Bertambah dan Berkurangnya Iman Menurut Abul Hasan Asy'ari
Imam
Abul Hasan Al-Asy’ari berkata:
* ويقرون بأن
الإيمان قول وعمل يزيد وينقص ولا يقولون مخلوق ولا غير مخلوق
(Ahli Sunnah) mengakui bahwa Iman adalah ucapan dan perbuatan,
ia bisa bertambah dan bisa berkurang. Mereka tidak mengatakan bahwa Iman itu
makhluk ataupun bukan makhluk.
Penjelasan:
Inilah pandangan Ahli Sunnah wal Jama’ah mengenai masalah
Iman. Hal ini ditegaskan oleh Al-Hafizh Abu Bakr Al-Isma’ili dalam kitabnya I’tiqod
A’immah Ahlil Hadits, (hlm. 63-64), di mana beliau berkata, “Mereka mengatakan
bahwa Iman itu adalah ucapan, perbuatan, dan pengetahuan (ma’rifah). Ia
bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Orang yang
ketaatannya banyak, maka Imannya lebih besar daripada orang yang ketaatannya di
bawahnya.”
Begitu pula Syaikhul Islam Abu ‘Utsman Isma’il Ash-Shobuni dalam
kitabnya ‘Aqidatus Salaf Ash-habul Hadits, (hlm. 67) berkata, “Di antara
madz-hab Ahli Hadits adalah bahwa Iman itu merupakan ucapan, perbuatan, dan
pengetahuan (ma’rifah); ia bertambah dengan ketaatan dan berkurang
dengan kemaksiatan.”
Dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah sangat banyak dan
saling menguatkan bahwa Iman adalah ucapan, keyakinan, dan perbuatan, yang bisa
bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Para ulama pun
telah bersepakat tentang hal ini. Alloh Ta’ala berfirman:
﴿وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ
بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ﴾
“Alloh tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Alloh Maha
Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia.” (QS. Al-Baqoroh: 143).
Al-Hulaimi berkata dalam kitabnya Al-Minhaj, (1/379),
“Para ahli tafsir telah bersepakat bahwa yang dimaksud (dengan imanmu) adalah Sholat
kalian yang menghadap Baitul Maqdis. Maka, jelaslah bahwa Sholat adalah bagian
dari Iman. Jika demikian, maka setiap ketaatan adalah Iman, karena saya tidak mengetahui
adanya pembeda yang memisahkan antara penamaan Sholat (sebagai Iman) dengan
ketaatan-ketaatan lainnya.”
Alloh Ta’ala berfirman:
﴿إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ
وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا
وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ﴾
“Sungguh orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila
disebut nama Alloh gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada
mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Robb mereka bertawakal.” (QS.
Al-Anfal: 2)
Juga sabda
Nabi ﷺ:
«الإيمان بضع
وستون شعبة، والحياء من الإيمان»
“Iman itu ada 60
cabang lebih, dan rasa malu adalah bagian dari Iman.” (HR. Al-Bukhori no. 9
dan Muslim no. 35)
Dalam riwayat Muslim ada tambahan,
«فأفضلها لا إله
إلا الله، وأدناها إماطة الأذى عن الطريق»
“Cabang yang paling utama adalah ucapan ‘Laa ilaaha illalloh,’
dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan.”
Ibnu Mandah berkata, “Maka beliau menjadikan Iman itu
memiliki cabang-cabang; sebagiannya dengan lisan, sebagiannya dengan hati, dan
sebagiannya lagi dengan anggota tubuh lainnya.” (Al-Iman, 1/332)
Imam Al-Bukhori membuat bab “(Bab) Bertambah dan
Berkurangnya Iman” dan (menyebutkan) firman Alloh Ta’ala:
﴿وَزِدْنَاهُمْ هُدًى﴾
“Kami tambahkan petunjuk kepada mereka,” (QS. Al-Kahfi: 13)
﴿وَيَزْدَادَ الَّذِينَ آمَنُوا إِيمَانًا﴾
“Agar orang-orang yang beriman bertambah imannya,” (QS.
Al-Muddatsir: 31)
﴿الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ﴾
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu.” (QS.
Al-Maidah: 3)
Jika seseorang meninggalkan sesuatu dari kesempurnaan
tersebut, maka imannya berkurang.
