dua
keadaan tersebut, qoul qodim tidak dijadikan madzhab, dan inilah yang
dipegang semua ulama Asy-Syafi’iyah. An-Nawawi menjelaskan: “Karena qoul
qodim adalah marju’ (ditinggalkan), sementara apa yang marju’
bukan madzhab bagi roji (yang dirujuk).”[16]
Sebagian ulama Asy-Syafi’iyah
berpandangan bahwa qoul qodim tidak ditinggalkan selagi Asy-Syafi’i
tidak menjelaskan bahwa ia ditinggalkan, sehingga jika ada dua pendapat Imam Asy-Syafi’i
(qodim dan jadid) atas dasar ketentuan di atas, maka dianggap ada
dua pendapat dalam masalah tersebut, yakni keduanya sah dan menjadi madzhab.
Namun, pendapat ini
dibantah An-Nawawi: “Jumhur (mayoritas) ulama Asy-Syafi’iyah mengatakan bahwa
ini pendapat yang keliru, karena dua qoul di atas mirip nash syar’i, yang
apabila saling bertentangan dan tidak mungkin dijamak (digabung hukumnya) maka
yang diamalkan adalah yang kedua, sementara yang pertama ditinggalkan.”[17]
Abu Ishaq Asy-Syairozi
juga membantahnya: “Ini tidak benar, karena qoul kedua tentu bertentangan
dengan qoul pertama, maka qoul kedua merupakan rujukan dari qoul pertama, mirip
dalam menyikapi dua nash syar’i.”[18]
Sebagian ulama Asy-Syafi’iyah
menyelisihi qoul jadid, ketika telah jelas bagi mereka bahwa pendapat
mereka itu lebih sesuai dengan dalil. Akan tetapi, pendapat mereka tidak mesti
benarnya. Mungkin saja pendapat Asy-Syafi’i yang lebih benar dengan hujjah yang
tidak diketahui mereka, atau mungin saja penisbatan qoul jadid tersebut
tidak absah kepada Asy-Syafi’i dan ini banyak terjadi, setelah diteliti
ternyata itu bukan qoul Asy-Syafi’i. Ar-Romli berkata: “Sebagian ulama Asy-Syafi’iyah
berkata: ‘Setelah diteliti kembali permasalahan tersebut, ditemukan bahwa
pendapat dalam madzhab yang disepakati mereka tersebut ternyata qoul jadid
itu sendiri.”[19]
3. Periode Penyebaran
Imam Asy-Syafi’i wafat
pada tahun 204 H dan meninggalkan warisan fiqih yang melimpah yang dibawa oleh
sahabat-sahabatnya[20]. Sahabat Asy-Syafi’i yang
paling banyak meriwayatkan qoulnya adalah Ar-Robi bin Sulaiman Al-Murodi,
sementara sahabatnya yang paling alim adalah Al-Buwaithi yang dipuji oleh
gurunya:
لَيْسَ أَحَدٌ أَحَقَّ بِمَجْلِسِي مِنْ
يُوسُفَ بْنِ يَحْيَى وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِي أَعْلَمَ مِنْهُ
“Tidak ada seorang pun
yang lebih berhak bermajlis bersamaku dari Yusuf bin Yahya (Al-Buwaithi). Tidak
ada seorang pun dari sahabat-sahabatku yang lebih berilmu darinya.”[21] Untuk itu ia disebut
sebagai Pengganti Asy-Syafi’i.[22]
Para sahabat Asy-Syafi’i
menyebarkan fiqihnya ke seluruh penjuru negeri hingga masuk ke Hijaz, Iraq,
Syam, Khurosan, hingga ke timurnya dan ke Afrika. Pada prakteknya, mereka tidak
hanya menyebarkan fiqih Asy-Syafi’i tetapi juga qoul pribadi.
Misalkan saja Al-Muzani
yang termasuk sahabat Asy-Syafi’i terbaik, pemilik kitab Al-Mukhtashor
serta dijuluki penolong Madzhab Asy-Syafi’i, ia menulis kitab yang berisi qoul
pribadi bukan di atas Madzhab Asy-Syafi’i. Oleh karena itu Imam Haromain
Al-Juwaini menjelaskan: “Jika sebuah qoul dari Al-Muzani menyendiri, maka ia
qoul madzhab pribadinya. Apabila ia meriwayatkan qoul Asy-Syafi’i maka
riwayatnya didahulukan daripada rowi lainnya, dan qoul tersebut dimasukkan
dalam Madzhab Asy-Syafi’i.”[23]
Pada zaman tersebut,
ulama Asy-Syafi’iyah terbagi dua kelompok, yaitu kiblat Iroq (Iroqiyyun) dan
kiblat Khurosan (Khurosaniyyun). Masing-masing memiliki keistimewaan dalam
banyaknya riwayat, ketelitian riwayat, dan penelitian riwayat.
