Larangan Menyuruh Orang Lain Berdiri Lalu Ia Menduduki Tempatnya

 

Dari Ibnu Umar, dari Nabi , beliau bersabda:

«لاَ يُقِيمُ الرَّجُلُ الرَّجُلَ مِنْ مَجْلِسِهِ ثُمَّ يَجْلِسُ فِيهِ، [وَلَكِنْ تَفَسَّحُوا وَتَوَسَّعُوا]»

 “Seseorang tidak boleh menyuruh orang lain berdiri dari tempat duduknya lalu ia menempatinya. Akan tetapi, hendaknya kalian berhati lapang dan melapangkan tempat.” (HR. Al-Bukhori no. 6269 dan 6270; Muslim no. 2177)

Syarah

Asal dari larangan adalah harom, sehingga menyuruh orang lain berdiri dari tempatnya untuk ia duduki sendiri atau tidak, hukumnya harom. An-Nawawi (767 H) berkata: “Bab haromnya menyuruh orang lain berdiri dari tempatnya yang mubah (ditempati).” (Syarah Shohih Muslim)

Alasannya: karena orang tersebut lebih berhak, karena lebih awal menduduki dan menempatinya. Terutama Masjid adalah rumah Allah, setiap orang sama kedudukannya di sisi Allah, baik penguasa maupun rakyat, orang dewasa maupun anak kecil.

Kasus: larangan ini berlaku pada Jum’atan maupun majlis lainnya seperti majlis taklim, seperti yang ditanyakan Ibnu Juroij kepada Nafi yang meriwayatkan hadits ini: “Apakah ini hanya untuk Jum’atan?” Jawab Nafi: “Jumatan dan lainnya.” (HR. Al-Bukhori no. 911)

Contoh: Ibnu Umar menerapkan hadits ini dengan tidak menerima duduk saat orang lain mempersilahkan tempat duduknya, karena khawatir ia melakukannya karena tidak enak (sungkan) kepada Ibnu Umar. Nafi berkata: “Ibnu Umar tidak suka seseorang berdiri dari tempatnya lalu mempersilahkan tempat duduknya kepadanya.” (HR. Al-Bukhori no. 6270)

Ada beberapa kemungkinan sikap Ibnu Umar di atas. (1) Orang tersebut memberikan tempat duduknya dengan suka rela karena cinta maka ia melepas haknya dan tidak dilarang menerimanya. Sehingga sikap keengganan Ibnu Umar kemungkinan karena malu menerimanya bukan karena harom. (2) Orang tersebut terpaksa karena sebuah sebab, maka sikap Ibnu Umar tersebut kemungkinan karena ia tidak menerima tempat dari orang yang terpaksa.

Kemungkinan lain dari keengganan Ibnu Umar adalah mendahulukan orang lain dalam bab ibadah tidak terpuji, sebagaiman mendahulukan orang berwudhu lebih dahulu atau mempersilahkan orang di shof pertama sementara ia di shof kedua. Anjuran mendahulukan orang lain hanya dalam bab duniawi, seperti makan, antrian belanja, dan semisalnya.

Dua kemungkinan: larangan dalam hadits ini ada dua kemungkinan: (1) menyuruh orang lain duduk lalu ia mendudukinya, (2) orang tersebut berdiri untuk sebuah keperluan yang dugaan kuat ia akan kembali, seperti ke toilet dan mengambil sesuatu, maka dua keadaan ini dilarang ditempati tempat duduknya.

Makna kedua ini didukung hadits Abu Huroiroh, Nabi bersabda:

«مَنْ قَامَ مِنْ مَجْلِسِهِ، ثُمَّ رَجَعَ إِلَيْهِ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ»

“Siapa yang berdiri dari tempatnya lalu kembali, maka ia lebih berhak atas tempat tersebut.” (HR. Muslim no. 2179)[]

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url