ILMU I’ROB DAN DHOMIR MENURUT IBNU TAIMIYYAH
8.1
Pentingnya Mengetahui I’rob Al-Qur’an
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (728 H) dan para ulama Ahlus
Sunnah menekankan pentingnya ilmu bahasa Arob (Nahwu) untuk memahami Al-Qur’an.
Imam Asy-Sya’bi (103 H) berkata, “Tiada seorang pun yang
membaca Al-Qur’an dan tidak mengetahui i’rob-nya, kecuali perumpamaannya seperti
seorang laki-laki yang pergi dengan burqo’ (penutup wajah), yang mana ia
tidak tahu siapa di depannya.” Maksudnya,
ia tidak tahu apa yang ia hadapi dari ayat-ayat Al-Qur’an.
Imam
Mujahid (104 H) berkata, “Tidaklah halal bagi seorang yang beriman kepada Alloh
dan hari Akhiroh untuk membaca Kitabulloh dan tidak mengetahui i’rob-nya.”
8.1.1
Hukum Berbuat Salah I’rob (Lahn) dalam Al-Qur’an
Pendapat
Pertama (Jumhur Ulama): Berbuat salah i’rob (lahn) dalam Sholat tidak
membatalkan Sholat kecuali jika ia sampai mengubah makna secara total.
Pendapat
Kedua (Sebagian Ulama Hanafiyyah): Membatalkan Sholat secara mutlak (meski
tidak mengubah makna), karena kesalahan i’rob itu membuat pembacaan Al-Qur’an
menjadi lain dari yang seharusnya.
Pendapat
yang paling shohih: Kesalahan i’rob membatalkan Sholat jika mengubah makna.
8.1.2
Kisah Lahn yang Mengubah Makna
Terdapat
riwayat bahwa Nabi Muhammad ﷺ
pernah mendengar seseorang membaca firman Alloh:
أَنَّ
اللَّهَ بَرِيءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ
“Sungguh
Alloh berlepas diri dari kaum Musyrikin, dan Rosul-Nya (juga berlepas diri dari
mereka).” (QS. At-Taubah: 3)
Asalnya,
Rosuluh (وَرَسُولُهُ)
dibaca dengan dhommah (u), sehingga artinya: “Alloh berlepas diri, dan
Rosul-Nya juga berlepas diri.”
Namun, ada
orang yang membacanya dengan kasroh (i) pada huruf laam (وَرَسُولِهِ), sehingga maknanya menjadi: “Alloh
berlepas diri dari kaum musyrikin, dan (Alloh juga berlepas diri) dari
Rosul-Nya.”
Perbedaan
satu harokat i’rob (dari dhommah menjadi kasroh) ini mengubah
makna yang benar menjadi kekafiran dan kesesatan yang nyata.
8.2
Kaidah dalam Dhomir (Kata Ganti)
Kaidah Umum Dhomir: Dhomir (kata ganti) harus kembali kepada
sesuatu yang telah disebutkan sebelumnya atau kepada sesuatu yang dipahami dari
konteks kalimat.
Jenis
Dhomir dalam Al-Qur’an
Dhomir kembali
kepada sesuatu yang zhohir.
Contoh:
Firman Alloh:
«إِذْ
قَالَ لَهُمْ أَخُوهُمْ نُوحٌ أَلَا تَتَّقُونَ»
(QS. Asy-Syu’aro’: 106). Dhomir hum (mereka) kembali kepada
kaumnya Nabi Nuh ‘alaihissalam.
Dhomir yang
kembali kepada sesuatu yang ma’ruf (dikenal) atau ghoiru zhohir (tidak
disebutkan secara jelas). Ini terjadi jika marji’ (tempat kembali dhomir) jelas
dipahami dari konteks kalimat, meskipun tidak disebut secara gamblang
sebelumnya.
Contoh:
Firman Alloh:
وَلَقَدْ
خَلَقْنَا الْإِنسَانَ مِن سُلَالَةٍ مِّن طِينٍ ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ
مَّكِينٍ ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً
“sungguh Kami telah menciptakan manusia dari
sari pati (yang berasal) dari tanah. Kemudian Kami menjadikannya nuthfah
(setetes mani) di tempat yang kokoh (rahim). Kemudian nuthfah itu Kami
jadikan ‘alaqoh (segumpal darah)...” (QS. Al-Mu’minun: 12-14)
Dhomir hu (هُ) pada ja’alnaahu (Kami
menjadikannya) kembali kepada insan (manusia). Insan ini di masa depan,
tetapi Dhomir kembali kepadanya karena insan adalah marji’ yang dimaksud dari
konteks ayat tersebut, meskipun insan belum menjadi nuthfah.
8.3
Kaidah dalam Mudzakkar dan Mu’annats
Yaitu lafazh
dalam bahasa Arob yang menunjukkan jenis kelamin laki-laki (mudzakkar)
dan perempuan (mu’annats). Kaidah ini sangat penting karena berkaitan
dengan i’rob dan pemahaman makna.
Contoh
penggunaan mudzakkar untuk jamak:
Firman
Alloh:
﴿وَمَن جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ
فَكُبَّتْ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ﴾
(QS. An-Naml: 90). Wujuh (wajah-wajah) adalah bentuk
jamak (banyak), tetapi fi’il (kata kerja) yang mendahuluinya, kubbat (فَكُبَّتْ) menggunakan muannats, karena
wujuh (wajah) termasuk jamak taksiir. Dalam bahasa Arob, jamak taksiir boleh
dianggap sebagai kata mufrod muannats.
Contoh mudzakkar
untuk ma’rifah:
Firman
Alloh:
﴿وَإِن كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ
كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ﴾
(QS.
An-Nisaa’: 12).
Imro’ah (perempuan) seharusnya menggunakan kaanat (كَانَتْ) dengan muannats, tetapi di
sini digunakan kaan (كَانَ)
dengan mudzakkar (maskulin). Ini karena kana di sini maknanya adalah kembali
kepada syakhsh (orang) secara umum (maskulin).