MUQODDAM DAN MU’AKHKHOR MENURUT IBNU TAIMIYYAH
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah (728 H) membahas kaidah taqdiim (mendahulukan) dan ta’khir
(mengakhirkan) dalam susunan kata di Al-Qur’an. Ini adalah salah satu kaidah
Balaaghoh yang memengaruhi i’rob (tata bahasa) dan makna hukum.
15.1
Kaidah Mendahulukan dan Mengakhirkan
Ini adalah
perpindahan susunan kata dari susunan aslinya (susunan natural dalam bahasa Arob),
yang dilakukan untuk tujuan tertentu, seperti penekanan (ihtimaam) atau
pembatasan (hashr).
Hukumnya:
Apabila ada suatu kata yang seharusnya di akhir, tetapi didahulukan ke depan
(misalnya Maf’ul didahulukan dari Fi’il-nya), maka hal itu memberikan faedah ihtimaam
(perhatian/penekanan).
15.2
Contoh Taqdiim yang Memberi Faedah Penekanan
Mendahulukan
suatu kata bertujuan untuk menekankan pentingnya kata tersebut (meskipun bukan
untuk tujuan pembatasan/eksklusif).
15.2.1
Mendahulukan Maf’ul (Objek) dari Fi’il (Kata Kerja)
Contohnya:
Firman Alloh tentang ibadah:
إِيَّاكَ
نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya
kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon
pertolongan.” (QS. Al-Faatihah: 5)
Susunan
normalnya adalah: (نَعْبُدُ إِيَّاكَ) “Kami menyembah Engkau.”
Di ayat ini,
Iyyaka (kepada Engkau) yang merupakan Maf’ul (objek) didahulukan.
Faedahnya:
Mendahulukan Maf’ul dalam konteks ini memberi faedah Pembatasan (hashr).
Maknanya menjadi: “Kami menyembah hanya Engkau dan tidak yang lain.” Ini adalah
penekanan agung bahwa ibadah hanya bagi Alloh.
15.2.2
Mendahulukan Jaar atau Zhorof (Keterangan Tempat/Waktu) dari Fi’il (Kata Kerja)
Contohnya:
Firman Alloh tentang orang-orang yang beriman pada hal ghoib:
وَبِالْآخِرَةِ
هُمْ يُوقِنُونَ
“terhadap Akhiroh (Al-Akhiroh) mereka
yakin.” (QS. Al-Baqoroh: 4)
Susunan
normalnya adalah: hum yuuqinuuna bi al-aakhiroh (mereka yakin terhadap
Akhiroh).
Faedahnya:
Penekanan terhadap urgensi iman kepada Akhiroh, sehingga menjadi ciri khas
orang Mu’min.
15.3
Contoh Taqdiim dan Ta’khir yang Menunjukkan Derajat
Urutan
penyebutan juga menunjukkan derajat, keutamaan, dan tingkatan hukuman.
Mendahulukan
Al-Bashor (Penglihatan) dari As-Sam’u (Pendengaran)
Dalam
kebanyakan ayat, Alloh mendahulukan as-sam’u (pendengaran) dari al-bashor
(penglihatan), karena pendengaran adalah jalan utama ilmu dan hidayah.
وَاللَّهُ
أَخْرَجَكُم مِّن بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ
السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ
“Alloh
mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui
apa-apa, dan Dia menjadikan bagi kalian pendengaran dan penglihatan serta hati.”
(QS. An-Nahl: 78)
Pengecualian:
Ada
beberapa ayat di mana penglihatan didahulukan, seperti dalam konteks
orang-orang yang disiksa di Neraka:
وَلَوْ
تَرَى إِذْ وُقِفُوا عَلَى النَّارِ قَالُوا يَا لَيْتَنَا نُرَدُّ وَلَا نُكَذِّبَ
بِآيَاتِ رَبِّنَا وَنَكُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“seandainya kamu melihat ketika
mereka dihadapkan ke Neraka, mereka berkata, ‘Aduhai sekiranya kami
dikembalikan (ke dunia)...’“ (QS. Al-An’am: 27)
Faedahnya:
Mendahulukan penglihatan dalam konteks ini adalah karena di Neraka, derajat
siksaan yang paling pertama dirasakan adalah penglihatan (bashor),
sebelum pendengaran mereka terputus.
Mendahulukan
An-Nabi (Nabi) dari Ar-Rosul (Rosul):
Dalam Hadits
Nabi ﷺ:
فَإِنَّهُ
لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَلَا رَسُولَ
“Sungguh,
tidak ada Nabi setelahku, dan tidak ada Rosul.” (HR. At-Tirmidzi no. 2272)
Rosul
memiliki derajat yang lebih tinggi dari Nabi secara umum.
Faedahnya:
Mendahulukan Nabi di sini adalah untuk penekanan dan pengkhususan. Nabi ﷺ ingin menekankan bahwa tidak
ada lagi Nabi (yang merupakan jabatan yang lebih umum), dan secara otomatis
tidak ada lagi Rosul (yang merupakan jabatan yang lebih khusus/tinggi).