Cari Artikel

Mempersiapkan...

Ijma dalam Pernikahan - Ibnul Mundzir (319 H)


349. Nikah Janda Tanpa Ridho

وَأَجْمَعُوا أَنَّ نِكَاحَ الْأَبِ ابْنَتَهُ الثَّيِّبَ بِغَيْرِ رِضَاهَا: لَا يَجُوزُ.

Mereka sepakat bahwa ayah menikahnya anak wanitanya yang janda tanpa kerelaannya adalah tidak boleh.

350. Nikah Anak Gadis Kecil

وَأَجْمَعُوا أَنَّ نِكَاحَ الْأَبِ ابْنَتَهُ الصَّغِيرَةَ الْبِكْرَ جَائِزٌ إِذَا زَوَّجَهَا مِنْ كُفْءٍ.

Mereka sepakat bahwa ayah menikahkan anak wanitanya yang masih kecil yang gadis adalah boleh, asal dinikahkan dengan orang yang sekufu.

351. Nikah Anak Lelaki Kecil

وَأَجْمَعُوا أَنَّ نِكَاحَ الْأَبِ ابْنَهُ الصَّغِيرَ جَائِزٌ.

Mereka sepakat bahwa ayah menikahkan anak lelakinya yang masih kecil adalah boleh.

352. Wali Nikah Kafir untuk Anak Wanita Muslim

وَأَجْمَعُوا أَنَّ الْكَافِرَ لَا يَكُونُ وَلِيًّا لِابْنَتِهِ الْمُسْلِمَةِ.

Mereka sepakat bahwa orang kafir tidak boleh menjadi wali bagi anak wanitanya yang Muslimah.

353. Istri Berhak Menolak Jima’ Sebelum Mahar Dibayar

وَأَجْمَعُوا أَنَّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تُمْنَعَ مِنْ دُخُولِ الزَّوْجِ عَلَيْهَا حَتَّى يُعْطِيَهَا مَهْرَهَا.

Mereka sepakat bahwa wanita boleh menolak disenggamai suaminya sampai suami memberinya mahar.

354. Wali Sulton (Hakim) Saat Wali Asli Menolak

وَأَجْمَعُوا أَنَّ لِلسُّلْطَانِ أَنْ يُزَوِّجَ الْمَرْأَةَ إِذَا أَرَادَتِ النِّكَاحَ، وَدَعَتْ إِلَى كُفْءٍ، وَامْتَنَعَ الْوَلِيُّ أَنْ يُزَوِّجَهَا.

Mereka sepakat bahwa Sulthon (Penguasa/ Hakim/ KUA) boleh menikahkan wanita yang ingin menikah dengan lelaki yang sekufu, sementara wali menolak untuk menikahkannya.

355. Status Anak dari Budak Wanita (Jariyah)

وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الْعَجَمِيَّ وَالْمَوْلَى إِذَا تَزَوَّجَ أَمَةَ قَوْمٍ، فَأَوْلَدَهَا أَنَّ الْأَوْلَادَ رَقِيقٌ.

Mereka sepakat bahwa: ‘ajami (non-Arob), dan maula (budak yang dimerdekakan) jika ia menikahi budak wanita suatu kaum, lalu ia melahirkan beranak maka anak-anak itu adalah budak.

356. Budak Wanita yang Merdeka Saat Masih Menikah dengan Budak

وَأَجْمَعُوا أَنَّ الْأَمَةَ إِذَا أُعْتِقَتْ، وَهِيَ تَحْتَ عَبْدٍ أَنَّ لَهَا الْخِيَارَ.

Mereka sepakat bahwa budak wanita yang dimerdekakan, sedang ia di bawah (nikah dengan) budak maka ia memiliki hak khiyar (memilih untuk tetap bersama atau berpisah).

357. Hukum Lelaki yang Cacat Kemaluannya

وَأَجْمَعُوا أَنَّ أَحْكَامَ الْخَصِيِّ وَالْمَجْبُوبِ فِي سَتْرِ الْعَوْرَةِ فِي الصَّلَاةِ، وَالْإِمَامَةِ، وَمَا يَلْبَسُهُ فِي حَالِ الْإِحْرَامِ، وَمَا يُصِيبُهُ مِنَ الْمِيرَاثِ، وَمَا يُسْهَمُ لَهُ فِي الْغَنَائِمِ، أَحْكَامُ الرِّجَالِ.

Mereka sepakat bahwa hukum-hukum orang khosiy (terpotong buah zakar) dan orang majbub (terpotong kemaluan) dalam menutup aurat di Sholat, menjadi imam Sholat, apa yang ia pakai di saat Ihrom, apa yang ia dapatkan dari warisan, apa yang ia dapatkan dari bagian ghonimah, adalah mengikuti hukum kaum lelaki.

358. Hak Khiyar Istri Orang yang Terpotong Kemaluan

وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الْمَجْبُوبَ إِذَا نَكَحَ امْرَأَةً، وَلَمْ تَعْلَمْ؛ ثُمَّ عَلِمَتْ أَنَّ لَهَا الْخِيَارَ.

Mereka sepakat bahwa: orang yang terpotong kemaluannya jika ia menikahi wanita, sementara wanita itu tidak tahu, kemudian ia tahu, maka ia memiliki hak khiyar (memilih untuk tetap bersama atau berpisah).

359. Syarat Ihshon (Sudah Jima’) dalam Nikah

وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الرِّجَالَ، وَإِنْ عَقَدَ النِّكَاحَ فَلَا يَكُونُ مُحْصَنًا حَتَّى يَدْخُلَ بِهَا وَيُصِيبَهَا.

Mereka sepakat bahwa: para lelaki tidak disebut mushon (sudah jima’ dengan istrinya), meskipun telah akad nikah, sampai ia menyetubuhi istrinya dengan benar-benar masuk.

360. Syarat Ihshon (Pengakuan Jima’) dalam Nikah

وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ إِذَا شَهِدَ عَلَيْهِمَا الشُّهُودُ، فَإِقْرَارُهُمَا بِالْوَطْءِ كَانَا مُحْصَنَيْنِ.

Mereka sepakat bahwa: jika para saksi bersaksi atas suami-istri, lalu keduanya mengaku sudah jimak, maka keduanya adalah muhshon.

361. Hukum Zina Mushon Setelah Pasangan Wafat

وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ وَإِنْ دَخَلَ عَلَيْهَا، وَأَقَامَ مَعَهَا زَمَانًا، ثُمَّ مَاتَ أَوْ مَاتَتْ فَزَنَا الْبَاقِي مِنْهُمَا، لَمْ يُرْجَمْ حَتَّى يُقِرَّ بِالْجِمَاعِ.

Mereka sepakat bahwa: jika seseorang telah sekamar dengan istrinya, dan ia tinggal bersamanya dalam waktu yang lama, lalu salah satunya wafat, lalu yang tersisa dari keduanya berzina, maka ia tidak dirajam sampai ia mengakui telah jima’ (senggama).

 

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url