ILMU WUJUH WAN NAZHOIR MENURUT IBNU TAIMIYYAH
7.1
Konsep Wujuh wan Nazhair
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah (728 H) dan murid-muridnya membahas mengenai ilmu Wujuh dan Nazhoir dalam Al-Qur’an.
Definisi Nazhoir:
Nazhoir
artinya persamaan.
Yaitu, satu
lafazh yang memiliki satu makna tetapi diulang-ulang di banyak tempat dalam Al-Qur’an.
Contohnya adalah
lafazh “الْحَمْدُ”
(Al-Hamdu). Maknanya di setiap ayat adalah sama, yaitu “Segala puji dan
sanjungan”, meskipun lafazh ini diulang-ulang di berbagai suroh.
Definisi Wujuh:
Wujuh
artinya wajah-wajah (atau bentuk-bentuk/ sisi-sisi).
Yaitu, satu
lafazh yang memiliki banyak makna di tempat yang berbeda-beda dalam Al-Qur’an.
Contohnya
adalah lafazh “الصَّلَاةُ”
Sholat.
Dalam
firman Alloh:
﴿إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ
يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ﴾
(QS.
Al-Ahzab: 56),
makna bersholat dari Alloh adalah rohmat dan pujian, dan dari Malaikat adalah
istighfar (memintakan ampunan).
Dalam
firman Alloh:
﴿وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ﴾
(QS. Al-Baqoroh: 43), makna sholat di sini adalah ibadah
yang kita kenal (yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam).
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah (728 H) menegaskan, sangat penting untuk mengetahui Wujuh
(makna-makna yang berbeda) dari satu lafazh agar tidak terjadi kesalahan fatal
dalam penafsiran dan istiqro’.
7.2
Hukum Membaca Al-Qur’an dengan Alhan (Lagu)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah (728 H) membedakan antara bacaan dengan alhan
(bernyanyi/berlagu) yang tercela, dan bacaan yang indah (tahsin ash-shout)
yang terpuji.
7.2.1
Bacaan yang Terpuji (Tahsin ash-Shout)
Yaitu
membaca Al-Qur’an dengan suara yang indah, merdu, dan tidak berlebihan,
sehingga menghadirkan kekhusyukan dan tadabbur (perenungan).
Rosululloh ﷺ bersabda:
زَيِّنُوا
الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ
“Hiasilah Al-Qur’an
dengan suara kalian.” (HR. Abu Dawud no. 1468, di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albani)
Bacaan yang
indah akan membuat orang lain senang mendengarnya, serta membuat pembaca lebih
khusyu’.
7.2.2
Bacaan yang Tercela (Alhan Makruhah)
Yaitu
membaca Al-Qur’an dengan mengikuti kaidah-kaidah musik dan lagu, sehingga
mengubah panjang dan pendeknya huruf dan makhrojnya (tempat keluarnya huruf).
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah (728 H) menyebutkan, terdapat ijma’ (kesepakatan) dari
Salaf bahwa membaca Al-Qur’an dengan alhan yang merusak lafazh adalah harom.
Jika bacaan
itu tidak merusak lafazh, tetapi mengikuti kaidah-kaidah nyanyian, maka
hukumnya makruh (dibenci) karena termasuk tasyabbuh (menyerupai) orang
yang lalai dan pelaku bida’ (bid’ah).
7.2.3
Hukum Berlebihan dalam Tajwid
Berlebihan
dalam Tajwid —seperti berlebihan dalam tardid (mengulang), tafkhim
(menebalkan), tarqiq (menipiskan), atau mad (memanjangkan)—
adalah perkara yang dibenci (makruh) jika hal itu sampai mengalihkan dari
tadabbur (perenungan) makna Al-Qur’an.
Imam Malik
bin Anas (179 H) berkata, “Berlebihan dalam mengeluarkan huruf itu termasuk hal
yang dibenci (makruh).”