Bersihkan Kezholiman Saat di Ujung Usia
7.1:
Beban Terberat di Hari Kiamat
Seorang Muslim yang telah memasuki usia senja, yang tengah
sibuk membersihkan diri dari dosa-dosa kepada Alloh ﷻ
melalui tobat dan istighfar (seperti yang dibahas di Bab 5), harus menyadari
adanya benteng terakhir dan terberat yang harus ia taklukkan: Kezholiman kepada
sesama manusia (haqqul ādamī).
Kezholiman kepada Alloh ﷻ
(seperti meninggalkan Sholat, Puasa, bahkan berbuat syirik) adalah dosa yang
dapat diampuni melalui tobat yang jujur. Namun, kezholiman kepada manusia adalah utang yang harus dibayar lunas,
baik di dunia ini maupun di Akhiroh. Alloh ﷻ dengan keadilan-Nya tidak
akan mengampuni dosa ini sebelum hamba itu sendiri yang menyelesaikannya.
Kezholiman adalah
Kegelapan
Rosululloh ﷺ memberikan peringatan keras
tentang kezholiman:
اِتَّقُوا
الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Jagalah
diri kalian dari perbuatan zholim, karena sungguh kezholiman itu akan menjadi
kegelapan pada Hari Kiamat.” (HR. Muslim no. 2578)
Bayangkanlah:
di Hari Kiamat, saat manusia membutuhkan cahaya untuk melewati kegelapan dan
jembatan Shirōt, orang yang zholim justru akan diselimuti kegelapan yang
menakutkan, yang bersumber dari kezholiman yang ia lakukan sendiri di dunia.
Ini menunjukkan betapa seriusnya dosa ini.
Alloh ﷻ
sendiri telah mengharomkan kezholiman atas diri-Nya dan juga di antara
hamba-Nya.
يَا عِبَادِي
إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلَا
تَظَالَمُوا
“Wahai
hamba-hamba-Ku! Sungguh Aku mengharomkan kezholiman atas diri-Ku dan Aku
menjadikannya harom di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzholimi.”
(HR. Muslim no. 2577, Hadits Qudsi)
Fokus
seorang lansia di ujung usia harus total pada riset kezholiman—menelusuri
kembali setiap kezholiman yang pernah ia lakukan, baik yang ia sadari maupun
yang ia lupakan.
7.2:
Menyelesaikan Semua Urusan Sebelum Ajal
Tujuan
akhir dari seorang Muslim di masa senja adalah menerapkan “Prinsip Nol Kezholiman”.
Yaitu, memastikan bahwa saat ia menghadap Alloh ﷻ, ia tidak membawa satu pun
beban haqqul ādamī.
Ini adalah
teladan yang dicontohkan oleh Nabi ﷺ. Ketika beliau diminta untuk menetapkan harga agar harga-harga
tidak melambung (yang berpotensi merugikan pedagang), beliau menolak, karena
beliau takut hal itu menjadi kezholiman yang akan dituntut di Akhiroh.
Rosululloh ﷺ bersabda:
وَإِنِّي
لَأَرْجُو أَنْ أَلْقَى اللَّهَ وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْكُمْ يُطَالِبُنِي بِمَظْلَمَةٍ
فِي دَمٍ وَلَا مَالٍ
“Sungguh,
aku berharap dapat menjumpai Alloh ﷻ dalam keadaan tidak ada
seorang pun yang menuntutku karena suatu kezholiman, baik dalam hal darah
maupun harta.” (HR. Abu Dawud no. 3451, At-Tirmidzi no. 1314, shohih)
Jika
Rosululloh ﷺ
saja takut membawa kezholiman, maka kita, yang lemah ini, harus lebih takut.
Prinsip nol kezholiman ini menuntut tindakan nyata, bukan hanya penyesalan
dalam hati.
Kezholiman Wajib
Diselesaikan Sekarang!
Kezholiman
harus diselesaikan di dunia, saat masih ada waktu. Di Akhiroh, yang berlaku
hanyalah transfer amal, bukan uang atau harta.
