Cari Artikel

Mempersiapkan...

NASIKH DAN MANSUKH MENURUT IBNU TAIMIYYAH

 

12.1 Definisi Naskh

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (728 H) dan murid-muridnya membahas bahwa Naskh adalah mengganti (mengubah) hukum syar’i yang telah ditetapkan dengan hukum syar’i lain.

Naskh adalah mengangkat (menghilangkan) hukum syar’i yang terdahulu dengan dalil syar’i lain yang datang belakangan.

Naskh ini hanya terjadi pada hukum-hukum dan perintah/larangan.

Naskh tidak terjadi pada berita yang disampaikan oleh Al-Qur’an (seperti berita tentang hari Kiamat, kisah Nabi terdahulu, atau kabar tentang Jannah dan Naar).

12.2 Pembagian Naskh dalam Al-Qur’an

Naskh (Penghapusan) dalam Al-Qur’an terbagi menjadi tiga jenis:

12.2.1 Hukum dan Bacaan Ayat Dihapus

Yaitu lafazh bacaan ayat tersebut dihilangkan dari Mushaf, begitu pula hukumnya.

Contohnya adalah Ayat Rodho’ah (Penyusuan):

Dahulu ada ayat yang dibaca: “Sepuluh kali penyusuan yang dikenal akan mengharomkan..”

Ayat ini dinaskh bacaannya maupun hukumnya.

Tetapi As-Sunnah membuat hukum baru, yaitu “Lima kali penyusuan yang dikenal akan mengharomkan”.

12.2.2 Bacaan Ayat Dihapus, Hukumnya Tetap Ada

Yaitu ayatnya sudah dihapus, tetapi hukumnya tetapi ada berdasarkan As-Sunnah.

Contohnya adalah Ayat Rojm (Hukum Rajam):

Dahulu ada ayat yang dibaca, “Jika lelaki tua dan perempuan tua berzina, maka rajamlah keduanya..”

Ayat ini dinaskh (dihapus) bacaannya, sehingga lafazhnya tidak ada lagi dalam Mushaf.

Namun, hukumnya tetap berlaku melalui Hadits Nabi .

12.2.3 Hukum Ayat Dihapus, Bacaannya Tetap Ada

Yaitu hukum dari ayat tersebut dibatalkan, tetapi lafazh bacaan ayat tersebut tetap ada dalam Mushaf dan Sunnah.

Contohnya adalah kewajiban sholat menghadap Baitul Maqdis:

Hukum asalnya menghadap ke Baitul Maqdis (Masjidil Aqsho) dinaskh dengan perintah menghadap ke Ka’bah (Masjidil Harom).

Contoh lainnya adalah kewajiban iddah bagi istri yang ditinggal mati suami selama setahun:

Firman Alloh yang dinaskh:

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لِّأَزْوَاجِهِم مَّتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ

orang-orang yang wafat di antara kalian dan meninggalkan istri, hendaknya berwasiat untuk istri-istrinya, yaitu nafkah sampai satu tahun tanpa diusir (dari rumah suaminya).” (QS. Al-Baqoroh: 240)

Ayat ini dinaskh (dihapus hukumnya) oleh ayat lain (yang dibaca):

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا

orang-orang yang wafat di antara kalian dan meninggalkan istri, hendaknya istri-istri itu menahan diri (ber-’iddah) selama empat bulan sepuluh hari.” (QS. Al-Baqoroh: 234)

Ayat kedua ini adalah Naasikh (Penghapus) bagi ayat pertama, namun kedua ayat tersebut tetap dibaca dalam Mushaf.

12.3 Pembagian Naasikh

Naasikh (dalil yang menghapus hukum) dibagi menjadi tiga jenis:

12.3.1 Naskh Al-Qur’an bi Al-Qur’an

Al-Qur’an menaskh hukum dari Al-Qur’an lain (contohnya Iddah setahun dinaskh Iddah empat bulan sepuluh hari).

12.3.2 Naskh Al-Qur’an bi As-Sunnah

Al-Qur’an dinaskh hukumnya oleh Hadits Nabi .

12.3.4 Naskh As-Sunnah bi Al-Qur’an

Hadits Nabi dinaskh hukumnya oleh Al-Qur’an.

12.3.4 Naskh As-Sunnah bi As-Sunnah

Hadits Nabi dinaskh hukumnya oleh Hadits Nabi yang lain.

12.4 Perselisihan dalam Hukum Naskh Al-Qur’an dengan Sunnah

Pendapat jumhur (Mayoritas) Ulama Fiqih dan Ushul Fiqih: Dibolehkan Naskh Al-Qur’an bi As-Sunnah (Sunnah menaskh hukum Al-Qur’an).

Alasan: Karena Sunnah (Kalam Nabi ) adalah Wahyu dari Alloh juga, sebagaimana firman Alloh:

وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ

tidaklah dia (Muhammad) berbicara berdasarkan hawa nafsu, sungguh itu (ucapannya) hanyalah wahyu yang diwahyukan.” (QS. An-Najm: 3-4)

Sehingga, Naskh adalah dari Alloh, baik melalui lafazh Al-Qur’an maupun melalui lafazh As-Sunnah.

Pendapat Sebagian Ulama (Asy-Syafi’i dalam sebagian perkataannya): Tidak dibolehkan Naskh Al-Qur’an bi As-Sunnah (Sunnah tidak boleh menaskh Al-Qur’an).

Alasan: Karena Hadits tidak sama derajatnya dengan Al-Qur’an dari sisi periwayatannya.

12.5 Batasan dan Syarat Naskh

Syarat utama untuk menetapkan Naskh adalah:

Dua dalil (ayat/Hadits) yang saling bertentangan tidak mungkin dikompromikan.

Dalil yang datang belakangan wajib diketahui dan bertentangan dengan dalil yang pertama.

Menghindari Mengatakan Naskh Jika Bisa Dikompromikan

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (728 H) menegaskan, jika ada dua ayat yang secara zhohir bertentangan, tetapi masih memungkinkan untuk dikompromikan atau diambil salah satunya sebagai Khoosh (Pengkhusus) bagi yang ‘Amm (Umum), maka tidak boleh menetapkannya sebagai Naskh.

Sebab, banyak ulama Salaf yang menghindari mengatakan Naskh, karena Naskh adalah menghilangkan salah satu hukum syar’i.


 

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url