Fiqih Prioritas Amal di Ujung Usia
2.1:
Definisi dan Urgensi Fikih Prioritas Amal
Sebelum
kita menyelami amalan-amalan spesifik di ujung usia, penting bagi seorang
Muslim untuk memahami sebuah ilmu yang sangat mendasar dan krusial, yaitu fiqh
aulawiyyāt (fikih prioritas).
Secara
bahasa, aulawiyyāt berarti yang utama atau yang didahulukan. Secara
istilah, ia adalah ilmu yang mengajarkan bagaimana menempatkan setiap amal
ibadah pada posisi yang semestinya, mendahulukan amal yang lebih mulia dan
lebih utama (afdhol) di atas amal yang kurang mulia, serta mendahulukan
amal yang paling dibutuhkan pada waktu dan kondisi tertentu.
Mengapa Fikih Prioritas
Itu Mendesak di Ujung Usia?
Urgensi
ilmu ini menjadi sangat mendesak terutama bagi mereka yang telah memasuki usia
senja, karena beberapa alasan utama:
Terbatasnya
Energi dan Waktu:
Di masa muda, seorang hamba dianugerahi energi fisik yang melimpah dan waktu
yang relatif panjang. Ia bisa melaksanakan Sholat Sunnah yang banyak, Puasa Dawud,
dan menghidupkan malam. Namun, di usia tua, energi menjadi sangat terbatas.
Seorang hamba tidak bisa lagi melaksanakan semua amal Sunnah yang ia inginkan.
Ia harus memilih, dan pilihan itu harus jatuh pada amal yang pahalanya paling
besar dan paling dibutuhkan.
Menghindari
Kelelahan yang Memutus Amal: Rosululloh ﷺ
mengajarkan kita untuk tidak beramal secara berlebihan di awal, yang justru
dapat menyebabkan kelelahan dan putus di tengah jalan.
إِنَّ
الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا
وَأَبْشِرُوا، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنْ الدُّلْجَةِ
“Sungguh,
agama ini mudah. Tidak ada seorang pun yang memberat-beratkan agama melainkan
ia akan dikalahkan (dengan berhenti). Maka, luruskanlah (beramal banyak),
dekatilah (beramal sedikit tetapi tetap berkualitas), bergembiralah (dengan
pahala amal rutin meskipun sedikit), dan mintalah pertolongan di pagi hari,
sore hari, dan sedikit di waktu malam.” (HR. Al-Bukhori no. 39)
Syeikhul
Islam Ibnu Taimiyyah (728 H) menjelaskan bahwa tasdīd (meluruskan)
adalah mengerjakan yang paling wajib dan paling utama, sementara muqōrobah (mendekati)
adalah tidak membebani diri dengan amal Sunnah yang berlebihan yang berpotensi
memutus keistiqomahan.
Fokus
pada Khowatim (Penutup): Karena seluruh amal dinilai berdasarkan penutupnya, maka semua energi
yang tersisa harus diarahkan untuk memastikan penutup itu baik. Ini berarti,
prioritas harus diberikan pada amalan yang menjaga kebersihan Tauhid,
menghilangkan kezholiman, dan memperbanyak tobat.
Fiqh aulawiyyāt mengajarkan seorang hamba yang
sudah sepuh untuk bersikap cerdas dalam beribadah: tidak harus banyak, tetapi
harus berkualitas dan strategis. Ia harus tahu, mana yang lebih utama: apakah
Sholat rowatib sepuluh roka’at, ataukah dzikir istighfar yang dilakukan secara
rutin di setiap waktu luang? Mana yang lebih penting: apakah berdebat masalah
khilafiyah yang kecil, ataukah fokus membersihkan hati dari dendam kepada
sesama Muslim?
Jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan inilah yang dicari dalam fikih prioritas.
2.2:
Prioritas Waktu: Keutamaan Tiga Fase Akhir Kehidupan
Di dalam
Islam, terdapat beberapa waktu dan fase kehidupan yang memiliki nilai prioritas
amal yang berbeda. Bagi seorang Muslim yang telah lanjut usia, terdapat tiga
fase waktu yang harus dimaksimalkan dengan amal tertentu:
1. Fase Sebelum Datangnya
Sakit Permanen
Fase ini
adalah fase “tabungan utama”. Di fase ini, seorang Muslim masih memiliki
kesehatan yang memadai, meskipun usianya sudah lanjut. Ia harus memanfaatkan
sisa kesehatan ini sebagai bekal untuk masa sakitnya, sesuai dengan Hadits yang
telah disebutkan:
خُذْ
مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ
“Manfaatkan
kesehatanmu sebelum sakitmu, dan hidupmu sebelum matimu.” (HR. Al-Bukhori
no. 6416)
Prioritas
amal di fase ini adalah:
1. Memperbanyak
Jāriyah: Seperti
Shodaqoh Jariyah, Wakaf, atau mendirikan amal-amal yang pahalanya terus
mengalir.
