Ijma dalam Gugatan dan Bukti - Ibnul Mundzir (319 H)
256. Beban Bukti dan Sumpah
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الْبَيِّنَةَ
عَلَى الْمُدَّعِي، وَالْيَمِينَ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ.
Mereka sepakat bahwa: bukti ditanggung orang yang
menggugat, dan sumpah atas orang yang digugat.
257. Sumpah Dalam Masalah Harta
وَأَجْمَعُوا عَلَى وُجُوبِ اسْتِحْلَافِ
الْمُدَّعَى عَلَيْهِ فِي الْأَمْوَالِ عَلَى سَبِيلِ مَا ذَكَرْنَاهُ.
Mereka sepakat atas kewajiban
meminta sumpah dari orang yang digugat dalam masalah harta atas cara yang telah
kami sebutkan.
258. Konflik Bukti Kepemilikan
(Warisan vs Jual Beli)
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنْ لَوْ كَانَتْ
فِي يَدَيْ رَجُلٍ، فَادَّعَاهَا رَجُلٌ، وَأَقَامَ الْبَيِّنَةَ أَنَّهَا كَانَتْ
لِأَبِيهِ، وَأَنَّهُ مَاتَ، وَلَا يَعْلَمُونَ لَهُ وَارِثًا غَيْرَهُ، وَأَقَامَ
الْآخَرُ الْبَيِّنَةَ أَنَّهُ اشْتَرَاهَا مِنْ هَذَا بِمِائَةِ دِينَارٍ، وَنَقَدَهُ
الثَّمَنَ فَإِنَّهُ يُقْضَى بِهَا لِلْمُشْتَرِي.
Mereka sepakat bahwa: jika (suatu
harta) ada di tangan seorang lelaki, lalu lelaki lain menggugatnya, dan ia
menegakkan bukti bahwa harta itu milik ayahnya, sementara ayahnya telat wafat, dan mereka tidak mengetahui ahli waris
baginya selain lelaki tersebut, dan orang yang satu lagi menegakkan bukti bahwa ia membelinya dari orang ini (orang benda yang di tangannya)
dengan 100 dinar, dan ia telah menyerahkan harganya, maka diputuskan harta
itu untuk pembeli.
259. Bukti Shodaqoh dan Hibah yang
Sudah Diterima
وَأَجْمَعُوا كَذَلِكَ أَيْضًا فِي
الصَّدَقَةِ، وَالْهِبَةِ، وَالْعَطِيَّةِ، وَالنُّحْلِ، وَالْعُمْرَى إِذَا كَانَتْ
مَقْبُوضَةً.
Mereka sepakat demikian juga dalam hal
shodaqah
(pemberian karena Allah), hibah (pemberian tanpa imbalan), ‘athiyyah
(pemberian umum), nihlah (pemberian hadiah atau mahar dengan
suka rela), dan ‘umro (pemberian tempat tinggal seumur hidup dan jika wafat harta kembali) apabila telah diterima (oleh pihak penerima).
260. Sumpah Istri Setelah Kematian
Suami (Terkait Iddah)
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الْمَرْأَةَ
إِذَا قَالَتْ: طَلَّقَنِي، وَلَمْ تَنْقَضِ عِدَّتُهَا حَتَّى مَاتَ، وَادَّعَى الْوَرَثَةُ
أَنَّهُ قَدِ انْقَضَتْ عِدَّتُهَا، أَنَّ الْقَوْلَ لِلْمَرْأَةِ.
Dan mereka (para ulama) telah bersepakat
bahwa apabila seorang wanita berkata: “Suamiku telah menceraikanku,” lalu masa
‘iddahnya belum selesai ketika sang suami meninggal dunia, kemudian para ahli waris mengklaim
bahwa masa ‘iddahnya telah selesai, maka perkataan yang diterima adalah
perkataan wanita tersebut Yakni, dia masih dalam masa ‘iddah ketika suami
meninggal, sehingga dia berhak mendapatkan warisan dari suaminya.
261. Hukum Anak Budak Wanita yang
Dijual (Waktu Kelahiran)
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الرَّجُلَ
إِذَا كَانَتْ لَهُ جَارِيَةٌ، وَعُلِمَ أَنَّهُ يَطَؤُهَا، أَقَرَّ بِذَلِكَ قَبْلَ
بَيْعِهَا ثُمَّ بَاعَهَا، فَظَهَرَ بِهَا حَمْلٌ، وَوَلَدَتْ عَنِ الْمُشْتَرِي لِأَقَلَّ
مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ عَقْدِ الْبَيْعِ، وَادَّعَاهُ الْبَائِعُ أَنَّ الْوَلَدَ
لَاحِقٌ بِهِ.
Dan mereka (para ulama) telah bersepakat
bahwa apabila seorang laki-laki memiliki seorang budak wanita (jāriyah),
dan telah diketahui bahwa ia menyetubuhinya, lalu ia mengakui hal itu sebelum
menjualnya, kemudian ia menjualnya, lalu ternyata budak itu hamil, kemudian ia
melahirkan (anak) dari pembeli dalam waktu kurang dari enam bulan sejak akad
jual-beli, maka jika penjual mengklaim bahwa anak itu adalah miliknya (yakni
anaknya sendiri), maka anak tersebut diakui sebagai anaknya.