Keutamaan dan Hikmat Sholat Sunnah - Fiqih Muyassar

 Tathowwu’ adalah setiap ketaatan yang bukan wajib (yakni sunnah).

Sholat sunnah termasuk ibadah terbaik setelah jihad dan menuntut ilmu[1], karena Nabi ? selalu mendekatkan diri kepada Allah dengan sholat-sholat sunnah, berdasarkan hadits Abu Huroiroh, Rosulullah ? bersabda:

«إن الله تعالى قال: من عادى لي ولياً فقد آذنته بالحرب، وما تقرَّب إليّ عبدي بشيء أحب إلي مما افترضته عليه، وما يزال عبدي يتقرب إلي بالنوافل حتى أحبه»

“Allah berfirman: siapa yang memusuhi wali-Ku maka Aku menyatakan perang dengannya. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan sesuatu yang paling Aku cintai melebihi apa saja yang Aku wajibkan atasnya. Jika hamba-Ku selalu mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan amal-amal sunnah, maka Aku mencintainya.” (HR. Al-Bukhori no. 6502)

Hikmahnya

Allah mensyariatkan (menganjurkan)[2] ibadah sunnah sebagai rohmat atas hamba-hamba-Nya. Setiap ibadah fardhu, memiliki bagian sunnah yang sejenis, agar orang beriman bertambah imannya dan derajatnya dengan mengerjakan ibadah sunnah tersebut, serta menyempurnakan ibadah wajibnya dengan menambalnya pada hari Kiamat. Ibadah wajib tidak terlepas dari kekurangan, seperti yang disebutkan dalam hadits Abu Huroiroh, dari Nabi ?, bersabda:

«إن أول ما يحاسب به العبد المسلم يوم القيامة الصلاة، فإن أتمها، وإلا قيل: انظروا هل له من تطوع؟ فإن كان له تطوع أكملت الفريضة منْ تطوُّعه، ثم يفعل بسائر الأعمال المفروضة مثل ذلك»

“Sungguh yang pertama kali dihisab dari hamba Muslim pada hari Kiamat adalah sholat. Jika sholatnya tidak sempurna maka ada yang menyeru: ‘Lihatlah apakah dia memiliki sholat sunnah? Jika ia memiliki sholat sunnah maka sholat fardhunya disempurnakan dengan sholat sunnahnya. Lalu semua amal wajib diperlakukan sama seperti itu.” (Shohih: HR. Abu Dawud no. 684)



[1] Hukum jihad dan menuntut ilmu seputar fardhu ain (wajib per individu) atau fardhu kifayah (gugur jika sudah ada yang melaksanakannya), maka ia lebih utama dari sholat sunnah.

[2] Makna “mensyariatkan” mengandung dua kemungkinan: “mewajibkan” atau “mengajurkan” sesuai dalil yang menyertainya. Terkadang lafazh ini dipakai ulama karena ada perselisihan pendapat pada kasus tersebut, apakah wajib ataukah sunnah.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url