Qunut Subuh Menurut Imam An-Nawawi

QUNUT SUBUH
Menurut Imam An-Nawawi

 


Tartib:

Nor Kandir

Imam An-Nawawi (676 H) merupakan pemuka utama Madzhab Asy-Syafii. Kedudukan beliau seperti kedudukan Ibnu Abdil Barr bagi Malikiyah dan Ibnu Qudamah bagi Hanabilah.

Ulama berselisih pendapat tentang qunut Subuh. Abu Hanifah dan Ahmad berpendapat tidak disunnahkan (dalam riwayat lain: bid’ah). Sementara Malik dan Asy-Syafii berpendapat disunnahkan. Hanya saja Asy-Syafii menambahkan: sangat dianjurkan dan jika meninggalkannya (baik karena lupa atau sengaja) dianjurkan sujud sahwi.

Ibnu Hubairoh (580 H) berkata: “Ulama berselisih pendapat tentang qunut Subuh. Abu Hanifah dan Ahmad berpendapat tidak disunnahkan. Sementara Malik dan Asy-Syafii berpendapat disunnahkan. Lalu Abu Hanifah dan Ahmad berselisih tentang orang yang bermakmum kepada imam yang qunut Subuh: apakah diikuti? Abu Hanifah berpendapat tidak diikuti, sementara Ahmad berpendapat diikuti.” (Ikhtilaful Aimmatil Ulama, 1/131, Ibnu Hubairoh)

Ringkasnya: Hanafiyah dan Hanabilah berkata: qunut Subuh bid’ah atau tidak disunnahkan. Malikiyah dan Syafiiyah: qunut Subuh sunnah.

Apakah ikut mengaminkan? Hanafiyah: tidak mengaminkan. Hanabilah: mengaminkan.

Kapan qunut? Hanafiyah: sebelum rukuk. Syafiiyah dan Hanabilah: setelah rukuk. Malikiyah: bebas dan lebih utama sebelum rukuk.

Tujuan risalah ini adalah sebagai bentuk inshof (objektif) dalam menilai khilaf pendapat, antara yang pro dan kontra.

Berikut ini adalah penjelasan An-Nawawi yang pro qunut Subuh. Saya terjemahkan tanpa merubah dari teks aslinya, yang saya terjemahkan dalam beberapa tempat dari kitabnya Al-Majmu dan saya urutkan agar mudah dibaca.

An-Nawawi berkata dalam kitabnya Al-Majmu Syarhul Muhadzdzab (3/504 dan seterusnya) berkata:


 

Madzhab kami (Syafiiyah) adalah disunnahkan qunut subuh, baik karena nazilah (Muslimin terkena bala) ataupun tidak. Ini pendapat mayoritas Salaf dan orang-orang setelahnya —atau pendapat banyak Salaf. Di antara yang berpendapat ini (qunut Subuh) adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Al-Khoth-thob, Utsman bin Affan, Ali, Ibnu Abbas, Al-Baro bin Azib Rodhiyallahu ‘Anhum. Pendapat mereka ini diriwayatkan Al-Baihaqi dengan sanad-sanad yang shohih.

Qubut Subuh juga merupakan pendapat sejumlah Tabiin dan orang-orang setelahnya. Ini juga pendapat Ibnu Abi Laila, Al-Hasan bin Sholih, Malik, Dawud (Azh-Zhohiri).

Kontra Qunut Subuh

Sementara Abdullah bin Mas’ud beserta murid-muridnya, dan Abu Hanifah beserta murid-muridnya, dan Sufyan Ats-Tsauri, dan Ahmad bin Hanbal berkata: “Tidak ada qunut Subuh.” Ahmad menambahkan: “Kecuali jika imam mengirim pasukan perang maka qunut Subuh.”

Ishaq (bin Rohawaih) berkata: “Hanya ada qunut nazilah.”

Hujjah mereka adalah hadits:

(1) Anas bin Malik Rodhiyallahu ‘Anhu:

أَنَّ النَّبِيَّ قَنَتَ شَهْرًا بَعْدَ الرُّكُوعِ يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ الْعَرَبِ ثُمَّ تَرَكَهُ

“Nabi qunut sebulan setelah rukuk mendoakan sekelompok orang Arob (yang memusuhi Islam) lalu meninggalkannya[1].” (Muttafaqun Alain)

(2) Juga hadits Abu Huroiroh Rodhiyallahu ‘Anhu:

أَنَّ النَّبِيَّ قَنَتَ بَعْدَ الرُّكُوعِ فِي صَلَاتِهِ شَهْرًا يَدْعُو لِفُلَانٍ وَفُلَانٍ ثُمَّ تَرَكَ الدُّعَاءَ لَهُمْ