Kemudian beliau membawakan hadits dari Anas bin Malik Rodhiyallohu
‘Anhu dari Nabi ﷺ yang bersabda,
«يخرج من النار
من قال لا إله إلا الله وفي قلبه وزن شعيرة من خير، ويخرج من النار من قال لا إله إلا
الله وفي قلبه وزن برة من خير، ويخرج من النار من قال لا إله إلا الله وفي قلبه وزن
ذرة من خير»
“Akan keluar dari Naar orang yang mengucapkan ‘Laa ilaaha
illalloh’ dan di dalam hatinya ada kebaikan seberat sya’iroh (biji
gandum). Akan keluar dari Naar orang yang mengucapkan ‘Laa ilaaha illalloh’
dan di dalam hatinya ada kebaikan seberat burroh (biji jewawut, lebih
kecil dari sya’iroh). Akan keluar dari Naar orang yang mengucapkan ‘Laa
ilaaha illalloh’ dan di dalam hatinya ada kebaikan seberat dzarroh (lebih
kecil dari burroh).” (HR. Al-Bukhori no. 44)
Kesepakatan ulama Salaf bahwa Iman adalah keyakinan, ucapan,
dan perbuatan, yang bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan,
telah diriwayatkan oleh banyak ulama, seperti: Asy-Syafi’i dalam Syarh Ushul
I’tiqod Ahlis Sunnah wal Jama’ah, (3/886, 887), Imam Ahmad sebagaimana
dalam Manaqib Al-Imam Ahmad oleh Ibnul Jauzi, (hlm. 228), Al-Bukhori
sebagaimana dalam Fathul Bari, (1/47), Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid,
(9/238), Al-Baghowi dalam Syarhus Sunnah, (1/38, 39), dan ‘Abdurrozzaq
Ash-Shon’ani sebagaimana dalam Syarh Muslim, (1/146).
Adapun perkataan beliau: “(Iman itu) ucapan,” maksudnya
adalah ucapan hati dan lisan. Ucapan hati adalah keyakinan, sedangkan ucapan
lisan adalah pengucapan dua kalimat syahadat Islam dan Iman.
Perkataan beliau: “dan perbuatan,” perbuatan ini ada dua
jenis: perbuatan hati, yaitu ikhlas dan niat, serta perbuatan anggota badan.
Perkataan beliau: “(Mereka) tidak mengatakan,” maksudnya,
pernyataan bahwa Iman itu makhluk atau bukan makhluk adalah salah satu bid’ah
yang dimunculkan oleh para ahli kalam (mutakallimin). Asal-usulnya
kembali pada perdebatan tentang lafazh Al-Qur’an. Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya, Imam Ahmad melarang untuk mengatakan “lafazhku ketika membaca
Al-Qur’an itu makhluk” atau “bukan makhluk.” Begitu pula, beliau melarang untuk
mengatakan “Iman itu makhluk” atau “bukan makhluk.” Ibnu Hamid menukil bahwa
Abu Tholib meriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa beliau berkata tentang Iman: “Siapa
mengatakan (Iman itu) makhluk, maka dia adalah seorang Jahmi (pengikut Jahm bin
Shofwan). Siapa mengatakan bahwa Iman bukan makhluk, maka dia telah berbuat
bid’ah dan harus diasingkan hingga ia meralat pendapatnya.” (Thobaqot
Al-Hanabilah, 2/176)
Al-Qodhi Abu Ya’la berkata dalam Mukhtashor Al-Mu’tamad, (hlm.
191), “Ketahuilah, tidak boleh secara mutlak mengatakan bahwa Iman itu
makhluk atau bukan makhluk. Karena orang yang mengatakan secara mutlak bahwa
Iman itu makhluk, akan memberi kesan bahwa firman Alloh, nama-nama-Nya, dan
sifat-sifat-Nya adalah makhluk. Siapa mengatakan bahwa Iman itu bukan makhluk,
akan memberi kesan bahwa perbuatan-perbuatan hamba itu qodim (tidak
bermula) dan bukan makhluk.”
Kesimpulan:
Ahli Sunnah mengimani bahwa Iman adalah ucapan dan
perbuatan, ia bisa bertambah dan berkurang, dan mereka tidak mengatakan bahwa
Iman itu makhluk ataupun bukan makhluk.
Diskusi:
S1: Bagaimana
sikap Ahli Sunnah mengenai masuknya amalan dalam definisi Iman?
S2: Apakah
Ahli Sunnah mengatakan bahwa Iman itu makhluk atau bukan makhluk?
S3: Sebutkan
beberapa kelompok yang menyelisihi Ahli Sunnah dalam masalah Iman!
S4: Apa
yang mendorong para ahli bid’ah
untuk mengatakan bahwa Iman itu makhluk?