HUKUM DAN PERBEDAAN BACAAN AL-QUR’AN MENURUT IBNU TAIMIYYAH
5.1
Hukum Menertibkan Suroh dan Ayat
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (728 H) dan murid-muridnya
menjelaskan hukum mengenai tertib (urutan) ayat dan suroh:
5.1.1
Tertib Ayat (Urutan Ayat dalam Satu Suroh)
Hukumnya adalah wajib.
Tertib ayat adalah Tauqifi (berdasarkan perintah Nabi ﷺ).
Rosululloh ﷺ
sendiri yang memerintahkan para juru tulis wahyu (Kuttab Wahyu) untuk
menempatkan ayat yang baru turun di tempat yang sesuai (meski ayat sebelumnya
telah disebutkan lebih dulu).
Tidak boleh berbuat tankis (membalik) urutan ayat
dalam satu suroh, misalnya membaca ayat terakhir sebelum ayat pertama, karena
hal itu diharomkan dengan kesepakatan ulama.
5.1.2
Tertib Suroh (Urutan Antar Suroh dalam Mushaf)
Hukumnya adalah Ijtihadi (berdasarkan Ijtihad Para
Shohabat), bukan berdasarkan Nash (wahyu).
Oleh karena itu, pada awalnya dibolehkan membaca suroh
sebelum suroh yang lain, dan juga dibolehkan menulis urutannya berbeda.
Mushaf milik Abdulloh bin Mas’ud (32 H) memiliki urutan yang
berbeda dengan Mushaf milik Zaid bin Tsabit (45 H).
Ketika Utsman bin Affan (35 H) menghimpun Al-Qur’an dan
menyatukan Mushaf di zaman beliau, ini dianggap sebagai kesepakatan (ijma’)
dari Khulafaur Rosyidin atas tertib (urutan) yang ada sekarang.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum tankis
(membalik urutan) suroh, sebagian memakruhkannya (seperti yang diriwayatkan
dari Imam Ahmad bin Hanbal (241 H)), dan sebagian ulama lain membolehkannya.
5.2
Tujuh Huruf dan Qiro’at
5.2.1
Makna Tujuh Huruf (Al-Ahruf As-Sab’ah)
Tidak ada perselisihan di antara ulama yang diakui bahwa Al-Ahruf
As-Sab’ah bukanlah yang dimaksud dengan Tujuh Qiro’at (bacaan) yang masyhur.
Pengumpul pertama Qiro’at As-Sab’ah yang masyhur adalah Imam
Abu Bakar Ibnu Mujahid (324 H) pada akhir abad ke-3 Hijriyah di Baghdaad.
Al-Ahruf As-Sab’ah tidak mengandung pertentangan makna (tanaaqudh)
atau pertentangan hukum (tadhoad). Perbedaan di antara Al-Ahruf
(huruf-huruf) itu adalah perbedaan tanawwu’ (variasi) dan taghoyyur (perubahan),
yang mana setiap maknanya adalah benar.
5.2.2 Mushaf Utsman dan Al-Ahruf As-Sab’ah
Para ulama memiliki dua pendapat utama mengenai Mushaf yang
ada di tangan kita (Mushaf Al-Imam yang dihimpun ‘Utsman (35 H)):
Pendapat Jumhur Salaf dan A’immah (Para Imam): Mushaf Utsman
hanya memuat satu huruf dari Al-Ahruf As-Sab’ah. Huruf ini adalah yang sesuai
dengan bacaan terakhir yang dibacakan Nabi ﷺ di hadapan Jibril ‘alaihissalam.
Pendapat Sebagian Kelompok: Mushaf Utsman mencakup semua Al-Ahruf
As-Sab’ah, karena tidak boleh bagi umat mengabaikan satu huruf pun dari Al-Ahruf
As-Sab’ah yang diturunkan.
5.2.3. Hukum Membaca Qiro’at Syaadzdah
Qiro’at Syaadzdah (bacaan ganjil) adalah bacaan yang tidak
sesuai dengan Rosm Al-Utsmani (tulisan Mushaf Utsman). Contohnya adalah bacaan
Ibnu Mas’ud (32 H) tentang puasa kaffaroh:
فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ
مُتَتَابِعَات
Menambah kata mutataabi’aat (berturut-turut).
