Mu’jizat Teragung Sepanjang Sejarah
Mu’jizat Teragung Sepanjang Sejarah
Mu’jizat secara
etimologi artinya sesuatu yang melemahkan. Adapun secara terminologi,
didefinisikan oleh ‘Ali al-Jurjani (w. 816 H):
المُعْجِزَةُ: أَمْرٌ خَارِجٌ لِلْعَادَةِ، دَاعٍ إِلَى الْخَيْرِ
وَالسَّعَادَةِ، مَقْرُونٌ بِدَعْوَى النُّبُوَّةِ، قَصَدَ بِهِ إِظْهَارُ صِدْقٍ
مَنِ ادَّعَى أَنَّهُ رَسُولٌ مِنَ اللَّهِ
“Mu’jizat
adalah perkara yang keluar dari kebiasaan yang mengajak kepada kebaikan dan
kebahagiaan yang beriringan dengan dakwah kenabian yang tujuannya untuk
menampakkan kebenaran orang yang mengaku sebagai utusan Allâh.”[1]
Tiga hal
penting yang dimiliki mu’jizat adalah kejadian itu tidak lazim dan keluar dari
kebiasaan, bertujuan untuk melemahkan kebatilan dan menampakkan kebenaran, dan
hanya dimiliki para Rasul atas seizin Allâh subhanahu wa ta’ala.
Al-Fairuz Abadi
(w. 817 H) berkata, “Mu’jizat nabi adalah segala sesuatu yang melemahkan musuh
saat diperlukan, dan huruf ha (ة) berfungsi untuk mubalaghah
(kedahsyatan).”[2]
Dalam
mengarungi dakwah, para nabi dan rasul ‘alahimussalam diberi mu’jizat
agar umat mereka percaya akan kerasulan mereka sekaligus untuk melemahkan
tantangan mereka. Mu’jizat ini datang sesuai dengan jenis tantangan. Misalkan
mu’jizat Nabi Musa ‘alaihissalam berupa tongkat yang bisa berubah
menjadi ular untuk menampakkan keunggulan Musa dan kaumnya, dan mengalahkan
Fir’aun dan para penyihirnya. Pada waktu itu sihir menjadi trend dan
dibanggakan oleh manusia. Mereka kagum dan silau dengan ulah para penyihir yang
pawai memainkan tali menjadi ular dan keahlian sihir-sihir lainnya. Kemudian
Musa datang dengan sesuatu yang lebih hebat dari itu. Sisi keunggulannya, ia
bukan sulap bukan sihir, tetapi nyata bahwa tongkat menjadi ular.
Pada zaman Nabi
‘Isa ‘alahissalam ilmu kedokteran berkembang pesat. Kemudian Allâh
mendatangkan untuk ‘Isa yang lebih hebat dari apa yang mereka banggakan. ‘Isa ‘alahissalam
diberi mu’jizat bisa mengobati penyakit kusta dan sopak hanya dengan diusap,
membuat burung dari tanah liat lalu ditiup ruh lalu hidup hingga bisa terbang,
bahkan menghidupkan orang yang telah mati dengan seizin Allâh. Ini jauh lebih
dahsyat dari semua kemajuan kedokteran mereka.
Nabi ﷺ pun tak ketinggalan dari mu’jizat-mu’jizat
yang mengagumkan. Di antaranya beliau membelah bulan dengan isyarat telunjuk
tangan, memancarkan air dari jari-jemari, mendengar salam batu dan rintihan
pohon kurma, melakukan perjalanan ke Baitul Maqdis lalu ke langit Sidratul
Muntaha lalu bertemu Allâh kurang dari semalam, dan lain-lain. Semua mu’jizat
beliau lebih mengagumkan dari semua mu’jizat para nabi dan rasul ‘alahimussalam,
sebagaimana beliau paling utama dari seluruh nabi dan rasul ‘alahimussalam.
Diriwayatkan
bahwa Imam asy-Syafi’i menyampaikan beberapa keutamaan Nabi ﷺ di suatu majlis ta’lim. Imam asy-Syafi’i
berkata, “Allâh menjadikan pemberian terbaik hanya untuk Nabi ﷺ.”
Seseorang
bertanya kepadanya, “Bagaimana tanggapan Anda bahwa Allâh telah memberikan ‘Isa
‘alahissalam kemampuan menghidupkan orang mati?”
Imam asy-Syafi’i
menjawab, “Batang kurma yang menangis itu jauh lebih hebat. Sebab menghidupkan
kayu lebih mengherankan daripada menghidupkan orang mati.”
Ada yang
bertanya lagi, “Musa pernah membelah lautan, bagaimana dengan Nabi ﷺ?”
Beliau
menjawab, “Membelah bulan jauh lebih menakjubkan, karena bulan benda langit.”
