Ijma dalam Kesaksian dan Hukumnya - Ibnul Mundzir (319 H)
262. Syarat Saksi yang Diterima
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ شَهَادَةَ
الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ الْبَالِغِ الْعَقْلِ الْحُرِّ النَّاطِقِ الْمَعْرُوفِ النَّسَبِ
الْبَصِيرِ، الَّذِي لَيْسَ بِوَالِدِ الْمَشْهُودِ لَهُ، وَلَا وَلَدٍ وَلَا أَخٍ،
وَلَا أَجِيرٍ، وَلَا زَوْجٍ، وَلَا خَصْمٍ، وَلَا عَدُوٍّ، وَلَا شَرِيكٍ، وَلَا وَكِيلٍ،
وَلَا جَارٍّ بِشَهَادَتِهِ إِلَى نَفْسِهِ شَيْئًا، وَلَا يَكُونُ صَاحِبَ بِدْعَةٍ،
وَلَا شَاعِرًا يُعْرَفُ بِإِيذَايَةِ النَّاسِ، وَلَا لَاعِبًا بِالشِّطْرَنْجِ يَشْتَغِلُ،
وَلَا شَارِبَ الْخَمْرِ، وَلَا قَاذِفَ لِلْمُسْلِمِينَ وَلَمْ يَظْهَرْ مِنْهُ ذَنْبٌ؛
وَهُوَ مُقِيمٌ عَلَيْهِ صَغِيرٌ أَوْ كَبِيرٌ، وَهُوَ مِمَّنْ يُؤَدِّي الْفَرَائِضَ
وَيَتَجَنَّبُ الْمَحَارِمَ: جَائِزَةٌ، يَجِبُ عَلَى الْحَاكِمِ قَبُولُهَا، إِذَا
كَانَا رَجُلَيْنِ، أَوْ رَجُلًا وَامْرَأَتَيْنِ.
Dan mereka (para ulama) telah bersepakat
bahwa kesaksian seorang laki-laki Muslim yang baligh, berakal, merdeka, dapat
berbicara, jelas nasabnya (diketahui keturunannya), melihat (tidak buta), bukan
ayah dari orang yang disaksikan untuknya, bukan anaknya, bukan saudaranya,
bukan pegawainya, bukan suaminya, bukan lawan sengketa, bukan musuhnya, bukan
sekutunya, bukan wakilnya, dan bukan tetangga yang mendapatkan keuntungan dari
kesaksiannya untuk dirinya sendiri, serta tidak termasuk ahli bid’ah, bukan penyair
yang dikenal suka menyakiti manusia, bukan orang yang sibuk bermain catur
(asyik dengan permainan sia-sia), bukan peminum khomr (arak), bukan pencela
kaum Muslimin, dan tidak tampak darinya dosa yang terus dilakukan baik kecil
maupun besar, serta ia termasuk orang yang menunaikan kewajiban
(faroidh) dan menjauhi hal-hal yang harom, maka kesaksiannya diterima dan sah,
dan wajib bagi hakim untuk menerimanya, apabila yang bersaksi itu dua orang
laki-laki, atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan.
263. Kesaksian Saudara untuk
Saudara
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ شَهَادَةَ
الْأَخِ لِأَخِيهِ إِذَا كَانَ عَدْلًا جَائِزَةٌ.
Mereka sepakat bahwa: kesaksian
saudara untuk saudaranya jika ia adil boleh.
264. Kesaksian Musuh (Yang
Bertikai)
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الْخُصُومَةَ
إِذَا كَانَتْ قَائِمَةً بَيْنَ الشَّاهِدِ وَالْخَصْمِ أَنْ لَا تُقْبَلَ شَهَادَتُهُ.
Mereka sepakat bahwa: perselisihan
jika sedang terjadi antara saksi dan musuh maka tidak diterima kesaksiannya.
265. Kesaksian Orang yang
Bertaubat dari Mabuk
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الرَّجُلَ
إِذَا كَانَ يَشْرَبُ الْخَمْرَ مِنَ الشَّرَابِ حَتَّى يَسْكَرَ ثُمَّ تَابَ، فَشَهِدَ
بِشَهَادَةٍ، وَجَبَ أَنْ تُقْبَلَ شَهَادَتُهُ إِذَا كَانَ عَدْلًا.
Mereka sepakat bahwa: seorang lelaki
jika ia dahulu minum khomr dari minuman sampai ia mabuk kemudian ia bertaubat,
lalu ia bersaksi dengan kesaksian, wajib diterima kesaksiannya jika ia
adil.
266. Hukum Mabuk (Sakar)
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ السُّكْرَ
حَرَامٌ.
Mereka sepakat bahwa: mabuk harom.
267. Kesaksian Orang yang Dihukum
(Setelah Taubat)
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ مَنْ أَتَى
حَدًّا مِنَ الْحُدُودِ، فَأُقِيمَ عَلَيْهِ ثُمَّ تَابَ وَأَصْلَحَ، أَنَّ شَهَادَتَهُ
مَقْبُولَةٌ إِلَّا الْقَاذِفَ.
Mereka sepakat bahwa: siapa yang
melakukan had dari had-had (hukuman), lalu ia ditegakkan atasnya kemudian ia bertaubat
dan memperbaiki diri, maka kesaksiannya diterima kecuali Qodzif (penuduh zina).
268. Kesaksian Orang Gila
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنْ لَا شَهَادَةَ
لِلْمَجْنُونِ فِي حَالِ جُنُونِهِ.
