Amal-Amal Penentu di Ujung Usia
1.1:
Perjuangan Taat Sampai Mati
Sungguh,
kehidupan di dunia ini adalah medan ujian yang singkat, sebuah fase penanaman
amal yang hasilnya akan dipanen di Akhiroh. Alloh ﷻ menciptakan manusia bukan
tanpa tujuan, melainkan untuk sebuah misi agung, yaitu ibadah kepada-Nya.
Alloh ﷻ
berfirman:
وَمَا
خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS.
Adz-Dzariyat: 56)
Ibadah yang
dimaksudkan di sini adalah ketaatan dan penghambaan total kepada Alloh ﷻ,
yang dibungkus dengan Tauhid. Perjuangan untuk berada di atas jalan ketaatan
ini tidak mengenal kata henti, tidak mengenal fase pensiun, dan tidak dibatasi
oleh usia 60 atau 70 tahun. Selama ruh masih berada dalam jasad, selama itu
pula kewajiban seorang hamba untuk tunduk dan taat akan terus berlangsung.
Inilah
prinsip yang mendasari kehidupan setiap Muslim, sebuah prinsip yang ditegaskan
oleh Alloh ﷻ
melalui firman-Nya kepada Rosululloh ﷺ:
وَاعْبُدْ
رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Sembahlah
Robb-mu sampai datang kepadamu perkara yang yakin.” (QS. Al-Hijr: 99)
Para ulama
tafsir, termasuk Al-Hafizh Ibnu Katsir (774 H), menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan “perkara yang yakin” dalam ayat ini adalah kematian. Sungguh, tidak ada
yang lebih pasti dan yakin kedatangannya selain kematian.
Dengan
demikian, ayat ini menjadi pedoman yang gamblang: perjuangan dalam menghamba
dan beribadah kepada Alloh ﷻ harus terus dilakukan tanpa jeda hingga ajal menjemput. Inilah
garis akhir yang menentukan hasil akhir dari seluruh catatan amal kita.
Tugas dan
tanggung jawab seorang Muslim tidak pernah gugur hanya karena usianya sudah
lanjut. Selama ia masih berakal dan sadar, ia tetap wajib Sholat, tetap wajib
Puasa, dan tetap wajib menjaga lisan serta anggota badannya dari segala bentuk
maksiat. Justru, di masa senja, semangat untuk beramal harus semakin menyala,
sebab waktu untuk menabung amal sudah sangat terbatas.
Rosululloh ﷺ juga memberikan penekanan
yang kuat mengenai pentingnya memanfaatkan setiap detik kehidupan untuk
kebaikan, sebelum waktu itu hilang.
اِغْتَنِمْ
خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ: شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ، وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ، وَغِنَاكَ
قَبْلَ فَقْرِكَ، وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ، وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ
“Manfaatkan
lima perkara sebelum datang lima perkara: masa mudamu sebelum masa tuamu,
kesehatanmu sebelum sakitmu, kekayaanmu sebelum kefakiranmu, waktu luangmu
sebelum kesibukanmu, dan hidupmu sebelum kematianmu.” (HR. Al-Hakim no.
7846, dishohihkan oleh Al-Albani)
Hadits di
atas mengajarkan sebuah fiqh (pemahaman) yang mendalam tentang waktu. Jika masa
muda adalah masa penanaman yang penuh energi, maka masa tua adalah masa panen
dan penentuan hasil akhir. Di masa tua, seorang hamba akan diuji dengan melemahnya
kekuatan fisik, datangnya penyakit (saqom), dan terkadang hilangnya
harta (faqir). Inilah saat yang tepat untuk membuktikan kualitas iman
dan ketaatan yang dibangun sejak muda. Jika seseorang sudah terbiasa dengan
amal sholih di masa muda, maka ia akan dimudahkan untuk konsisten di masa tua.
Ibnu Rojab
Al-Hanbali (795 H) menjelaskan bahwa sabda Nabi ﷺ “hidupmu sebelum kematianmu” adalah yang
paling penting, karena setelah kematian, pintu amal akan tertutup. Inilah
mengapa perjuangan ketaatan harus terus diupayakan hingga nafas terakhir.