“Nabi qunut setelah rukuk pada sholatnya sebulan mendoakan kebaikan kepada si fulan dan si fulan lalu meninggalkan mendoakan mereka[2].” (Muttafaqun Alaih)

(3) Juga hadits Sa’ad bin Thoriq, ia berkata kepada ayahnya:

يَا أَبِي إنَّكَ قَدْ صَلَّيْتَ خَلْفَ رسول الله وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ فَكَانُوا يَقْنُتُونَ فِي الْفَجْرِ؟ فَقَالَ: أَيْ بُنَيَّ مُحْدَثٌ

“Wahai ayahku, Anda pernah sholat di belakang Rosulullah , Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, apakah mereka qunut Subuh?” Jawabnya: “Wahai anakku, itu muhdats (perkara baru dalam agama).” (HR. An-Nasai dan Tirmidzi berkata hadits hasan shohih)[3]

(4) Juga hadits Ibnu Mas’ud Rodhiyallahu ‘Anhu, ia berkata:

مَا قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ في شيء مِنْ صَلَاتِهِ

“Rosulullah tidak pernah qunut apapu dari sholatnya.”[4]

(5) Juga hadits Abu Makhlad, ia berkata:

صَلَّيْتُ مَعَ ابْنِ عُمَرَ الصُّبْحَ فَلَمْ يَقْنُتْ فَقُلْتُ لَهُ: أَلَا أَرَاك تقنت فقال: ما أحفظه عن أَحد مِنْ أَصْحَابِنَا

Aku sholat Subuh di belakang Ibnu Umar Rodhiyallahu ‘Anhuma dan dia tidak qunut. Aku berkata kepadanya: “Aku melihatmu tidak qunut.” Dia menjawab: “Kami tidak tahu qunut dari seorang pun dari sahabat kami.”[5]

(6) Juga dari Ibnu Abbas Rodhiyallahu ‘Anhuma ia berkata:

الْقُنُوتُ فِي الصُّبْحِ بِدْعَةٌ

“Qunut Subuh adalah bid’ah.”[6]

(7) Juga dari Ummu Salamah Rodhiyallahu ‘Anha, dari Nabi bahwa beliau melarang qunut Subuh. (HR. Al-Baihaqi)[7]

Hujjah Qunut Subuh

Sahabat-sahabat kami (ulama Syafiiyah) berhujjah dengan:

(1) Hadits Anas Rodhiyallahu ‘Anhu:

أَنَّ النَّبِيَّ قنت شهرا يدعوا عَلَيْهِمْ ثُمَّ تَرَكَ، فَأَمَّا فِي الصُّبْحِ فَلَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا

“Nabi qunut satu bulan mendoakan keburukan kepada mereka lalu meninggalkannya. Adapun qunut Subuh, beliau selalu qunut sampai meninggalkan dunia (wafat).”

Ini hadits shohih yang diriwayatkan oleh sejumlah huffazh (pakar hadits) dan mereka menshohihkannya. Di antara yang tegas menshohihkannya adalah Al-Hafizh Abu Abdillah Muhammad bin Ali Al-Balkhi dan Al-Hakim Abu Abdillah pada beberapa tempat di kitabnya dan Al-Baihaqi. Ad-Daruquthni meriwayatkannya dari banyak jalan dengan sanad-sanad shohih.

(2) Dari Al-Awwam bin Hamzah, ia berkata:

سَأَلْتُ أَبَا عُثْمَانَ عَنْ الْقُنُوتِ فِي الصُّبْحِ؟ قَالَ: بَعْدَ الرُّكُوعِ، قُلْتُ: عَمَّنْ؟ قَالَ: عَنْ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمْ

Aku bertanya  kepada Abu Utsman tentang qunut Subuh. Ia menjawab: “Setelah rukuk.” Aku bertanya: “Dari siapa?” Jawabnya: “Dari Abu Bakar, Umar, Utsman, semoga Allah meridhoi mereka.” HR. Al-Baihaqi dan ia berkata: sanadnya hasan.

(3) Al-Baihaqi meriwayatkan dari Umar dari banyak jalan dan dari Abdullah bin Ma’qil seorang Tabiin, berkata:

قَنَتَ عَلِيٌّ فِي الْفَجْرِ

“Ali Rodhiyallahu ‘Anhu qunut Subuh.” HR. Al-Baihaqi dan ia berkata: riwayat Ali ini shohih masyhur.

(4) Dari Al-Baro Rodhiyallahu ‘Anhu, ia berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ كَانَ يَقْنُتُ فِي الصُّبْحِ وَالْمَغْرِبِ

“Rosulullah qunut Subuh dan Maghrib.” HR. Muslim.

Abu Dawud juga meriwayatkannya tanpa menyebut Maghrib. Tidak mengapa manusia meninggalkan qunut Maghrib karena tidak wajib atau ijma (kesepakatan ulama) atas dihapusnya hukum tersebut.

