Ijma dalam Wasiat - Ibnul Mundzir (319 H)
330. Hukum Warisan Wala’
(Perwalian)
وَأَجْمَعُوا أَنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا
أَعْتَقَ عَبْدًا مُسْلِمًا، ثُمَّ مَاتَ الْمُعْتَقُ وَلَا وَارِثَ لَهُ وَلَا ذُو
رَحِمٍ، أَنَّ مَالَهُ لِمَوْلَاهُ الَّذِي أَعْتَقَهُ.
Mereka sepakat bahwa jika Muslim memerdekakan
budak Muslim, kemudian budak yang dimerdekakan wafat dan tidak ada ahli waris
baginya dan tidak pula kerabat, maka hartanya untuk tuannya yang memerdekakannya.
331. Warisan Wala’ (Wanita)
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ إِذَا مَاتَ
الْوَلِيُّ الْمُعْتِقُ، وَلَا وَرَّاثَ لَهُ وَلَا ذُو رَحِمٍ، وَأَنَّ لِلْمَوْلَى
الْمُعْتَقِ يَوْمَ يَمُوتُ الْوَلِيُّ الْمُعْتِقُ أَوْلَادًا ذُكُورًا وَإِنَاثًا،
فَمَالُهُ لِوَلَدِ ذُكُورِ الْمُعْتِقِ دُونَ إِنَاثِهِمْ؛ لِأَنَّ النِّسَاءَ لَا
يَرِثْنَ مِنَ الْوَلَاءِ إِلَّا مَنِ اعْتَقْنَ، وَأُعْتِقَ مَنِ اعْتَقْنَ، وَانْفَرَدَ
طَاوُوسٌ، فَقَالَ: تَرِثُ النِّسَاءُ.
Mereka sepakat bahwa: jika waliyyul mu’tiq (tuan yang memerdekakan) wafat, dan tidak ada ahli waris baginya dan
tidak pula kerabat, sementara budak yang dimerdekakan pada hari waliyyul mu’tiq wafat memiliki anak-anak, baik lelaki atau wanita,
maka harta si mayit untuk anak-anak lelaki
dari budak yang
memerdekakan tersebut, adapun anak wanita dari maula tidak
mendapatkan warisan; karena wanita tidak mewarisi wala’ kecuali siapa yang mereka merdekakan (majikan) atau siapa yang dimerdekakan (mantan budak). Sementara Thowus
berpendapat sendiri, ia berkata: wanita mewarisi.
332. Warisan Wala’ (Ayah dan
Saudara)
وَأَجْمَعُوا أَنَّ الْمُعْتَقَ إِذَا
مَاتَ، وَتَرَكَ أَبَاهُ وَإِخْوَتَهُ لِأَبِيهِ وَأُمِّهِ، أَوْ لِأَبِيهِ ثُمَّ مَاتَ
الْمُعْتَقُ، فَالْمَالُ لِلْأَبِ دُونَ الْإِخْوَةِ.
Mereka sepakat bahwa budak yang
dimerdekakan jika ia wafat, dan meninggalkan ayahnya dan saudara-saudaranya
seayah-seibu,
atau seayah kemudian budak yang dimerdekakan tersebut wafat, maka harta itu untuk ayah tanpa
saudara-saudara.
333. Aaqilah (Pembayar Denda)
Budak
وَأَجْمَعُوا أَنَّ الْمَوْلَى الْمُعْتِقَ
يَعْقِلُ عَنْ مَوَالِيهِ الْجِنَايَاتِ الَّتِي تَحْمِلُهَا الْعَاقِلَةُ.
Mereka sepakat bahwa tuan yang
memerdekakan turut menanggung (denda) atas budak-budaknya dari kejahatan-kejahatan
yang ditanggung oleh aaqilah (keluarga pembayar diyat).
334. Status Anak Pungut (Laqith)
وَأَجْمَعُوا أَنَّ اللَّقِيطَ حُرٌّ،
وَلَيْسَ لِمَنِ الْتَقَطَهُ أَنْ يَسْتَرِقَّهُ، وَانْفَرَدَ إِسْحَاقُ، فَقَالَ:
وَلَاءُ اللَّقِيطِ لِلَّذِي الْتَقَطَهُ.
Mereka sepakat bahwa laqith (anak pungut) adalah orang merdeka, dan tidak boleh bagi
siapa yang memungutnya untuk memperbudaknya, sedang Is-hak (bin Rohawaih)
berpendapat sendiri, ia berkata: “Wala’ (hak mewarisi) laqith bagi yang memungutnya.”