Rosululloh ﷺ bersabda:
مَنْ
كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ، فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ
اليَوْمَ، قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُونَ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ
“Siapa yang
pernah menzholimi saudaranya, baik dalam kehormatan atau pun sesuatu yang lain,
maka hendaknya ia meminta maaf (halal) darinya hari ini, sebelum datang hari di
mana tidak ada lagi dinar dan dirham (yaitu Hari Kiamat).” (HR. Al-Bukhori
no. 2449)
Pesan dari
hadits ini adalah urgensi waktu. Saat seorang lansia masih hidup, ia masih
memiliki kemampuan untuk meminta maaf, melunasi utang, dan mengembalikan harta.
Jika ia menunda, ia akan membayarnya dengan harga yang sangat mahal di Akhiroh.
7.3:
Kebangkrutan Hakiki
Rosululloh ﷺ telah memberikan gambaran yang sangat
mengerikan tentang nasib orang yang zholim di Akhiroh, yang beliau sebut
sebagai muflis (orang yang bangkrut).
Suatu ketika, Rosululloh ﷺ bertanya kepada para
Shohabat:
أَتَدْرُونَ
مَا الْمُفْلِسُ؟
“Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?
Para Shohabat menjawab:
الْمُفْلِسُ
فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ
“Orang
bangkrut di antara kami adalah orang yang tidak punya dirham (uang) dan tidak
punya harta benda.”
Lalu,
Rosululloh ﷺ
menjelaskan muflis yang sebenarnya:
إِنَّ
الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ، وَصِيَامٍ، وَزَكَاةٍ،
وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا، وَقَذَفَ هَذَا، وَأَكَلَ مَالَ هَذَا، وَسَفَكَ دَمَ
هَذَا، وَضَرَبَ هَذَا، فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ، وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ،
فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ
فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ، ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ
“Sungguh,
orang yang bangkrut dari umatku adalah yang datang pada Hari Kiamat membawa
(pahala) Sholat, Puasa, dan Zakat. Namun, ia datang telah mencaci maki si A,
menuduh (berzina) si B, memakan harta si C, menumpahkan darah si D, dan memukul
si E. Maka, diberikanlah kepada si korban dari kebaikan-kebaikan si pelaku, dan
kepada korban lain dari kebaikan-kebaikannya. Apabila kebaikan-kebaikannya
telah habis sebelum kewajibannya (tuntutannya) terlunasi, maka diambil
dosa-dosa mereka (para korban) lalu ditimpakan kepadanya, kemudian ia
dilemparkan ke dalam Naar.” (HR. Muslim no. 2581)
Hadits ini
adalah pesan terberat bagi seorang lansia. Seluruh amal Jāriyah, amal rutin,
Sholat, dan Puasa Sunnah yang ia kumpulkan seumur hidup (Bab 3 dan 4) bisa
habis dalam sekejap untuk melunasi kezholiman lisan (mencaci, menuduh) dan kezholiman
harta (memakan harta orang lain). Bahkan, jika pahalanya habis, ia harus
menanggung dosa orang lain.
Maka,
prioritas utama di masa senja haruslah beralih dari sekadar menambah amal
Sunnah, menjadi menjaga amal yang sudah ada dari ancaman kebangkrutan ini.
7.4:
Fikih Utang Piutang dan Ghosab
Kezholiman
harta adalah salah satu dosa yang paling sulit diselesaikan, karena ia tidak
gugur hanya dengan istighfar.
1. Kezholiman Melalui
Utang
Utang
adalah hak ādamī yang sangat ditekankan. Rosululloh ﷺ tidak mau mensholati janazah
orang yang masih memiliki utang, hingga ada yang menjamin pelunasannya.
Seorang
lansia semestinya:
Mencatat
Utang: Membuat
catatan yang rinci tentang siapa saja yang pernah ia utangi, besar utangnya,
dan segera melunasinya, bahkan jika yang memberi utang telah melupakan atau
merelakannya.
Berwasiat: Jika ia khawatir ajalnya mendadak,
ia wajib mewasiatkan kepada ahli warisnya agar utang tersebut segera dilunasi
dari hartanya sebelum harta itu dibagikan sebagai warisan.