Bantahan Atas Kontra Qunut

Adapun jawaban atas hadits Anas dan Abu Huroiroh Rodhiyallahu ‘Anhuma “lalu beliau meninggalkannya” maka maksudnya adalah meninggalkan mendoakan keburukan atas orang-orang kafir saja, bukan meninggalkan semua qunut atau bukan meninggalkan qunut Subuh. Penafsiran ini lebih tepat karena adanya hadits Anas “Nabi selalu qunut Subuh sampai meninggalkan dunia” yang merupakan hadits shohih. Maka wajib menggabungkan keduanya. Apa yang kami sebutkan ini adalah lebih tepat karena menggabungkan keduanya.

Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanadnya dari Abdurrohman bin Al-Mahdi ia berkata: “Yakni meninggalkan melaknat mereka.” Penafsiran ini dikuatkan oleh riwayat Abu Huroiroh yang lalu: “lalu beliau meninggalkan mendoakan mereka.”

Jawaban atas hadits Sa’ad bin Thoriq: riwayat orang-orang yang menetapkan qunut ada tambahan ilmu (informasi yang tidak diketahui mereka) dan riwayat ini jauh lebih banyak. Maka wajib mendahulukan riwayat yang banyak tersebut.

Jawaban atas hadits Ibnu Mas’ud Rodhiyallahu ‘Anhu: hadits tersebut lemah karena dari riwayat Muhammad bin Jabir As-Sahmi yang sangat lemah dan matruk. Juga karena ia menafikan sementara hadits Anas menetapkan, maka didahulukan hadits Anas karena adanya tambahan ilmu.

Jawaban atas hadits Ibnu Umar Rodhiyallahu ‘Anhuma: Ibnu Umar tidak menghafalnya atau lupa apa yang diingat dan dihafal oleh Anas dan Al-Baro bin Azib Rodhiyallahu ‘Anhuma. Maka orang yang hafal lebih didahulukan.

Jawaban hadits Ibnu Abbas Rodhiyallahu ‘Anhuma: lemah sekali. Al-Baihaqi meriwayatkannya dari Abu Laila Al-Kufi dan berkata: “Tidak shohih.” Abu Laila matruk (ditinggal haditsnya) dan kami sudah menyebutkan riwayat dari Ibnu Abbas Rodhiyallahu ‘Anhuma bahwa ia qunut Subuh.

Jawaban hadits Ummu Salamah Rodhiyallahu ‘Anha: ia lemah karena dari riwayat Muhammad bin Ya’la dari Anbasah bin Abdirrohman dari Abdullah bin Nafi dari ayahnya dari Ummu Salamah. Ad-Daruquthni berkata: “Tiga orang tersebut semua lemah dan tidak shohih Nafi mendengar dari Ummu Salamah. Allahu a’lam.

Qunut Selain Subuh

Telah kami kemukakan bahwa yang shohih dari madzhab kami (Syafiiyah) bahwa jika terjadi nazilah (musibah yang menimpa Muslimin) maka qunut pada semua sholat.

Ath-Thohawi berkata: “Tidak ada seorang pun dari ulama yang berpendapat qunut pada fardhu selain Subuh selain Asy-Syafii.”

Syaikh Abu Hamid (Al-Ghozali) berkata: “Ini kekeliruan darinya (Ath-Thohawi). Bahkan Ali qunut pada perang Shiffin. Dalil kami atas orang-orang yang menyelisihi kami adalah hadits-hadits shohih yang masyhur dalam Shohihain:

أَنَّ النَّبِيَّ قَنَتَ شَهْرًا لِقَتْلِ الْقُرَّاءِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ

“Nabi qunut sebulan untuk orang-orang yang terbunuh dari para qurro (ahli baca Quran).”

Sejumlah hadits semacam ini sudah disebutkan dimuka. Selain hadits yang disebutkan juga ada yang masyhur di kitab Shohih.

Tempat Qunut

Telah kami sebutkan bahwa tempat qunut setelah mengangkat kepala dari rukuk. Ini pendapat Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Al-Khoth-thob, Utsman, Ali Rodhiyallahu A’nhum. Ini disebutkan Ibnul Mundzir.

Kami juga meriwayatkan ini dari Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ibnu Musa Al-Asy’ari, Al-Baro, Anas, Umar bin Abdul Aziz, Ubaidah As-Salmani, Humaid Ath-Thowil, Abdurrohman bin Abi Laila Rodhiyallahu A’nhum.

Ini juga pendapat Malik dan Ishaq bin Rohawaih. Ibnul Mundzir menyebutkan bahwa keduanya membolehkan memilih sebelum rukuk atau setelahnya. Ini diriwayatkan dari Anas, Ayyub As-Sikhtiyani, Ahmad. Banyak hadits yang menyebutkan dua pilihan ini.

