ASBABUN NUZUL MENURUT IBNU TAIMIYYAH
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (728 H) membahas mengenai ilmu
Asbabun Nuzul (Sebab-sebab turunnya Wahyu). Kata sebab nuzul adalah
gabungan kata (idhofah) yang maknanya adalah sebab suatu ayat
diturunkan.
3.1 Faedah Mengetahui Asbabun Nuzul
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (728 H) berkata, mengetahui
Sebab Nuzul, dapat membantu dalam memahami maknanya (tafsir) dan menolong dalam
memahami hukum-hukumnya.
Mengetahui Sebab Nuzul memiliki beberapa faedah:
3.1.1
Menyampaikan Makna Ayat kepada Para Pembaca Al-Qur’an
Jika seseorang mengetahui sebab turunnya suatu ayat, ia akan
mudah memahami maknanya.
3.1.2 Mengkhususkan Hukum yang
Umum (Takhshishul ‘Aam)
Terkadang ada ayat yang lafazhnya umum, tetapi hukumnya
dikhususkan hanya berlaku pada Sebab Nuzul saja. Contoh, firman Alloh tentang
zhihar (mengharomkan istri seperti mengharomkan ibu). Ayat-ayat awalnya:
قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي
تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ
“Sungguh Alloh telah mendengar perkataan perempuan yang
mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya dan mengadu kepada
Alloh.” (QS. Al-Mujaadilah: 1)
Ayat ini diturunkan karena perihal Khoulah binti Tsa’labah rodhiyAllohu
‘anha.
3.1.3 Menjelaskan Bahwa Hukum Itu Tidak Hanya
Berlaku untuk Sebab Itu Saja, Tetapi Hukumnya Bersifat Umum
Yaitu, menegaskan bahwa meski ada sebab khusus, lafazh dan
hukum yang terkandung di dalamnya bersifat umum. Inilah yang paling banyak
dalam Al-Qur’an.
3.2
Yang Menjadi Patokan Adalah Keumuman Lafazh, Bukan Kekhususan Sebab
Terdapat kaidah ushul fiqih yang terkenal: “Yang menjadi
patokan adalah keumuman lafazh, bukan kekhususan sebab.”
Namun, para ulama memiliki tiga pendapat mengenai masalah
ini:
Pendapat Jumhur (Mayoritas) Ulama:
Yang menjadi patokan adalah keumuman lafazh, bukan
kekhususan sebab. Inilah pendapat yang paling banyak dalam Al-Qur’an dan
merupakan pendapat yang paling shohih. Jika ada ayat turun karena sebab
tertentu, maka hukum di dalamnya tetap berlaku umum untuk semua keadaan yang
serupa.
Pendapat yang Lain: Yang menjadi patokan adalah kekhususan
sebab, bukan keumuman lafazh.
Pendapat yang Menengah (Tafshil):
Jika lafazhnya umum, maka yang menjadi patokan adalah
lafazhnya.
Jika lafazhnya khusus, maka yang menjadi patokan adalah
sebabnya.
Contoh dari pendapat ini adalah firman Alloh:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ
ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً
“orang-orang
yang menuduh perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan (berzina), kemudian
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka cambuklah mereka 80 kali
cambukan.” (QS. An-Nuur: 4)
Ayat ini turun mengenai Shohabat Hilal bin Umayyah rodhiyAllohu
‘anhu. Meski sebabnya khusus pada Hilal, lafazhnya umum mencakup semua
orang yang menuduh wanita baik-baik.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (728 H) menegaskan bahwa
pendapat yang paling shohih adalah yang pertama (yaitu keumuman lafazh). Sebab
Nuzul hanya berfungsi sebagai penjelas (mubayyin), bukan sebagai
penghalang keumuman hukum. Hukum itu berlaku umum, dan sebab Nuzul hanya
menunjukkan salah satu kasus (bentuk) dari berlakunya hukum tersebut.
3.3 Jalan Mengetahui Asbabun Nuzul
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (728 H) menyatakan, untuk
mengetahui Sebab Nuzul, jalan satu-satunya adalah melalui riwayat yang shohih,
yaitu:
Rosululloh ﷺ
yang Menceritakan: Rosululloh ﷺ
sendiri yang menjelaskan.
Shohabat yang Menyaksikan: Shohabat rodhiyAllohu ‘anhum
yang menyaksikan langsung turunnya ayat, di mana, dan perihal siapa.
Tidak ada jalan lain bagi siapa pun untuk mengetahui Sebab
Nuzul, kecuali dengan riwayat yang shohih. Tidak boleh menetapkan Sebab Nuzul
dengan ijtihad atau akal.