Mereka sepakat bahwa: tidak ada
kesaksian bagi orang gila di saat gilanya.
269. Kesaksian Orang Gila yang
Sembuh Sesekali
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الْمَجْنُونَ
الَّذِي يَجِنُّ وَيُفِيقُ، إِذَا شَهِدَ فِي حَالِ إِفَاقَتِهِ أَنَّ شَهَادَتَهُ
جَائِزَةٌ، إِذَا كَانَ عَدْلًا.
Dan mereka (para ulama) telah bersepakat
bahwa orang gila yang kadang hilang akalnya (gila) dan kadang sadar (sehat),
apabila ia memberikan kesaksian dalam keadaan sadar, maka kesaksiannya sah
(diterima), apabila ia termasuk orang yang adil (terpercaya dalam agama dan
akhlaknya).
270. Kesaksian Utang dengan Nilai
Setara
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ رَجُلًا لَوْ
قَالَ لِشَاهِدَيْنِ: اشْهَدَا أَنَّ فُلَانَ بْنَ فُلَانٍ عَلَى مِائَةِ دِينَارٍ
مَثَاقِيلَ، أَنْ عَلَيْهِمَا أَنْ يَشْهَدَا بِهَا إِذَا دَعَا هَذَا الطَّالِبُ إِلَى
إِقَامَةِ الشَّهَادَةِ.
Mereka (para ulama) telah berijma’
bahwa apabila seorang laki-laki berkata kepada dua orang saksi: “Saksikanlah
bahwa Fulan bin Fulan mempunyai tanggungan seratus dinar mitsqal (emas
seberat seratus dinar),” maka wajib atas kedua saksi itu untuk memberikan
kesaksian tersebut apabila orang yang menuntut (hak) itu memanggil mereka untuk
menegakkan kesaksian.
271. Kesaksian Wanita dalam Harta
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ شَهَادَةَ
النِّسَاءِ جَائِزَةٌ مَعَ الرِّجَالِ فِي الدَّيْنِ وَالْأَمْوَالِ.
Mereka sepakat bahwa: kesaksian para
wanita boleh bersama para lelaki dalam masalah utang dan harta.
272. Kesaksian Wanita dalam Had
(Hukuman)
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ شَهَادَتَهُنَّ
لَا تُقْبَلُ فِي الْحُدُودِ.
Mereka sepakat bahwa: kesaksian
mereka tidak diterima dalam masalah hudud (hukuman).
273. Kesaksian Budak, Anak Kecil,
dan Kafir yang Kemudian Memenuhi Syarat
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الْعَبْدَ
وَالصَّغِيرَ وَالْكَافِرَ: إِذَا شَهِدُوا عَلَى شَهَادَةٍ، فَلَمْ يَدْعُوا إِلَيْهَا،
وَلَمْ يَشْهَدُوا بِهَا، حَتَّى عَتَقَ الْعَبْدُ، وَبَلَغَ الصَّبِيُّ، وَأَسْلَمَ
الْكَافِرُ، ثُمَّ أَدَّوْهَا فِي حَالِ قَبُولِ شَهَادَتِهِمْ، أَنَّ قَوْلَ شَهَادَتِهِمْ
تَجِبُ.
Mereka (para ulama) telah berijma’
bahwa apabila seorang budak, anak kecil, dan orang kafir telah menyaksikan
suatu peristiwa (sebagai kesaksian), namun mereka belum diminta untuk
menegakkannya, dan mereka belum bersaksi dengannya hingga budak itu merdeka,
anak kecil itu baligh, dan orang kafir itu masuk Islam, kemudian mereka
menyampaikan kesaksian tersebut dalam keadaan kesaksian mereka sudah diterima
(secara syar’i), maka kesaksian mereka wajib diterima.
274. Kesaksian Melalui Empat Saksi
Lain
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ شَهَادَةَ
أَرْبَعَةٍ عَلَى شَهَادَةِ شَاهِدَيْنِ فِي الْأَمْوَالِ إِذَا كَانُوا عُدُولًا جَائِزَةٌ.
Mereka sepakat bahwa: kesaksian 4
orang atas kesaksian 2 saksi dalam masalah harta jika mereka adil boleh.
275. Kesaksian Hanya Berdasarkan
Tulisan Tangan
وَأَجْمَعَ أَكْثَرُ أَهْلِ الْعِلْمِ
أَلَّا يَشْهَدَ الشَّاهِدُ عَلَى خَطِّهِ.
Kebanyakan ulama telah berijma’ (sepakat)
bahwa seorang saksi tidak boleh memberikan kesaksian atas tulisan tangannya
sendiri.
276. Kesaksian dalam Pembunuhan
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ تُقْبَلُ
عَلَى الْقَتْلِ شَهَادَةُ شَاهِدَيْنِ عَدْلَيْنِ، وَيُحْكَمُ بِشَهَادَتِهِمَا، وَانْفَرَدَ
الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ، فَقَالَ: الشَّهَادَةُ عَلَى الْقَتْلِ لَا يَجُوزُ الْقِيَاسُ
عَلَيْهَا.
Mereka (para ulama) telah berijma’ bahwa
kesaksian dari dua orang saksi yang ‘adil diterima dalam perkara pembunuhan,
dan keputusan hukum dapat dijatuhkan berdasarkan kesaksian keduanya. Namun, Al-Hasan Al-Bashri (wafat 110 H) menyendiri dengan pendapatnya:
bahwa kesaksian dalam perkara pembunuhan tidak boleh dijadikan dasar untuk
melakukan qiyas (analogi hukum).