Misalnya dalam Shohihain dari Abu Huroiroh Rodhiyallahu ‘Anhu bahwa:

أَنَّ النَّبِيَّ قَنَتَ بَعْدَ الرُّكُوعِ

“Nabi qunut setelah rukuk.”

Ibnu Sirin berkata kepada Anas bin Malik Rodhiyallahu ‘Anhu: “Apakah Rosulullah qunut Subuh?” Jawabnya: “Benar, setelah rukuk sebentar.” HR. Al-Bukhori dan Muslim.

Dari Anas Rodhiyallahu ‘Anhu:

أَنَّ النَّبِيَّ قَنَتَ شَهْرًا بَعْدَ الرُّكُوعِ فِي الفجر يدعو عَلَى بَنِي عُصَيَّةَ

“Nabi qunut satu bulan setelah rukuk pada sholat Subuh mendoakan keburukan atas Bani Ushoyyah.” HR. Al-Bukhori dan Muslim.

Dari Ashim ia berkata: aku bertanya kepada Anas tentang qunut apakah sebelum rukuk atau setelahnya? Dia menjawab: “Sebelumnya.” Aku berkata: “Si fulan mengabarkan kepadaku darimu bahwa Anda berkata sebelum rukuk. Anas menjawab: dia keliru. Rosulullah hanya qunut sebulan setelah rukuk. HR. Al-Bukhori Muslim.

Dari Salim dari Ibnu Umar Rodhiyallahu ‘Anhuma: aku mendengar Rosulullah apabila bangkit dari rukuk pada rokaat akhir dari sholat Subuh berdoa: “Ya Allah laknatlah si fulan dan si fulan,” setelah membaca:

سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ

Lalu Allah menurunkan ayat:

﴿لَيْسَ لَكَ من الامر شيء﴾

“Itu bukanlah urusanmu (yakni memberi hidayah).” HR. Al-Bukhori.

Dari Hifaf bin Ima’ Rodhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: Rosulullah rukuk lalu bangkit dan berdoa:

«غِفَارٌ غَفَرَ اللَّهُ لَهَا، وَأَسْلَمُ سَالَمَهَا اللَّهُ، وَعُصَيَّةُ عَصَتْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ. اللَّهُمَّ الْعَنْ بَنِي لِحْيَانَ، وَالْعَنْ رِعْلًا وَذَكْوَانَ»

“Ghifar semoga diampuni Allah, Aslam semoga diselamatkan Allah, Ushoiyyah bermaksiat kepada Allah dan Rosul-Nya. Ya Allah, laknatlah Bani Lihyan. Laknatlah Ri’l dan Dzakwan.” Lalu beliau sujud. HR. Muslim.

Al-Baihaqi berkata: kami meriwayatkan dari Ashim Al-Ahwal dari Anas bahwa ia berfatwa qunut setelah rukuk.

Lalu kami telah menyebutkan sanad dari Ashim dari Anas yang berkata: “Nabi hanya qunut sebulan.” Ashim berkata: “Kapan qunut beliau?” Jawabnya: “Setelah rukuk.”

Maksud qunut sebulan adalah melaknat.

Al-Baihaqi berkata: para rowi qunut setelah rukuk lebih banyak dan lebih terjaga dan ia lebih utama. Oleh karena itu, Khulafa Rosyidin berjalan di atas ini dalam riwayat-riwayat yang masyhur dari mereka. Allahu a’lam.

An-Nawawi berkata di tempat lain:

Menurut kami (Syafiiyah) tempat qunut adalah setelah rukuk. Seandainya qunut sebelum rukuk, jika ia seorang Malikiyah dan berpandangan boleh maka sah. Jika ia seorang Syafiiyah, maka yang masyhur (pendapat umum di Madzhab Syafii) adalah tidak sah. Pemilik kitab Al-Mustazh-hiri berkata: “Inilah pendapat madzhab.” Pemilik kitab Al-Hawi berkata: “Ada dua pendapat. Yang pertama: sah karena adanya perselisihan ulama padanya. Pendapat kedua: tidak sah, karena dikerjakan bukan pada tempatnya sehingga ia harus mengulanginya setelah rukuk. Apakah perlu sujud sahwi? Ada dua pendapat. Al-Baghowi dan lainnya sepakat sujud sahwi dan itulah nash (ucapan resmi Asy-Syafii). Asy-Syafii berkata di Al-Um: “Seandainya seseorang berdiri lama (sebelum rukuk) niat qunut maka wajib sujud sahwi, karena qunut termasuk perbuatan sholat yang jika dikerjakan bukan pada tempatnya maka wajib sujud sahwi.”

Di kitab At-Tahdzib disebutkan pendapat lain yaitu batal sholatnya, karena ia seperti orang yang membaca tasyahhud pada saat berdiri.