2. Kezholiman Melalui Ghosab
Ghosab
adalah mengambil harta orang lain tanpa izin dan tanpa hak (seperti mencuri,
menipu, atau bahkan menggeser batas tanah tetangga).
Imam
Asy-Syafi’i (204 H) dan ulama lain menegaskan, harta ghosab atau harta harom
harus dikembalikan barangnya, Jika harta itu masih ada (misalnya: tanah yang
digeser batasnya, perhiasan yang dicuri). Atau diganti nilainya, jika barangnya
sudah rusak atau hilang.
Jika korban
kezholiman tidak diketahui keberadaannya, maka harta itu wajib disalurkan
sebagai shodaqoh atas nama korban (bukan atas namanya sendiri), dengan niat
agar Alloh ﷻ
mengganti kerugian korban di Akhiroh.
7.5:
Ghibah, Namimah, dan Mencela
Kezholiman
yang paling sering dilakukan di usia tua, dan paling sulit dihindari, adalah kezholiman
lisan, seperti ghibah (menggunjing), namīmah (adu domba), dan mencela.
Inilah yang menjadi penyebab utama kebangkrutan yang dialami ahli ibadah.
1. Bahaya Ghibah
Ghibah
adalah menyebut keburukan orang lain di saat ia tidak ada, meskipun keburukan
itu benar adanya.
Alloh ﷻ
berfirman:
وَلَا
يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ
أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Dan
janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain. Apakah seorang di
antara kalian suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kalian
merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Alloh. Sungguh, Alloh Maha
Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurot: 12)
2. Tobat dari Kezholiman
Lisan
Tobat dari
kezholiman lisan membutuhkan detail fikih yang berbeda dari kezholiman harta:
Jika ghibah
sudah tersebar luas (dan mencemari nama baik), wajib meminta maaf secara
langsung kepada orang yang dizholimi, untuk membersihkan namanya.
Jika ghibah
masih terbatas (dan meminta maaf justru menimbulkan fitnah baru), maka para
ulama seperti Imam An-Nawawi (676 H) berpendapat, cukup dengan memuji orang
tersebut di tempat ia pernah dicela dan memperbanyak istighfar untuk orang yang
dizholimi tersebut. Hal ini untuk menghindari keburukan yang lebih besar
(fitnah baru).
Di ujung
usia, seorang Muslim harus berjuang keras untuk membiasakan diri dengan diam
dan memilih ucapan yang baik. Memilih diam saat ia tergoda untuk ghibah adalah
jihad yang paling utama.
7.6:
Lapang Dada dan Memberi Maaf
Seorang
lansia yang ingin mencapai husnul khotimah tidak cukup hanya dengan
menyelesaikan utangnya, ia juga harus berlapang dada. Ia harus membiasakan tasāmuh
(toleran), memberi maaf, dan membebaskan orang lain dari tuntutan haknya.
Memberi
maaf adalah amal hati yang sangat agung, yang akan mendatangkan ampunan dari
Alloh ﷻ.
Alloh ﷻ
berfirman:
وَلْيَعْفُوا
وَلْيَصْفَحُوا ۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ
اللَّهُ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan
hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kalian tidak suka bahwa
Alloh mengampuni kalian? Dan Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.
An-Nuur: 22)
Ayat ini
adalah motivasi terbesar bagi seorang lansia untuk memaafkan. Memaafkan orang
lain yang menzholimi kita adalah cara tercepat untuk mendapatkan maaf dan
ampunan dari Alloh ﷻ.
Siapa yang menuntut keadilan mutlak kepada sesama manusia di dunia, maka ia
akan sulit mendapatkan rohmat mutlak dari Alloh ﷻ di Akhiroh.
Maka, di
ujung usia, seorang Muslim harus berusaha keras untuk memaafkan semua utang
lisan, utang kehormatan, dan bahkan utang harta yang ia relakan (kecuali yang
bersifat ghosob dan harus dikembalikan). Dengan berlapang dada, ia membebaskan
dirinya dari beban tuntutan di Hari Kiamat, dan memastikan ia menghadap Alloh ﷻ
dengan hati yang bersih, bukan sebagai seorang muflis yang bangkrut.