Bagi
seorang hamba yang taat, perjuangan untuk terus beramal sholih itu seperti
seorang pelari maraton. Ia tidak hanya harus kuat di awal dan tengah, tetapi
juga harus mengerahkan seluruh sisa tenaganya di garis akhir. Karena, hasil
perlombaan ditentukan oleh siapa yang berhasil menyentuh garis finish dengan
sempurna.
1.2:
Kebaikan Amal Ditentukan oleh Penutupnya
Prinsip ini
adalah salah satu landasan paling agung dan juga paling menakutkan dalam Aqidah
Islam, yang menegaskan bahwa segala sesuatu dinilai berdasarkan penutupnya.
Prinsip ini berlaku dalam dua konteks utama:
Penentuan
amal sholih seorang hamba secara keseluruhan, di hadapan Alloh ﷻ,
berdasarkan kondisi kematiannya.
Penentuan
amal ibadah tertentu, seperti Sholat dan Haji, yang nilainya tergantung pada
penyempurnaannya di bagian akhir.
Dalam
konteks yang pertama, Rosululloh ﷺ memberikan sabda yang tegas:
إِنَّمَا
الْأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ
“Sungguh,
amal itu tergantung pada penutupnya.” (HR. Al-Bukhori no. 6607)
Hadits ini
mengandung makna yang sangat besar, yaitu: seorang hamba bisa saja menghabiskan
hidupnya dengan amal-amal ketaatan yang luar biasa, namun jika ia mengakhirinya
dengan sebuah kesudahan yang buruk (su’ul khotimah), maka keseluruhannya
akan dinilai buruk. Ini terjadi pada orang munafik yang dari awal amalnya untuk
selain Alloh. Sebaliknya, seseorang bisa saja memiliki masa lalu yang kelam,
penuh dosa dan maksiat, namun jika Alloh ﷻ membimbingnya untuk bertaubat
di masa tuanya, dan ia wafat di atas ketaatan (husnul khotimah), maka
Alloh ﷻ
akan mengampuni dosa-dosanya yang telah berlalu, dan ia akan dinilai
berdasarkan penutupnya yang baik.
Inilah yang
dijelaskan lebih lanjut dalam hadits dari Abdulloh bin Mas’ud rodhiyallahu ‘anhu,
yang dikenal sebagai Hadits tentang penciptaan janin, di mana Nabi ﷺ bersabda:
...
فَوَاللّٰهِ الَّذِي لَا إِلٰهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ
الْجَنَّةِ حَتَّىٰ مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ
الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ
لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّىٰ مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا
ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا
“...Maka
demi Alloh ﷻ
yang tiada yang berhak disembah selain Dia, sungguh salah seorang dari kalian
ada yang beramal dengan amalan para penghuni Jannah, sehingga antara dirinya
dan Jannah itu hanya tersisa sejengkal saja (yakni ajalnya sudah dekat).
Kemudian takdir mendahuluinya, lalu ia beramal dengan amalan para penghuni Naar
(Neraka), maka ia pun masuk ke dalamnya (karena dulu beramal untuk pamer amal).
Dan sungguh salah seorang dari kalian ada yang beramal dengan amalan para
penghuni Naar, sehingga antara dirinya dan Naar itu hanya tersisa sejengkal
saja. Kemudian takdir mendahuluinya, lalu ia beramal dengan amalan para
penghuni Jannah, maka ia pun masuk ke dalamnya.” (HR. Al-Bukhori no. 3208
dan Muslim no. 2643)
Hadits ini
adalah peringatan keras bagi kita semua. Amal seseorang harus konsisten sampai
akhir hayat, karena segala sesuatu yang tersembunyi di dalam hati dapat muncul
di akhir hayat, dan menjadi penentu.
Al-Hafizh
Ibnu Hajar Al-Asqolani (852 H), ketika mensyarah hadits ini dalam kitab Fathul
Bari, menjelaskan bahwa hal ini terjadi karena adanya kekurangan
tersembunyi dalam hati orang yang beramal sholih tersebut. Mungkin amalnya
dicampuri dengan riya, kesombongan, atau bahkan nifaq (kemunafikan) yang
tersembunyi, sehingga Alloh ﷻ menghukumnya dengan su’ul khotimah. Sebaliknya, orang
yang tadinya beramal buruk, namun hati kecilnya masih memiliki benih Tauhid
atau penyesalan yang jujur, Alloh ﷻ memberinya rohmat (kasih
sayang) untuk bertaubat.
