Ijma dalam Wudhu - Ibnul Mundzir (319 H)
Abu Bakr Ibnul Mundzir
(319 H) berkata:
Dengan menyebut nama Alloh, Yang Maha
Rohman, Maha Rohim.
Sholawat dan salam atas Muhammad, dan
atas keluarganya, dengan salam yang banyak.
مَا أَجْمَعَ عَلَيْهِ فُقَهَاءُ الأَمْصَارِ
مِمَّا يُوجِبُ الوُضُوءَ مِنَ الحَدَثِ.
Ini adalah apa yang sepakati oleh ahli Fiqih di
berbagai negeri yang mewajibkan Wudhu karena
hadats.
1. Syarat Sah Sholat (Thoharoh)
أَجْمَعَ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَى أَنَّ
الصَّلَاةَ لَا تُجْزِئُ بِطَهَارَةٍ إِذَا وَجَدَ الْمَرْءُ إِلَيْهَا السَّبِيلَ.
Para ulama sepakat bahwa Sholat tidak sah
tanpa bersuci, selama seseorang masih memiliki kemampuan untuk melakukannya.
2. Pembatal Wudhu: Kotoran dan
Hilang Akal
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ خُرُوجَ الْغَائِطِ
مِنَ الدُّبُرِ، وَخُرُوجَ الْبَوْلِ مِنَ الذَّكَرِ، وَكَذَلِكَ الْمَرْأَةُ، وَخُرُوجَ
الْمَنِيِّ، وَخُرُوجَ الرِّيحِ مِنَ الدُّبُرِ، وَزَوَالَ الْعَقْلِ بِأَيِّ وَجْهٍ
زَالَ الْعَقْلُ: أَحْدَاثٌ يَنْقُضُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهَا الطَّهَارَةَ، وَيُوجِبُ
الْوُضُوءَ.
Mereka sepakat bahwa: [1]
keluarnya kotoran dari dubur (anus), [2] keluarnya air kencing
dari kemaluan lelaki maupun wanita, [3] keluarnya mani, [4] keluarnya angin dari dubur (anus), dan [5] hilangnya akal dengan cara apapun akal itu
hilang: adalah hadats yang membatalkan thoharoh dan mewajibkan
Wudhu.
3. Hukum Darah Istihadhoh
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ دَمَ الِاسْتِحَاضَةِ
يَنْقُضُ الطَّهَارَةَ، وَانْفَرَدَ رَبِيعَةُ، فَقَالَ: لَا يَنْقُضُ الطَّهَارَةَ.
Mereka sepakat bahwa: darah istihadhoh membatalkan thoharoh,
sementara
Robi’ah (guru Malik bin Anas) berpendapat sendiri, ia berkata: tidak membatalkan thoharoh.
4. Hukum Mulamasah
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الْمُلَامَسَةَ
حَدَثٌ يَنْقُضُ الطَّهَارَةَ.
Mereka sepakat bahwa: mulamasah adalah
hadats yang membatalkan thoharoh.[1]
5. Tawa di Luar Sholat
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الضَّحِكَ فِي غَيْرِ الصَّلَاةِ لَا يَنْقُضُ
طَهَارَةً، وَلَا يُوجِبُ وُضُوءًا.
Mereka sepakat bahwa: tawa di luar
Sholat tidak membatalkan thoharoh, dan tidak mewajibkan Wudhu.
6. Tawa di Dalam Sholat
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الضَّحِكَ
فِي الصَّلَاةِ يَنْقُضُ الصَّلَاةَ.
Mereka sepakat bahwa: tawa di dalam
Sholat membatalkan Sholat.
Bab Ijma’ Tentang Air
7. Air yang Tidak Sah untuk Wudhu
أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الْوُضُوءَ
لَا يَجُوزُ: بِمَاءِ الْوَرْدِ، وَمَاءِ الشَّجَرِ، وَمَاءِ الْعُصْفُرِ، وَلَا تَجُوزُ
الطَّهَارَةُ: إِلَّا بِمَاءٍ مُطْلَقٍ، يَقَعُ عَلَيْهِ اسْمُ الْمَاءِ.
Mereka sepakat bahwa: Wudhu tidak boleh
dengan air mawar, air pohon, dan air endapan (pewarna). Thoharoh (bersuci) tidak boleh:
kecuali dengan air mutlak, yang disebut dengan nama air.
8. Keabsahan Wudhu dengan Air
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الْوُضُوءَ
بِالْمَاءِ جَائِزٌ.
Mereka sepakat bahwa: Wudhu dengan
air boleh.
9. Air Minuman untuk Bersuci
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ
الِاغْتِسَالُ، وَلَا الْوُضُوءُ بِشَيْءٍ مِنْ هَذِهِ الْأَشْرِبَةِ سِوَى النَّبِيذِ.
Mereka sepakat bahwa: tidak boleh
mandi dan Wudhu dengan minuman-minuman ini selain nabidz (perasan kurma).
10. Hukum Air yang Berubah (Bukan
Najis)
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الْوُضُوءَ
بِالْمَاءِ الْآجِنِ مِنْ غَيْرِ نَجَاسَةٍ حَلَّتْ فِيهِ جَائِزٌ، وَانْفَرَدَ ابْنُ
سِيرِينَ، فَقَالَ: لَا يَجُوزُ.
Mereka sepakat bahwa: Wudhu dengan
air yang berubah (rasa, warna, bau) yang bukan karena najis yang masuk di
dalamnya adalah boleh, sedang Ibnu Sirin berpendapat
sendiri, ia berkata: tidak boleh.
11. Air Berubah Karena Najis
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الْمَاءَ
الْقَلِيلَ وَالْكَثِيرَ إِذَا وَقَعَتْ فِيهِ نَجَاسَةٌ، فَغَيَّرَتْ لِلْمَاءِ طَعْمًا،
أَوْ لَوْنًا، أَوْ رِيحًا: أَنَّهُ نَجِسٌ مَا دَامَ كَذَلِكَ.
Mereka sepakat bahwa: air yang
sedikit maupun banyak jika kejatuhan najis, lalu airnya
berubah rasanya, warnanya, atau aromanya: air itu najis selama keadaannya demikian.
12. Air Banyak yang Tidak Berubah
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الْمَاءَ
الْكَثِيرَ مِنَ النِّيلِ وَالْبَحْرِ، وَنَحْوِ ذَلِكَ إِذَا وَقَعَتْ فِيهِ نَجَاسَةٌ،
فَلَمْ تُغَيِّرْ لَهُ لَوْنًا وَلَا طَعْمًا وَلَا رِيحًا: أَنَّهُ بِحَالِهِ، وَيُتَطَهَّرُ
مِنْهُ.
Mereka sepakat bahwa: air yang
banyak dari sungai Nil, laut, maupun semisalnya jika kejatuhan najis, lalu najis itu tidak mengubah warna air, rasa, bau:
air itu dalam keadaan asalnya, dan boleh bersuci dengannya.
13. Air Bekas Minuman Hewan yang
Dagingnya Halal
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ سُؤْرَ مَا
أُكِلَ لَحْمُهُ طَاهِرٌ، وَيَجُوزُ شُرْبُهُ وَالْوُضُوءُ بِهِ.
Mereka sepakat bahwa: sisa minuman
dari hewan yang dagingnya halal dimakan adalah suci, dan boleh meminumnya dan berwudhu
dengannya.
BAB Mendahulukan Sebagian Anggota
(Wudhu) dari yang Lain dan Mengusap dan Mencucinya:
14. Mendahulukan Kiri dari Kanan
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنْ لَا إِعَادَةَ
عَلَى مَنْ بَدَأَ بِيَسَارِهِ قَبْلَ يَمِينِهِ فِي الْوُضُوءِ.
Mereka sepakat bahwa: tidak perlu mengulangi Wudhu orang yang memulainya dari bagian kirinya
sebelum kanannya.
15. Mengusap Khuff
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ كُلُّ مَنْ
أَكْمَلَ طَهَارَتَهُ، ثُمَّ لَبِسَ الْخُفَّيْنِ وَأَحْدَثَ، وَأَنَّ لَهُ أَنْ يَمْسَحَ
عَلَيْهِمَا.
Mereka sepakat bahwa: siapa saja
yang menyempurnakan thoharohnya, kemudian memakai khuff (sepatu kulit)
dan berhadats, maka ia boleh mengusap atas keduanya.[2]
16. Memakai Khuff Saat Wudhu Belum
Selesai
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ إِذَا تَوَضَّأَ
إِلَّا غَسْلَ إِحْدَى رِجْلَيْهِ، فَأَدْخَلَ الْمَغْسُولَةَ الْخُفَّ، ثُمَّ غَسَلَ
الْأُخْرَى، وَأَدْخَلَهَا الْخُفَّ أَنَّهُ طَاهِرٌ.
Mereka sepakat bahwa: jika seseorang berwudhu ‑kecuali
mencuci salah satu kakinya-, lalu ia memasukkan (kaki) yang sudah dicuci ke khuff, kemudian ia
mencuci kaki yang
lain, lalu memasukkannya ke khuff, maka ia adalah suci.
17. Tayammum karena Khawatir
Kehausan
وَأَجْمَعُوا أَنَّ الْمُسَافِرَ إِذَا
كَانَ مَعَهُ مَاءٌ، وَخَشِيَ الْعَطَشَ أَنْ يُبْقِيَ مَاءَهُ لِلشُّرْبِ وَيَتَيَمَّمَ.
Mereka sepakat bahwa: musafir jika ia membawa air, dan ia khawatir kehausan boleh ia
menyisakan airnya untuk minum dan bertayammum.
18. Tayammum dengan Tanah Berdebu
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ التَّيَمُّمَ
بِالتُّرَابِ الْغُبَارِ جَائِزٌ.
Mereka sepakat bahwa: tayammum
dengan debu tanah boleh.
19. Wudhu Sebelum Waktu Sholat
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ مَنْ تَطَهَّرَ
بِالْمَاءِ قَبْلَ وَقْتِ الصَّلَاةِ أَنَّ طَهَارَتَهُ كَامِلَةٌ.
Mereka sepakat bahwa: siapa yang
bersuci dengan air sebelum waktu Sholat, bahwa thoharohnya sempurna.
20. Menemukan Air Setelah Sholat Padahal Tayammum
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ مَنْ تَيَمَّمَ
وَصَلَّى، ثُمَّ وَجَدَ الْمَاءَ خُرُوجَ الْوَقْتِ أَنْ لَا إِعَادَةَ عَلَيْهِ.
Mereka sepakat bahwa: siapa yang bertayammum
dan Sholat, kemudian ia menemukan air setelah waktu Sholat habis maka tidak ada pengulangan
Sholat baginya.
21. Menemukan Air Sebelum Sholat dengan
Tayammum
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ مَنْ تَيَمَّمَ
كَمَا أُمِرَ، ثُمَّ وَجَدَ الْمَاءَ قَبْلَ دُخُولِهِ فِي الصَّلَاةِ، أَنَّ طَهَارَتَهُ
تَنْتَقِضُ، وَعَلَيْهِ أَنْ يُعِيدَ الطَّهَارَةَ، وَيُصَلِّيَ.
Mereka sepakat bahwa: siapa yang bertayammum
sebagaimana diperintahkan, kemudian ia menemukan air sebelum ia masuk dalam
Sholat, maka thoharohnya batal, dan wajib ia
mengulangi thoharoh dan Sholat.
22. Imam yang Berwudhu Sementara
Makmum Tayammum
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ لِمَنْ تَطَهَّرَ
بِالْمَاءِ أَنْ يَؤُمَّ الْمُتَيَمِّمِينَ.
Mereka sepakat bahwa: siapa yang
bersuci dengan air boleh mengimami para mutayammin (orang-orang yang bertayammum).
23. Tayammum Batal Karena
Berpindah ke Tempat Ada Air
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ إِذَا تَيَمَّمَ
لِلْمَكْتُوبَةِ فِي أَوَّلِ الْوَقْتِ فَلَمْ يُصَلِّ، ثُمَّ سَارَ إِلَى مَكَانٍ
فِيهِ مَاءٌ، أَنْ عَلَيْهِ أَنْ يُعِيدَ التَّيَمُّمَ؛ لِأَنَّهُ حِينَ يَصِلُ إِلَى
الْمَاءِ انْتَقَضَتْ طَهَارَتُهُ.
Mereka sepakat bahwa: jika seseorang bertayammum
untuk Sholat wajib di awal waktu namun ia belum Sholat, kemudian ia
berjalan ke tempat yang padanya ada air, maka ia wajib mengulangi tayammum; karena ia
ketika sampai ke air thoharohnya batal.
24. Mimpi Basah Tanpa Keluar Mani
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الرَّجُلَ
إِذَا رَأَى فِي مَنَامِهِ أَنَّهُ احْتَلَمَ، أَوْ جَامَعَ وَلَمْ يَجِدْ بَلَلًا:
أَنْ لَا غُسْلَ عَلَيْهِ.
