Cari Artikel

Mempersiapkan...

Fokus Amal Wajib dan Istiqomah Saat di Ujung Usia

 

3.1: Fokus Mutlak pada Ibadah Fardhu

Sungguh, bagi seorang Mu’min yang cerdas, masa senja adalah masa untuk merapikan barisan amal. Ia harus memprioritaskan yang paling pokok dan paling mendasar. Pondasi terkuat dari amal seorang hamba bukanlah pada amalan Sunnah yang banyak dan bervariasi, melainkan pada keteguhannya dalam menunaikan seluruh kewajiban (fardhu) yang telah ditetapkan oleh Alloh .

Mengabaikan kewajiban demi mengejar kesempurnaan pada yang Sunnah adalah bentuk kekeliruan dalam fikih prioritas. Di sisi Alloh , amal yang paling mulia dan paling dicintai-Nya adalah amal yang telah Dia wajibkan.

Inilah prinsip agung yang termaktub dalam Hadits Qudsi yang masyhur, diriwayatkan oleh Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rosululloh bersabda:

مَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ

“Tiada seorang hamba-Ku yang mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada apa yang telah Aku wajibkan atasnya (fardhu).” (HR. Al-Bukhori no. 6502)

Hadits ini adalah kunci. Ia mengajarkan kepada seorang hamba yang sudah berada di ujung usia: fokuskan seluruh energi yang tersisa, meskipun sedikit, untuk memastikan amal fardhu telah dilaksanakan dengan sempurna.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (728 H) dan muridnya, Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah (751 H), menjelaskan bahwa amal fardhu adalah modal pokok yang wajib dijaga. Amal Sunnah (nawāfil) adalah penyempurna. Seseorang tidak akan pernah meraih kecintaan khusus dari Alloh jika ia lalai dalam kewajiban, meskipun ia sangat rajin dalam Sunnah.

Bayangkanlah seorang pedagang yang menghabiskan modalnya untuk barang-barang sekunder, sementara barang dagangan utamanya (modal pokok) ia biarkan rusak. Sungguh, ia akan merugi. Demikian pula seorang hamba. Jika ia lalai dalam Sholat Fardhu, Zakat, atau Puasa Romadhon, namun ia rajin Puasa Sunnah atau Qiyamul Lail yang panjang, sungguh ia telah merugi.

Maka, di masa senja, prioritas utama bukanlah mencari Sunnah baru, tetapi:

Menjaga Sholat Fardhu lima waktu dengan syarat, rukun, dan thuma’ninah (ketenangan) yang sempurna.

Menyempurnakan Zakat yang mungkin tertunda atau belum tuntas selama bertahun-tahun.

Melunasi semua utang wajib, baik kepada Alloh (seperti kaffarot sumpah/Puasa yang terlewat) maupun kepada manusia.

Memperkokoh amal wajib adalah benteng pertama dan utama bagi seorang lansia dalam meraih Husnul Khotimah.

3.2: Menjaga Sholat Lima Waktu

Dari semua amal wajib, Sholat memegang kedudukan paling tinggi setelah kalimat Syahadat. Sebagaimana telah kita bahas, Sholat adalah amal pertama yang akan dihisab di Hari Kiamat. Kualitas Sholat seseorang akan menentukan kualitas seluruh amalnya.

Rosululloh bersabda:

أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الصَّلَاةُ، فَإِنْ صَلَحَتْ، صَلَحَ لَهُ سَائِرُ عَمَلِهِ، وَإِنْ فَسَدَتْ، فَسَدَ سَائِرُ عَمَلِهِ

“Amal pertama yang nanti akan dihisab dari hamba besok di Hari Kiamat adalah Sholat. Apabila Sholatnya baik, maka baik pula seluruh amalnya yang lain. Dan apabila Sholatnya rusak, maka rusak pula seluruh amalnya yang lain.” (HR. Ath-Thobaroni, dihasankan oleh Al-Albani)

Bagi seorang lansia, menjaga Sholat adalah perjuangan besar. Ia berhadapan dengan melemahnya daya ingat, kesulitan thoharoh (bersuci) akibat penyakit, dan ketidakmampuan berdiri lama. Di sinilah Alloh menunjukkan rohmat-Nya yang agung dengan memberikan keringanan (rukhshoh).