Inilah yang
menjadikan masa tua, masa menjelang ajal, adalah fase yang paling berat dan
paling agung nilainya. Karena di fase inilah segala niat, kejujuran, dan
keistiqomahan seorang hamba akan diuji hingga batas maksimal.
Perjuangan husnul
khotimah (penutup yang baik) adalah perjuangan seumur hidup, namun
puncaknya adalah di ujung usia. Kita memohon kepada Alloh ﷻ agar
senantiasa memberikan kita taufiq (kemudahan) untuk berada di atas ketaatan
sampai akhir hayat.
1.3:
Kematian yang Pasti Datang
Sebagaimana telah disebutkan, kewajiban beribadah kepada
Alloh ﷻ adalah sampai datangnya Al-Yaqin, yaitu
kematian. Kematian adalah satu-satunya janji Alloh ﷻ
yang tidak dapat disangkal oleh siapa pun, baik oleh mereka yang beriman maupun
yang kufur. Ia adalah gerbang
yang wajib dilalui semua makhluk.
Alloh ﷻ
berfirman:
كُلُّ
نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَإِنَّمَا
تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Setiap
jiwa pasti akan merasakan kematian. Dan sungguh, hanya pada Hari Kiamat sajalah
disempurnakan pahalamu.” (QS. Ali Imron: 185)
Ayat ini
memberikan dua kepastian:
Kepastian
Pertama: Setiap
jiwa pasti mati. Kematian bukanlah akhir dari segalanya, melainkan hanyalah
pergantian alam, dari alam dunia yang fana menuju alam Barzakh.
Kepastian
Kedua:
Penyempurnaan balasan amal hanya di Hari Kiamat. Artinya, dunia ini hanyalah
tempat beramal, bukan tempat menerima balasan seutuhnya.
Penting
untuk dipahami bahwa meskipun kematian adalah keniscayaan, waktu kedatangannya
adalah rahasia mutlak yang hanya diketahui oleh Alloh ﷻ.
Alloh ﷻ
berfirman:
إِنَّ
اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ
ۖ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا
ۖ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ
ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Sungguh,
Alloh, pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia
menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang
pun yang dapat mengetahui apa yang akan dia usahakan besok (esok hari). Dan
tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sungguh,
Alloh Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Luqman: 34)
Ketiadaan
pengetahuan kita mengenai waktu dan tempat kematian ini seharusnya memicu
semangat ibadah dan ketaatan yang konstan. Sebab, jika kita tahu kapan kita
akan mati, mungkin kita akan menunda tobat dan amal sholih hingga mendekati
waktu itu, sebagaimana yang dilakukan oleh Bani Isroil. Namun, karena kita
tidak tahu, setiap detik yang kita jalani adalah potensi terakhir kita untuk
beramal sholih.
Inilah yang
diungkapkan oleh para ulama Salaf. Mereka memandang waktu luang dan kesehatan
sebagai nikmat yang sangat besar, yang harus dimanfaatkan sebelum datangnya
musibah.
Abdullah
bin Umar rodhiyallahu ‘anhuma berkata:
إِذَا
أَمْسَيْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ،
وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ
“Jika kamu
berada di sore hari, maka janganlah menunggu pagi. Jika kamu berada di pagi
hari, maka janganlah menunggu sore. Manfaatkan kesehatanmu sebelum sakitmu, dan
hidupmu sebelum matimu.” (HR. Al-Bukhori no. 6416)
Nasihat
Shohabat mulia ini mengajarkan bahwa setiap pergantian waktu adalah kesempatan
amal. Jangan pernah menunda ketaatan, karena tidak ada jaminan kita akan
bertemu dengan waktu berikutnya. Kita harus beramal di saat sehat sebagai
tabungan untuk saat sakit, dan beramal di masa hidup sebagai bekal untuk masa
kematian. Inilah ruh dari perjuangan taat sampai mati.