Kesimpulannya: orang yang qunut sebelum rukuk ada 4 pendapat. (1) Pendapat yang masyhur adalah sholatnya tidak batal dan qunutnya tidak sah dan sujud sahwi. (2) Tidak sah dan tidak perlu sujud sahwi. (3) sah. (4) batal sholatnya dan ini pendapat yang keliru.

Sunnah-Sunnah Qunut Subuh

Bacaan qunut bebas. Akan tetapi disunnahkan membaca:

«اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافَنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ، إنَّكَ تَقْضِي وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ، إنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ»

Ini berdasarkan riwayat Al-Hasan bin Ali Rodhiyallahu ‘Anhuma ia berkata: Nabi mengajariku beberapa kalimat dalam witir (lalu menyebut doa di atas).

Jika qunut dengan riwayat Umar Rodhiyallahu ‘Anhu maka bagus, yaitu apa yang diriwayatkan Abu Rofi ia berkata: Umar qunut setelah rukuk pada sholat Subuh dan aku mendengarnya berdoa:

اللَّهُمَّ إنَّا نَسْتَعِينُكَ وَنَسْتَغْفِرُكَ وَلَا نَكْفُرُكَ وَنُؤْمِنُ بِك وَنَخْلَعُ وَنَتْرُكُ مَنْ يَفْجُرُكَ اللَّهُمَّ إيَّاكَ نَعْبُدُ وَلَكَ نُصَلِّي وَنَسْجُدُ

وَإِلَيْك نَسْعَى وَنَحْفِدُ نَرْجُو رَحْمَتَكَ وَنَخْشَى عَذَابَكَ إنَّ عَذَابَكَ الْجِدَّ بِالْكُفَّارِ مُلْحِقٌ اللَّهُمَّ عَذِّبْ كَفَرَةَ أَهْلِ الْكِتَابِ الَّذِينَ يَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِكَ يُكَذِّبُونَ رُسُلَكَ وَيُقَاتِلُونَ اولياءك اللهم غفر لِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَأَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِهِمْ وألف بين قلوبنهم وَاجْعَلْ فِي قُلُوبِهِمْ الْإِيمَانَ وَالْحِكْمَةَ وَثَبِّتْهُمْ عَلَى مِلَّةِ رَسُولِكَ وَأَوْزِعْهُمْ أَنْ يُوفُوا بِعَهْدِكَ الَّذِي عاهدتهم عليه وانصرهم على عدوك وعدوهم إلَهَ الْحَقِّ وَاجْعَلْنَا مِنْهُمْ

Bersholawat

Dianjurkan bersholawat kepada Nabi setelah berdoa qunut berdasarkan riwayat Al-Hasan Rodhiyallahu ‘Anhu dalam qunut witir:

تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ وَسَلَّمَ

Mengaminkan

Dianjurkan bagi makmum mengaminkan doa, berdasarkan apa yang diriwayatkan Ibnu Abbas Rodhiyallahu ‘Anhuma, ia berkata: “Rosulullah qunut dan orang-orang di belakangnya mengaminkan.”

Ikut Memuji Allah

Dianjurkan bagi makmum ikut membaca pujian kepada Allah karena bukan ia bukan waktu mengaminkan, sehingga ikut membaca pujian adalah lebih utama.

An-Nawawi berkata di tempat lain:

Telah kami sebutkan bahwa yang shohih dalam madzhab kami menurut kebanyakan ulama (Syafiiyah): disukai mengangkat tangan (ketika qunut) dan inilah pendapat yang terpilih.

Ibnu Mundzir berkata: kami meriwayatkan ini dari Umar bin Al-Khoth-thob, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas.

Ini pendapat Ahmad, Ishaq (bin Rohawaih), para ahli ro’yu (Hanafiyah). Akan tetapi Yazid bin Abi Maryam, Malik, Al-Auzai tidak berpendapat demikian. Telah dipaparkan dalil-dalil mereka semua. Allahu a’lam.

Mengangkat Tangan

Adapun mengangkat tangan dalam qunut tidak ada nashnya (teks dari Asy-Syafii), sehingga konsekuensi dalam Madzhab adalah tidak mengangkatnya, karena Nabi tidak mengangkat tangan kecuali di tiga tempat saja: dalam sholat Istisqo, meminta kemenangan dari musuh, dan doa di sore Arofah. Juga karena ia doa dalam sholat sehingga tidak dianjurkan mengangkat tangan seperti doa tasyahhud.

Al-Qodhi Abut Thoyyib Ath-Thobari menyebutkan di sebagian kitabnya bahwa tidak perlu mengangkat tangan, tetapi menyebutkan di At-Ta’liq bahwa mengangkat tangan. Yang pertama menurutku lebih benar.