Keringanan Fikih Sholat Bagi Lansia

Sholat Sambil Duduk: Jika seorang lansia tidak mampu berdiri, ia boleh Sholat sambil duduk. Bahkan, pahalanya tetap sempurna, selama ketidakmampuan itu benar-benar disebabkan oleh penyakit atau kelemahan.

Rosululloh bersabda kepada Imron bin Hushain rodhiyallahu ‘anhu:

صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

“Sholatlah sambil berdiri. Jika kamu tidak mampu, maka (Sholatlah) sambil duduk. Jika kamu tidak mampu, maka (Sholatlah) di atas lambung (berbaring).” (HR. Al-Bukhori no. 1117)

Tayamum: Jika wudhu atau mandi janabah akan menyebabkan penyakitnya bertambah parah atau menghambat kesembuhan, ia boleh beralih ke Tayamum.

Menjamak Sholat: Dalam kondisi tertentu (sakit parah, kerepotan yang sangat memberatkan), dibolehkan menjamak (menggabungkan) dua Sholat, misalnya Zhuhur dengan Asar, atau Maghrib dengan Isya, untuk mengurangi kesulitan.

Pesan dari semua rukhshoh ini adalah: Sholat wajib harus dilaksanakan dalam kondisi apa pun, bahkan saat terbaring di atas kasur. Tidak ada alasan bagi seorang Muslim yang masih berakal untuk meninggalkan Sholat fardhu. Menjaga keteguhan Sholat hingga nafas terakhir adalah penjamin pertama Husnul Khotimah.

3.3: Pentingnya Sholat Berjama’ah Bagi Lansia

Sholat berjama’ah di Masjid bagi para lelaki adalah sebuah Sunnah yang sangat ditekankan, bahkan sebagian ulama mewajibkannya. Pahalanya dilipat-gandakan hingga 27 derajat. Di ujung usia, Sholat berjama’ah menjadi salah satu amalan terbaik, karena ia menyempurnakan amal fisik, amal lisan (dzikir), dan amal sosial (bertemu sesama Muslim).

Namun, syariat kita adalah syariat yang penuh kemudahan. Jika seorang lansia tidak mampu berjalan ke Masjid karena sakit, usia tua, atau khawatir terpeleset dan celaka, maka kewajiban (atau Sunnah Mu’akkadah) Sholat berjama’ah gugur darinya.

Ibnu Qudamah (620 H) dalam kitabnya Al-Mughni menjelaskan bahwa faktor usia tua yang sangat renta termasuk uzur yang membolehkan seorang Muslim meninggalkan Sholat berjama’ah.

Dalil dari keringanan ini adalah hadits berikut:

Ibnu Abbas rodhiyallahu ‘anhuma ditanya tentang hukum Sholat berjama’ah, lalu ia berkata, Rosululloh bersabda:

مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ، فَلَا صَلَاةَ لَهُ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ

“Siapa yang mendengar seruan (Adzan) lalu ia tidak mendatanginya (untuk Sholat berjama’ah), maka tiada Sholat baginya, kecuali karena uzur.” (HR. Ibnu Majah no. 793, dishohihkan oleh Al-Albani)

Para ulama memasukkan usia tua yang sangat lemah sebagai salah satu uzur yang dibenarkan syariat.

Fikih Prioritas dalam Konteks Jama’ah

Prioritas: Jika seorang lansia masih mampu ke Masjid tanpa risiko yang membahayakan, maka ia harus memaksakan diri, karena setiap langkahnya adalah penghapus dosa dan pengangkat derajat.

Jika Uzur: Jika ia memiliki uzur yang dibenarkan, maka Sholat di rumahnya dalam kondisi sendiri lebih utama daripada memaksakan diri ke Masjid lalu celaka, atau bahkan berlebihan sehingga jatuh sakit parah. Sebab, sebagaimana dijelaskan dalam Hadits, ia tetap akan mendapatkan pahala Sholat berjama’ah yang biasa ia lakukan di masa sehat.