Lanjut beliau,
“Jika ada yang bertanya tentang memancarnya air dari batu, kita menyanggahnya
dengan memancarnya air dari jari-jari Nabi ﷺ. Yang seperti itu jauh lebih menakjubkan
karena keluarnya air dari batu adalah hal yang biasa terjadi. Adapun keluarnya
air dari daging dan darah, itu baru kejadian yang mengherankan. Apabila ada
yang bertanya kepada kita tentang ketundukan angin bagi Nabi Sulaiman, kita
menyanggahnya dengan peristiwa Mi’raj Nabi ﷺ.”[3]
Bersamaan
dengan hebatnya mu’jizat-mu’jizat Nabi ﷺ ini, beliau masih memiliki satu mu’jizat
lagi yang paling hebat dan mengagumkan yang melebihi kehebatan dan keagungan
seluruh mu’jizat, yaitu al-Qur`an al-Karim.
Zaman Nabi ﷺ adalah zaman di mana sastra mengalami
puncaknya. Bangsa ‘Arab berbondong-bondong mempelajari dan mengkaji sastra.
Bagi mereka kemuliaan seseorang diukur dari keindahan sastra dan syairnya.
Karya-karya yang dinobatkan sebagai sastra yang paling indah digantung di
dinding-dinding Ka’bah. Mereka juga memiliki pertemuan tahunan untuk saling
berbangga-bangga dengan karya sastranya di Pasar Ukadz. Pasar pada waktu itu tidak sekedar
dijadikan tempat transaksi jual-beli, tetapi tempat ajang adu potensi,
keahlian, dan sya’ir. Para penyair berdatangan dari segala penjuru negeri pada
musim haji dalam festival tahunan ini. Kabilah Quraisy yang merupakan penduduk
asli Makkah terkena “cipratan” para penyair, sehingga jadilah mereka kabilah
yang sangat fasih bahasa Arabnya dan indah dalam bersyair. Penyair ‘Arab
jahiliyyah sebelum kedatangan Islam yang terkenal ada tujuh, yaitu Imru al-Qais
(w. 80 SH), Zuhair bin Abi Salma (w. 13 SH), Tharafah bin ‘Abdun (w. 60 SH),
Abu Umamah Nabighah, Antarah al-Absyi (w. 22 SH), ‘Amr bin Kultsum (w. 39 SH),
dan Harits bin Hilizah (w. 54 SH). Merekalah yang dinobatkan sebagai guru para
penyair ‘Arab dan sya’ir-sya’ir mereka digantungkan di dinding Ka’bah. Karena
digantung inilah, sya’ir-sya’ir ini disebut mu’allaqat (yang digantung).
Tujuh penyair ini memiliki kefasihan bahasa luar biasa dan kosa-kata ‘Arab
melimpah yang tidak diketahui kebanyakan orang ‘Arab. Benar-benar masa tersebut
merupakan masa gemilang sya’ir dan kefasihan bahasa ‘Arab.
Kemudian, Allâh
mendatangkan al-Qur`an untuk memutus kesombongan mereka. Mereka pun tunduk
tanpa bisa melawannya, bahkan untuk sekedar menuduh bahwa ia buatan Muhammad
pun, mereka tak mampu, karena Allâh menjadikan Nabi yang satu ini ummi
(tidak bisa baca-tulis). Jadi mustahil al-Qur`an buatan Muhammad ﷺ. Allâh subhanahu wa ta’ala
berfirman:
«وَمَا كُنْتَ تَتْلُو مِنْ قَبْلِهِ مِنْ كِتَابٍ وَلَا تَخُطُّهُ
بِيَمِينِكَ إِذًا لَارْتَابَ الْمُبْطِلُونَ»
“Dan
kamu tidak pernah membaca kitab apapun sebelumnya dan kamu tidak pernah menulis
dengan tangan kananmu, yang akan
menjadikan ragu orang-orang yang
menghendaki kebathilan.”[4]
Dalam ayat ini,
Allâh subhanahu wa ta’ala menafikan 2 hal dalam diri Rasûlullâh ﷺ, yaitu menafikan bahwa Nabi ﷺ pernah membaca/dibacakan kitab-kitab
terdahulu sehingga mereka menuduh al-Qur`an hasil adopsi/jiplakan kitab
terdahulu. Kedua, Allâh subhanahu wa ta’ala menafikan bahwa Nabi ﷺ mampu menulis sehingga menuduh al-Qur`an
hasil karya tulis Muhammad ﷺ.
Kesimpulannya, Allâh menafikan Nabi ﷺ mampu membaca dan menulis. Untuk itulah
Nabi ﷺ
dijuluki Allâh dalam surat al-An’âm sebagai Nabi Ummi.
Muhammad ‘Ali
ash-Shabuni menjelaskan, “Maksudnya, hai Muhammad, kamu tidak mengenal menulis
dan membaca sebelum turunnya al-Qur`an karena kamu seorang ummi. Ibnu
‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللَّهِ ﷺ أُمِّيّاً لَا يَقْرَأُ شَيْئاً وَلَا يَكْتُبُ
‘Rasûlullâh ﷺ adalah seorang ummi yang tidak bisa
membaca sedikitpun dan tidak bisa menulis.’