Kami Bukan Aku

Sahabat-sahabat kami (ulama Syafiiyah) berkata: jika menjadi imam, maka tidak boleh mengkhususkan doa untuk dirinya sendiri, tetapi semestinya menggunakan lafazh umum (kami bukan aku) yaitu اللَّهُمَّ اهْدِنَا dan seterusnya.

Tidak Qunut Selain Subuh

Adapun sholat fardhu selain Subuh, tidak perlu qunut kecuali jika terjadi nazilah (musibah yang menimpa Muslimin), maka qunut pada semua sholat, berdasarkan riwayat Abu Huroiroh Rodhiyallahu ‘Anhu:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لَا يَقْنُتُ إلَّا أَنْ يَدْعُوَ لِأَحَدٍ أَوْ يَدْعُوَ عَلَى أحد كَانَ إذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمْدَهُ قَالَ ربنا لك الحمد وذكر الدعاء

“Nabi tidak qunut kecuali untuk mendoakan kebaikan maupun keburukan kepada seseorang. Apabila beliau membaca (سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمْدَهُ) maka membaca (ربنا لك الحمد) dan membaca doa.”

Qunut Subuh setelah bangkit dari rukuk pada rokaat kedua adalah sunnah menurut kami (Syafiiyah) tanpa diperselisihkan. Adapun hadits yang dinukil dari Abu Ali bin Abu Huroiroh bahwa dia tidak qunut Subuh karena telah menjadi simbol kelompok ahli bid’ah maka ia keliru dan tidak dianggap dalam madzhab kami. Adapun selain Subuh dari sholat fardhu, apakah perlu qunut? Ada tiga pendapat menurut yang disebutkan Imam Al-Haromain dan Al-Ghozali serta lainnya.

Pendapat pertama: yang masyhur (terkenal dalam madzhab Syafii) yang menjadi kesepakatan kebanyakan ulama (Syafiiyah) adalah jika terjadi nazilah (musibah yang menimpa Muslimin) seperti takut musuh, kemarau panjang (paceklik), wabah, atau semisalnya maka boleh qunut pada semua sholat fardhu. Jika tidak maka tidak.

Pendapat kedua: boleh qunut secara mutlak (tanpa sebab apapun). Ini disebutkan oleh sekelompok ulama (Syafiiyah) di antaranya Syaikhul Ash-hab (tokoh besar dari ulama Syafiiyah) Syaikh Abu Hamid (Al-Ghozali) dalam ta’liqnya (komentarnya) dan dikuti orang-orang.

Pendapat ketiga: tidak qunut secara mutlak. Ini disebutkan Syaikh Abu Muhammad Al-Juwaini dan ini pendapat yang keliru, menyelisihi sunnah yang shohih yang melimpah bahwa Nabi qunut pada selain Subuh ketika terjadi nazilah terbunuhnya beberapa quro (ahli Quran) dari Sohabatnya. Cerita mereka terkenal terdapat di Shohihain dan selain keduanya.

Perselisihan qunut di selain Subuh ini antara boleh dan tidaknya merupakan perselisihan dari mayoritas ulama (Syafiiyah). Demikian yang disampaikan Abu Hamid dan mayoritas ulama.

Ar-Rofii berkata: tuntutan ucapan mayoritas para imam adalah tidak dianjurkan qunut di selain Subuh pada kondisi apapun. Yang berpendapat boleh, pilihan diserahkan kepada yang sholat. Di antara mereka ada yang memahami ucapan Asy-Syafii sebagai anjuran. Aku (An-Nawawi) berkata: ini yang lebih mendekati sunnah, karena telah shohih dari Nabi qunut nazilah, maka ia berkonsekuensi sunnah. Di antara yang secara tegas menyatakan perselisihan ini hanyalah dalam masalah dianjurkan atau tidak adalah pemilik kitab ‘Uddah.

Asy-Syafii berkata dalam Al-Um atas dianjurkannya secara mutlak: “Adapun selain sholat fardhu, maka tidak perlu qunut apapun.”

Asy-Syafii berkata dalam Al-Um dalam Kitab Sholat Idain pada bab Bacaan Pada Idain: “Tidak ada qunut pada sholat Idain maupun sholat Istisqo. Jika qunut nazilah maka aku tidak membencinya.”

Lafazh Qunut

Yang sunnah dalam lafazh qunut adalah:

«اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافَنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ، فَإِنَّكَ تَقْضِي وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ، وَأَنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ»

Demikian lafazh dalam hadits shohih yang menetapkan ف pada فَإِنَّكَ dan و pada وَأَنَّهُ لَا يَذِلُّ, dan وَتَبَارَكْتَ رَبَّنَا. Ini lafazh dalam riwayat At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan mayoritas ahli hadits.

Tetapi riwayat Abu Dawud tanpa menetapkan ف. Lafazh ini terdapat di kitab-kitab fiqih yang mengalami perubahan maka kami berpegang pada apa yang kami tegaskan. Sebab, lafazh dzikir harus dijaga sesuai yang ditetapkan dari Nabi .