Tujuan Hakiki: Termasuk tujuan utama dari Sholat berjama’ah adalah menyatukan hati. Jika ia Sholat di rumah, ia harus memastikan hatinya tetap terhubung dengan Alloh , menggantikan keutamaan jama’ah dengan khusyu’ dan dzikir yang lebih panjang.

3.4: Konsistensi dalam Menunaikan Zakat, Puasa, dan Haji/Umroh

Di samping Sholat, rukun Islam yang lain juga harus menjadi fokus utama, terutama di ujung usia, karena ia berkaitan dengan hak Alloh dan hak hamba yang lain.

A. Zakat dan Kewajiban Harta

Kewajiban harta (Zakat) adalah jembatan yang menghubungkan seorang hamba dengan Alloh melalui kedermawanannya kepada sesama. Menunda Zakat yang wajib adalah dosa besar, apalagi jika harta itu terus bertambah dan menimbun kewajiban.

Di ujung usia, seorang Muslim harus memastikan bahwa:

Zakat yang Tertunda: Semua kewajiban Zakat harta (emas, perak, dagangan, pertanian) yang tertunda sejak masa muda harus segera dihitung dan dikeluarkan.

Utang Kepada Manusia: Semua utang kepada manusia harus dicatat dan dipastikan ada dana untuk melunasinya. Rosululloh memberikan peringatan keras:

يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلَّا الدَّيْنَ

“Semua dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali utang.” (HR. Muslim no. 1885)

Jika seorang syahid yang mati di medan Jihad saja tidak diampuni dosanya karena utang, apalagi bagi seorang lansia yang wafat di atas kasurnya. Melunasi utang adalah prioritas mutlak di atas semua Shodaqoh Sunnah.

B. Puasa Wajib (Qodho’)

Bagi seorang lansia, jika ia pernah meninggalkan Puasa Romadhon di masa lalu karena uzur (sakit, haid bagi wanita) dan belum sempat mengganti (qodho’) hingga tiba masa senja, ia wajib segera menyelesaikannya. Jika ia tidak mampu lagi berpuasa karena faktor usia renta yang permanen, ia wajib membayar fidyah.

Alloh berfirman tentang fidyah:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

“Dan bagi orang-orang yang berat menjalankannya (Puasa Romadhon), wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqoroh: 184)

Ibnu Abbas rodhiyallahu ‘anhuma menjelaskan bahwa ayat ini berlaku bagi orang tua yang sudah sangat renta dan tidak mampu berpuasa, yang mana ia wajib membayar fidyah satu porsi makanan untuk setiap hari yang ditinggalkan.

C. Haji dan Umroh

Jika seorang Muslim memiliki kemampuan finansial dan fisik (atau mampu mengupah orang lain untuk haji atas namanya: haji badal), namun ia belum menunaikan Haji wajib, maka ini adalah kewajiban yang harus segera ia tunaikan atau ia wasiatkan untuk di-badal-kan jika ia wafat.

Rosululloh ditanya tentang seorang wanita yang ibunya telah wajib Haji namun meninggal sebelum melaksanakannya. Nabi bersabda:

نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا، أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً؟ اقْضُوا اللَّهَ فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالوَفَاءِ

“Hajikan ibumu. Bagaimana pendapatmu jika ibumu memiliki utang lalu kamu melunasinya, apakah itu akan melunaskan utang darinya? Maka utang kepada Alloh lebih berhak untuk dilunasi.” (HR. Bukhori no. 1852)

Maka, memastikan semua rukun Islam telah tuntas adalah prioritas utama sebelum ia bertemu dengan Alloh .

3.5: Meninggalkan Segala Bentuk Hal yang Harom dan Syubhat

Meninggalkan larangan (tarkul muharromāt) adalah amal wajib yang nilainya lebih tinggi daripada melaksanakan amal Sunnah. Seorang Muslim yang cerdas di ujung usia adalah siapa yang benar-benar fokus meninggalkan apa yang dilarang Alloh , baik yang tersembunyi maupun yang nampak.