2. Membentuk
Amalan Rutin (Mini Habit): Mewajibkan diri pada amalan ringan yang dapat dilakukan secara terus
menerus, seperti dua roka’at Sholat Dhuha, atau membaca satu juz Al-Qur’an
setiap hari. Amalan rutin inilah yang akan terus dicatat pahalanya meskipun ia
sudah tidak mampu melakukannya lagi karena sakit.
2. Fase Datangnya Sakit
dan Lemah Fisik
Fase ini
adalah fase “panen pahala”. Fisik sudah lemah, bahkan mungkin terbaring sakit.
Ia tidak bisa lagi pergi ke Masjid atau Shoum (Puasa). Namun, karena ia telah
menanam amalan rutin di masa sehatnya, Alloh ﷻ dengan kemurahan-Nya tetap
mencatat pahala yang sama untuknya.
Rosululloh ﷺ bersabda:
إِذَا
مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
“Apabila
seorang hamba sakit atau dia Safar, maka akan dicatat untuknya amalan pahala
sebagaimana yang menjadi rutinitasnya ketika dia dalam kondisi mukim (tidak
Safar) dan sehat.” (HR. Al-Bukhori no. 2996)
Prioritas
amal di fase ini adalah:
1. Tobat dan
Istighfar: Fokus
total pada penyucian hati dari dosa dan kezholiman.
2. Rojā’
(Harapan Baik):
Memperbesar husnudzon kepada Alloh ﷻ bahwa Dia akan mengampuni dan
merahmati dirinya. Ini adalah ibadah hati yang paling utama saat sakit keras.
3. Fase Sakarotul Maut
Ini adalah
fase penentuan terakhir. Amalan fisik sudah hampir mustahil dilakukan, yang
tersisa hanyalah amalan lisan dan hati.
Prioritas
amal di fase ini adalah:
1. Mengucapkan Tauhid
(Talqīn): Berjuang
untuk menjadikan kalimat Lā Ilāha Illallōh sebagai ucapan terakhirnya.
2. Menghadirkan
Husnudzon:
Dalam hati hanya ada harapan dan prasangka baik kepada Alloh ﷻ,
meninggalkan rasa takut berlebihan terhadap dosa.
2.3:
Prioritas Kondisi: Fokus Ibadah di Tengah Menurunnya Fungsi Tubuh
Fikih
prioritas di ujung usia juga sangat bergantung pada kondisi fisik dan psikis
seorang hamba. Alloh ﷻ
dan Rosul-Nya tidak pernah membebani seorang hamba melampaui batas
kemampuannya.
Alloh ﷻ
berfirman:
فَاتَّقُوا
اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka
bertaqwalah kepada Alloh semampu kalian.” (QS. At-Taghobun: 16)
Ayat ini
adalah dasar dari semua keringanan (rukhshoh) dalam ibadah. Jika seorang
lansia sudah tidak mampu Sholat berdiri, ia Sholat sambil duduk. Jika tidak
mampu duduk, ia Sholat sambil berbaring. Jika tidak mampu Shoum (Puasa), ia
wajib membayar fidyah (tebusan). Yang terpenting adalah, ia tidak
meninggalkan kewajiban utamanya, yaitu Sholat, bahkan dalam kondisi terburuk
sekalipun.
Rosululloh ﷺ pernah ditanya tentang ibadah
haji, kemudian beliau bersabda:
فَمَا
نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا
اسْتَطَعْتُمْ
“Apa pun
yang aku larang kalian darinya, maka jauhilah. Dan apa pun yang aku perintahkan
kalian dengannya, maka lakukanlah semampu kalian.” (HR. Al-Bukhori no. 7288
dan Muslim no. 1337)
Dari sini,
kita dapat menetapkan prioritas amal berdasarkan kondisi tubuh:
1. Prioritas Utama: Ibadah
Hati
Ibadah hati
seperti khouf (takut), rojā’ (harap), tawakkal (berserah diri), mahabbah
(cinta), dan tobat tidak memerlukan kekuatan fisik sama sekali. Justru, di masa
sakit, ibadah hati inilah yang nilainya paling tinggi, sebab ia merupakan inti
dari keimanan. Seorang hamba yang terbaring lemah, namun hatinya dipenuhi rojā’
kepada Alloh ﷻ,
lebih mulia daripada orang sehat yang Sholat Sunnah sepanjang malam namun
hatinya lalai.