Yang mempelopori kiblat
Iroqiyyun adalah Abu Hāmid Al-Isfirōyīnī yang diikuti oleh para ulama
terkemuka, di antaranya Al-Māwardī pemiliki Al-Hāwī, Al-Qōdhī Abut
Thoyyib Ath-Thobarī, Al-Qōdhī Abū Ali Al-Bandīnajī, Al-Mahāmilī, dan Salīm
Ar-Rōzī.
Pendapat-pendapat mereka
menjadi madzhab yang mu’tamad (diakui) sampai muncul Al-Qoffāl Ash-Shoghīr
Al-Marwazī yang menghimpun qoul Asy-Syafi’i dan diikuti oleh sejumlah ulama
terkemuka, di antaranya: Abu Muhammad Al-Juwainī, Al-Faurōnī, Al-Qōdhi Husain,
Abu Ali As-Sinjī, dan Al-Mas’ūdī.
Fiqih Asy-Syafi’i
berhenti pada dua kelompok ini. Maka semua kitab fiiqh Asy-Syafi’i setelahnya, merujuk
kepada dua kelompok di atas.
Lalu muncul beberapa
ulama yang mencoba menggabungkan qoul-qoul dari dua kelompok tersebut:
Ar-Rūyānī, Asy-Syāsyī, Ibnu Ash-Shobbāgh dari Iroqiyyun, sementara dari
kalangan Khurosaniyyun adalah Al-Mutawallī, Imam Haromain, dan Al-Ghozali.
Dari perpaduan ini,
muncul dua kitab besar yang dijadikan rujukan setelahnya yaitu Al-Muhadz-dzab
karya Asy-Syairozi dan Al-Wasīth karya Al-Ghozali. Mereka tidak menoleh
kepada selain keduanya.
Lalu muncul dua ulama
besar yang meneliti dan menetapkan kaidah-kaidah madzhab yaitu An-Nawawi
dan Ar-Rōfi’ī. Penelitian mereka ditulis dalam kitabnya masing-masing
dan menjadi rujukan setelahnya dalam Madzhab Asy-Syafi’i. Apa yang disepakati
mereka berdua, itulah madzhab yang mu’tamad (diakui), lalu jika keduanya
berselisih maka didahulukan An-Nawawi atas Ar-Rofi’i, lalu baru pendapat
Ar-Rofi’i jika menyendiri.
4. Periode Penyaringan
Penyaringan Madzhab
Asy-Syafi’i dilakukan oleh dua imam besar: An-Nawawi (w. 676 H) dan Ar-Rofi’i
(w. 624 H).
1) Syaikhul
Islam Ar-Rofi’i
Syaikhul Islam Imamuddin
Abdul Qosim Adul Karim bin Muhammad bin Al-Fadhl Al-Qozwaini wafat tahun 624 H.
Karya terkenalnya dalam madzhab adalah Al-Muharror.
Al-Muharror merupakan
ringkasan Al-Wajīz karya Abu Hamid Al-Ghozali dan kitab ini disyarah
(dijabarkan) oleh Ar-Rofi’i dengan nama Asy-Syarhul Kabīr lalu kitab ini
diringkas menjadi Asy-Syarhul Shoghīr.
Al-Wajiz merupakan ringkasan Al-Wasīth, dan Al-Wasīth
merupakan ringkasan dari Al-Basīth, dan ketiganya karya Al-Ghozali.
Al-Basīth merupakan penjabaran dari Bidāyatul Mathlab
karya Imam Haromain Abul Ma’ali Al-Juwaini.
Al-Bidāyah tersebut merupakan penjabaran dari Al-Mukhtashor
karya Al-Muzani, dan ia termasuk sahabat utama Asy-Syafi’i.
2) Al-Hafizh
An-Nawawi
Nama lengkapnya Muhyiddin
Abu Zakariya Yahya bin Syarof An-Nawawi yang wafat tahun 676 H. Dua kitab
utamanya dalam madzhab adalah:
(1) Minhājut Thōlibīn
(مِنهَاجُ الطَّالِبِينَ)
Kitab ini merupakan
ringkasan dari Al-Muharror karya Ar-Rofi’i. Hanya saja ia lebih spesial
karena dilengkapi dengan beberapa permasalahan yang terluput dalam Al-Muharror,
juga penggantian beberapa lafazh yang kurang tepat dan ditata rapi dengan
bahasa yang lebih jelas.
Kitab ini bersama kitab Matan
Abu Syuja dipelajari di pondok-pondok pesantren di Nusantara, dan Abu Syuja
lebih didahulukan karena lebih ringkas dan lebih ringan bagi pemula.
(2) Al-Maj’mu Syarhul Muhadzdzab
(المَجْمُوعُ شَرْحُ المُهَذَّبِ)
Kitab ini merupakan syarah
(penjabaran) dari kitab Al-Muhadz-dzab karya Asy-Syairozi (w. 476 H).
An-Nawawi menjelaskan
metodenya dalam menyusun kitab ini: “Oleh karena itu, aku tidak meninggalkan
qoul, wajah (beberapa riwayat atas sebuah hukum), nukilan, meskipun lemah,
kecuali kumasukkan jika memang kudapatkan, disertai —in syaa Allah— penjelasan
yang rojih jika memang rojih, lemah jika memang lemah, dan palsu jika memang
palsu. Aku berusaha meneliti kitab-kitab ulama Asy-Syafi’iyah baik yang mutaqoddimin
maupun yang mutaakhirin sampai zamanku ini, baik dalam bentuk kitab yang
tebal maupun ringkasan. Begitu pula, kuteliti langsung nash Asy-Syafi’i
perintis madzhab yang kunukil dari kitab-kitab yang mudah kujangkau seperti Al-Um,
Al-Mukhtashor, dan kitab Al-Buwaithi, juga apa yang dinukil oleh
kitab-kitab induk dan mu’tamad, dan lain-lain.”[24]
Sebenarnya, An-Nawawi
belum menyempur-nakan syarah kitab ini karena keburu meninggal —semoga Allah
merahmatinya— dan sampai beberapa bab dari Kitabul Buyū (jual-beli).
Lalu ia disempurnakan oleh Taqiyuddin As-Subki dan sampai bab Mushirrōt war
Ro’du bil Aib[25]. Lalu disempurnakan
sampai akhir oleh Muhammad Najib Al-Muthi’i.
5. Periode Penetapan
Pendapat-pendapat
Syaikhon (An-Nawawi dan Ar-Rofi’i) menjadi dasar bagi orang-orang yang datang
setelahnya. Madzhab Asy-Syafi’i dibatasi hanya dalam apa yang dikatakan oleh
keduanya.
Lalu muncul para peneliti
dari kalangan para pemuka madzhab yang berusaha merapikan pendapat-pendapat
keduanya. Mereka adalah Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshori, Al-Khotib
Asy-Syirbini, Asy-Syihab Ar-Romli, Al-Jamal Ar-Romli penyusun Nihāyatul
Muhtāj, dan Ibnu Hajar Al-Haitsami.
Karya-karya mereka
seputar penjabaran dari kitab-kitab Syaikhon, dan terkadang mereka menyelisihi
dalam sedikit permasalahan.
Kitab yang banyak
diperhatikan mereka adalah Al-Minhāj An-Nawawi. Kitab ini disyarah
(dijabarkan) oleh:
(1) Ibnu Hajar dengan nama Tuhfatul Muhtāj.
(2) Ar-Romli dengan nama Nihāyatul Muhtāj.
(3) Asy-Syirbini dengan nama Mughnil Muhtāj.
Adapun Zakaria
Al-Anshori, ia meringkas Al-Minhāj (المنهاج) dengan nama Al-Minhaj (المنهج).
6. Kesimpulan
Asy-Syafi’i hafal
Al-Qur’an ketika berusia 7 tahun lalu hafal kitab Al-Muwatho ketika berusia 10
tahun. Ia menghimpun ilmu dua madzhab: (1) madzhab Maliki dari perintisnya
langsung, Imam Malik bin Anas, dan (2) madzhab Hanafi dari Muhammad bin Hasan
Asy-Syaibani yang merupakan satu dari dua murid utama Abu Hanifah. Asy-Syafi’i
menggabungkan dua madzhab ini hingga muncul pendapatnya. Ketika pindah ke
Mesir, ia meralat pendapat lamanya (qoul qodim) ketika di Baghdad,
kepada pendapat baru (qoul jadid).
Dasar dalam memahami
fiqih bagi Asy-Syafi’i ada 4 tingkatan yaitu: (1) Al-Kitab, (2) As-Sunnah, (3)
ijma, dan (4) qiyas.