Seandainya kamu
bisa membaca dan menulis tentulah orang-orang kafir ragu tentang al-Qur`an dan
menuduh kalau al-Qur`an diadopsi dari kitab-kitab terdahulu kemudian diklaim
dari Allâh. Ayat-ayat al-Qur`an adalah hujjah yang menunjukkan bahwa al-Qur`an
dari sisi Allâh, karena Muhammad adalah nabi ummi sementara yang
didatangkan kepada mereka adalah mu’jizat yang mengandung kabar umat-umat
terdahulu, hal-hal ghaib, dan inilah sebesar-besar bukti akan kebenaran
Muhammad ﷺ.”[5]
Imam
adh-Dhahhak (w. 102 H) berkata:
كَانَ النَّبِيُّ ﷺ لَا يَقْرَأُ وَلَا يَكْتُبُ، وَكَذَلِكَ
جُعِلَ نَعْتُهُ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ أَنَّهُ أُمِّيٌّ لَا يَقْرَأُ
وَلَا يَكْتُبُ
“Nabi ﷺ tidak bisa membaca dan tidak bisa menulis.
Demikian pula, Allâh mensifati beliau di Taurat dan Injil sebagai ummi
yang tidak bisa membaca dan menulis.”[6]
Setelah kalah telak, orang-orang
kafir menuduh kembali dengan tuduhan lain bahwa Nabi ﷺ tukang sya’ir sehingga
mampu membuat al-Qur`an yang bersajak. Allâh subhanahu wa ta’ala pun
membantah mereka dengan firman-Nya:
«وَمَا
عَلَّمْنَاهُ الشِّعْرَ وَمَا يَنْبَغِي لَهُ إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ وَقُرْآنٌ
مُبِينٌ»
“Kami
tidak mengajarinya sya’ir dan tidak pula hal itu layak baginya. Tidaklah ia
(al-Qur`an) melainkan kemuliaan dan bacaan yang jelas.”[7]
Mereka kalah telak dalam
tuduhan, karena memang Nabi ﷺ tidak bisa bersyair,
bahkan mereka sadar bahwa sya’ir itu tidak biasa dilakukan
oleh orang-orang terhormat, mulia, menjaga lisan, dan penyantun. Akhlak
Muhammad ﷺ yang mulia bukanlah hal yang rahasia di
kalangan mereka. Oleh karena itu, tiada keraguan lagi bahwa al-Qur`an bukan
buatan Muhammad ﷺ, karena tingginya sastra al-Qur`an tidak
mungkin ada kecuali dari sisi Allâh subhanahu wa ta’ala.
Di antara rahasia mu’jizat
terbesar Nabi terakhir ini berupa kitab, karena Allâh Mahatahu bahwa di
abad-abad kemudian ilmu pengetahuan akan mengalami puncaknya sementara buku
yang berisi ilmu-ilmu tersebut menjadi kebanggaan bangsa-bangsa. Kemudian,
Allâh subhanahu wa ta’ala mengunggulkan umat ini dengan sebuah bacaan
(buku) yang berisi ilmu terbesar sepanjang sejarah. Kitab ini menjadikan
buku-buku lainnya jatuh tersungkur karena kemuliaan Kitab penuh berkah ini.
Dengan semua ketinggian ini,
Nabi ﷺ mengakui bahwa mu’jizat beliau yang paling
besar dan agung adalah al-Qur`an al-Azhim, sebagaimana sabda beliau:
«مَا مِنْ
الْأَنْبِيَاءِ نَبِيٌّ إِلَّا أُعْطِيَ مَا مِثْلُهُ آمَنَ عَلَيْهِ الْبَشَرُ،
وَإِنَّمَا كَانَ الَّذِي أُوتِيتُ وَحْيًا أَوْحَاهُ اللَّهُ إِلَيَّ، فَأَرْجُو
أَنْ أَكُونَ أَكْثَرَهُمْ تَابِعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ»
“Tidak
ada seorang nabi pun dari para nabi melainkan dia diberi mu’jizat yang menjadikan umatnya beriman, dan sesungguhnya mu’jizat yang diberikan
kepadaku adalah wahyu yang diwahyukan Allâh kepadaku. Maka, aku berharap
menjadi yang paling banyak pengikutnya di hari Kiamat kelak.”[8]
***
[1] At-Ta’rîfât (hal. 219) olehnya.
[2] Al-Qâmûs al-Muhîth (hal. 516) olehnya.
[3] Lihat Manâqib asy-Syâfi’î (hal. 121) oleh ar-Razi.
[4] QS. Al-‘Ankabût [29]: 48.
[5] Shafwah at-Tafâsîr (II/427) olehnya.
[6] Ad-Durru Mantsûr fît Tafsîr bil Ma`tsûr (VI/471) oleh as-Suyuthi.
[7] QS. Yâsîn [36]: 69.
[8] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 4981, VI/182) dan Muslim (no. 152) dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu.