Keutamaan dan Hikmat Sholat Sunnah - Fiqih Muyassar
Tathowwu’ adalah setiap ketaatan yang bukan wajib (yakni sunnah).
«إن الله تعالى قال: من عادى لي ولياً فقد آذنته
بالحرب، وما تقرَّب إليّ عبدي بشيء أحب إلي مما افترضته عليه، وما يزال عبدي يتقرب
إلي بالنوافل حتى أحبه»
“Allah berfirman: siapa yang memusuhi wali-Ku maka Aku menyatakan perang
dengannya. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan sesuatu yang
paling Aku cintai melebihi apa saja yang Aku wajibkan atasnya. Jika hamba-Ku
selalu mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan amal-amal sunnah, maka Aku
mencintainya.” (HR. Al-Bukhori no. 6502)
Hikmahnya
Allah mensyariatkan (menganjurkan)[2]
ibadah sunnah sebagai rohmat atas hamba-hamba-Nya. Setiap ibadah fardhu,
memiliki bagian sunnah yang sejenis, agar orang beriman bertambah imannya dan
derajatnya dengan mengerjakan ibadah sunnah tersebut, serta menyempurnakan
ibadah wajibnya dengan menambalnya pada hari Kiamat. Ibadah wajib tidak
terlepas dari kekurangan, seperti yang disebutkan dalam hadits Abu Huroiroh,
dari Nabi ?, bersabda:
«إن أول ما يحاسب به العبد المسلم يوم القيامة
الصلاة، فإن أتمها، وإلا قيل: انظروا هل له من تطوع؟ فإن كان له تطوع أكملت الفريضة
منْ تطوُّعه، ثم يفعل بسائر الأعمال المفروضة مثل ذلك»
“Sungguh yang pertama kali dihisab dari hamba Muslim pada hari Kiamat
adalah sholat. Jika sholatnya tidak sempurna maka ada yang menyeru: ‘Lihatlah
apakah dia memiliki sholat sunnah? Jika ia memiliki sholat sunnah maka sholat
fardhunya disempurnakan dengan sholat sunnahnya. Lalu semua amal wajib
diperlakukan sama seperti itu.” (Shohih: HR. Abu Dawud no. 684)
[1] Hukum jihad dan menuntut ilmu seputar fardhu ain (wajib per individu) atau
fardhu kifayah (gugur jika sudah ada yang melaksanakannya), maka ia lebih utama
dari sholat sunnah.
[2] Makna “mensyariatkan”
mengandung dua kemungkinan: “mewajibkan” atau “mengajurkan” sesuai dalil yang
menyertainya. Terkadang lafazh ini dipakai ulama karena ada perselisihan
pendapat pada kasus tersebut, apakah wajib ataukah sunnah.