Berikut lafazh At-Tirmidzi dari Al-Hasan bin Ali bin Abi Tholib Rodhiyallahu ‘Anhuma, ia berkata: Rosulullah mengajariku beberapa kalimat yang aku baca pada witir:

«اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافَنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ، فَإِنَّكَ تَقْضِي وَلَا يُقْضَى عَلَيكَ، وَأنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ»

Diriwayatkan Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai, dan selain mereka dengan sanad shohih. At-Tirmidzi berkata: ini hadits hasan. Tidak dikenal qunut dari Nabi yang lebih bagus dari hadits ini.

Dalam riwayat lain yang diriwayatkan Al-Baihaqi dari Muhammad Al-Hanafiyah putra Ali bin Abi Tholib Rodhiyallahu ‘Anhu dan ia berkata:

إنَّ هذا الدعاء هو الذى كان أبي يدعوا بِهِ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ فِي قُنُوتِهِ

“Doa ini biasa dibaca ayahku pada sholat Subuh saat qunut.”

Ucapan ini juga diriwayatkan Al-Baihaqi dari banyak jalan dari Ibnu Abbas Rodhiyallahu ‘Anhuma dan selainnya bahwa Nabi mengajari mereka doa ini untuk dipanjatkan pada qunut Subuh.

Dalam riwayat lain bahwa Nabi qunut Subuh dan qunut Witir dengan doa ini.”

Dalam riwayat lain: beliau membacanya dalam qunut sholat malam.

Al-Baihaqi berkomentar: semua hadits ini menunjukkan bahwa pengajaran doa qunut ini pada sholat Subuh dan sholat Witir.

Delapan kalimat dalam doa qunut di atas adalah nash Asy-Syafii di Mukhtashor Al-Muzani. Seandainya ditambah وَلَا يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ sebelum تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ, dan juga menambahkan setelahnya dengan فَلَكَ الْحَمْدُ عَلَى مَا قَضَيْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إلَيْكَ maka tidak mengapa. Syaikh Abu Hamid dan Al-Bandaniji serta lainnya berpandangan tambahan ini bagus.

Al-Qodhi Abut Thoyyib berkata: tambahan مَنْ عَادَيْتَ tidak bagus, karena memusuhi tidak disandarkan kepada Allah. Pendapat ini diingkari Ibnus Shobbagh dan Syafiiyah lainnya dan mereka berkata: Allah berfirman:

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّى وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ﴾

“Wahai orang-orang beriman, kalian jangan menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman.” Dan ayat-ayat lain.

Dalam riwayat Al-Baihaqi ada tambahan وَلَا يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ.

Apakah lafazh dari doa qunut harus ditentukan (seperti lafazh di atas)? Ada dua pendapat. Pendapat yang shohih dan masyhur yang disepakati kebanyakan ulama adalah tidak ditentukan, bahkan sah dengan doa apapun. Pendapat kedua: ia seperti doa tasyahhud dan ditentukan lafazhnya. Ini disepakati Imamul Haromain, Al-Ghozali, Muhammad bin Yahya dalam kitabnya Al-Muhith dan dibenarkan pemilik kitab Al-Mustazh-hiri. Penyusun Al-Mustazh-hiri berkata: jika seseorang meninggalkan satu kata saja atau menggantinya dengan kata lain maka tidak sah qunutnya dan harus sujud sahwi.

Pendapat madzhab yang benar adalah tidak ditentukan lafazhnya. Ini pendapat Al-Mawardi, Al-Qodhi Husain, Al-Baghowi, Al-Mutawalli dan sejumlah ulama. Syaikh Abu Amr bin Sholah berkata: pendapat yang mengharuskan ditentukan lafazhnya adalah pendapat aneh dan tertolak yang menyelisihi kebanyakan ulama Syafiiyah, bahkan menyelisihi mayoritas ulama.

Al-Qodhi Iyyadh menyebutkan kesepakatan ulama atas tidak ditentukannya lafazh qunut, kecuali apa yang diriwayatkan dari sebagian ahli hadits: ditentukannya lafazh qunut dari qunut Ubai bin Ka’ab Rodhiyallahu ‘Anhu: اللهم إنا تستعينك وَنَسْتَغْفِرُكَ dan seterusnya.

Akan tetapi ini menyelisihi perbuatan Nabi yang berdoa:

اللهم انج الوليد ابن الْوَلِيدِ وَفُلَانًا وَفُلَانًا اللَّهُمَّ الْعَنْ فُلَانًا وَفُلَانًا

Maka pendapat yang mengharuskan lafazhnya ditentukan adalah pendapat yang keliru dan tidak dianggap sebagai pendapat.