Rosululloh bersabda:

مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Apa pun yang aku larang kalian darinya, maka jauhilah. Dan apa pun yang aku perintahkan kalian dengannya, maka lakukanlah semampu kalian.” (HR. Muslim no. 1337)

Perintah untuk menjauhi larangan ini adalah mutlak dan tanpa batas kemampuan (mā ishtatho’tum). Tidak ada rukhshoh (keringanan) untuk melakukan maksiat.

Di usia senja, fokus pada tarkul muharromāt berarti:

Menjaga Lisan: Menjauhi ghibah, namīmah, dusta, dan ucapan kotor. Lisan adalah organ yang paling mudah tergelincir di usia tua karena pengawasan diri seringkali melemah.

Menjauhi Harta Harom: Tidak lagi terlibat dalam transaksi riba, suap, atau segala bentuk harta yang diperoleh secara zholim. Jika ia memiliki harta harom, ia wajib membersihkannya dengan mengembalikannya kepada pemiliknya atau menyalurkannya untuk kepentingan umum.

Menjauhi Syubhat: Meninggalkan segala sesuatu yang meragukan. Rosululloh bersabda:

فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ

“Maka siapa yang menjaga diri dari perkara syubhat (meragukan), sungguh ia telah membersihkan agama dan kehormatannya. Dan siapa yang jatuh ke dalam perkara syubhat, maka ia jatuh ke dalam perkara yang harom.” (HR. Al-Bukhori no. 52 dan Muslim no. 1599)

Menjauhi syubhat adalah bentuk kehati-hatian tertinggi yang sangat ditekankan di ujung usia, agar seorang hamba bertemu Alloh dalam keadaan bersih dari segala keraguan dan dosa.

3.6: Keutamaan Tobat dari Utang dengan Alloh (Kaffārot)

Di dalam perjalanan hidup, seringkali seorang hamba tanpa sadar atau karena kelalaian telah mengabaikan utang-utang yang sifatnya kaffārot (denda atau tebusan) yang wajib ia tunaikan kepada Alloh . Utang-utang ini wajib diselesaikan sebelum ajal menjemput.

Contoh-contoh Utang Kaffārot:

Kaffārot Sumpah: Jika seseorang telah bersumpah atas nama Alloh namun kemudian melanggarnya, ia wajib membayar kaffārot yamin (denda sumpah), yaitu memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian, atau membebaskan seorang budak. Jika tidak mampu, ia Puasa tiga hari. (QS. Al-Ma’idah: 89)

Kaffārot Zhihār: Ini adalah denda bagi suami yang menyerupakan istrinya dengan ibunya (zhihār), yang merupakan dosa besar di masa lalu. Dendanya adalah membebaskan budak, atau Puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang miskin.

Kaffārot Pembunuhan Tidak Sengaja: Denda ini wajib bagi siapa yang menyebabkan kematian seorang Mu’min tanpa sengaja. Dendanya adalah membebaskan seorang budak Mu’min dan membayar diyat (denda darah) kepada keluarga korban.” (QS. An-Nisa: 92)

Di masa tua, seorang Muslim harus merenungi dan mencatat semua kaffārot yang mungkin pernah ia abaikan, dan menyegerakan penyelesaiannya. Menyelesaikan utang kaffārot ini jauh lebih utama daripada menyibukkan diri dengan Shodaqoh atau Sunnah lain, karena ia adalah kewajiban yang dituntut oleh Alloh secara langsung.

Jika seseorang meninggal dunia dan masih memiliki utang kaffārot yang belum ditunaikan, maka ia harus berwasiat kepada ahli warisnya untuk segera melunasinya dari harta peninggalannya, sebab ia adalah utang kepada Alloh yang paling berhak untuk diselesaikan.

Dengan memfokuskan diri pada amal wajib, mulai dari Sholat, Zakat, hingga pelunasan kaffārot dan utang kepada manusia, seorang hamba telah membangun pondasi amal yang paling kokoh, yang menjadi penentu utama dalam Hisab Akhiroh.


 

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url