2. Prioritas Kedua: Amalan
Lisan
Amalan
lisan, seperti dzikir, istighfar, membaca Al-Qur’an, dan talqīn (menuntun
ucapan syahadah), juga tidak memerlukan kekuatan fisik yang besar. Rosululloh ﷺ telah memberikan panduan
amalan lisan yang ringan namun memiliki timbangan pahala yang berat:
كَلِمَتَانِ
خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ، ثَقِيلَتَانِ فِي الْمِيزَانِ، حَبِيبَتَانِ إِلَى
الرَّحْمَنِ: سُبْحَانَ اللّٰهِ وَبِحَمْدِهِ، سُبْحَانَ اللّٰهِ الْعَظِيمِ
“Dua
kalimat yang ringan di lisan, berat di timbangan, dan dicintai oleh Yang Maha
Rohman: Subhānallōhi wa bihamdihī, Subhānallōhil ‘Azhīm (Maha Suci Alloh
dengan segala puji-Nya, Maha Suci Alloh Yang Maha Agung).” (HR. Al-Bukhori
no. 6404 dan Muslim no. 2694)
Di usia
senja, ketika fisik sudah tidak mampu berdiri lama, dzikir ini adalah amalan
yang sangat ideal untuk dipertahankan secara rutin.
3. Prioritas Ketiga:
Ibadah Fisik yang Fardhu
Ini
mencakup Sholat lima waktu. Jika mampu berdiri, berdiri. Jika tidak, duduk.
Jika tidak, berbaring. Kewajiban Sholat tidak gugur selama akal masih ada.
Inilah
prinsip prioritas kondisi: utamakan apa yang mampu dilakukan, dan yang mampu
dilakukan secara mutlak adalah ibadah hati dan lisan.
2.4:
Prinsip Tarjīh: Mendahulukan Wajib atas Sunnah
Prinsip tarjīh
adalah inti dari fikih prioritas. Ia menetapkan bahwa amal yang wajib
(fardhu) harus selalu didahulukan dan diutamakan di atas amal yang Sunnah (nawāfil),
tidak peduli seberapa banyak amal Sunnah itu dilakukan.
Perbandingan Wajib dan
Sunnah
Di masa
tua, seorang hamba mungkin melihat bahwa Sholat-Sholat Sunnah Rowatib yang
banyak lebih menenangkan hatinya daripada harus menjaga kekhusyu’an Sholat
Fardhu. Namun, Alloh ﷻ
menegaskan melalui Hadits Qudsi bahwa amal yang paling dicintai-Nya adalah amal
yang wajib.
Rosululloh ﷺ bersabda dalam Hadits Qudsi:
مَا تَقَرَّبَ
إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ
عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّىٰ أُحِبَّهُ
“Tiada
seorang hamba-Ku yang mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai
daripada apa yang telah Aku wajibkan atasnya. Dan hamba-Ku terus-menerus
mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan Sunnah (nawāfil) hingga
Aku mencintainya.” (HR. Al-Bukhori no. 6502)
Pernyataan “apa
yang telah Aku wajibkan atasnya” menunjukkan bahwa kewajiban (fardhu)
memiliki kedudukan yang paling mulia dan paling tinggi di sisi Alloh ﷻ.
Aplikasi di Usia Senja
Bagi
seorang lansia, prinsip tarjīh menuntut agar:
Fokus
pada Sholat Fardhu:
Pastikan semua Sholat Fardhu dilakukan tepat waktu, dengan thoharoh yang
sempurna, dan dengan rukun serta wajib yang terpenuhi, meskipun harus duduk
atau berbaring. Jauh lebih baik melakukan satu roka’at Fardhu dengan khusyu’
daripada sepuluh roka’at Sunnah yang lalai.
Fokus
pada Zakat dan Kewajiban Harta: Menyegerakan pelunasan Zakat dan membayar utang wajib lebih penting
daripada bershodaqoh Sunnah yang banyak, apalagi jika ia punya utang dengan
sesama manusia.
Tobat
Wajib (dari Syirik dan Dosa Besar): Tobat dari dosa besar adalah wajib mutlak. Prioritaskan tobat ini di
atas Sunnah Puasa atau Qiyamul Lail.
Seorang
Muslim yang cerdas di usia senja tidak akan menyibukkan diri dengan perdebatan
Sunnah, tetapi akan memastikan bahwa pondasi amalnya, yaitu kewajiban-kewajiban
yang ditetapkan oleh Alloh ﷻ, sudah tegak kokoh dan sempurna. Inilah prioritas amal yang
paling fundamental, sebelum melangkah ke Sunnah-Sunnah lainnya.