1.4:
Dua Hisab Sebelum dan Sesudah Kematian
Hisab
(perhitungan amal) yang harus dihadapi seorang hamba terbagi menjadi dua fase
penting, yang keduanya harus dipahami sebagai motivasi untuk memperbaiki amal.
1. Hisab Pra-Kematian
(Hisab Dunia)
Hisab ini
adalah perhitungan yang berlaku di dunia dan menjadi penentu kesudahan seorang
hamba. Sebagaimana telah disinggung, penentunya ada di bagian akhir (khowatim).
Jika penutupnya baik, maka keseluruhan amalnya di hadapan Alloh ﷻ
dihitung baik, meskipun ia pernah punya catatan kelam di masa lalu.
Konteks ini
didasarkan pada Hadits dari Sahal bin Sa’ad As-Sa’idy rodhiyallahu ‘anhu:
إِنَّمَا
الْأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ
“Sungguh,
amal itu tergantung pada penutupnya.” (HR. Al-Bukhori no. 6607)
Sebagai
contoh, jika seseorang menghabiskan hidupnya dalam kekufuran dan kesyirikan,
lalu menjelang ajalnya ia mengucapkan kalimat Tauhid Laa Ilaaha Illalloh
dengan penuh kejujuran dan keyakinan, maka ia akan diampuni dan dianggap baik
kesudahannya. Sebaliknya, sebagaimana yang diriwayatkan dalam Hadits Ibnu Mas’ud
di atas, orang yang beramal baik namun mengakhirinya dengan buruk, maka amalnya
batal.
Oleh karena
itu, perjuangan di ujung usia adalah perjuangan terberat. Ia harus menjaga
keistiqomahan Tauhid, menuntaskan tobat nasuha, dan membersihkan hati dari
penyakit-penyakit yang tersembunyi, agar ia mendapatkan Husnul Khotimah.
2. Hisab Pasca-Kematian
(Hisab Akhiroh)
Hisab ini
adalah perhitungan yang dilakukan di Padang Mahsyar, di mana setiap amal akan
dihitung dengan adil dan teliti. Perhitungan di Akhiroh ini memiliki penentu
yang berbeda; ia ditentukan oleh amal yang paling utama, yaitu Sholat.
Rosululloh ﷺ bersabda:
أَوَّلُ
مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الصَّلَاةُ، فَإِنْ صَلَحَتْ، صَلَحَ
لَهُ سَائِرُ عَمَلِهِ، وَإِنْ فَسَدَتْ، فَسَدَ سَائِرُ عَمَلِهِ
“Amal
pertama yang nanti akan dihisab dari hamba besok di Hari Kiamat adalah Sholat.
Apabila Sholatnya baik, maka baik pula seluruh amalnya yang lain. Dan apabila
Sholatnya rusak, maka rusak pula seluruh amalnya yang lain.” (HR.
Ath-Thobaroni, dihasankan oleh Al-Albani)
Hadits ini
menunjukkan pentingnya menjaga kualitas Sholat, sejak awal baligh hingga
menjelang ajal. Sholat yang baik (sholihah) akan menjadi kunci pembuka dan
penentu diterimanya amal-amal lain, seperti Puasa, Zakat, Shodaqoh, dan
lain-lain. Jika kunci utamanya sudah rusak atau hilang, maka semua amal kebaikan
lainnya terancam tidak diterima.
Maka, bagi
seorang Muslim yang berada di ujung usia, ia harus menggabungkan dua fokus
hisab ini:
Fokus di
Akhir: Berjuang
keras untuk mengakhiri hidup dalam kondisi husnul khotimah (penutup yang
baik), dengan Tauhid yang murni dan lisan yang mengucapkan kalimat Thoyyibah.
Fokus di
Awal: Memastikan
bahwa Sholat yang ia lakukan sepanjang hidupnya adalah Sholat yang sah dan
berkualitas, karena ini adalah kunci utama yang akan dihisab pertama kali di
Akhiroh.
Inilah yang
menjadi pondasi utama dalam pembahasan amalan terbaik di ujung usia, yang akan
kita telaah lebih lanjut dalam bab-bab berikutnya. Kita harus berjuang untuk
mengakhiri hidup sebagai seorang hamba yang taat, yang senantiasa menjaga
kewajiban utamanya, yaitu Sholat, dan senantiasa mensucikan diri dengan tobat.