Apabila ada riwayat dari seorang Shohabat yang berkata, “Ayat
ini diturunkan mengenai hal ini..”, maka pernyataan tersebut memiliki hukum marfu’
(dianggap sebagai ucapan Nabi ﷺ,
karena ini adalah perkara ghoib yang tidak dapat diketahui dengan ijtihad).
Jika riwayat itu datang dari Tabi’in, maka tidak diterima.
3.4
Berulangnya Sebab Nuzul dan Ayat yang Turun Sesuai Pendapat Shohabat
Ada dua masalah yang dibahas Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
(728 H) dalam subbab ini:
3.4.1
Berulangnya Sebab, Ayatnya Satu (Takarur as-Sabab wa Al-Munazzal)
Yaitu, terkadang suatu ayat turun karena sebab tertentu,
lalu terjadi lagi sebab serupa, dan ayat yang sama diulang turunnya.
Sebagaimana yang terjadi pada Suroh Al-Ikhlash, di mana ia turun di Makkah
karena pertanyaan musyrikin dan turun lagi di Madinah karena pertanyaan Ahli Kitab.
3.4.2
Ayat yang Turun Sesuai Pendapat Shohabat
Ada beberapa ayat yang turunnya sesuai dengan pendapat atau
keinginan salah seorang Shohabat. Di antaranya adalah ‘Umar bin Al-Khoththob
(23 H).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (728 H) berkata, terdapat tiga
ayat yang turun sesuai pendapat ‘Umar bin Al-Khoththob (23 H), ditambah dengan
dua ayat, sehingga totalnya ada lima ayat:
Ayat tentang Maqom Ibrohim
‘Umar (23 H) berkata, “Aku berkata, ‘Wahai Rosululloh!
Seandainya engkau menjadikan tempat Sholat kita di Maqom Ibrohim?’” Maka,
turunlah firman Alloh:
وَاتَّخِذُوا مِن مَّقَامِ إِبْرَاهِيمَ
مُصَلًّى
“jadikanlah
sebagian Maqom Ibrohim sebagai tempat Sholat.” (QS. Al-Baqoroh: 125). (HR.
Al-Bukhori no. 402 dan Muslim no. 239)
Ayat tentang Hijab
‘Umar (23 H) berkata, “Aku berkata, ‘Wahai Rosululloh!
Seandainya engkau memerintahkan istri-istrimu untuk berhijab (menutup diri)?
Karena sungguh orang baik dan orang faajir (jahat) itu keluar.” Maka, turunlah
Ayat Hijab, firman Alloh:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ
وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ
“Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu, dan perempuan-perempuan Mu’minun, ‘Hendaknya mereka menjulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka...’” (QS. Al-Ahzab: 59). (HR.
Muslim no. 239)
Ayat tentang Tawanan Perang Badr
‘Umar (23 H) berpendapat para tawanan Perang Badr harus
dibunuh, sedangkan Nabi ﷺ
dan Abu Bakar ash-Shiddiq (13 H) berpendapat sebaliknya. Maka, turunlah firman
Alloh:
مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَن يَكُونَ
لَهُ أَسْرَى حَتَّى يُثْخِنَ فِي الْأَرْضِ
“Tidak pantas bagi seorang Nabi memiliki tawanan perang
sebelum dia melumpuhkan musuh di muka bumi...” (QS. Al-Anfaal: 67). (HR.
Muslim no. 1763)
Ayat tentang Larangan Sholat atas Orang Munafiq
‘Umar (23 H) melarang Nabi ﷺ menyolatkan Abdulloh bin Ubay bin Salul (pemimpin munafiq).
Maka, turunlah firman Alloh:
وَلَا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِّنْهُم
مَّاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ
“janganlah
kamu (Muhammad) melaksanakan Sholat (jenazah) untuk seseorang pun yang mati di
antara mereka selamanya, dan janganlah kamu berdiri di atas kuburannya...” (QS.
At-Taubah: 84)
Ayat tentang Turunnya Wahyu (Bukan Turunnya Ayat)
Yang kelima adalah persetujuan Rosululloh ﷺ terhadap pendapat ‘Umar
(23 H) tentang kecemburuan istrinya dan kecemburuan Hafshoh rodhiyAllohu ‘anha
terhadap Nabi ﷺ,
sehingga turun firman Alloh:
عَسَى رَبُّهُ إِن طَلَّقَكُنَّ
أَن يُبْدِلَهُ أَزْوَاجًا خَيْرًا مِّنكُنَّ
“Jika dia (Nabi) menceraikan kalian, Robb-nya akan mengganti
untuknya istri-istri yang lebih baik dari kalian...” (QS. At-Tahriim: 5)
Nabi ﷺ
berkata, “Wahai ‘Umar! Alloh sungguh setuju denganmu.” (HR. Al-Bukhori no.
4916)