Fiqih ini diajarkan ke
sahabat-sahabatnya, dan yang paling menonjol ketika di Baghdad adalah Ahmad bin
Hanbal, Az-Za’faroni, Al-Karobisi, dan Abu Tsaur, dan mereka adalah para
pembawa qoul qodim. Sementara para pembawa qoul jadid adalah
Al-Buwaithi, Al-Muzani, Al-Murodi (tiga ini murid utama), lalu Al-Jizi, Yunus
bin Abdil A’la, Ibnu Al-Hakam, dan Harmalah.
Setelah itu muncul para
ulama Asy-Syafi’iyah baik dari kalangan ahli bahasa, ahli tafsir, maupun ahli
hadits, hingga muncul dua ulama besar yang mengumpulkan semua yang tercecer
dari madzhab yaitu An-Nawawi dan Ar-Rofi’i.
Dari Ar-Rofi’i muncul
kitab Al-Muharror, dan dari An-Nawawi muncul kitab Minhājut Thōlibīn
yang disyarah dan diringkas oleh ulama terkemua madzhab setelahnya: Zakaria
Al-Anshori, Ibnu Hajar Al-Haitsami, Ar-Romli, dan Asy-Syirbini.
Al-Minhāj karya An-Nawawi merupakan ringkasan Al-Muharror
karya Ar-Rofii. Al-Muharror ringkasan Al-Wajiz karya Al-Ghozali. Al-Wajiz
ringkasan Al-Wasith dan ia ringkasan Al-Basith dan ketiganya
karya Al-Ghozali.
Al-Basith merupakan penjabaran dari Nihāyatul Mathlab
karya Imam Haromain Al-Juwaini.
Al-Nihāyah ini merupakan penjabaran dari Al-Mukhtashor
karya Al-Muzani dan ia merupakan satu dari 3 murid utama Asy-Syafi’i
(Al-Buwaithi, Al-Muzani, Ar-Robi Al-Murodi).
تمت بحمد الله.
[1] Lihat Al-Bujairimi
‘ala Khotib, 1/45.
[2] Siyar A’lāmin Nubalā, 8/238,
Adz-Dzahabi.
[3] Al-Um, 7/280, Asy-Syafi’i.
[4] Yakni analogi, misalnya zakat di zaman Nabi ﷺ adalah
kurma, sebagai makanan pokok, maka zakat di Indonesia boleh dengan beras karena
memiliki illat (alasan) yang sama dengan kurma, yakni sama-sama makanan
pokok.
[5] Al-Iqōzh (hal. 68) oleh Al-Falani.
[6] Al-Majmu’ (I/63) oleh An-Nawawi.
[7] Al-Majmu’ (I/63) oleh An-Nawawi.
[8] Al-Ihtijâj bisy Syâfi’î (I/8) oleh Al-Khothib Al-Baghdadi.
[9] Al-Hilyah (IX/107) oleh Abu Nu’aim.
[10] Ibnu ‘Asakir (I/10/15).
[11] Muqaddimah (hal. 93-94) oleh Ibnu Abi Hatim.
[12] Tuhfatul Muhtāj, 1/45, Ibnu
Hajar.
[13] Nihāyatul Muhtāj, 1/50,
Ar-Romli.
[14] Thobaqōtul Fuqohā hal. 97, Asy-Syairōzī.
[15] Tuhfatul Muhtāj, 1/54, Ibnu Hajar Al-Haitsami.
[16] Majmu’ Syarhul
Muhadz-dzab, 1/66, An-Nawawi.
[17] Al-Majmu’, 1/68.
[18] Al-Majmu’, 1/67.
[19] Nihāyatul Muhtāj, 1/50.
[20] Ash-hāb (sahabat) yang dimaksud adalah murid-muridnya.
Istilah ini umum digunakan yang menunjukan kedekatan guru dengan muridnya dan
juga meneladani Nabi ﷺ yang memanggil muridnya dengan sahabatku.
[21] Al-Majmu’, 1/106.
[22] I’ānatut Thōlibīn, 1/243, Ad-Dimyāthī.
[23] Al-Majmu’, 1/72.
[24] Al-Majmu’, 1/5.
[25] Mushirrot adalah membiarkan
unta tanpa diperah susunya beberapa hari sehingga nanti dikira pembeli untanya
gemuk banyak susunya, dan ini bagian dari aib jual beli, dan pembeli punya hak
untuk mengembalikannya karena cacat (aib).