Mereka sepakat bahwa: seorang lelaki
jika ia melihat dalam tidurnya ia bermimpi basah alias berjima’ lalu ia tidak mendapatkan basahan (mani): maka tidak wajib
mandi atasnya.
25. Kenajisan Air Kencing
وَأَجْمَعُوا عَلَى إِثْبَاتِ نَجَاسَةِ
الْبَوْلِ.
Mereka sepakat bahwa: air kencing najis.
26. Keringat Junub dan Haidh
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ عَرَقَ الْجُنُبِ:
طَاهِرٌ، كَذَلِكَ الْحَائِضُ.
Mereka sepakat bahwa: keringat
Junub: suci, begitu pula keringat wanita Haidh.
Tempat-tempat yang Boleh Padanya Sholat
27. Sholat di Kandang Kambing
أَجْمَعُوا أَنَّ الصَّلَاةَ فِي مَرَابِضِ
الْغَنَمِ جَائِزَةٌ، وَانْفَرَدَ الشَّافِعِيُّ، فَقَالَ: إِذَا كَانَ سَلِيمًا مِنْ
أَبْوَالِهَا.
Mereka sepakat bahwa Sholat di kandang
kambing boleh, sedang Asy-Syafi’i berpendapat sendiri, ia berkata: boleh jika ia selamat dari air kencing kambing.
28. Kewajiban Sholat Bagi Wanita
Haidh
وَأَجْمَعُوا عَلَى إِسْقَاطِ فَرْضِ
الصَّلَاةِ عَنِ الْحَائِضِ.
Mereka sepakat bahwa: gugurnya kewajiban
Sholat dari wanita haidh.
29. Qodho Sholat Haidh
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ قَضَاءَ مَا
تَرَكَتْ مِنَ الصَّلَاةِ فِي أَيَّامِ حَيْضَتِهَا غَيْرُ وَاجِبٍ عَلَيْهَا.
Mereka sepakat bahwa: mengqodho’
Sholat yang ia tinggalkan di hari-hari haidhnya tidak wajib atasnya.
30. Qodho Puasa Haidh
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ قَضَاءَ مَا
تَرَكَتْ مِنَ الصَّوْمِ فِي أَيَّامِ حَيْضَتِهَا وَاجِبٌ عَلَيْهَا.
Mereka sepakat bahwa: mengqodho’
Puasa yang ia tinggalkan di hari-hari haidhnya wajib atasnya.
31. Mandi Nifas
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ عَلَى النُّفَسَاءِ
الِاغْتِسَالَ إِذَا طَهُرَتْ.
Mereka sepakat bahwa: wanita nifas wajib
mandi jika ia telah suci.
32. Anggota Badan Hewan yang
Dipotong Saat Hidup
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الشَّاةَ
وَالْبَعِيرَ، وَالْبَقَرَ إِذَا قُطِعَ مِنْهَا عُضْوٌ، وَهُوَ حَيٌّ أَنَّ الْمَقْطُوعَ
مِنْهُ نَجِسٌ.
Mereka sepakat bahwa: kambing, unta,
dan sapi jika dipotong darinya anggota badan, sedang ia masih hidup maka yang terpotong
darinya adalah najis.
33. Memanfaatkan Bulu Hewan Hidup
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الِانْتِفَاعَ
بِأَشْعَارِهَا، وَأَوْبَارِهَا، وَأَصْوَافِهَا: جَائِزٌ إِذَا أُخِذَ ذَلِكَ، وَهِيَ
حَيَّةٌ.
Mereka sepakat bahwa: memanfaatkan
bulu, rambut, dan wolnya: boleh jika itu diambil, sedang hewan itu
hidup.
[1] Akan tetapi mereka
berselisih pendapat tentang makna mulamasah, apakah sentuah kulit atau
jimak? Yang berpandangan jimak maka sentuhan kulit tidak membatalkan wudhu.
[2] Yakni jika seseorang suci lalu memakai khuff (seperti sepatu atau sandal
yang menutupi mata kaki) lalu batal Wudhunya (seperti kentut) lalu ia berwudhu
maka tidak perlu melepas sepatunya tetapi cukup bagian atas sepatu diusap
dengan telapak tangan yang dibasahi air Wudhu.