MUQOYYAD DAN MUTHLAQ MENURUT IBNU TAIMIYYAH
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah (728 H) membahas kaidah memutlakkan mengikat, yang
menjelaskan bahwa terkadang ada suatu hukum yang disebutkan secara umum
(Muthlaq), tetapi di ayat atau Hadits lain disebutkan secara terikat (Muqoyyad).
17.1
Definisi Muthlaq dan Muqoyyad
Mutlak: Yaitu
lafazh yang menunjukkan suatu hakikat tanpa batasan tertentu.
Contoh:
Perintah untuk memerdekakan seorang budak (QS. Al-Maaidah: 89). Lafazh roqobah
(budak) di sini mutlak, tidak menyebutkan batasan (apakah budak Mu’min atau kafir).
Muqoyyad: Lafazh
yang menunjukkan suatu hakikat dengan batasan tertentu.
Contoh:
Perintah untuk memerdekakan seorang budak yang beriman (roqobah mu’minah)
(QS. An-Nisaa’: 92). Lafazh roqobah di sini terikat dengan sifat
beriman.
17.2
Kaidah Mengkompromikan Muthlaq dan Muqoyyad
Kaidah yang disepakati ulama (termasuk Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah) untuk mengkompromikan lafazh Muthlaq dan Muqoyyad adalah:
17.2.1
Jika Hukum dan Sebab Keduanya Berbeda
Hukumnya:
Tidak dilakukan membawa yang mutlak kepada yang terikat. Keduanya diamalkan
sesuai dengan lafazhnya masing-masing.
Contoh:
Dalam Kaffaroh Yamin (sumpah) (QS. Al-Maaidah: 89), budak yang
dimerdekakan adalah mutlak (tidak ada ikatan iman). Dalam Kaffarah Qotl
(pembunuhan) (QS. An-Nisaa’: 92), budak yang dimerdekakan adalah terikat
dengan keimanan. Keduanya adalah hukum yang berbeda dan sebab yang berbeda,
sehingga tidak dibawa ke yang terikat.
17.2.2
Jika Hukum dan Sebab Keduanya Sama
Hukumnya:
Wajib dilakukan muqoyyad pada mutlak.
Contoh:
Dalam bersuci, terdapat perintah membasuh wajah (QS. Al-Maaidah: 6)
secara muthlaq (tidak terikat). Ada Hadits yang menyebutkan bahwa membasuh
wajah harus menyertakan niat (terikat). Karena hukumnya sama (membasuh wajah)
dan sebabnya sama (hendak Sholat), maka lafazh Muthlaq (membasuh wajah) dibawa
ke lafazh Muqoyyad (disertai niat).
17.3
Hukum Mengamalkan Muthlaq yang Tidak Ada Taqyiid Lain
Apabila suatu hukum datang secara mutlak (Muthlaq) dan tidak
ada satu pun dalil syar’i (Al-Qur’an atau Sunnah) yang membatasinya, maka
hukumnya diamalkan secara Muthlaq (sesuai keumumannya).
Contohnya
adalah Dzikir dan Do’a:
Perintah
Alloh untuk berdzikir dan berdo’a datang secara mutlak dan umum (QS. Al-A’roof:
205).
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah (728 H) menegaskan, jika tidak ada dalil yang mengikat
(Muqoyyad) waktu, tempat, atau cara tertentu untuk dzikir dan do’a, maka
hukumnya tetap Muthlaq.
Pengecualian:
Jika ada Hadits yang menghususkan waktu, tempat, atau cara untuk dzikir, maka
itu disunnahkan (seperti dzikir pagi dan petang), tetapi tidak membatasi
keumuman dzikir yang lain.