Mengenai hukum membaca Qiro’at Syaadzdah dalam Sholat, ada
dua riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal (241 H) dan Imam Malik bin Anas (179 H):
dibolehkan dan tidak dibolehkan.
Pendapat yang lebih kuat (tidak dibolehkan) adalah karena
Qiro’at Syaadzdah tidak mutawatir (tidak diriwayatkan oleh banyak orang) dan
dianggap telah dinaskh (dihapus) oleh bacaan terakhir Nabi ﷺ.
5.2.4 Hukum Menggabungkan Qiro’at dalam Sholat
Menggabungkan banyak Qiro’at dalam satu Sholat atau satu
kali tilawah (bacaan biasa) adalah bid’ah makruhah (bid’ah yang dibenci).
Al-Qur’an tidak turun dengan cara seperti itu, melainkan
turun dalam satu wajah (cara).
Adapun menggabungkannya untuk tujuan belajar dan menghafal,
seperti yang dilakukan para guru qiro’at kepada murid-murid mereka, maka ini
adalah ijtihad yang diperbolehkan.
5.3
Hukum Mengambil Upah dalam Pengajaran Al-Qur’an
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (728 H) membahas hukum
mengambil upah (gaji) untuk mengajar Al-Qur’an:
5.3.1
Mengambil Upah atas Tilawah (Membaca) Al-Qur’an untuk Orang yang Sudah
Wafat atau Hidup
Tidak dibolehkan (tidak shohih) mengambil upah hanya untuk
membaca Al-Qur’an, karena ini adalah ibadah qurbah (mendekatkan diri) kepada
Alloh, dan tidak boleh menjual ibadah.
5.3.2
Mengambil Upah atas Pengajaran Al-Qur’an
Boleh, tetapi khusus bagi yang fakir (membutuhkan), agar ia
dapat menggunakan upah itu untuk biaya hidup dan sarana pendukung dalam
mengajarkan Al-Qur’an.
Ini adalah pendapat ketiga dalam Madzhab Imam Ahmad bin
Hanbal (241 H) dan pendapat yang lebih disukai oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah (728 H).
Beliau mengumpamakan ini seperti walinya anak yatim yang
miskin, diizinkan Alloh untuk mengambil (bagian dari harta anak yatim) sekadar
biaya hidup, sampai ia menjadi kaya.
Upah ini tidak boleh diambil oleh orang yang kaya.
5.4
Hukum Sumpah dengan Al-Qur’an
Sumpah harus dengan Nama Alloh atau sifat dari Sifat-sifat-Nya.
Al-Qur’an adalah Kalamulloh (Perkataan Alloh), dan Kalamulloh adalah Sifat dari
Sifat-sifat Alloh.
5.4.1
Hukum Sumpah dengan Al-Qur’an
Sumpah itu sah (mun’aqidah).
Orang yang bersumpah dengan Al-Qur’an, ia bersumpah dengan
Kalamulloh, yang merupakan Sifat-Nya.
5.4.2
Hukum Kaffaroh (Denda) Jika Melanggar Sumpah
Pendapat Pertama (Abdulloh bin Mas’ud (32 H) dan Al-Hasan Al-Bashri
(110 H)): Wajib membayar kaffaroh untuk setiap ayat Al-Qur’an.
Pendapat Kedua (Imam Malik (179 H) dan Imam asy-Syafi’i (204
H)): Wajib membayar satu kaffaroh sumpah saja.
Pendapat Ketiga (Imam Abu Hanifah (150 H)): Tidak ada kaffaroh.
Pendapat yang paling dekat dengan kebenaran (yang disetujui Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah (728 H)) adalah wajib satu kaffaroh sumpah saja. Karena
ketika seseorang bersumpah dengan Al-Qur’an, yang terlintas di benaknya adalah
sumpah yang satu (utuh), bukan bersumpah dengan setiap huruf dari Kalamulloh.