Cari Artikel

Mempersiapkan...

MA’RIFAH DAN NAKIROH MENURUT IBNU TAIMIYYAH

 

14.1 Definisi Ma’rifah dan Nakiroh

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (728 H) dan para ahli bahasa Arob menjelaskan bahwa ta’rif (menjadikan Ma’rifah) dan tankir (menjadikan Nakiroh) adalah salah satu kaidah paling penting dalam Nahwu (Tata Bahasa Arob) yang memengaruhi hukum.

14.1.1 Nakiroh (Kata yang Umum/Tidak Tertentu)

Lafazh yang menunjukkan keumuman (tidak tertentu) dan tidak memiliki batasan tertentu.

Hukumnya:

Apabila Nakiroh datang dalam konteks itsbat (penetapan/positif), maka ia menunjukkan satu individu atau beberapa individu (tidak umum seluruhnya).

Apabila Nakiroh datang dalam konteks nafyi (peniadaan/negatif), maka ia menunjukkan keumuman menyeluruh, yaitu tidak ada satupun.

14.1.2 Ma’rifah (Kata yang Khusus/Tertentu)

Yaitu lafazh yang menunjukkan individu atau jenis tertentu yang sudah diketahui oleh pembicara dan lawan bicara.

Ma’rifah memiliki berbagai bentuk, yang paling umum adalah:

1. Kata yang diawali dengan alif-laam

2. Nama (isim ‘alam)

3. Kata ganti (dhomir)

14.2 Kaidah Nakiroh dalam Konteks Nafyi

Kaidah ini penting: Jika Nakiroh datang dalam konteks nafyi (peniadaan/negatif), maka ia memberi faedah keumuman.

Contoh dari Al-Qur’an:

Firman Alloh:

لَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ

“Tidaklah sama kebaikan dan keburukan.” (QS. Fushshilat: 34)

Al-Hasanah dan As-Sayyi’ah di sini adalah Ma’rifah (karena ada Al-nya) dalam konteks nafyi (لَا تَسْتَوِي), sehingga maknanya adalah: “Tidak ada satu jenis kebaikan pun yang sama dengan satu jenis keburukan pun.”

Contoh lainnya:

Firman Alloh:

فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ

“Maka tidak ada rofats (perkataan jorok), tidak ada fusuuq (perbuatan maksiat), dan tidak ada jidal (berdebat) dalam (ibadah) Haji.” (QS. Al-Baqoroh: 197)

Semua lafazh (rofats, fusuuq, jidal) adalah Nakiroh yang datang dalam konteks nafyi (لَا), sehingga maknanya adalah peniadaan secara total. Artinya, sama sekali tidak boleh ada sedikit pun rofats, fusuuq, atau jidal dalam Haji.

14.3 Kaidah Ma’rifah dalam Konteks Pengulangan

Jika Ma’rifah Diulang:

Apabila suatu lafazh Ma’rifah diulang dalam satu konteks, maka lafazh yang kedua adalah lafazh yang pertama (identik).

Contoh: “Saya melihat Zaid, lalu saya bertemu kembali dengan Zaid.” Maka Zaid yang kedua adalah Zaid yang pertama.

Jika Nakiroh Diulang:

Apabila suatu lafazh Nakiroh diulang dalam satu konteks, maka lafazh yang kedua berbeda dengan lafazh yang pertama.

Contoh: “Saya melihat seorang laki-laki (rojul), lalu saya melihat seorang laki-laki (rojul).” Maka, laki-laki yang kedua adalah orang yang berbeda dengan laki-laki yang pertama.

Contoh dari Al-Qur’an (Ka’idah Pengulangan Ma’rifah):

Firman Alloh:

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

“Maka sungguh bersama kesulitan (al-‘usr), ada kemudahan (yusr). Sungguh bersama kesulitan (al-‘usr), ada kemudahan (yusr).” (QS. Al-Insyiroh: 5-6)

Lafazh الْعُسْرِ (al-‘usr) adalah Ma’rifah (dengan al-) dan diulang dua kali. Berdasarkan kaidah, al-‘usr (kesulitan) yang kedua adalah sama dengan yang pertama. Artinya, hanya ada satu kesulitan.

Sedangkan lafazh يُسْرًا (yusr) adalah Nakiroh (tanpa al-) dan diulang dua kali. Berdasarkan kaidah, yusr (kemudahan) yang kedua berbeda dengan yang pertama. Artinya, ada dua kemudahan.

Kesimpulan Makna (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah): Satu kesulitan (al-‘usr) tidak akan pernah mengalahkan dua kemudahan (yusr).


 

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url