Ini semua ucapan Abu Amr. Maka kami berpendapat inilah madzhab dan tidak perlu ditentukan.

Penyusun Al-Hawi berkata: sah dengan doa ma’tsur (dari hadits) maupun tidak. Jika membaca ayat Al-Quran yang berisi doa dan menyerupai doa seperti akhir Al-Baqoroh maka sah. Jika tidak mengandung doa dan tidak pula menyerupainya seperti ayat hutang dan surat Al-Lahab maka ada dua pendapat. Pendapat pertama: sah jika ia niat qunut karena Al-Quran lebih utama dari doa. Pendapat kedua: tidak sah, karena qunut adalah doa dan itu bukan doa. Pendapat kedua ini yang benar karena tilawah Quran dalam sholat pada selain berdiri (sebelum rukuk) adalah makruh.

Sahabat-sahabat kami berkata: seandainya qunut dengan lafazh dari Umar Rodhiyallahu ‘Anhu maka bagus dan ia doa yang disebutkan penulis yang diriwayatkan Al-Baihaqi dan selainnya. Al-Baihaqi berkata: ia shohih dari Umar.

Para rowi berbeda dalam lafazhnya dan riwayat yang dipilih Al-Baihaqi adalah riwayat Atho dari Ubaidillah bin Umar yang qunut setelah rukuk:

اللهم اغْفِرْ لَنَا وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَأَلِّفْ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ، وَأَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِهِمْ، وَانْصُرْهُمْ عَلَى عَدُوِّكَ وَعَدُوِّهِمْ.

اللَّهُمَّ الْعَنْ كَفَرَةَ أَهْلِ الْكِتَابِ الَّذِينَ يَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِكَ، وَيُكَذِّبُونَ رُسُلَكَ، وَيُقَاتِلُونَ أَوْلِيَاءَكَ.

اللَّهُمَّ خَالِفْ بَيْنَ كَلِمَتِهِمْ، وَزَلْزِلْ أَقْدَامَهُمْ، وَأَنْزِلْ بِهِمْ بَأْسَكَ الَّذِي لَا تَرُدُّهُ عَنْ الْقَوْمِ الْمُجْرِمِينَ.

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. اللَّهُمَّ إنَّا نَسْتَعِينُكَ وَنَسْتَغْفِرُكَ، وَنُثْنِي عَلَيْكَ وَلَا نَكْفُرُكَ، وَنَخْلَعُ وَنَتْرُكُ مَنْ يَفْجُرُكَ.

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. اللَّهُمَّ إيَّاكَ نَعْبُدُ وَلَكَ نُصَلِّي وَنَسْجُدُ وَإِلَيْك نَسْعَى وَنَحْفِدُ وَنَخْشَى عَذَابَكَ وَنَرْجُوا رَحْمَتَكَ إنَّ عَذَابَكَ الْجِدَّ بِالْكُفَّارِ مُلْحِقٌ

Demikian lafazh dari riwayat Al-Baihaqi yang meriwayatkannya dari banyak jalan yang sebagian lebih ringkas dari ini dan mendahulukan dan mengkhirkan. Juga disebutkan dalam riwayat tersebut: qunut sebelum rukuk pada sholat Subuh.

Al-Baihaqi berkata: rowi yang meriwayatkan dari Umar qunut sebelum rukuk sangat banyak. Ia diriwayatkan Abu Rofi, Ubaid bin Umair, Abu Utsman An-Nahdi, Zaid bin Wahb. Jumlah mereka yang banyak lebih menunjukkan kevalidan hafalan daripada satu rowi. Sementara kebagusan lafazh Ubaid bin Umar dalam hadits tersebut menunjukkan atas hafalannya dan hafalan orang yang menghafal darinya.

Al-Baghowi dalam Syarhus Sunnah hanya menyebutkan riwayat pertama. Al-Baihaqi menyebutkan sebagian riwayat marfu sampai ke Nabi tetapi sanadnya mursal (terputus). Allahu a’lam.[]

 

 

 

 

 

 

 



[1] An-Nawawi berkata: yakni meninggalkan mendoakan keburukan bukan berhenti qunut Subuh.

[2] An-Nawawi berkata: ini memperjelas bahwa yang dimaksud meninggalkan adalah mendoakan, bukan qunut Subuh.

[3] An-Nawawi berkata: hadits Anas didahulukan dari hadits Sa’ad bin Thoriq, karena hadits yang menetapkan memberi informasi baru yang tidak diketahui oleh yang menafikan.

[4] An-Nawawi berkata: sanadnya lemah.

[5] An-Nawawi berkata: Ibnu Umar lupa, sementara Anas dan Al-Baro ingat maka orang yang ingat lebih didahulukan dari yang lupa.

[6] An-Nawawi berkata: sanadnya lemah.

[7] An-Nawawi berkata: sanadnya lemah.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url