2.5:
Prioritas Usia: Amalan yang Ditekankan di Masa Senja
Terdapat
beberapa amalan yang secara khusus ditekankan oleh syariat kepada mereka yang
telah memasuki usia tua, terutama menjelang ajal. Amalan ini menjadi prioritas
karena ia sangat efektif dalam menjaga husnul khotimah dan mempersiapkan
bekal perjumpaan dengan Alloh ﷻ.
1. Istighfar dan Tobat di
Akhir Amal (Penyempurnaan)
Adalah
Sunnah Nabi ﷺ
untuk mengakhiri amal ketaatan dengan istighfar. Hal ini dilakukan karena
seorang hamba menyadari bahwa ketaatan yang ia lakukan pasti tidak sempurna,
diselipi dengan kelalaian, bahkan mungkin riya yang tersembunyi. Istighfar
berfungsi sebagai penambal kekurangan tersebut.
Contohnya:
Setelah
Sholat: Kita
dianjurkan membaca Astaghfirulloh tiga kali.
Setelah
Haji: Alloh ﷻ
memerintahkan:
ثُمَّ
أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Kemudian
bertolaklah kalian dari tempat bertolaknya orang banyak (‘Arofah) dan mohonlah
ampun kepada Alloh. Sungguh, Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.
Al-Baqoroh: 199)
Setelah
Majelis Ilmu:
Rosululloh ﷺ
mengajarkan doa Kaffārotul Majlis, yang intinya adalah tasbih dan
istighfar, sebagai penebus kesalahan lisan.
Jika setiap
amal ketaatan harus diakhiri dengan istighfar, maka keseluruhan hidup seorang
Mu’min (sebagai amal ketaatan terbesar) harus diakhiri dengan istighfar dan
tobat yang paling besar. Inilah alasan mengapa Surah An-Nashr, yang merupakan
isyarat dekatnya ajal Nabi ﷺ,
diakhiri dengan perintah:
فَسَبِّحْ
بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ
كَانَ تَوَّابًا
“Maka
bertasbihlah dengan memuji Robb-mu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia adalah
Maha Penerima Tobat.” (QS. An-Nashr: 3)
2. Rojā’: Memperbesar
Harapan kepada Alloh ﷻ
Ini adalah
ibadah hati yang paling ditekankan saat seorang hamba berada di ambang
kematian. Rasa takut (khouf) di masa sehat adalah penting untuk mencegah
maksiat. Namun, ketika sudah tidak ada kesempatan beramal lagi (menjelang
ajal), yang diutamakan adalah rojā’.
Imam
Asy-Syafi’i (204 H) dan para ulama lain sepakat bahwa ketika seseorang sakit
parah dan menjelang ajal, hendaknya ia menguatkan sisi rojā’ dalam hatinya.
Ia harus lebih dominan mengingat ampunan, rohmah, dan janji-janji kemurahan
Alloh ﷻ
daripada mengingat dosa-dosanya. Hal ini bertujuan agar ia menghadap Alloh ﷻ
dalam keadaan husnudzon.
Rosululloh ﷺ bersabda tiga hari sebelum
beliau wafat:
لَا يَمُوتَنَّ
أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللَّهِ الظَّنَّ
“Jangan
sekali-kali salah seorang dari kalian meninggal dunia kecuali dalam kondisi dia
husnudzon kepada Alloh ﷻ.” (HR. Muslim no. 2877)
3. Mengurangi Interaksi
Negatif dengan Manusia
Di usia senja,
fokus harus beralih dari urusan-urusan duniawi yang memicu sengketa ke urusan
ukhrowi. Mengurangi interaksi negatif dengan orang-orang yang dapat memicu
pertengkaran, ghibah (menggunjing), atau bahkan kezholiman.
Imam
Asy-Syafi’i (204 H) pernah berpesan:
بِئْسَ
الزَّادُ إِلَى الْمَعَادِ الْعُدْوَانُ عَلَى الْعِبَادِ
“Sejelek-jelek
bekal menuju tempat kembali (Akhirat) adalah permusuhan terhadap hamba-hamba
(Alloh).”
Maka,
seorang Muslim yang cerdas di ujung usia akan mengurangi debat politik, menjauhi
sengketa harta yang tidak perlu, dan fokus membersihkan diri dari ghibah. Ia
akan mengalokasikan energi yang tersisa untuk ibadah hati, lisan, dan
memastikan tidak ada satu pun hak orang lain yang masih ia bawa.
Bab-bab
berikutnya, menjelaskan lebih rinci dari bentuk-bentuk prioritas amal.