1.5:
Keutamaan Panjang Umur dalam Ketaatan
Setelah
kita memahami bahwa perjuangan taat berlangsung hingga ajal, muncul sebuah
pertanyaan: apakah panjang umur itu anugerah atau musibah?
Dalam
pandangan Islam, panjang umur bukanlah tujuan, melainkan sarana. Ia menjadi
anugerah luar biasa jika diisi dengan amal sholih, dan menjadi musibah yang
mengerikan jika dihabiskan dalam maksiat.
Rosululloh ﷺ pernah ditanya tentang
siapakah manusia yang paling baik. Beliau ﷺ menjawab:
خَيْرُ
النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمْرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ، وَشَرُّ النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمْرُهُ
وَسَاءَ عَمَلُهُ
“Sebaik-baik
manusia adalah siapa yang panjang umurnya dan baik pula amalannya. Dan
seburuk-buruk manusia adalah siapa yang panjang umurnya dan buruk amalannya.” (HR.
At-Tirmidzi no. 2330, dihasankan oleh Al-Albani)
Hadits ini
memberikan perspektif yang sangat jelas bagi mereka yang dianugerahi umur
panjang. Setiap tahun, setiap hari, dan setiap nafas tambahan yang diberikan oleh
Alloh ﷻ
adalah kesempatan emas untuk:
Memperbanyak
Tobat: Kesempatan
untuk menghapus dosa-dosa masa lalu yang mungkin luput dari ingatan.
Menambah
Kebaikan:
Kesempatan untuk menumpuk bekal shodaqoh jariyah, membangun amal rutin, dan
mendidik keturunan.
Mencapai
Derajat Tinggi:
Kesempatan bagi hamba untuk meraih derajat yang lebih mulia di Jannah, yang
tidak mungkin dicapai oleh mereka yang wafat di usia muda.
Imam Nawawi
(676 H) rohimahulloh menjelaskan bahwa panjang umur yang disertai amal
sholih adalah sebuah anugerah, karena ia memberikan kesempatan kepada hamba
untuk lebih banyak bertaubat dan melakukan ketaatan yang dapat mendekatkannya
kepada Alloh ﷻ.
Bagi
seorang Mu’min, panjang umur dalam ketaatan berarti Alloh ﷻ
memberinya “masa perpanjangan” untuk berinvestasi. Setiap tetes keringat saat
berwudhu di pagi yang dingin, setiap langkah kaki menuju Masjid, setiap rupiah
shodaqoh yang disalurkan, semuanya menjadi tambahan bekal.
Sebaliknya,
bagi siapa yang diberi umur panjang namun dihabiskan dalam kelalaian,
kekikiran, dan maksiat, maka panjangnya umur itu hanyalah menambah beratnya
hisab dan menambah tebalnya dosa yang harus ia pikul kelak.
Namun, di
sisi lain panjang usia bagi ahli maksiat lebih baik, ditinjau semakin longgar
waktu bertaubat dan bertambah pahala atas panjangnya musibah. Sehingga, tidak
salah dikatakan panjang usia adalah baik bagi orang beriman, baik ia taat atau
tidak.
Oleh karena
itu, di ujung usia, kita harus memohon kepada Alloh ﷻ bukan hanya agar diberi umur
panjang, tetapi agar diberi keberkahan dalam umur dan kemudahan dalam beramal
sholih. Ini adalah salah satu doa Nabi ﷺ yang sangat mendalam:
وَاجْعَلِ
الْحَيَاةَ زِيَادَةً لِي فِي كُلِّ خَيْرٍ، وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لِي مِنْ
كُلِّ شَرٍّ
“...Dan
jadikanlah hidup itu sebagai tambahan bagiku dalam setiap kebaikan, dan
jadikanlah kematian itu sebagai peristirahatan bagiku dari setiap keburukan.” (HR.
Muslim no. 2720)
Doa ini
adalah esensi dari harapan seorang Mu’min di ujung usia: hidup digunakan untuk
menambah kebaikan, dan kematian dijadikan sebagai pintu istirahat yang sempurna
menuju Rohmat Alloh ﷻ.